Jumat, 06 Mei 2011

Wasiat Rasulullah 7

oleh: Deden Salafy

Definisi Bid’ah

Imam asy-Syâthibi rahimahullah (wafat
th. 790 H) mengatakan, “Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-
lebihan dalam beribadah kepada Allah
Ta’ala.” Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab, bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang telah ditetapkan
dalam syari’at. Ungkapan “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu
yang diada-adakan dalam agama itu
pada hakekatnya tidak ada dalam
syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk
tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah
tertentu yang dalam syari’at tidak ada ketentuannya. Ungkapan “untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta ’ala“, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab, demikian itulah tujuan para
pelaku bid’ah, yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena
manusia diciptakan Allah Ta ’ala hanya untuk beribadah kepada-Nya
sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” (Qs adz- Dzâriyât/51:56) Seakan-akan orang yang membuat
bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat
tersebut. Dia merasa bahwa apa yang
telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum
belum mencukupi sehingga dia
berlebih-lebihan dan menambahkan
serta mengulang-ulanginya. Imam al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali
rahimahullah (wafat th. 795 H)
mengatakan, “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang menunjukkan keabsahannya.
Adapun yang memiliki dasar dalam
syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid ’ah, meskipun secara bahasa dikatakan
bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu
menisbatkannya kepada ajaran agama,
namun tidak memiliki landasan dari
ajaran agama yang bisa dijadikan
sandaran, berarti itu adalah kesesatan.
Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang
berkaitan dengan keyakinan, amalan
ataupun ucapan, lahir maupun bathin. Terdapat beberapa riwayat dari
sebagian Ulama Salaf yang
menganggap baik sebagian perbuatan
bid’ah, padahal yang dimaksud tidak lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at. Contohnya adalah ucapan ‘Umar bin al- Khaththâb radhiallahu’anhu ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin
untuk melaksanakan shalat malam di
bulan Ramadhan (shalat Tarawih)
dengan mengikuti satu imam di masjid.
Ketika beliau radhiallahu’anhu keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah.
Maka, beliau radhiallahu’anhu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah yang semacam ini.” Tidak diragukan lagi bahwa setiap
bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi
Salallahu ‘Alaihi Wassalam yang artinya, “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang
baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” Juga sabda beliau Salallahu ‘Alaihi Wassalam yang artinya,
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini,
sesuatu yang bukan bagian darinya,
maka ia tertolak”. Kedua hadits di atas menunjukkan
bahwa perkara baru yang dibuat-buat
dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan tertolak. Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya
berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu sendiri. Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam juga bersabda,
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak didasari atas
perintah kami maka amalannya
tertolak”. Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam sendiri yang mengatakan amalan
bid’ah itu tertolak karena tidak terpenuhinya salah satu syarat dari dua
syarat diterimanya ibadah, yaitu
mutâba’ah (mengikuti contoh Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam). Syarat diterimanya ibadah ada dua:
pertama, niat ikhlas karena Allah Ta ’ala dan kedua, sesuai dengan Sunnah;
yakni sesuai dengan Kitab-Nya atau
yang dijelaskan Rasul-Nya dan
Sunnahnya. Jika salah satunya tidak dipenuhi,
maka amalnya tersebut tidak bernilai
shalih dan tertolak, hal ini ditunjukkan
dalam firman-Nya yang artinya : “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia
mengerjakan amal shalih dan
janganlah dia mempersekutukan
dengan sesuatu pun dalam beribadah
kepada Rabb-nya”. (Qs al- Kahfi/18:110) Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan agar menjadikan amal
itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan
Sunnah Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam, kemudian memerintahkan
agar orang yang mengerjakan amal
shalih itu mengikhlaskan niatnya
karena Allah Ta ’ala semata, tidak menghendaki selain-Nya. Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah
berkata dalam tafsirnya35, “Inilah dua landasan amalan yang diterima:
Pertama, ikhlas karena Allah Ta ’ala dan Kedua, sesuai dengan Sunnah
Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam.” Menjelaskan tentang bahaya bid’ah dan ahlul bid’ah kepada umat tidaklah termasuk memecah-belah persatuan
kaum Muslimin, bahkan menjelaskan
bahaya bid’ah dan membantah ahlul bid’ah termasuk dalam kategori jihad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata, “Orang yang membantah ahlul bid’ah adalah mujahid, sampai Yahya bin
Yahya berkata, ‘Membela Sunnah Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam lebih utama daripada jihad (fî sabîlillâh).’.
bersambung.. Insya Allah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar