Jumat, 06 Mei 2011

Wasiat Rasulullah 4

oleh: Deden Salafy

Mendengar Dan Taat Kepada Ulil Amri (Penguasa Kaum
Muslimin)

Sabda Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam, “…Mendengar dan taat…” Maksudnya, mendengar dan taat
kepada ulil amri (penguasa) kaum
Muslimin. Mendengar apabila mereka
berbicara dan menaati apabila mereka
memerintahkan sesuatu.
Dalam surat an-Nisâ ayat 59, Allah
Ta’ala berwasiat kepada kaum Muslimin agar mereka menaati Allah Ta ’ala , Rasul-Nya, dan ulil amri dari kalangan
kaum Muslimin yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu maka kembalikanlah ia kepada
Allah (al-Qur`ân) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
Kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (Qs an-Nisâ’/4:59) Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Tidak boleh taat terhadap perintah yang di dalamnya terdapat maksiat
kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan
itu hanya dalam kebajikan.” Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal
Jama’ah adalah wajib taat kepada pemimpin kaum Muslimin selama
mereka tidak menyuruh berbuat
maksiat, meskipun mereka berbuat
zhalim. Karena menaati mereka
termasuk dalam ketaatan kepada Allah
Ta’ala, sedangkan ketaatan kepada Allah Ta’ala adalah wajib. Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,
“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat kepada penguasa
pada apa-apa yang ia cintai atau ia
benci, kecuali kalau ia disuruh untuk
berbuat maksiat, jika ia disuruh untuk
berbuat maksiyat, maka tidak boleh
mendengar dan tidak boleh taat.” Imam al-Qâdhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abil-‘Izz ad-Dimasyqi rahimahullah (yang terkenal dengan
Ibnu Abil ‘Izz wafat th. 792 H) berkata, “Hukum menaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan)
meskipun mereka berbuat zhalim,
karena keluar dari ketaatan kepada
mereka akan menimbulkan kerusakan
yang berlipat ganda dibanding dengan
kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman
mereka dapat melebur dosa-dosa dan
dapat melipat-gandakan pahala.
Karena Allah Ta ’ala tidak akan menguasakan mereka atas diri kita
melainkan disebabkan kerusakan amal
perbuatan kita juga. Ganjaran itu
bergantung pada amal perbuatan.
Maka hendaklah kita
bersungguhsungguh memohon ampunan, bertaubat, dan memperbaiki
amal perbuatan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian
besar (dari kesalahankesalahan).” (Qs asy-Syûrâ/42:30) Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya,
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu
menjadi pemimpin bagi sebagian yang
lain disebabkan apa yang mereka
usahakan.” (Qs al-An’âm/6:129).
Apabila rakyat ingin selamat dari kezhaliman pemimpin
mereka, hendaklah mereka
meninggalkan kezhaliman itu juga.” Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata,
“Penjelasan di atas sebagai jalan selamat dari kezhaliman para penguasa
yang ‘warna kulit mereka sama dengan kulit kita, berbicara sama dengan
bahasa kita (bahasa Arab )’ karena itu agar umat Islam selamat : 1. Hendaklah kaum Muslimin bertaubat
kepada Allah Ta ’ala . 2. Hendaknya mereka memperbaiki
‘akidah mereka. 3. Hendaklah mereka mendidik diri dan
keluarganya di atas Islam yang benar
sebagai penerapan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum
sebelum mereka merubah keadaan diri
mereka sendiri.” (Qs ar-Ra’d/13:11) Untuk menghindarkan diri dari
kezhaliman penguasa bukan dengan
cara mengikuti sangkaan sebagian
orang yaitu dengan memberontak,
mengangkat senjata ataupun dengan
cara kudeta, karena yang demikian itu termasuk bid’ah dan menyalahi nash- nash syariat yang memerintahkan
untuk merubah diri kita lebih dahulu.
Karena itu harus ada perbaikan kaidah
dalam pembinaan, dan pasti Allah
Ta’ala menolong hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya.
Sungguh, Allah benar-benar Maha
Kuat, Maha Perkasa.” (Qs al-Hajj/22:40) Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
rahimahullah mengatakan,
“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya menjadikan para raja, pemimpin, dan
pelindung umat manusia berada satu
jenis dengan amal perbuatan mereka,
bahkan amal perbuatan mereka
seakan-akan tampak tercermin pada
pemimpin dan penguasa mereka. Jika mereka lurus, maka akan lurus juga
penguasa mereka, dan jika mereka
adil, maka akan adil pula penguasa
mereka terhadap mereka, tetapi jika
mereka zhalim, maka akan zhalim pula
penguasa dan pemimpin mereka. Jika tampak tipu muslihat dan penipuan di
tengah-tengah mereka, maka demikian
pula yang terjadi pada pemimpin
mereka. Dan jika menolak hak-hak
Allah Ta’ala atas mereka dan enggan memenuhinya, maka para penguasa
dan pemimpin mereka pun akan
menolak hak-hak yang ada pada
mereka dan kikir untuk
menerapkannya pada mereka. Dan jika
dalam muamalah mereka mengambil sesuatu yang bukan haknya dari
orang-orang lemah, maka para
penguasa pun akan mengambil hal-hal
yang bukan haknya serta menimpakan
berbagai beban dan tugas kepada
mereka. Setiap yang mereka keluarkan (yang
mereka ambil) dari orang-orang lemah,
maka akan dikeluarkan (diambil) pula
oleh para penguasa itu dari diri mereka
dengan kekuatan (paksaan). Dengan
demikian amal perbuatan mereka tercermin pada amal perbuatan
penguasa dan pemimpin mereka. Dan
menurut hikmah Ilâhiyyah, tidaklah
diangkat seorang pemimpin atas
orang-orang jahat lagi berbuat keji,
kecuali orang-orang yang sejenis dengan mereka. Ketika pada kurun-
kurun pertama merupakan kurun yang
paling baik, maka demikian itu pula
para pemimpin mereka. Dan ketika
mereka mulai tercemari, maka
pemimpin mereka pun mulai tercemari pula. Dengan demikian, hikmah Allah Ta ’ala menolak jika kita di zaman ini dipimpin
oleh orang-orang seperti Mu’awiyah dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, apalagi orang-orang seperti Abu Bakar dan
‘Umar, tetapi pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Dan pemimpin
orang-orang sebelum kita pun sesuai
dengan kondisi mereka. Masing-
masing dari kedua hal tersebut
merupakan konsekuensi dan tuntutan
hikmah Allah Ta ’ala .”14 Pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Thâlib radhiallahu’anhu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi
pertengkaran dan fitnah, sedangkan
pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar tidak?” ‘Ali z menjawab, “Karena pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar yang menjadi rakyatnya adalah aku dan
Sahabat yang lainnya. Sedangkan pada
zamanku yang menjadi rakyatnya
adalah kalian.”15.
bersambung... Insya Allah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar