Sabtu, 30 April 2011

Lalai untuk Belajar Islam

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta
alam. Shalawat dan salam kepada Nabi
kita Muhammad, keluarga dan
sahabatnya. Tuntunan zaman dan semakin
canggihnya teknologi menuntut
generasi muda untuk bisa melek akan
hal itu. Sehingga orang tua pun
berlomba-lomba bagaimana bisa
menjadikan anaknya pintar komputer dan lancar bercuap-cuap ngomong
English. Namun sayangnya karena
porsi yang berlebih terhadap ilmu
dunia sampai-sampai karena mesti
anak belajar di tempat les sore hari,
kegiatan belajar Al Qur ’an pun dilalaikan. Lihatlah tidak sedikit dari
generasi muda saat ini yang tidak bisa
baca Qur’an, bahkan ada yang sampai buku Iqro’ pun tidak tahu. Merenungkan Ayat Ayat ini yang patut jadi renungan
yaitu firman Allah Ta’ala, ِﻦَﻋ ْﻢُﻫَﻭ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ ِﺓﺎَﻴَﺤْﻟﺍ َﻦِﻣ ﺍًﺮِﻫﺎَﻇ َﻥﻮُﻤَﻠْﻌَﻳ َﻥﻮُﻠِﻓﺎَﻏ ْﻢُﻫ ِﺓَﺮِﺧَﺂْﻟﺍ “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang
mereka tentang (kehidupan) akhirat
adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7) Ath Thobari rahimahullah
menyebutkan sebuah riwayat dari
Ibnu ‘Abbas yang menerangkan mengenai maksud ayat di atas. Yang
dimaksud dalam ayat itu adalah
orang-orang kafir. Mereka benar-
benar mengetahui berbagai seluk
beluk dunia. Namun terhadap urusan
agama, mereka benar-benar jahil (bodoh). (Tafsir Ath Thobari, 18/462) Fakhruddin Ar Rozi rahimahullah
menjelaskan maksud ayat di atas,
“Ilmu mereka hanyalah terbatas pada dunia saja. Namun mereka tidak
mengetahui dunia dengan
sebenarnya. Mereka hanya
mengetahui dunia secara lahiriyah
saja yaitu mengetahui kesenangan
dan permainannya yang ada. Mereka tidak mengetahui dunia secara batin,
yaitu mereka tidak tahu bahaya dunia
dan tidak tahu kalau dunia itu
terlaknat. Mereka memang hanya
mengetahui dunia secara lahir, namun
tidak mengetahui kalau dunia itu akan fana.” (Mafatihul Ghoib, 12/206) Penulis Al Jalalain rahimahumallah
menafsirkan, “Mereka mengetahui yang zhohir (yang nampak saja dari
kehidupan dunia), yaitu mereka
mengetahui bagaimana mencari
penghidupan mereka melalui
perdagangan, pertanian,
pembangunan, bercocok tanam, dan selain itu. Sedangkan mereka
terhadap akhirat benar-benar
lalai.” (Tafsir Al Jalalain, hal. 416) Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi
hafizhohullah menjelaskan ayat di
atas, “Mereka mengetahui kehidupan dunia secara lahiriah saja seperti
mengetahui bagaimana cara mengais
rizki dari pertanian, perindustrian dan
perdagangan. Di saat itu, mereka
benar-benar lalai dari akhirat. Mereka
sungguh lalai terhadap hal yang wajib mereka tunaikan dan harus mereka
hindari, di mana penunaian ini akan
mengantarkan mereka selamat dari
siksa neraka dan akan menetapi
surga Ar Rahman.” (Aysarut Tafasir, 4/124-125) Lalu Syaikh Abu Bakr Al Jazairi
mengambil faedah dari ayat tersebut,
“Kebanyakan manusia tidak mengetahui hal-hal yang akan
membahagiakan mereka di akhirat.
Mereka pun tidak mengetahui aqidah
yang benar, syari’at yang membawa rahmat. Padahal Islam seseorang tidak
akan sempurna dan tidak akan
mencapai bahagia kecuali dengan
mengetahui hal-hal tersebut.
Kebanyakan manusia mengetahui
dunia secara lahiriyah seperti mencari penghidupan dari bercocok tanam,
industri dan perdagangan. Namun
bagaimanakah pengetahuan mereka
terhadap dunia yang batin atau tidak
tampak, mereka tidak mengetahui.
Sebagaimana pula mereka benar- benar lalai dari kehidupan akhirat.
Mereka tidak membahas apa saja yang
dapat membahagiakan dan
mencelakakan mereka kelak di
akhirat. Kita berlindung pada Allah
dari kelalaian semacam ini yang membuat kita lupa akan negeri yang
kekal abadi di mana di sana
ditentukan siapakah yang bahagia
dan akan sengsara.” (Aysarut Tafasir, 4/125) Itulah gambaran dalam ayat yang
awalnya menerangkan mengenai
kondisi orang kafir. Namun keadaan
semacam ini pun menjangkiti kaum
muslimin. Mereka lebih memberi porsi
besar pada ilmu dunia, sedangkan kewajiban menuntut ilmu agama
menjadi yang terbelakang. Lihatlah
kenyataan di sekitar kita, orang tua
lebih senang anaknya pintar
komputer daripada pandai membaca
Iqro’ dan Al Qur’an. Sebagian anak ada yang tidak tahu wudhu dan shalat
karena terlalu diberi porsi lebih pada
ilmu dunia sehingga lalai akan
agamanya. Sungguh keadaan yang
menyedihkan. Bahaya Jahil akan Ilmu Agama Kalau seorang dokter salah memberi
obat karena kebodohannya, maka
tentu saja akan membawa bahaya
bagi pasiennya. Begitu pula jika
seseorang jahil atau tidak paham akan
ilmu agama, tentu itu akan berdampak pada dirinya sendiri dan orang lain
yang mencontoh dirinya. Allah telah memerintahkan kepada
kita untuk mengawali amalan dengan
mengetahui ilmunya terlebih dahulu.
Ingin melaksanakan shalat, harus
dengan ilmu. Ingin puasa, harus
dengan ilmu. Ingin terjun dalam dunia bisnis, harus tahu betul seluk beluk
hukum dagang. Begitu pula jika ingin
beraqidah yang benar harus dengan
ilmu. Allah Ta’ala berfirman, َﻚِﺒْﻧَﺬِﻟ ْﺮِﻔْﻐَﺘْﺳﺍَﻭ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﺎَّﻟِﺇ َﻪَﻟِﺇ ﺎَﻟ ُﻪَّﻧَﺃ ْﻢَﻠْﻋﺎَﻓ “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang
berhak disembah selain Allah dan
mohonlah ampunan bagi
dosamu” (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat ini, Allah memulai dengan
‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih
dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu
sebelum amal perbuatan. Sufyan bin ‘Uyainah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan
keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana
dikeluarkan oleh Abu Nu ’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi
Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat
ini, lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah
memulai ayat ini dengan mengatakan
‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk
beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108) Al Muhallab rahimahullah
mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang
terlebih dahulu didahului dengan
ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak
terdapat niat, ingin mengharap-harap
ganjaran, dan merasa telah berbuat
ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu,
pen). Sesungguhnya yang dilakukan
hanyalah seperti amalannya orang
gila yang pena diangkat dari
dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144) Gara-gara tidak memiliki ilmu, jadinya
seseorang akan membuat-buat
ibadah tanpa tuntunan atau
amalannya jadi tidak sah. Jika
seseorang tidak paham shalat, lalu ia
mengarang-ngarang tata cara ibadahnya, tentu ibadahnya jadi sia-
sia. Begitu pula mengarang-ngarang
bahwa di malam Jumat Kliwon
dianjurkan baca surat Yasin, padahal
nyatanya tidak ada dasar dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut juga sia-sia belaka.
Begitu pula jika seseorang berdagang
tanpa mau mempelajari fiqih
berdagang terlebih dahulu. Ia pun
mengutangkan kepada pembeli lalu
utangan tersebut diminta diganti lebih (alias ada bunga). Karena kejahilan
dirinya dan malas belajar agama, ia
tidak tahu kalau telah terjerumus
dalam transaksi riba. Maka berilmulah
terlebih dahulu sebelum beramal.
Mu’adz bin Jabal berkata, ُﻪُﻌِﺑﺎَﺗ ُﻞَﻤَﻌﻟﺍَﻭ ِﻞَﻤَﻌﻟﺍ ُﻡﺎَﻣِﺇ ُﻢْﻠِﻌﻟﺍ “Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah
adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma ’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15) Beramal tanpa ilmu membawa akibat
amalan tersebut jauh dari tuntunan
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, akhirnya amalan itu jadi sia-sia dan
tertolak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ٌّﺩَﺭ َﻮُﻬَﻓ ﺎَﻧُﺮْﻣَﺃ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﺲْﻴَﻟ ًﻼَﻤَﻋ َﻞِﻤَﻋ ْﻦَﻣ “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami,
maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718) Kerusakanlah yang ujung-ujungnya
terjadi bukan maslahat yang akan
dihasilkan. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, ﺎَّﻤِﻣ َﺮَﺜْﻛَﺃ ُﺪِﺴْﻔُﻳ ﺎَﻣ َﻥﺎَﻛ ٍﻢْﻠِﻋ ِﺮْﻴَﻐِﺑ َﻪﻠﻟﺍ َﺪَﺒَﻋ ْﻦَﻣ ُﺢِﻠْﺼُﻳ “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan
membuat banyak kerusakan daripada
mendatangkan kebaikan. ” (Al Amru bil Ma’ruf, hal. 15) Beri Porsi yang Adil Bukan berarti kita tidak boleh
mempelajari ilmu dunia. Dalam satu
kondisi mempelajari ilmu dunia bisa
menjadi wajib jika memang belum
mencukupi orang yang capable dalam
ilmu tersebut. Misalnya di suatu desa belum ada dokter padahal sangat
urgent sehingga masyarakat bisa
mudah berobat. Maka masih ada
kewajiban bagi sebagian orang di
desa tersebut untuk mempelajari ilmu
kedokteran sehingga terpenuhilah kebutuhan masyarakat. Namun yang perlu diperhatikan di sini
bahwa sebagian orang tua hanya
memperhatikan sisi dunia saja apalagi
jika melihat anaknya memiliki
kecerdasan dan kejeniusan. Orang tua
lebih senang menyekolahkan anaknya sampai jenjang S2 dan S3,
menjadi pakar polimer, dokter, dan
bidan, namun sisi agama anaknya
tidak ortu perhatikan. Mereka lebih
pakar menghitung, namun
bagaimanakah mengerti masalah ibadah yang akan mereka jalani
sehari-hari, mereka tidak paham.
Untuk mengerti bahwa
menggantungkan jimat dalam rangka
melariskan dagangan atau
menghindarkan rumah dari bahaya, mereka tidak tahu kalau itu syirik.
Inilah yang sangat disayangkan. Ada
porsi wajib yang harus seorang anak
tahu karena jika ia tidak
mengetahuinya, ia bisa meninggalkan
kewajiban atau melakukan yang haram. Inilah yang dinamakan
dengan ilmu wajib yang harus
dipelajari setiap muslim. Walaupun
anak itu menjadi seorang dokter atau
seorang insinyur, ia harus paham
bagaimanakah mentauhidkan Allah, bagaimana tata cara wudhu, tata cara
shalat yang mesti ia jalani dalam
kehidupan sehari-hari. Tidak mesti
setiap anak kelak menjadi ustadz. Jika
memang anak itu cerdas dan tertarik
mempelajari seluk beluk fiqih Islam, sangat baik baik sekali jika ortu
mengerahkan si anak ke sana. Karena
mempelajari Islam juga butuh orang-
orang yang ber-IQ tinggi dan cerdas
sebagaimana keadaan ulama dahulu
seperti Imam Asy Syafi’i sehingga tidak salah dalam mengeluarkan
fatwa untuk umat. Namun jika
memang si anak cenderung pada ilmu
dunia, jangan sampai ia tidak
diajarkan ilmu agama yang wajib ia
pelajari. Dengan paham agama inilah
seseorang akan dianugerahi Allah
kebaikan, terserah dia adalah dokter,
engineer, pakar IT dan lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِﻦﻳِّﺪﻟﺍ ﻰِﻓ ُﻪْﻬِّﻘَﻔُﻳ ﺍًﺮْﻴَﺧ ِﻪِﺑ ُﻪَّﻠﻟﺍ ِﺩِﺮُﻳ ْﻦَﻣ “Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan,
maka Allah akan memahamkan dia
tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037) Ingatlah pula bahwa yang diwarisi
oleh para Nabi bukanlah harta, namun
ilmu diin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ﺎَﻤَّﻧِﺇ ﺎًﻤَﻫْﺭِﺩ َﻻَﻭ ﺍًﺭﺎَﻨﻳِﺩ ﺍﻮُﺛِّﺭَﻮُﻳ ْﻢَﻟ َﺀﺎَﻴِﺒْﻧَﻷﺍ َّﻥِﺇ ٍﺮِﻓﺍَﻭ ٍّﻆَﺤِﺑ َﺬَﺧَﺃ ِﻪِﺑ َﺬَﺧَﺃ ْﻦَﻤَﻓ َﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ﺍﻮُﺛَّﺭَﻭ “Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham,
mereka hanyalah mewariskan ilmu.
Barangsiapa yang mengambilnya,
maka dia telah memperoleh
keberuntungan yang banyak.” (HR Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no.
2682, Shahih) Semoga tulisan ini semakin
mendorong diri kita untuk tidak
melalaikan ilmu agama. Begitu pula
pada anak-anak kita, jangan lupa
didikan ilmu agama yang wajib
mereka pahami untuk bekal amalan keseharian mereka. Wallahu waiyyut
taufiq.
(*) Riyadh-KSA, 14 Rabi ’uts Tsani 1432 H (19/03/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasika
l Artikel www.muslim.or.id

Jumat, 29 April 2011

Nasehat Bagi Si Sakit

Mush’ab bin Sa’d menuturkan: Abdullah bin Umar -
radhiyallahu’anhu- menemui Ibnu Amir -seorang Gubernur Bashrah-,
beliau datang untuk menjenguknya
yang sedang menderita sakit. Maka
Ibnu Amir pun berkata, “Tidakkah engkau mendoakan kebaikan
untukku kepada Allah, wahai Ibnu
Umar?”. Ibnu Umar menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak diterima sholat tanpa bersuci demikian juga sedekah dari
harta rampasan (baca: hasil korupsi).’ sedangkan engkau sekarang ini
menjadi penguasa Bashrah.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [3/8-9]) Hadits yang agung ini mengandung
pelajaran di antaranya:
1. Wajib berada dalam keadaan suci
untuk sahnya sholat. Bahkan, umat
Islam telah sepakat bahwa thaharah
(suci) merupakan syarat sah sholat
(lihat Syarh Muslim [3/8])
2. Sahabat Ibnu Umar bermaksud
menasehati seorang gubernur
Bashrah -di saat dia terbaring sakit-
agar bertaubat dari penyimpangan
yang dilakukannya dengan
menyampaikan hadits ini. Namun, hal itu bukanlah berarti bahwa doa yang
dipanjatkan untuk kebaikan orang
fasik adalah doa yang tidak mungkin
dikabulkan (lihat Syarh Muslim [3/8])
3. Hendaknya menjenguk orang yang
sakit dan menyampaikan sesuatu
yang bermanfaat bagi kebaikan
dirinya, sebagaimana teladan yang
diberikan oleh Ibnu Umar
radhiyallahu’anhuma
4. Teladan yang menunjukkan bahwa
seorang ulama boleh menemui
penguasa dalam rangka
menasehatinya, dan hal itu bukanlah
perkara yang tercela atau dinilai
sebagai perbuatan menjilat penguasa
5. Kasih sayang kepada sesama muslim -
terlebih lagi kepada penguasa
mereka- yang diwujudkan dalam
bentuk nasehat -menginginkan
kebaikan- bagi mereka. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasehat.” Para sahabat bertanya, “Untuk siapa?”. Maka beliau menjawab, “Untuk -kesucian- Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya, dan untuk
kebaikan para pemimpin kaum
muslimin serta rakyatnya.” (HR. Muslim dari Tamim ad-Dari, lihat Syarh Muslim
[2/116]). Di antara bentuk nasehat itu
adalah sebagaimana yang dilakukan
Ibnu Umar. Secara fisik, beliau
menjenguknya ketika menderita sakit.
Adapun secara ma’nawi, maka beliau pun menasehatinya dengan hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh, sebuah teladan yang
demikian mengagumkan…
6. Memberikan nasehat hendaknya
menggunakan kata-kata yang tepat.
Di antara kata-kata yang paling baik
digunakan untuk menyampaikan
nasehat adalah hadits-hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
7. Hadits ini menunjukkan betapa besar
pengagungan generasi salaf terhadap
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan hadits itulah yang
menjadi syi’ar kehidupan mereka sehingga dengan mudahnya hadits-
hadits itu terlontar dalam percakapan
di antara mereka
8. Hendaknya seorang da’i memperhatikan kondisi mad’u -objek dakwah-nya. Apabila mereka
membutuhkan bantuannya -
sedangkan dia mampu- maka
semestinya dia mengulurkan bantuan
untuk mereka.
9. Hadits ini menunjukkan bahwa
semata-mata niat baik tidak bisa
menjadikan amalan yang salah
menjadi benar atau diterima. Orang
yang dengan ikhlas ingin
mengerjakan sholat tapi tidak suci, maka sholatnya tidak sah seikhlas
apapun niatnya. Demikian juga orang
yang bersedekah dengan ikhlas,
maka sedekahnya tidak diterima jika
hartanya berasal dari harta hasil
rampasan (baca: hasil korupsi) seikhlas apapun niatnya. Islam tidak
mengenal kaidah tujuan
menghalalkan segala cara.
10. Boleh meminta orang lain (yang salih)
untuk mendoakan kebaikan untuk
kepentingan pribadi, meskipun yang
lebih utama adalah berdoa sendiri
kepada Allah.
11. Apa yang diinginkan seseorang
belum tentu sesuatu yang terbaik
baginya.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Beberapa Pelajaran dan Nasehat dari Syaikh Abdurrozzaq albadr hafizhohulloh

Beberapa Pelajaran dan Nasehat
dari Syaikh Abdurrozzaq albadr
hafizhohulloh

berikut adalah beberapa point yang
saya tangkap dari apa yang
disampaikan syaikh dan penerjemah
ustadz firanda hafizhohulloh, kalau ada
makna yang menyimpang dari apa
yang disampaikan oleh syaikh maka tafadldlol diberitahukan ke saya
1. perkataan yang ringkas namun
syaikh menganjurkan agar dihafalkan
diajarkan ke orang-orang, dan
keluarga,
' ﻪﻠﻟﺍ ﺔﻋﺎﻄﺑ ﻻﺇ ﻝﺎﻨﺗ ﻻ ﺎﻬﻧﺃ ﻭ ﻪﻠﻟﺍ ﺪﻴﺑ ﺔﻳﺍﺪﻬﻟﺍ ﻥﺃ " ﻪﻠﻟﺍ ﺔﻋﺎﻄﺑ ﻻﺇ ﻝﺎﻨﺗ ﻻ ﻭ ﻪﻠﻟﺍ ﺪﻴﺑ ﺓﺩ ﺎﻌﺴﻟﺍ ﻥﺃ "bahwasanya hidayah itu di Tangan
Allah dan bahwasanya hidayah itu
tidak akan didapatkan kecuali dengan
keta'atan kepada Alloh dan
bahwasanya kebahagiaan itu di
Tangan Allah dan tidak akan didapatkan kecuali dengan keta'atan
kepada Allah" 2. segala perkara di Tangan Allah,
"perkara apa saja yang dikehendaki
oleh Alloh, pasti terjadi, dan perkara
apa saja yang tidak dikehendaki oleh
Alloh tidak akan terjadi, dan tidak ada
yang mampu menolak" syair dari imam syafi'i," ya alloh apa saja
yang Engkau kehendaki pasti terjadi
walau tidak aku inginkan dan apa saja
yang ku inginkan jika tidak Engkau
kehendaki maka tidak akan terjadi" 3. firman alloh dalam thaha 123-124
"Maka jika datang kepadamu petunjuk
daripada-Ku, lalu barangsiapa yang
mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan
sesat dan tidak akan celaka. Dan
barangsiapa berpaling dari peringatan- Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami
akan menghimpunkannya pada hari
kiamat dalam keadaan buta " 4. ahlul quran adalah mereka ahlul
musa'adah (orang-orang yang
berbahagia)
yang dimaksud dengan ahlul quran
adalah sebagaimana firman alloh dalam
surat albaqoroh, 121: " Orang-orang yang telah Kami berikan
Al Kitab kepadanya, mereka
membacanya dengan bacaan yang
sebenarnya[84], mereka itu beriman
kepadanya " tidak harus dengan menjadi penghafal
alquran, akan tetapi yang dimaksud
adalah keterikatan dirinya dengan
alquran dalam kehidupan, berusaha
untuk memahami dan mengamalkan
alquran 5. firman alloh 'azza wa jalla
"Barangsiapa yang mengerjakan amal
saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan sesungguhnya akan
Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan" annahl :
97 kebahagiaan tidaklah diukur dari fisik,
atau harta yang melimpah, akan tetapi
kebahagiaan didapatkan ketika
melakukan keta'atan dan amalan yang
mendekatkan diri kepada Alloh 6. sungguh mengherankan perkara
mumin dan segalanya baik, bersabar
ketika ditimpa mushibah dan
bersyukur ketika diberikan keni'matan
dan ditanyakan kepada syaikh al-islam
ibn taimiyyah, tentang mana yang lebih utama antara orang miskin yang
bersabar atau kaya yang bersyukur,
dan yang lebih utama adalah yang
lebih bertaqwa kepada alloh, jika sama
dalam hal ketaqwaan, maka sama2
kemuliaanya di sisi Alloh 7, berkata ibnul qoyyim tentang tanda-
tanda kebahagiaan, sabar, syukur, dan
istighfar
sabar ketika ditimpa kekurangan,
syukur ketika diberikan kelebihan, dan
istighfar ketika berbuat dosa 8. setiap anak adam berbuat salah, dan
sebaik-baik orang yang bersalah
adalah yang bertaubat 9. firman Alloh dalam surat
attaghobun:11 "Tidak ada suatu musibah pun yang
menimpa seseorang kecuali dengan ijin
Allah; dan barangsiapa yang beriman
kepada Allah niscaya Dia akan memberi
petunjuk kepada hatinya. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu. " dan berkata sebagian salaf, jika
seorang mu'min ditimpa mushibah
maka dia mengetahui bahwasanya itu
dari alloh, sabar dan ridlo kemudian
berlaku taslim (tunduk), hendaklah
kembali kepada keimanan dalam segala kondisi atau keadaan baik
ditimpa musibah ataupun diberikan
kenikmatan firman alloh 'azza wajalla arro'd : 28
"yaitu orang-orang yang beriman dan
hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya
dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram." 10. kebahagiaan tersusun atas iman
dan amal shalih, 11. menjadi ta'at bukan karena
kepintaran, kecerdasan, dan
kehebatan diri manusia akan tetapi
hendaklah menanyakan kepada
keimanan, dan keimanan akan
mengatakan hal itu semata-mata karena karunia dan keutamaan dari
Alloh firman alloh dalam surat annur : 21 "Sekiranya tidaklah karena kurnia
Allah dan rahmat-Nya kepada kamu
sekalian, niscaya tidak seorangpun dari
kamu bersih (dari perbuatan-
perbuatan keji dan mungkar itu)
selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui." alhujurat:7 dan 17, "tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta'
kepada keimanan dan menjadikan
keimanan itu indah di dalam hatimu
serta menjadikan kamu benci kepada
kekafiran, kefasikan, dan
kedurhakaan. Mereka itulah orang- orang yang mengikuti jalan yang lurus,
" " Mereka merasa telah memberi nikmat
kepadamu dengan keislaman mereka.
Katakanlah: "Janganlah kamu merasa
telah memberi nikmat kepadaku
dengan keislamanmu, sebenarnya
Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu
kepada keimanan jika kamu adalah
orang-orang yang benar." semua kenikmatan adalah karena
taufik dariNya sehingga manusia bisa
mengerjakan kebaikan, mendapatkan
kebaikan, atau menghindari
keburukan 12.firman alloh dalam surat ibrahim :7 "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; "Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan
jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" 13 firman alloh 'azza wajalla
albaqoroh : 155 "Dan sungguh akan Kami berikan
cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar. " 14, betapa banyak dosa yang
menyebabkan pelakunya masuk surga
dan betapa banyak keta'atan yang
menyebabkan pelakunya masuk
neraka syaikh menyebutkan hadits yang
menceritakan tiga golongan orang
yang dinyalakan api neraka pertama
kali adalah
pembaca alquran yang ingin dikatakan
qori, orang yang berjihad yang ingin dikatakan mujahid, dan orang yang
berinfaq ingin dikatakan munfiq, apabila niat yang berubah dan
tergantikan sifat riya', sum'ah dan ujub
yang akan membinasakan amalan 15. ibnul qoyyim menyebutkan tanda2
kebahagian yaitu kalau seseorang
menjadikan kebaikan di belakang
punggungnya (tidak pernah
ditengok2) dan menjadikan maksiat di
hadapan matanya (selalu kelihatan di hadapannya) dan alamat kebinasaaan/kecelakaan
yaitu menjadikan kejelekan di
belakangnya dan menjadikan
kebaikan selalu ada dihadapn
matanya, dan ini adalah musibah,
ketika seseorang mengungkit2 dan mengingat2 kebaikan2 yang pernah
dikerjakan, dan melupakan dosa,
tertimpa padanya penyakit ujub, dan
sia-sia di sisi alloh 'azza wajalla 16. dan hendaklah senantiasa
beristighfar dan menjadikan segala
keburukan di depannya agar terhindar
dari sifat ujub dan kejelekan2 yang
dilakukan 17. di antara memperoleh kebahagiaan
adalah memperhatikan adab dan
akhlaq sebagaimana sabda rasululloh,
"sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlaq2 yang
mulia" ketika rasululloh ditanya apakah
amalan yang paling berat
timbangannya, maka Nabi menjawab,
takwa kepada Alloh dan baiknya
Akhlaq berusaha menjauhkan lisan dan sikap
dari menyakiti orang lain, sombong,
tidak peduli orang lain, sering melaknat
dan menyakiti orang lain, hilang akhlaq
darinya, maka orang-orang demikian
menjadi sengsara, bahkan akan membuat orang di sekitarnya sengsara. maka hendaknya berhias dengan
akhlaq nabi dan ketika berakhlaq
mulia itu dilakukan karena ikhlas
bukan karena ingin mengharapkan
pujian, sabda rasululloh "bukanlah sifat orang
mu'min yang banyak mencela,
melaknat, berkata2 keji dan buruk" firman alloh surat addahr ayat 9 "Sesungguhnya kami memberi
makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan Wajah Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih. " dan dalam segala niat ingin berbuat
keburukan hendaklah senantiasa takut
kepada Alloh bukan karena takut
kepada manusia 18. syaikh menyebutkan kitab dan
menyarankan agar mempelajari kitab
zadul ma'ad lil imam ibnil qoyyim, syaikh menyebutkan di antara
perkara-perkara yang merupakan
sebab-sebab mendapatkan
kebahagiaan. 1) tauhid
2) ilmu
3) inabah ilalloh, kembali kepada Alloh
4) dawamu adzdzikri, senantiasa
berdzikir
5) berbuat baik 6) asysyaja'ah (berani)
7) mengeluarkan sifat-sifat tercela dari
dalam hati
8) menghindari diri dari perkara
berlebihan dalam beberapa perkara,
seperti tidur, makan, ngobrol dan lain sebagainya 19 do'a qunut yang biasa di baca nabi َﻚِﺋﺎَﻣِﺇ ْﻮُﻨَﺑ َﻙِﺪْﻴِﺒَﻋ ْﻮُﻨَﺑ َﻙُﺪْﻴِﺒَﻋ ُﻦْﺤَﻧ َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ ﺎَﻨْﻴِﻓ ٌﻝْﺪَﻋ َﻚُﻤْﻜُﺣ ﺎَﻨْﻴِﻓ ٍﺽﺎَﻣ َﻙِﺪَﻴِﺑ ﺎَﻨْﻴِﺻﺍَﻮَﻧ َﺖْﻴَّﻤَﺳ َﻚَﻟ َﻮُﻫ ٍﻢْﺳﺍ ِّﻞُﻜِﺑ َّﻢُﻬَّﻠﻟَﺍ َﻚُﻟَﺄْﺴَﻧ َﻙُﺅﺎَﻀَﻗ ﺍًﺪَﺣَﺃ ُﻪَﺘْﻤَّﻠَﻋ ْﻭَﺃ َﻚِﺑﺎَﺘِﻛ ْﻲِﻓ ُﻪَﺘْﻟَﺰْﻧَﺃ ْﻭَﺃ َﻚَﺴْﻔَﻧ ِﻪِﺑ ِﺐْﻴَﻐﻟﺍ ِﻢْﻠِﻋ ْﻲِﻓ ِﻪِﺑ َﺕْﺮَﺛْﺄَﺘْﺳﺍ ِﻭَﺃ َﻚِﻘْﻠَﺧ ْﻦِﻣ ﺎَﻨِﺑْﻮُﻠُﻗ َﻊْﻴِﺑَﺭ َﻢْﻴِﻈَﻌْﻟﺍ َﻥﺁْﺮُﻘْﻟﺍ َﻞَﻌْﺠَﺗ ْﻥَﺃ َﻙَﺪْﻨِﻋ ﺎِﻨِﻣْﻮُﻤُﻫ َﺏﺎَﻫَﺫَﻭ ﺎَﻨِﻧﺍَﺰْﺣَﺃ َﺀَﻼَﺟَﻭ ﺎَﻧِﺭْﻭُﺪُﺻ َﺭْﻮُﻧَﻭ ِﺕﺎَّﻨَﺟ َﻚِﺗﺎَّﻨَﺟ ﻰَﻟِﺇ ﺎَﻧَﺪِﺋﺎَﻗَﻭ ﺎَﻨَﻘِﺋﺎَﺳَﻭ ﺎَﻨِﻣْﻮُﻤُﻏَﻭ ِﻢْﻴِﻌَّﻨﻟﺍ Ya Allah, kami adalah hamba-hamba-
Mu, anak dari hamba-hamba-Mu laki-
laki dan perempuan, ubun-ubun kami
berada dalam tangan-Mu, telah berlaku
atas kami hukum-Mu, adil pasti atas
kami keputusan-Mu, kami memohon kepada-Mu dengan menggunakan
semua nama yang menjadi milik-Mu
dan Engkau namakan diri-Mu
dengannya, atau nama yang Engkau
turunkan dalam kitab suci-Mu, atau
yang Engkau ajarkan kepada salah satu di antara hamba-Mu, atau dengan
nama yang Engkau simpan dalam
rahasia ghaib di sisi-Mu, jadikanlah Al-
Qur’an yang agung ini taman bunga sepanjang musim di hati kami, jadikan
ia cahaya di dada-dada kami, pelipur
lara dan penghapus gulana, jadikan
pula ia pembimbing kami menuju
surga-Mu yang penuh kenikmatan terkandung padanya 4 qoidah penting
1) tauhid ubudiyyah "Ya Allah, kami
adalah hamba-hamba-Mu, anak dari
hamba-hamba-Mu laki-laki dan
perempuan, ubun-ubun kami berada
dalam tangan-Mu" 2) iman qodlo qodor ", telah berlaku
atas kami hukum-Mu, adil pasti atas
kami keputusan-Mu"
3) tawasul dengan asma wa sifat ,
"kami memohon kepada-Mu dengan
menggunakan semua nama yang menjadi milik-Mu@
4) inayah bil quran, memohon
pertolongan Alloh dengan sebab
Alquran "jadikanlah Al-Qur ’an yang agung ini taman bunga sepanjang
musim di hati kami" 20 dan syaikh menutup dengan
ucapan dan akhir dakwah kami bahwa
pujian bagi alloh tuhan semesta alam
dan pada nabi muhammad dan para
pengikutnya sekalian segala puji bagi Alloh, selesai sudah di
antara beberapa hal yang disampaikan
oleh syaikh abdurrozzaq albadr di
masjid istiqlal 1 shafar 1431 hijriah, 17
januari 2010, 09.00 - 11.00 WIB, dan
setelah itu dilanjutkan dengan tanya jawab, dan saya tidak menyebutkan di
sini apa-apa yang benar datangnya dari
Allah dan apa-apa yang salah
datangnya dari saya pribadi dan
syaithon, mohon koreksinya kalau ada
yang tidak sesuai dengan apa yang
syaikh sampaikan saya banyak mengambil faedah dari
rekaman yang diupload di http://www.mudha.web.id/download-
audio-tabligh-akbar-syaikh-prof-dr-
abdur-rozzaq-bin-abdul-muhsin-al-
badr-hafizhahullah-di-masjid-istiqlal/

Minggu, 24 April 2011

Hukum teroris

Tidaklah diragukan bahwa
siapa yang membaca dan
memahami pembahasan-
pembahasan yang telah lalu
seputar keindahan Islam dan
tuntunan syari’at dalam
masalah jihad, maka ia akan
dapat menarik kesimpulan
pasti dan meyakinkan bahwa
terorisme dengan makna yang
banyak dibicarakan saat ini
adalah sesuatu hal yang
diharamkan dan tercela dalam
pandangan syari’at Islam.
Bagaimana mungkin agama
kita membolehkan terorisme
sementara nash-nash dari Al-
Qur`ân dan As-Sunnah
menjelaskan bahwa Islam
sangat menegakkan keamanan
dan menyeru manusia untuk
mengadakan perbaikan dan
melarang dari berbuat
kerusakan di muka bumi.
Terorisme yang dasarnya
adalah kesewenang-wenangan
terhadap manusia sangat
bertentangan dengan prinsip-
prinsip agama yang dibangun
di atas keadilan.
Dan terorisme yang sifatnya
kekerasan, menghancurkan,
merusak, dst… sangatlah
bertolak belakang dengan
syari’at Islam yang penuh
rahmat dan kebaikan bagi
manusia.
Karena itu hukum Islam
terhadap pelaku terorisme
sangatlah keras dan tegas.
Perhatikan hukum Islam
tersebut diterangkan dalam
keputusan Majelis Hai‘ah Kibâr
‘Ulama (Lembaga Ulama Besar)
No.148 tanggal 12/1/1409 H
(9/5/1998 M) yang dimuat oleh
majalah Majma’ Al-Fiqh Al-
Islâmy edisi 2 hal.181 dan
majalah Al-Buhûts Al-Islâmiyah
edisi 24 hal.384-387, dengan
persetujuan dan tanda tangan
para anggota majelis seperti
Syaikh Ibnu Bâzz, Syaikh Ibnu
‘Utsaimîn, Syaikh ‘Abdul ‘Azîz
Âlu Asy-Syaikh, Syaikh Shôlih Al-
Fauzân, Syaikh Shôlih Al-
Luhaidân dan 12 anggota yang
lainnya.
ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ ﻭﺍﻟﻌﺎﻗﺒﺔ
ﻟﻠﻤﺘﻘﻴﻦ،ﻭﻻ ﻋﺪﻭﺍﻥ ﺇﻻ ﻋﻠﻰ
ﺍﻟﻈﺎﻟﻤﻴﻦ.ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺑﺎﺭﻙ
ﻋﻠﻰ ﺧﻴﺮ ﺧﻠﻘﻪ ﺃﺟﻤﻌﻴﻦ،ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ
ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﺃﺟﻤﻌﻴﻦ ﻭﻣﻦ
ﺍﻫﺘﺪﻯ ﺑﻬﺪﻳﻪ ﺇﻟﻰ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ.ﻭﺑﻌﺪ :
Majelis Hai`ah Kibâr ‘Ulama
dalam sidangnya yang ke-32
yang diselenggarakan di kota
Thâ`if dari tanggal
8-12/1/1409 H, berdasarkan
bukti-bukti yang kuat
berkaitan dengan banyaknya
aksi-aksi perusakan yang telah
menelan korban yang sangat
banyak dari kalangan orang-
orang yang tidak berdosa dan
telah rusak karenanya (sesuatu
yang) banyak dari harta benda,
hak-hak milik maupun fasilitas-
fasilitas umum baik di negeri-
negeri Islam maupun yang di
negeri lain yang dilakukan oleh
orang-orang yang lemah atau
hilang imannya dari orang-
orang yang memiliki jiwa yang
sakit dan dendam. Diantaranya
menghancurkan rumah-rumah
dan membakarnya baik
tempat-tempat umum maupun
yang khusus, menghancurkan
jembatan-jembatan dan
terowongan-terowongan,
peledakan pesawat atau
membajaknya. Melihat
kejadian-kejadian seperti ini,
beberapa negara baik yang
dekat maupun yang jauh dan
karena Arab Saudi sama
seperti negara-negara lainnya,
memiliki kemungkinan akan
diserbu oleh aksi-aksi
perusakan ini, maka Majelis
Hai`ah Kibâr ‘Ulama melihat
sangat pentingnya
menetapkan hukuman bagi
pelakunya sebagai langkah
preventif untuk mencegah
orang-orang dari melakukan
gerakan perusakan, baik
gerakan tersebut dilakukan
terhadap tempat-tempat
umum dan sarana-sarana milik
pemerintah maupun ditujukan
kepada yang lainnya dengan
tujuan untuk merusak dan
mengganggu keamanan dan
ketentraman.
Majelis telah meneliti apa yang
disebutkan oleh para ulama
bahwa hukum-hukum syari’at
secara umum mewajibkan
untuk menjaga 5 perkara
pokok dan memperhatikan
sebab-sebab yang menjaga
kelestarian dan
keselamatannya, yaitu : agama,
jiwa, kehormatan, akal dan
harta. Dan Majelis telah
memperoleh gambaran akan
bahaya-bahaya yang sangat
besar yang timbul akibat
Jarîmah (perbuatan keji)
pelampauan batas terhadap
Hurumât (hak-hak suci) kaum
muslimin pada jiwa,
kehormatan dan harta mereka
dan apa-apa yang disebabkan
oleh aksi-aksi perusakan ini
berupa hilangnya rasa
keamanan umum dalam
negara, timbulnya kekacauan
dan kegoncangan dan
membuat takut kaum muslimin
pada dirinya maupun harta
bendanya.
Allah ‘Azza wa Jalla menjaga
manusia; agama, badan, jiwa,
kehormatan, akal dan harta
bendanya dengan
disyari’atkannya hudûd
(hukum-hukum ganjaran) dan
uqûbah (hukuman balasan)
yang akan menciptakan
keamanan secara umum dan
khusus.
Dan di antara yang
menjelaskan hal tersebut
adalah firman Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ,
“Oleh karena itu Kami tetapkan
(suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa : barangsiapa yang
membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka
seakan-akan dia telah
membunuh manusia
seluruhnya”. (QS. Al-Mâ`idah :
32).
Dan firman-Nya Subhânahu wa
Ta’âlâ,
“Sesungguhnya pembalasan
terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya
dan membuat kerusakan di
muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik
(secara bersilangan), atau
dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian
itu (sebagai) suatu penghinaan
untuk mereka di dunia, dan
bagi mereka di akhirat siksaan
yang besar”. (QS. Al-Mâ`idah :
33).
Dan penerapan hal tersebut
merupakan jaminan untuk
meratakan (menyebarkan) rasa
aman dan ketentraman dan
mencegah orang yang akan
menjerumuskan dirinya dalam
perbuatan dosa dan
melampaui batas tehadap
kaum muslimin pada jiwa-jiwa
dan harta benda mereka. Dan
jumhûr (kebanyakan) ulama
berpendapat bahwasanya
hukum muhârabah
(memerangi pembuat
kerusakan) di kota-kota dan
selainnya adalah sama, dengan
dalil firman Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ,
“Dan berupaya membuat
kerusakan di muka bumi”. (QS.
Al-Mâ`idah : 64)
Dan Allah Ta’âlâ berfirman,
“Dan di antara manusia ada
orang yang ucapannya tentang
kehidupan dunia menarik
hatimu, dan dipersaksikannya
kepada Allah (atas kebenaran)
isi hatinya, padahal ia adalah
penantang yang paling keras.
Dan apabila ia berpaling (dari
kamu), ia berjalan di bumi
untuk mengadakan kerusakan
padanya, dan membinasakan
tanam-tanaman dan binatang
ternak, dan Allah tidak
menyukai perusakan”. (QS. Al-
Baqarah : 204-205).
Dan (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Dan janganlah kamu
membuat kerusakan di muka
bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya”.(QS. Al-A’râf :
56,85).
Berkata Ibnu Katsir
rahimahullahu Ta’âlâ, “(Allah)
telah melarang membuat
kerusakan di muka bumi dan
apa-apa yang
membahayakannya setelah
diperbaikinya karena
sesungguhnya apabila
perkara-perkara berjalan di
atas As-Sadâd (lurus dan baik)
kemudian terjadi kerusakan
setelah itu maka itu adalah
sesuatu yang paling berbahaya
atas para hamba maka (Allah)
Ta’âlâ melarang hal tersebut”.
Dan berkata Al-Qurthuby,
“(Allah) Subhânahu wa Ta’âlâ
melarang setiap kerusakan
sedikit maupun banyak setelah
perbaikan yang sedikit
maupun banyak maka hal ini
(berlaku) secara umum
menurut (pendapat) yang
benar dari berbagai pendapat
(yang ada)”.
Berdasarkan penjelasan di atas
dan karena apa yang telah lalu
penjelasannya melampaui
perbuatan-perbuatan para
perusak, yang mereka itu
memiliki target-target khusus,
dimana mereka mengejar
hasilnya berupa harta benda
atau kehormatan, dan karena
sasaran mereka (para pelaku
teror itu,-pent.) adalah
mengganggu keamanan dan
merobohkan bangunan umat
dan membongkar aqidahnya
dan melencengkannya dari
manhaj Rabbâny (manhaj yang
haq), maka majelis dengan
sepakat memutuskan (hal-hal)
sebagai berikut :
Pertama : Siapa yang terbukti
secara syar’i melakukan suatu
perbuatan dari perbuatan-
perbuatan terorisme dan
membuat kerusakan di muka
bumi yang menyebabkan
gangguan keamanan dan
menganiaya jiwa-jiwa dan
harta benda baik milik khusus
maupun yang milik umum
seperti menghancurkan
rumah-rumah, mesjid-mesjid,
sekolah-sekolah atau rumah
sakit, pabrik-pabrik, jembatan-
jembatan, gudang-gudang
senjata, penampungan-
penampungan air, fasilitas-
fasilitas umum untuk baitul mal
seperti saluran-saluran/pipa-
pipa minyak, dan
menghancurkan pesawat atau
membajaknya dan yang
semacamnya, maka
hukumannya adalah dibunuh
berdasarkan kandungan ayat-
ayat di atas bahwasanya
perusakan di muka bumi yang
seperti ini mengharuskan
penumpahan darah si perusak.
Dan karena bahaya dan
kerusakan yang dilakukan oleh
orang-orang yang melakukan
perbuatan-perbuatan
perusakan adalah lebih besar
dari bahaya dan kerusakan
pembegal jalanan yang
melampaui batas kepada
seseorang lalu membunuh dan
merampas hartanya, maka
Allah telah menetapkan
hukumannya dalam apa yang
tersebut dalam ayat Al-Harabah
(QS. Al-Mâ`idah : 33 di atas,-
pent.).
Kedua : Bahwasanya sebelum
menjatuhkan hukuman
sebagaimana point di atas
(yaitu dibunuh-pent.), harus
menyempurnakan Al-Ijrâ`ât
(urusan, administrasi)
pembuktian yang lazim di
Pengadilan-pengadilan syari’at,
Hai‘ah At-Tamyîz dan
Mahkamah Agung dalam
rangka barâ`atun lidzdzimmah
(pertanggungjawaban di
hadapan Allah) dan kehati-
hatian terhadap nyawa. Dan
untuk menunjukkan
bahwasanya negeri ini (Arab
Saudi,-pent.) terikat dengan
segala ketentuan syari’at untuk
membuktikan kejahatan dan
menetapkan hukumannya.
Ketiga : Majelis memandang
perlunya memberitakan
tentang hukuman ini melalui
media massa.
Salam dan shalawat semoga
senantiasa terlimpahkan
kepada hamba dan Rasul-Nya,
Nabi kita Muhammad dan
kepada keluarga dan
shahabatnya.
Majelis Hai‘ah Kibâr ‘Ulama
Sumber : http://
jihadbukankenistaan.com/
terorisme/hukum-terorisme-
dan-pelakunya.html

Jumat, 08 April 2011

Manhaj Salaf adalah yang Wajib Kita Ikuti sampai Hari Kiamat

Manhaj Salaf adalah yang Wajib Kita
Ikuti sampai Hari Kiamat Oleh: Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdillah bin Fauzan Al-Fauzan Soal: Ada sebagian orang yang meyakini
kalau manhaj Ahlus Sunnah wal
Jama’ah tidak lagi sesuai untuk masa sekarang ini, berdalil bahwa
ketentuan-ketentuan syari’at yang diyakini Ahlus Sunnah wal Jama ’ah tidak mungkin akan bisa
terealisasikan sekarang ini? Jawab: Yang mengatakan bahwa manhaj
Salaf Sholih tidak lagi sesuai dengan
zaman maka dia termasuk seorang
yang sesat dan meyesatkan, karena
manhaj Salaf Sholih adalah manhaj
yang Allah memerintahkan kita untuk mengikutinya sampai hari
kiamat. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ﺎًﻓَﻼِﺘْﺧﺍ ﻯَﺮَﻳ َﻑْﻮَﺴَﻓ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ْﺶِﻌَﻳ ْﻦَﻣ ُﻪَّﻧِﺈَﻓ ِﺀﺎَﻔَﻠُﺨْﻟﺍ ِﺔَّﻨُﺳَﻭ ﻲِﺘَّﻨُﺴِﺑ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻌَﻓ ﺍًﺮﻴِﺜَﻛ ﺎَﻬِﺑ ﺍﻮُﻜَّﺴَﻤَﺗ ﻱِﺪْﻌَﺑ ْﻦِﻣ َﻦﻴِّﻳِﺪْﻬَﻤْﻟﺍ َﻦْﻳِﺪِﺷﺍَّﺮﻟﺍ ِﺬِﺟﺍَﻮَّﻨﻟﺎِﺑ ﺎَﻬْﻴَﻠَﻋ ﺍﻮُّﻀَﻋَﻭ “Barangsiapa yang masih hidup di antara kalian, maka dia akan
mendapati perselisihan yang
banyak, maka wajib bagi kalian
untuk mengikuti sunnahku dan
sunnah para khulafaur rasyidin
yang mendapat petunjuk sesudahku, berpegang teguhlah
dan gigitlah sunnah itu dengan gigi
geraham.” (Sabda beliau) adalah seruan
kepada umat sampai hari kiamat.
Hal ini menunjukkan keharusan
untuk berjalan di atas manhaj salaf,
dan menunjukkan bahwa manhaj
salaf adalah cocok di setiap waktu dan tempat. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman: َﻦﻳِﺮِﺟﺎَﻬُﻤْﻟﺍ َﻦِﻣ َﻥﻮُﻟَّﻭَﻷﺍ َﻥﻮُﻘِﺑﺎَّﺴﻟﺍَﻭ َﻲِﺿَّﺭ ٍﻥﺎَﺴْﺣِﺈِﺑ ْﻢُﻫﻮُﻌَﺒَّﺗﺍ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍَﻭ ِﺭﺎَﺼْﻧَﻷﺍَﻭ ٍﺕﺎَّﻨَﺟ ْﻢُﻬَﻟ َّﺪَﻋَﺃَﻭ ُﻪْﻨَﻋ ﺍﻮُﺿَﺭَﻭ ْﻢُﻬْﻨَﻋ ُﻪﻠﻟﺍ ﺍًﺪَﺑَﺃ ﺎَﻬﻴِﻓ َﻦﻳِﺪِﻟﺎَﺧ ُﺭﺎَﻬْﻧَﺃ ﺎَﻬَﺘْﺤَﺗ ﻯِﺮْﺠَﺗ َﻚِﻟَﺫ ُﻢﻴِﻈَﻌْﻟﺍ ُﺯْﻮَﻔْﻟﺍ “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)
di antara orang-orang muhajirin
dan anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan
mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya; mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang
besar.” (At-Taubah: 100) Dan “orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” mencakup umat sampai hari kiamat. Maka
wajib bagi mereka untuk mengikuti
manhaj orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar. Dan Imam Malik rahimahullah mengatakan:
“Tidak akan menjadi baik umat ini kecuali dengan hal yang
memperbaiki pendahulunya.” Orang-orang yang ingin
memisahkan umat dari
pendahulunya, dan memisahkan
umat dari Salaf Shalih maka mereka
ingin menebarkan keburukan pada
kaum muslimin, menginginkan perubahan agama Islam ini, dan
berbuat bid’ah dan penyimpangan. Maka hal ini wajib untuk ditolak dan
dibantah hujjahnya, serta ditahdzir
dari keburukannya. Karena wajib
untuk komitmen dengan manhaj
salaf, dan berqudwah dengan para
salaf, dan berjalan di atas manhaj salaf, sebagaimana yang
disebutkan dalam Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah seperti yang
sudah kita sebutkan. Maka orang
yang mau memutuskan antara
orang yang datang kemudian dari umat ini dengan pendahulunya, dia
telah membuat kerusakan di muka
bumi yang harus ditolak
ucapannya, dibantah serta
ditahdzir. Dan yang dikenal dengan
perkataan jelek seperti ini adalah orang-orang Syi’ah dan pengekornya dari orang-orang
yang sesat. Maka tidak perlu
diindahkan ucapannya.[1] Footnote: [1] Majalah Ad-Dakwah, no. 2120,
19 Dzul Qa’dah 1428H. (Dinukil dari Majalah An-Nashihah,
vol. 13 tahun 1429H/2008M, judul:
Manhaj Salaf adalah yang Wajib Kita
Ikuti sampai Hari Kiamat, hal. 9-10,
untuk http://almuslimah.co.nr/ )

Rabu, 06 April 2011

Kunci Surga

Penulis: Al-Ustadz Agus Su ’aidi As- Sidawy
--------------------------------------------------------------------------------
Bismillah.
Ibarat sebuah pintu, surga
menbutuhkan sebuah kunci untuk
membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah Anda apa kunci surga itu ?
Bagi yang merindukan surga, tentu
akan berusaha mencari kuncinya
walaupun harus mengorbankan
nyawa.
Ibarat sebuah pintu, surga menbutuhkan sebuah kunci untuk
membuka pintu-pintunya. Namun,
tahukah Anda apa kunci surga itu ?
Bagi yang merindukan surga, tentu
akan berusaha mencari kuncinya
walaupun harus mengorbankan nyawa. Tetapi anda tak perlu gelisah, Nabi
Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada
umatnya apa kunci surga itu,
sebagaimana tersebut dalam
sebuah hadits yang mulia, beliau
bersabda (yang artinya): “Barang siapa mengucapkan kalimat Laa
ilaaha illalloh dengan penuh
keikhlasan, maka dia akan masuk
surga. “ (HR. Imam Ahmad dengan sanad
yang shohih). Ternyata, kunci surga itu adalah Laa
ilaahaa illalloh, kalimat Tauhid yang
begitu sering kita ucapkan. Namun
semudah itukah pintu surga kita
buka ? Bukankah banyak orang
yang siang malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh, tetapi
mereka masih meminta-minta
(berdo’a dan beribadah) kepada selain Allah, percaya kepada
dukun-dukun dan melakukan
perbuatan syirik lainnya ? Akankah
mereka ini juga bisa membuka
pintu surga ? Tidak mungkin ! Dan ketahuilah, yang namanya
kunci pasti bergerigi. Begitu pula
kunci surga yang berupa Laa ilaaha
illalloh itu, ia pun memiliki gerigi.
Jadi, pintu surga itu hanya bisa
dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi. Al-Iman Al-Bukhori meriwayatkan
dalam Shohih-nya (3/109), bahwa
seseorang pernah bertanya kepada
Al-Imam Wahab bin Munabbih
(seorang Tabi’in terpercaya dari Shon’a yang hidup pada tahun 34-110 H) : “Bukankah Laa ilaaha illalloh itu kunci surga ? “Wahab menjawab : “Benar, akan tetapi setiap kunci yang bergerigi. Jika
engkau membawa kunci yang
bergerigi, maka pintu surga itu
akan di bukakan untukmu !”. Lalu, apa gerangan gerigi kunci itu
Laa ilaaha illalloh itu ? Ketahuilah,
gerigi kunci Laa ilaaha illalloh itu
adalah syarat-syarat Laa ilaaha
illalloh ! Syaikh Abdurrahman bin
Muhammad bin Qoshim Al-Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun
kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul,
pada halaman 52 kitab tersebut
menyatakan, syarat-syarat Laa
ilaaha illalloh itu ada delapan, yaitu : Pertama : Al-‘Ilmu (mengetahui), maksudnya adalah Anda harus
mengetahui arti (makna) Laa ilaaha
illalloh secara benar. Adapun
artinya adalah : “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali
Allah”. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan
yang berhak disembah kecuali
Allah, niscaya dia akan masuk
surga.” (HR. Muslim).
Seandainya Anda mengucapkan
kalimat tersebut, tetapi anda tidak
mengerti maknanya, maka ucapan
atau persaksian tersebut tidak sah
dan tidak ada faedahnya. Kedua : Al-Yaqiinu (meyakini),
maksudnya adalah anda harus
menyakini secara pasti kebenaran
kalimat Laa ilaaha illalloh tanpa ragu
dan tanpa bimbang sedikitpun.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah
kecuali Allah dan aku adalah utusan
Allah. Tidaklah seorang hamba
bertemu dengan Allah sambil
membawa dua kalimat syhadat
tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.
(HR. Muslim). Ketiga : Al-Qobulu (manerima),
maksudnya Anda harus menerima
segala tuntunan Laa ilaaha illalloh
dengan senang hati, lisan dan
perbuatan, tanpa menolak
sedikitpun. Anda tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang di
gambarkan oleh Allah dalam Al-
Qur’an (yang artinya): “Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka :
(ucapkanlah) Laa ilaaha illalloh,
mereka menyombongkan diri
seraya berkata : Apakah kita harus
meninggalkan sesembahan-
sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini ? “ (QS. As-Shoffat : 35-36). Keempat : Al-Inqiyaadu (tunduk
atau patuh), maksudnya Anda
harus tunduk dan patuh
melaksanakan tuntunan Laa ilaaha
illalloh dalam amal-amal nyata. Allah
subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Kembalilah ke jalan Tuhanmua, dan tunduklah kepada-Nya. “ (QS. Az-Zumar : 54).
Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya):
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah,
sedang dia orang yang berbuat
kebaikan, maka sesungguhnya ia
telah berpegang pada buhul
(ikatan) tali yang amat kokoh
(yakni kalimat Laa ilaaha illalloh). “(QS. Luqman : 22). Makna “menyerahkan dirinya kepada Allah ” yaitu tunduk, patuh dan pasrah kepada-Nya (ed.). Kelima : Ash-Shidqu (jujur atau
benar), maksudnya Anda harus
jujur dalam melaksanakan tuntutan
Laa ilaaha illalloh, yakni sesuai
antara keyakinan hati dan amal
nyata, tanpa di sertai kebohongan sedikitpun. Nabi Sholallahu ‘alahi wa sallam bersabda (yang artinya) :
“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang
berhak di sembah kecuali Allah dan
Muhammad itu adalah hamba dan
utusan-Nya, dia mengucapkannya
dengan jujur dari lubuk hatinya,
melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya. “ (HR. Imam Bukhori dan Muslim). Keenam : Al-Ikhlas (ikhlas atau
murni), maksudnya Anda harus
membersihkan amalan Anda dari
noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain), dan
berbagai amalan kesyirikan lainnya.
Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang
yang mengucapkan Laa ilaaha
illalloh semata-mata hanya untuk
mengharapkan wajah Allah Azza
wa Jalla. “(HR. Imam Bukhori dan Muslim). Ketujuh : Al-Mahabbah (mencintai),
maksudnya anda harus mencintai
kalimat tauhid, tuntunannya, dan
mencintai juga kepada orang-orang
yang bertauhid dengan sepenuh
hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan di antara manusia ada yang menbuat
tandingan-tandingan (sekutu)
selain Allah yang di cintai layaknya
mencintai Allah. Sedangkan orang-
orang yang beriman, sangat
mencintai Allah diatas segala- galanya). “ (QS. Al-Baqarah : 165). Dari sini kita
tahu, Ahlut Tauhid mencintai Allah
dengan cinta yang tulus bersih.
Sedangkan Ahlus Syirik mencintai
Allah dan mencintai tuhan-tuhan
yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi
kandungan Laa ilaaha illalloh.(ed,). Kedelapan : Al-Kufru bimaa siwaahu
(mengingkari sesembahan yang
lainnya), maksudnya Anda harus
mengingkari segala sesembahan
selain Allah, yakni tidak
mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga Anda
harus yakin bahwa seluruh
sesembahan selain Allah itu batil
dan tidak pantas disembah-
sembah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan (yang artinya): “Maka barang siapa mengingkari thoghut
(sesembahan selain Allah) dan
hanya beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya dia telah berpegang
teguh pada ikatan tali yang amat
kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh), yang tidak akan
putus….”(QS. Al-Baqoroh : 256). Saudaraku kaum muslimin dari sini
dapatlah anda ketahui, bahwa
orang yang mengucapkan kalimat
Laa ilaaha illalloh hanya dengan
lisannya tanpa memenuhi syarat-
syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci tak bergerigi,
sehingga mustahil baginya untuk
membuka pintu surga, walaupun
dia mengucapkannya lebih dari
sejuta banyaknya. Karena itu
perhatikanlah ! Wallahu a’lamu bish showwab !. Dinukil dari bulletin Dakwah Al-
Bayyinah, edisi 07/02/20, diolah
dan disusun kembali oleh Abu
Abdirrahman.
(BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH,
Surabaya Edisi : 13 / Shafar / 1425)

Mendulang pelajaran Akhlak dari Ulama sunnah

(Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr, hafizhahullah) Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda Mengenai Syaikh Abdurrozzaq, sebagaimana pengakuan sebagian teman yang pernah dekat dengan beliau, bahwasanya beliau bukanlah orang yang paling ‘alim di kota Madinah, bahkan bukan pula orang yang paling ‘alim di Universitas Islam Madinah, karena pada kenyataannya masih banyak ulama lain lebih unggul daripada beliau dari sisi keilmuan. Akan tetapi yang menjadikan beliau istimewa di hati para mahasiswa adalah perhatian beliau terhadap amal, takwa, dan akhlak. Hal ini tidak mengherankan karena seringkali wejangan-wejangan beliau tentang perhatian pada mengamalkan ilmu. Selama kurang lebih 9 tahun, beliau mengajar sebuah kitab tentang adab karya Imam Al-Bukhari yang berjudul Al-Adab Al-Mufrad di masjid Universitas Islam Madinah, setiap hari Kamis setelah shalat Shubuh. Selama tiga tahun beliau mengajar kitab yang sama di Masjid Nabawi. Ini semua menunjukkan perhatian beliau terhadap adab dan akhlak mulia. Bahkan, saat beliau mengisi di Radiorodja dan waktu itu tidak ada materi yang siap untuk disampaikan, serta kebetulan salah seorang pembawa acara ingin ada pengajian khusus tentang tanya jawab dengan diberi sedikit mukadimah, maka beliau
langsung setuju, dan mukadimah yang beliau bawakan adalah tentang pentingnya mengamalkan ilmu.Orang yang Tidak Shalat Shubuh
Berjamaah Bukanlah Penuntut Ilmu Syaikh Abdurrozaq pernah
mengunjungi suatu kampung yang
terkenal memiliki banyak penuntut
ilmu. Maka beliau pun shalat di masjid
tersebut. Di sana, beliau bertemu
seorang kakek, lantas beliau berkata seraya memberi kabar gembira
kepada sang Kakek, “Masya Allah, kampung Kakek banyak sekali
penuntut ilmu.” Tapi, sang Kakek malah menimpali
dengan perkataan sinis, “Tidak ada tullabul ‘ilm (para penuntut ilmu) di kampung ini. Sebab, orang yang tidak
shalat shubuh berjamaah bukan
penuntut ilmu!” Syaikh Abdurrozaq tertegun
mendengar kalimat sang Kakek.
Rupanya benar, banyak penuntut ilmu
di kampung tersebut tidak menghadiri
shalat shubuh berjamaah. Syaikh pun
membenarkan perkataan sang Kakek, “Anda benar, bahwa ilmu itu untuk diamalkan. Bahkan bisa jadi kita
mendapatkan seorang penuntut ilmu
semalam suntuk membahas tentang
hadits-hadits Nabi yang menunjukkan
keutamaan shalat Shubuh secara
berjamaah, bahkan bisa jadi dia menghafalkan hadits-hadits tersebut
di luar kepalanya. Akan tetapi tatkala
tiba waktu mengamalkan hadits-
hadits yang dihafalkannya itu, dia
tidak mengamalkannya, malah
ketiduran, tidak shalat shubuh berjamaah.” Memang benar bahwasanya tujuan
dari menuntut ilmu adalah untuk
diamalkan. Rasulullah saw. bersabda: َﻚْﻴَﻠَﻋ ْﻭَﺃ َﻚَﻟ ٌﺔَّﺠُﺣ ُﻥﺁْﺮُﻘﻟﺍ Al-Quran akan menjadi hujjah (yang
akan membela) engkau atau akan
menjadi bumerang yang akan
menyerangmu. (HR Muslim no 223) Saya teringat nasihat Syaikh Utsaimin
yang disampaikan di hadapan para
mahasiswa Universitas Islam Madinah,
bahwasanya ilmu itu hanya akan
memberi dua pilihan, dan tidak ada
pilihan ketiga, yaitu: [1] menjadi pembela bagi pemiliknya atau [2]
akan menyerangnya pada hari kiamat
jika tidak diamalkan. Oleh karena itu, hendaknya seseorang
tidak menuntut ilmu hanya untuk
menambah wawasannya, tetapi
dengan niat untuk diamalkan agar
tidak menjadi bumerang yang akan
menyerangnya pada hari kiamat kelak. Marilah kita renungkan…! Sudah berapa lama kita ikut pengajian? Sudah berapa kitab yang kita baca? Sudah berapa muhadhorah yang kita dengarkan? Sungguh suatu kenikmatan ketika seseorang bisa aktif ikut pengajian, akan tetapi apakah kita siap untuk menjawab pertanyaan yang pasti akan ditanyakan kepada kita semua, sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw.: ِﻪِﻤْﻠِﻋ ْﻦَﻋﻭ , ؟ِﻪﻴِﻓ َﻞِﻤَﻋ ﺍَﺫﺎَﻣ “Dia akan ditanyakan tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan dari ilmunya?” Syaikh Abdurrozzaq menjelaskan bahwa seseorang yang telah banyak mengumpulkan ilmu lantas tidak diamalkan maka hal ini menunjukkan ada niatnya yang tidak beres. Sungguh menyedihkan jika kita, ahlus sunah, yang seharusnya memberi perhatian besar terhadap ilmu akidah, baik penanaman akidah maupun pembenahan akidah-akidah yang menyimpang di masyarakat, namun ilmu akidah tidak tercermin pada amalan shalih kita. Syaikh Abdurrozzaq berkata: “Aku ingin mengingatkan sebuah perkara yang terkadang kita melalaikannya tatkala kita mempelajari ilmu aqidah. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:ُّﻞُﻛ ٍﻢْﻠِﻋ ٍﻞَﻤَﻋَﻭ َﻻ ُﺪْﻳِﺰَﻳ َﻥﺎَﻤﻳِﻹﺍ َﻦْﻴِﻘَﻴﻟﺍﻭ ًﺓَّﻮُﻗ ٌﻝْﻮُﺧْﺪَﻤَﻓ ، ُّﻞُﻛَﻭ ٍﻥﺎَﻤﻳِﺇ َﻻ ُﺚَﻌْﺒَﻳ ﻰَﻠَﻋ ِﻞَﻤَﻌْﻟﺍ ٌﻝْﻮُﺧْﺪَﻤَﻓ Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah kekuatan dalam keimanan
dan keyakinan maka telah termasuki (terkontaminasi), dan setiap iman yang tidak mendorong untuk beramal maka telah termasuki (tercoreng).( Al Fawaid 86) Maksud “telah termasuki” dari perkataan Ibnul Qoyyim yaitu telah termasuki sesuatu; baik riya, tujuan duniawi, atau yang semisalnya, maka ilmu tersebut tidak akan bermanfaat dan tidak akan diberkahi. Oleh karena itu, niat yang baik merupakan perkara yang harus, baik dalam mempelajari akidah ataupun ilmu agama yang lain secara umum. Jika seseorang mempelajari ilmu akidah hendaknya dia tidak mempelajarinya sekadar menambah telaah dan memperbanyak wawasan, tetapi hendaknya karena akidah merupakan bagian dari agama Allah yang diperintahkan Allah kepada para
hamba-Nya, serta menyeru mereka kepada-Nya dan menciptakan mereka
karena akidah dan dalam rangka merealisasikannya. Maka hendaknya ia berijtihad (berusaha keras) untuk memahami dalil-dalilnya dan ber- taqarrub kepada Allah dengan mengimaninya dan menanamkannya dalam hatinya. Jika dia mempelajari akidah dengan niat seperti ini maka akan memberikan buah yang sangat besar, dan akan memengaruhinya dalam perbaikan sikap, amal, dan akhlak dalam seluruh kehidupannya. Jika seseorang mempelajari akidah hanya untuk jidal dan perdebatan, dengan tanpa memerhatikan sisi penyucian jiwa dengan keimanan, keyakinan, serta rasa tenang dengan akidah tersebut, maka tidak akan membuahkan hasil apa-apa. Di antara contoh tentang perkara ini -- yang berkaitan dengan iman kepada melihat Allah di akhirat kelak -- sabda Nabi saw: ْﻢُﻜَّﻧِﺇ َﻥْﻭَﺮَﺘَﺳ ْﻢُﻜَّﺑَﺭ َﻡْﻮَﻳ ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟﺍ ﺎَﻤَﻛ َﻥْﻭَﺮَﺗ َﺮَﻤَﻘْﻟﺍ ، َﻻ َﻥﻮُﻣﺎَﻀُﺗ ـ ﻲﻓﻭ ﺔﻳﺍﻭﺭ : ” ﻻ ﻥﻭُّﺭﺎﻀُﺗ ،” ﻲﻓﻭ ﺔﻳﺍﻭﺭ : ” ﻻ ﻥﻮُّﻣﺎَﻀُﺗ ـ” ﻲﻓ ﻪﺘﻳﺅﺭ ، ِﻥِﺈَﻓ ْﻢُﺘْﻌَﻄَﺘْﺳﺍ َّﻻَﺃ ﺍْﻮُﺒَﻠْﻐُﺗ ﻰَﻠَﻋ ٍﺓَﻼَﺻ َﻞْﺒَﻗ ِﻉْﻮُﻠُﻃ ِﺲْﻤَّﺸﻟﺍ َﻞْﺒَﻗّﻭ ﺎَﻬِﺑْﻭُﺮُﻏ ﺍﻮُﻠَﻌْﻓﺎَﻓ ، َّﻢُﺛ َﺃَﺮَﻗ : ِﺲْﻤَّﺸﻟﺍ ِﻉﻮُﻠُﻃ َﻞْﺒَﻗ َﻚِّﺑَﺭ ِﺪْﻤَﺤِﺑ ْﺢِّﺒَﺳَﻭ ِﺏﻭُﺮُﻐْﻟﺍ َﻞْﺒَﻗَﻭ Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian pada hari kiamat sebagaimana kalian melihat bulan. Kalian tidak akan tertutupi oleh awan, (dalam riwayat yang lain: kalian tidak akan saling mencelakakan; dalam riwayat yang lain: kalian tidak akan saling berdesak-desakan), maka jika kalian mampu melaksanakan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam matahari maka lakukanlah. ” Kemudian Nabi membaca firman Allah: ْﺢِّﺒَﺳَﻭ ِﺪْﻤَﺤِﺑ َﻚِّﺑَﺭ َﻞْﺒَﻗ ِﻉﻮُﻠُﻃ ِﺲْﻤَّﺸﻟﺍ َﻞْﺒَﻗَﻭ ِﺏﻭُﺮُﻐْﻟﺍ Dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya). (Q.S. Qaf: 39 ) Maksud Nabi adalah shalat Shubuh dan shalat Asar. Perhatikanlah keterkaitan antara akidah dan amal. Nabi menyebutkan kepada para sahabat perkara akidah, yaitu beriman kepada melihat Allah. Lalu Nabi menyebutkan kepada mereka tentang amal yang merupakan buah dari akidah yang benar, maka Nabi berkata kepada mereka: “Jika kalian mampu untuk tidak terluputkan….” Jika ada seseorang mempelajari hadits-hadits tentang iman kepada melihat Allah, lantas meneliti jalan hadits serta sanad-sanadnya, lalu dia mendebat para ahlul kalam dan membantah syubhat-syubhat seputar hal ini, kemudian ternyata dia begadang dan akhirnya meninggalkan shalat Shubuh, bisa jadi shalat Shubuh tersebut tidak ada nilainya di sisi-Nya. Sang muadzin telah mengumandangkan adzan untuk shalat, “As-Shalatu khairun minan naum,” (Shalat itu lebih baik dari pada tidur) namun kondisinya menunjukkan seakan-akan dia berkata, “Tidur lebih baik daripada shalat.” Maka, mana pengaruh akidah pada sikapnya? Kita mohon kepada Allah keselamatan. Orang seperti ini perlu memperbaiki niat dan tujuannya dalam mempelajari akidah agar bisa membuahkan hasil yang diharapkan, maka terwujudkanlah pengaruh yang baik yang barakah baginya. Seorang muslim semestinya mempelajari akidah karena itu adalah akidah dan agamanya yang Allah telah memerintahkan dia untuk mengamalkannya. Dan hendaknya dia
bersungguh-sungguh agar ilmu akidahnya tersebut bisa memberi pengaruh pada diri, ibadah, dan taqarrub-nya kepada Allah.” (Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Akidah, Al-Hafizh Abdul Ghaniy Al- Maqdisi; hal 21-22) Marilah kita bercermin dan menginstropeksi diri kita, apakah dengan semakin bertambahnya ilmu kita demikian juga bertambah amalan kita? Ataukah bertambahnya ilmu justru membuat kita semakin malas dalam beramal? Bukankah kita masih ingat, di awal-awal mengenal pengajian, semangat kita begitu besar dalam menjalankan sunah-sunah Nabi, akan tetapi kenapa ada sebagian dari kita dengan semakin bertambahnya ilmu justru semakin sedikit beramal? Bahkan, ada pula sebagian kita setelah mengetahui beberapa amalan hukumnya sunah (mustahab) dan tidak wajib, malah terdorong untuk meninggalkan amalan tersebut. Bertambahnya ilmu justru mengantarkannya untuk meninggalkan amalan. Bukankah bisa jadi karena terbiasa meninggalkan amalan-amalan sunah akhirnya perkara-perkara yang wajib pun bisa ditinggalkan? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah berkata: ﺍَﺫِﺇَﻭ َّﺮَﺻَﺃ ﻰَﻠَﻋ ِﻙْﺮَﺗ ﺎَﻣ َﺮِﻣُﺃ ِﻪِﺑ ْﻦِﻣ ِﺔَّﻨُّﺴﻟﺍ ِﻞْﻌِﻓَﻭ ﺎَﻣ َﻲِﻬُﻧ ُﻪْﻨَﻋ ْﺪَﻘَﻓ ُﺐَﻗﺎَﻌُﻳ ِﺐْﻠَﺴِﺑ ِﻞْﻌِﻓ ِﺕﺎَﺒِﺟﺍَﻮْﻟﺍ ﻰَّﺘَﺣ ْﺪَﻗ ُﺮﻴِﺼَﻳ ﺎًﻘِﺳﺎَﻓ ْﻭَﺃ ﺎًﻴِﻋﺍَﺩ ﻰَﻟﺇ ٍﺔَﻋْﺪِﺑ “Seseorang jika terus meninggalkan sunah yang diperintahkan dan melakukan perkara yang terlarang maka bisa jadi dia dihukum (oleh Allah) dengan meninggalkan hal-hal yang wajib, hingga akhirnya bisa jadi ia menjadi orang fasik atau orang yang menyeru kepada bid’ah.” (Majmu’ Al-Fatawa 22/306) Marilah kita cek hati dan ketakwaan kita, apakah dengan bertambah ilmu setelah sekian tahun ikut pengajian, maka ketakwaan dan keimanan kita semakin berkobar, ataukah malah semakin kendor? Jika ternyata kita semakin malas beramal dan semakin lemah iman kita maka ingatlah nasihat Syaikh Abdurrozzaq tadi bahwasanya niat kita selama ini ternyata terkontaminasi dan ternodai dengan penyakit-penyakit hati; baik riya, ujub,
atau tujuan-tujuan duniawi lainnya. Allahul musta’an. Ilmu adalah Pohon, dan Amal adalah Buahnya Para pembaca yang budiman, tahukah
Anda bahwa ilmu bukanlah ibadah yang independen? Ilmu hanya disebut
ibadah dan terpuji apabila ilmu tersebut membuahkan amalan. Jika ilmu tidak membuahkan amal maka jadilah tercela dan akan menyerang pemiliknya. Hal ini dijelaskan dengan tegas oleh Al-Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya yang luar biasa Al- Muwafaqat. Beliau berkata: َّﻥَﺃ َّﻞُﻛ ٍﻢْﻠِﻋ ﻻ ﺪﻴﻔُﻳ ؛ًﻼَﻤَﻋ َﺲْﻴَﻠَﻓ ﻲِﻓ ِﻉﺮَّﺸﻟﺍ ﻪِﻧﺎَﺴﺤِﺘﺳﺍ ﻰَﻠَﻋ ُّﻝُﺪَﻳ ﺎَﻣ “Semua ilmu yang tidak membuahkan amal maka tidak dalam syariat satu dalil pun yang menunjukkan akan baiknya ilmu tersebut.” (Al-Muwafaqat 1/74) Oleh karena itu, semua dalil yang berkaitan dengan keutamaan ilmu dan penuntut ilmu semuanya harus dibawakan kepada ilmu yang disertai dengan amal. Firman Allah: ْﻞُﻗ ْﻞَﻫ ﻱِﻮَﺘْﺴَﻳ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َﻥﻮُﻤَﻠْﻌَﻳ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍَﻭ ﻻ ِﺏﺎَﺒْﻟﻷﺍ ﻮُﻟﻭُﺃ ُﺮَّﻛَﺬَﺘَﻳ ﺎَﻤَّﻧِﺇ َﻥﻮُﻤَﻠْﻌَﻳ ) ٩ ) “Katakanlah: ‘Adakah sama orang- orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal- lah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az-Zumar: 9) َﺪِﻬَﺷ ُﻪَّﻠﻟﺍ ُﻪَّﻧَﺃ ﻻ َﻪَﻟِﺇ ﻻِﺇ َﻮُﻫ ُﺔَﻜِﺋﻼَﻤْﻟﺍَﻭ ﻮُﻟﻭُﺃَﻭ ِﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ﺎًﻤِﺋﺎَﻗ ِﻂْﺴِﻘْﻟﺎِﺑ ﻻ َﻪَﻟِﺇ ﻻِﺇ َﻮُﻫ ُﺰﻳِﺰَﻌْﻟﺍ ُﻢﻴِﻜَﺤْﻟﺍ ) ١٨ ) Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang- orang yang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu), tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Q.S. Ali Imran: 18)ِﻊَﻓْﺮَﻳ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ ْﻢُﻜْﻨِﻣ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍَﻭ ﺍﻮُﺗﻭُﺃ ٍﺕﺎَﺟَﺭَﺩ َﻢْﻠِﻌْﻟﺍ Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Q.S. Al-Mujadalah: 11) Demikian juga semisal hadits Nabi saw.: ِﻦْﻳِّﺪﻟﺍ ﻲِﻓ ُﻪْﻬِّﻘَﻔُﻳ ﺍًﺮﻴﺧ ﻪﺑ ُﻪﻠﻟﺍ ِﺩِﺮُﻳ ﻦﻣ Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan membuat dia faqih (paham) tentang ilmu agama. Maksudnya adalah orang yang dikendaki kebaikan oleh Allah adalah orang yang diberi ilmu dan mengamalkan ilmunya. Adapun orang
yang berilmu dan tidak mengamalkan ilmu maka tercela, karena jelas ilmunya akan menjadi bumerang baginya. Asy-Syathibi rahimahullah membawakan banyak dalil yang menunjukkan akan hal itu. Beliau berkata: “Sesungguhnya ruh ilmu adalah amal. Jika ada ilmu tanpa amal maka ilmu tersebut kosong dan tidak bermanfaat. Allah telah berfirman: ُﺀﺎَﻤَﻠُﻌْﻟﺍ ِﻩِﺩﺎَﺒِﻋ ْﻦِﻣ َﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَﺸْﺨَﻳ ﺎَﻤَّﻧِﺇ Sesungguhnya yang takut kepada Allah adalah para ulama. (Q.S. Fathir: 28) Dan Allah juga berfirman: ُﻩﺎَﻨْﻤَّﻠَﻋ ﺎَﻤِﻟ ٍﻢْﻠِﻋ ﻭُﺬَﻟ ُﻪَّﻧِﺇَﻭ Dan Sesungguhnya Dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. (Q.S. Yusuf: 68) Qatadah berkata: “Maksudnya adalah ﻭُﺬَﻟ ٍﻞَﻤَﻋ ﺎَﻤِﺑ ﺎَﻨْﻤَّﻠَﻋ dia mengamalkan ilmu yang Kami ajarkan kepadanya…” (Al-Muwafaqat 1/75). Dan yang paling menunjukkan akan hal ini adalah hadits Nabi saw: َﻻ ُﻝْﻭُﺰَﺗ ﺎَﻣَﺪَﻗ ِﺪْﺒَﻌْﻟﺍ َﻡْﻮَﻳ ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟﺍ َّﻰﺘَﺣ َﻝَﺄﺴُﻳ ٍﻝﺎَﺼِﺧ ِﺲْﻤَﺧ ْﻦَﻋ”، “Tidak akan bergerak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ditanya tentang lima perkara.” Di antara lima perkara tersebut yang disebutkan oleh Nabi saw.: ْﻦَﻋﻭ ِﻪِﻤْﻠِﻋ , ﺍَﺫﺎَﻣ َﻞِﻤَﻋ ؟ِﻪﻴِﻓ “ Dia akan ditanyakan tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan dari ilmunya?” Pernah ada seseorang yang bertanya (masalah agama) kepada Abu Ad- Darda’, maka Abu Ad-Darda’ berkata kepadanya: “Apakah semua masalah agama yang kau tanyakan kau amalkan?” Orang itu menjawab: “Tidak.” Maka Abu Ad-Darda’ menimpalinya: “Apa yang engkau lakukan dengan menambah hujjah yang akan menjadi bumerang bagimu?” (Al-Muwaafaqaat 1/82 sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil-Bar dalam Al-Jami ’ no 1232). Oleh karena itu, sungguh indah kesimpulan yang disampaikan oleh Asy-Syathibi dalam perkataannya: “Dan dalil akan hal ini (bahwasanya ilmu hanyalah wasilah untuk amal dan bukan tujuan) terlalu banyak. Semuanya memperkuat bahwa ilmu merupakan sebuah wasilah (sarana) dan bukan tujuan langsung jika ditinjau dari kacamata syariat. Akan tetapi, ilmu hanyalah wasilah untuk beramal. Maka semua dalil yang menunjukkan akan keutamaan ilmu hanyalah berlaku bagi ilmu yang disertai dengan amalan. Dan kesimpulannya bahwasanya seluruh ilmu syar’i tidaklah dituntut (dalam syariat) kecuali dari sisi sebagai sarana
untuk mencapai sesuatu yaitu amal.” (Al-Muwafaqat 1/83-85) Sungguh indah wasiat Al-Khathib al- Baghdadi kepada para penuntut ilmu: ﻲِﻓ ِﺔَّﻴِّﻨﻟﺍ ِﺹﺎَﻠْﺧِﺈِﺑ ِﻢْﻠِﻌْﻟﺍ َﺐِﻟﺎَﻃ ﺎَﻳ َﻚﻴِﺻﻮُﻣ ﻲِّﻧِﺇ ِﻪِﺒَﻠَﻃ ، ِﺩﺎَﻬْﺟِﺇَﻭ ِﺲْﻔَّﻨﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ ِﻞَﻤَﻌْﻟﺍ ِﻪِﺒَﺟﻮُﻤِﺑ ، َّﻥِﺈَﻓ َﻢْﻠِﻌْﻟﺍ َﻞَﻤَﻌْﻟﺍَﻭ ٌﺓَﺮَﺠَﺷ ٌﺓَﺮَﻤَﺛ ، ُّﺪَﻌُﻳ َﺲْﻴَﻟَﻭ ﺎًﻤِﻟﺎَﻋ ْﻢَﻟ ْﻦَﻣ ِﻪِﻤْﻠِﻌِﺑ ْﻦُﻜَﻳ ﺎًﻠِﻣﺎَﻋ ، ... ٌﺀْﻲَﺷ ﺎَﻣَﻭ ُﻒَﻌْﺿَﺃ ْﻦِﻣ ٍﻢِﻟﺎَﻋ َﻙَﺮَﺗ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ ُﻪَﻤْﻠِﻋ ِﺩﺎَﺴَﻔِﻟ ِﻪِﺘَﻘﻳِﺮَﻃ ، ْﻢِﻫِﺮَﻈَﻨِﻟ ِﻪِﻠْﻬَﺠِﺑ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﺬَﺧَﺃ ٍﻞِﻫﺎَﺟَﻭ ِﻪِﺗَﺩﺎَﺒِﻋ ﻰَﻟِﺇ ... ُﻢْﻠِﻌْﻟﺍَﻭ ُﺩﺍَﺮُﻳ ِﻞَﻤَﻌْﻠِﻟ ﺎَﻤَﻛ ُﻞَﻤَﻌْﻟﺍ ُﺩﺍَﺮُﻳ ِﺓﺎَﺠَّﻨﻠِﻟ ، ِﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ِﻦَﻋ ﺍًﺮِﺻﺎَﻗ ُﻞَﻤَﻌْﻟﺍ َﻥﺎَﻛ ﺍَﺫِﺈَﻓ ، ُﻢْﻠِﻌْﻟﺍ َﻥﺎَﻛ ﺎًّﻠَﻛ ﻰَﻠَﻋ ِﻢِﻟﺎَﻌْﻟﺍ ، ُﺫﻮُﻌَﻧَﻭ ِﻪَّﻠﻟﺎِﺑ ْﻦِﻣ ٍﻢْﻠِﻋ َﺩﺎَﻋ ﺎًّﻠَﻛ ، َﺙَﺭْﻭَﺃَﻭ ﺎًّﻟُﺫ ، َﺭﺎَﺻَﻭ ﻲِﻓ ِﺔَﺒَﻗَﺭ ِﻪِﺒِﺣﺎَﺻ ﺎًّﻠَﻏ ، َﻝﺎَﻗ ُﺾْﻌَﺑ ِﺀﺎَﻤَﻜُﺤْﻟﺍ : ُﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ُﻡِﺩﺎَﺧ ِﻞَﻤَﻌْﻟﺍ ، ِﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ُﺔَﻳﺎَﻏ ُﻞَﻤَﻌْﻟﺍَﻭ Aku memberi wasiat kepadamu wahai penuntut ilmu untuk mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu dan berusaha keras untuk mengamalkan konsekuensi ilmu. Sesungguhnya ilmu
adalah pohon dan amal adalah buahnya. Seseorang tidak akan dianggap alim bila tidak mengamalkan ilmunya. Tidak ada yang lebih lemah dari kondisi seorang alim yang ditinggalkan ilmunya oleh masyarakat karena jalannya (yang kosong dari amal) dan seorang yang jahil yang diikuti kejahilannya oleh masyarakat karena melihat ibadahnya.” Tujuan ilmu adalah amal, sebagaimana
tujuan amal adalah keselamatan. Jika ilmu kosong dari amal maka ilmu itu akan menjadi beban (bumerang) bagi pemiliknya. Kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang menjadi beban (bumerang) dan mendatangkan kehinaan, dan akhirnya menjadi belenggu di leher pemiliknya. Sebagian ahli bijak berkata, “Ilmu adalah pembantu bagi amal, dan amal adalah puncak dari ilmu.” (Iqtidhaul Ilmi Al-’Amal 14-15) Semangat Beramal Mengalahkan Kelelahan dan Kelemahan Syaikh Abdurrozaq bercerita, “Suatu ketika aku pernah shalat Tarawih di Masjid Nabawi. Dulu, setiap malam bulan Ramadhan, para imam Masjid Nabawi membaca tiga juz dari Al- Quran dangan bacaan tartil. Berbeda dengan sekarang di mana para imam hanya membaca satu juz. Ketika itu, aku shalat dan ternyata di hadapanku ada seorang dari Indonesia yang juga ikut shalat malam. Yang menarik perhatianku, ternyata orang tersebut kakinya buntung satu. Tatkala berdiri dia hanya bertopang pada satu kakinya. Sungguh menakjubkan, kita yang memiliki dua kaki merasa kelelahan menunggu imam menyelesaikan bacaan tiga juz dalam sepuluh rakaat, sementara orang Indonesia ini meskipun hanya bertopang pada satu kaki tetapi semangatnya yang begitu luar biasa; sama sekali tidak bergeming selama shalat, tidak terjatuh atau tertatih-tatih.
Keimanan yang luar bisa yang menjadikannya kuat untuk bertahan berjam-jam melaksanakan shalat Tarawih.” Kisah yang luar biasa ini beberapa kali saya dengar dari Syaikh tatkala memotivasi murid-muridnya untuk semangat beramal. Timbul kebanggaan dalam diri saya mengetahui orang yang beliau contohkan itu berasal dari Indonesia, namun sekaligus timbul rasa malu dalam diri saya, mengapa saya tidak semangat beribadah seperti orang yang buntung tersebut? Manhaj Nabi??!! Suatu ketika saat Syaikh mengisi pengajian, ada orang yang bertanya kepada beliau, “Ya Syaikh, bagaimanakah manhaj Nabi?” Pertanyaan ini unik karena diajukan saat santer-santernya fitnah tahdzir- mentahdzir di Arab Saudi, dan orang tersebut tentunya berniat baik ingin mengetahui bagaimanakah manhaj yang benar sehingga ia bisa berada di atas manhaj yang lurus sehingga selamat di tengah badai tahdzir dan fitnah. Namun, apa jawaban Syaikh? Beliau berkata, “Manhaj Nabi sudah jelas dan diketahui. Nabi bangun tengah malam lantas shalat malam. Menjelang shubuh beliau bersahur, lalu beristighfar menunggu shubuh. Kemudian beliau shalat Shubuh berjamaah. Setelah itu beliau duduk di masjid, berdzikir hingga waktu syuruq, lalu shalat dua rakaat. Jika tiba
waktu dhuha beliau shalat Dhuha, dan
seterusnya. Beliau bersedekah, mengunjungi orang sakit, membantu orang yang kesusahan, menjamu tamu… dan seterusnya. Manhaj beliau ma’ruf.” Demikian kira-kira jawaban beliau. Jawaban yang mengingatkan sebagian kita yang menyukai tahdzir- mentahdzir agar jangan lupa beramal. Jangan sampai kita yang mengaku di atas manhaj yang benar dan memberikan porsi yang besar terhadap manhaj, lantas lalai dari beramal shalih. Jangan sampai kita yang semangat mentahdzir kesalahan orang lain, ternyata orang yang kita tahdzir tersebut lebih perhatian terhadap amal daripada kita. Saya teringat nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap orang yang suka mentahdzir
tapi kurang suka beramal, sementara orang yang ditahdzir justru lebih semangat dalam beramal. Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan banyak orang-orang yang mengingkari bid’ah-bid’ah ibadah dan adat, engkau dapati mereka muqashir (kurang) dalam mengerjakan sunah- sunah dari hal yang berkaitan dengan ibadah, atau dalam ber-amar makruf, menyeru manusia untuk mengerjakan sunah-sunah tersebut (yang berkaitan dengan ibadah). Dan, mungkin saja keadaan mereka, yang mengingkari bid’ah namun tidak mengerjakan banyak sunah Nabi, justru lebih buruk dari keadaan orang yang melakukan ibadah yang bercampur dengan suatu kemakruhan (Maksud ibnu Taimiyyah dengan kemakruhan di sini adalah kebid’ahan sebagaimana sangat jelas dalam penjelasan beliau sebelumnya- pen). Bahkan, agama itu adalah amar makruf dan nahi mungkar, dan tidak bisa tegak salah satu dari keduanya kecuali jika bersama dengan yang lainnya. Maka tidaklah dilarang suatu kemungkaran kecuali diperintahkan suatu kemakrufan.” (Iqtidho’ As- Shirootil Mustaqiim II/126.) Madinah, 19 04 1432 H / 24 03 2011 M Abu Abdilmuhsin Firanda www.firanda.com