Selasa, 15 Maret 2011

BAHAYA KHOLWAT 2

Hukum berkhalwatnya seorang pria dengan beberapa wanita tanpa mahram
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum berkhalwatnya seorang pria dengan wanita ajnabiah jika jumlah wanita tersebut lebih dari satu, demikian juga sebaliknya (berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki ajnabi)
Berkata Imam An-Nawawi, “Tidak ada perbedaan tentang diharamkannya berkhalwat antara tatkala sholat maupun di luar sholat”[34]
Imam An-Nawawi berkata, “Berkata para sahabat kami (yang bermadzhab Syafi’i), jika seorang pria mengimami seorang wanita yang merupakan mahramnya dan berkhalwat dengannya maka tidaklah mengapa dan sama sekali tidak makruh karena boleh baginya untuk berkhalwat dengannya di luar shalat. Dan jika ia mengimami seorang wanita ajanabiah dan berkhalwat dengannya maka hukumnya adalah haram…dan jika ia mengimami banyak wanita yang ajnabiah dengan kondisi berkhalwat bersama mereka maka ada dua pendapat. Jumhur ulama berpendapat akan bolehnya hal itu…karena para wanita yang berkumpul biasanya tidak memungkinkan seorang laki-laki untuk berbuat sesuatu hal yang buruk terhadap salah seorang dari mereka dihadapan mereka. Imamul Haromain dan penulis buku Al-‘Uddah menukil bahwasanya Imam As-Syafii menyatakan bahwa diharamkannya seorang pria mengimami beberapa wanita kecuali diantara wanita tersebut ada mahram pria tersebut atau istrinya. Dan Imam As-Syafii meyakinkan akan haramnya berkhalwatnya seorang pria dengan para wanita kecuali jika ada mahram pria tersebut bersama mereka”[35]
Renungkanlah betapa tegasnya Imam As-Syafii dalam pengharaman kholwat antara wanita dan pria, sampai-sampai beliau mengharamkan seorang laki-laki mengimami para wanita (dalam keadaan berkhalwat dengan mereka) kecuali jika ada diantara wanita tersebut mahrom sang imam atau istri sang imam. Padahal ini dalam keadaan beribadah yang sangat agung (yaitu sholat) yang tentunya orang yang sedang sholat jauh dari pikiran-pikiran yang kotor, selain itu sang imam pun berada di depan dan para wanita berada dibelakangnya sehingga ia tidak melihat mereka, namun demikian Imam Syafi’i tetap mengharamkan hal ini.
Berkata As-Sarkashi, “…Kemakruhan (atau keharoman) hal ini (menurut Imam As-Syafi’i-pen) tidak akan hilang hingga ada diantara para wanita tersebut mahrom mereka, sebagaimana dalam hadits Anas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat mengimami mereka di rumah mereka, Anaspun berkata, “Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan aku dan seorang anak yatim di belakangnya (pada shaf pertama) dan menjadikan ibuku dan Ummu Sulaim di belakang kami”[36]. Karena dengan adanya mahram hilanglah kekhawatiran akan timbulnya fitnah, dan hal sama saja apakah mahrom tersebut adalah mahrom bagi semua wanita tersebut atau hanya merupakan mahram bagi sebagian mereka dan diperbolehkan sholat dalam seluruh keadaan tersebut, karena kebencian (terhadap khalwat tersebut) berada jika diluar sholat”[37]
Peringatan:
1. Berkata Imam An-Nawawi, “Dan sama hukumnya tentang diharamkannya berkhalwat antara orang yang buta dengan orang yang bisa melihat” [38]
2. Beliau juga berkata, “Ketahuilah bahwasanya mahram yang dengan keberadaannya bersama sang wanita membolehkan untuk duduk (berkhalwat) dengan sang wanita adalah sama saja baik mahram tersebut adalah mahram sang pria maupun mahram sang wanita, atau yang semakna dengan mahram seperti suami sang wanita atau istri sang pria, Wallahu A’lam”[39]
3. Diharamkannya berkhalwatnya seorang wanita dengan seorang pria meskipun dengan alasan dalam rangka pengobatan kecuali bersama wanita tersebut mahram, atau suaminya, atau wanita tsiqoh (yang bisa dipercaya). Karena kenyataan yang banyak terjadi memang benar terkadang hanya terdapat dokter lelaki yang bisa menangani penyakit seorang wanita dengan penanganan yang baik dan terjamin walaupun karena darurat maka sang dokter harus melihat aurat wanita tersebut. Namun yang perlu diperhatikan tidak semua pengobatan keadaannya darurat yang mengharuskan tidak boleh sang wanita ditemani oleh mahramnya. Apalagi merupakan kenyataan yang menyedihkan banyak dari para wanita yang jika mereka bertemu dengan dokter pria maka seakan-akan dokter tersebut adalah mahramnya.

Hukum berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki (lebih dari satu orang)
عبد الله بن عمرو بن العاص حدثه أن نفرا من بني هاشم دخلوا على أسماء بنت عميس فدخل أبو بكر الصديق وهي تحته يومئذ فرآهم فكره ذلك فذكر ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم وقال لم أر إلا خيرا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله قد برأها من ذلك ثم قام رسول الله صلى الله عليه وسلم على المنبر فقال لا يدخلن رجل بعد يومي هذا على مُغِيْبَةٍ إلا ومعه رجل أو اثنان
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash bahwasanya beberapa orang dari bani Hasyim masuk (menemui) Asma’ binti ‘Umais, lalu Abu Bakar masuk –dan tatkala itu Asma’ telah menjadi istri Abu Bakar As-Siddiq- lalu Abu Bakar melihat mereka dan ia membenci hal itu, lalu iapun menyampaikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia berkata, “Aku tidak melihat sesuatu kecuali kebaikan”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya Allah telah menyatakan kesuciannya dari perkara tersebut (perkara yang jelek)”, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar dan berkata, “Setelah hari ini tidaklah boleh seorang laki-laki menemui mughibah (yaitu seorang wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah) kecuali bersamanya seorang laki-laki (yang lain) atau dua orang”[40]
Yang dimaksud dengan mughibah adalah wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah, baik karena sedang bersafar keluar kota maupun keluar dari rumah namun masih dalam kota, dalilnya adalah hadits ini. Dikatakan bahwa Abu Bakar sedang tidak berada di rumah, bukan sedang keluar kota.[41]
Berkata Imam An-Nawawi, “Dzohir dari hadits ini menunjukan akan bolehnya berkhalwatnya dua atau tiga orang lelaki dengan seorang wanita ajnabiah, dan yang masyhur menurut para sahabat kami (yaitu penganut madzhab syafi’iah) akan haramnya hal ini. Oleh karena itu hadits ini (bolehnya berkhalwat) dibawakan kepada kepada sekelompok orang yang kemungkinannya jauh untuk timbulnya kesepakatan diantara mereka untuk melakukan perbuatan nista karena kesholehan mereka, atau muru’ah mereka dan yang lainnya”[42]
Adapun para ulama yang mengatakan akan bolehnya berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki mereka menyaratkan bahwa para lelaki tersebut merupakan orang-orang yang terpercaya dan tidak bersepakat untuk melakukan hal yang nista terhadap wanita tersebut.
Dan ini merupakan pendapat Syaikh Al-Albani.[43]
Berkata Imam An-Nawawi, “Adapun berkholwatnya dua orang lelaki atau lebih dengan seorang wanita maka yang masyhur adalah haramnya hal ini dikarenakan bisa jadi mereka para lelaki tersebut bersepakat untuk melakukan hal yang keji (zina) terhadap wanita itu. Dan dikatakan bahwa jika mereka adalah termasuk orang-orang yang jauh dari perbuatan seperti itu maka tidak mengapa.”[44]

Peringatan:
1. Diantara perkara yang dianggap remeh oleh masyarakat namun sangat berbahaya adalah berkhalwatnya kerabat suami (yang bukan mahram istri) dengan istrinya.
عن عقبة بن عامر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إياكم والدخول على النساء فقال رجل من الأنصار يا رسول الله أفرأيت الحمو قال الحمو الموت
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Waspadailah diri kalian dari masuk (menemui) para wanita!”, lalu berkatalah seseorang dari kaum Anshor, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu dengan Al-Hamwu?”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Al-Hamwu adalah maut (kematian)”[45]
Berkata Ibnu Hajar, “Larangan masuk (terhadap kerabat suami) untuk menemui para wanita menunjukan bahwa larangan untuk berkhalwat lebih utama untuk dilarang (min bab aula)”[46]
Imam Nawawi berkata, “Para ulama bahasa telah sepakat bahwa الأحماء Al-Ahmaa’ adalah karib kerabat suami seperti ayah, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, sepupu, dan yang semisalnya, dan الأختان Al-Akhtan adalah karib kerabat dari istri, dan الأصهار Al-Ashhar mencakup keduanya (Al-Ahmam dan Al-Akhtaan)….dan yang dimaksud dengan Al-Ahmam disini adalah kerabat karib suami selain ayahnya dan anak-anaknya[47], karena mereka adalah mahram bagi sang istri dan boleh bagi mereka untuk berkhalwat dengannya dan mereka tidak disifati dengan maut, namun yang dimaksudkan di sini adalah saudara laki-laki sang suami, paman, sepupu, dan yang semisalnya yang bukan merupakan mahram bagi sang wanita dan kebiasaan masyarakat mereka menggampangkan hal ini (kurang peduli) dan membiarkan seseorang berkhalwat dengan istiri saudaranya. Inilah maut, dan kerabat seperti ini lebih utama untuk dilarang daripada laki-laki asing (yang tidak ada hubungan kerabat) [48]
Makna perkataan Al-Hamwu adalah maut (kematian)
Imam An-Nawawi berkata, “Maknaknya bahwa ketakutan terhadap Al-Hamwu lebih daripada terhadap yang lainnya, dan kerusakan lebih mungkin terjadi dan fitnah lebih besar karena memungkinkannya untuk sampai kepada sang wanita dengan tanpa diingkari. Berbeda dengan seseorang yang asing (yang tidak punya hubungan kerabat dengan suami)”
Berkata Ibnul ‘Arabi, “Ini adalah ungkapan yang dikatakan oleh orang-orang Arab, sebagaimana dikatakan “Singa adalah maut (kematian)”, yaitu bertemu dengannya seperti kematian”. Berkata Al-Qodhi, “Maknanya bahwa berkhalwat dengan Al-Ahma’ menjerumuskan kepada fitnah dan kebinasaan dalam agama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjadikan perkara ini seperti kebinasaan, maka ungkapan seperti ini untuk penegasan dengan keras”[49]
Berkata Al-Qurthubi, “…(masuknya al-hamwu) menjerusmuskan sang wanita pada kematiannya dengan diceraikan oleh suaminya tatkala cemburu atau ia dirajam jika birzina dengan al-hamwu tersebut”[50]
2. Berkata Imam An-Nawawi, “Dan dikecualikan dari pengharaman (semua bentuk berkhalwat) ini adalah kondisi-kondisi yang darurat seperti jika seorang pria mendapati seorang wanita ajnabiah yang tersesat di tengah daratan dan yang semisalnya, maka boleh baginya untuk menemani wanita tersebut bahkan hal itu wajib atasnya jika sang pria mengkhawatirkan keamanan dan kondisi sang wanita jika ia membiarkannya sendirian. Dan hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Dalil yang menunjukan akan hal ini adalah kisah Al-Ifk”[51]
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 26 Maret 2006
Penulis: Ustadz Firanda Andirja, Lc, MA
Artikel www.muslim.or.id
Daftar Pustaka
1. Fathul Bari, karya Ibnu Hajar Al-Asqolani, terbitan Darus Salam, cetakan pertama 1421 H
2. Umdatul Qori, karya Badaruddin Al-‘Aini, terbitan Dar Ihyaut Turots Al-‘Arobi
3. Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, karya An-Nawawi terbitan Daru Fikr
4. Al-Minhaj syarh shahih Muslim, karya Imam An-Nawawi terbitan Dar Ihyaut Turots, cetakan ketiga
5. An-Nihayah fi goribil hadits, karya Ibnul Atsir, terbitan Darul Ma’rifah, tahqiq Syaikh Kholil Ma’mun.
6. Al-Mabsuth, karya As-Sarkhasi, terbitan Darul Ma’rifah
7. Mukhatasor Al-Fatawa Al-Misriyah li Ibni Taimiyah, karya Badaruddin bin ‘Ali Al-Hanbali, terbitan Dar Ibnul Qoyyim, tahqiq Muhammad Hamid Al-Faqi
8. Siyar A’lam An-Nubala’karya Imam Adz-Dzahabi, tahqiq Al-Arnauth, terbitan Muassasah Ar-Risalah
9. Syadzaratudz Dzahab karya Abdul Hay bin Ahmad, tahqiq Abdul Qodir Al-Arnauth, terbitan Dar Ibnu Katsir
10. Kasyful Qina’ karya Mansur bin yunus bin Idris Al-Bahuti, tahqiq Hilal Musthofa Hilal, terbitan Darul Fikr
11. Faidul Qodir, karya Abdurrouf Al-Munawi, terbitan Al-Maktabah At-Tijariah
12. Mawahibul Jalil karya Muhammad bin Abdirrahman Al-Magribi, terbitan Darul Fikr
13. Al-Asybah wan Nadzoir karya As-Suyuthi terbitan Darul Kutub Ilmiyah
14. Nailul Author karya As-Syaukani, terbitan Dar Al-Jail
15. Al-Adab As-Syar’iah karya Ibnu Muflih terbitan tahqiq Syu’aib Al-Arnauth terbitan Muassasah Ar-Risalah
16. Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir terbitan Matabah Al-Ma’arif
17. At-Thobaqot Al-Kubro karya Muhammad bin Sa’d terbitan Dar Shodir
18. Tahdzibut Tahdzib karya Ibnu Hajar, tahqiq Muhammad Awwamah, terbitan Dar Rosyid
19. At-Thobaqoot As-Syafiiyah Al-Kubro karya As-Subki tahqiq DR Muhammad bin Mahmud At-Thonuhi, Terbitan Hajr
20. Tafsir Ibnu Katsir
21. Silsilah Al-Huda wan Nuur
————————-
[1] HR Ahmad 1/18, Ibnu Hibban (lihat shahih Ibnu Hibban 1/436), At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 2/184 , dan Al-Baihaqi dalam sunannya 7/91. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/792 no 430
[2]HR Ahmad dari hadits Jabir 3/339. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Golil jilid 6 no 1813
[3] HR Al-Bukhari no 5233 dan Muslim (2/975).
Faedah:
Kalau ada yang berkata, “Namun bagaimana dengan sebagian shohabiyat yang berhijrah dari Mekah ke Madinah tanpa mahram?”,
Tidaklah boleh bagi seorang wanita untuk bersafar tanpa mahram kecuali tatkala hijrah dari Mekah ke Madinah karena keburukan dan bahaya yang ada di kota Mekah saat itu yang menyebabkannya lari lebih bahaya dan lebih buruk dari perkara yang ditakutkannya menimpa dirinya (jika ia bersafar tanpa mahram). Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah bin Abi Ma’ith dan para wanita yang lain telah berhijrah dari Mekah ke Madinah tanpa mahram. Demikian juga hadirnya seorang wanita dalam majelis persidangan di hadapan hakim tanpa mahram, hal ini adalah darurat karena dikawatirkan hilangnya hak penuntut. Demikian juga tatkala seorang wanita yang belum nikah melakukan perzinaan maka ia diasingkan tanpa mahramnya karena hal ini adalah hukuman had baginya. (Syarhul ‘Umdah 2/177-178)
[4] Faidhul Qodir 3/78
[5] Nailul Autor 9/231
[6] Al-Minhaj 14/153
[7] Definisi ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 9/413, dan ini merupakan definisi Imam An-Nawawi, (Al-Minhaj 14/153) dimana beliau berkata: المحرم هو كل من حرم عليه نكاحها على التأبيد لسبب مباح لحرمتها
[8] Mawahibul Jalil 4/116
[9] Al-Asybah wan Nadzoir 1/261
[10] Al-Asybah wan Nadzooir 1/262
[11] Al-Majmu’ 4/242
[12] HR Al-Bukhari no 5234 (Kitabun Nikah)
[13] Diantaranya diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/1812):
عن أنس أن امرأة كان في عقلها شيء فقالت يا رسول الله إن لي إليك حاجة فقال يا أم فلان انظري أي السكك شئت حتى أقضي لك حاجتك فخلا معها في بعض الطرق حتى فرغت من حاجتها
Dari Anas bin Malik bahwasanya seorang wanita yang pikirannya agak terganggu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, saya ada perlu denganmu”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Wahai Ummu fulan, lihatlah kepada jalan mana saja yang engkau mau hingga aku penuhi keperluanmu”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkhalwat dengan wanita tersebut di sebuah jalan hingga wanita tersebut selesai dari keperluannya”
[14] Fathul Bari 9/413. Adapun perkataan Imam Nawawi bahwa “kemungkinan wanita tersebut adalah mahram Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Ummu Sulaim dan saudara wanitanya” (Al-Minhaj 16/68), maka kuranglah tepat karena sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim bahwa wanita tersebut pikirannya agak terganggu, dan ini bukanlah merupakan sifat Ummu Sulaim.
[15] Berkata Al-Qodhi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniah tentang sifat penegak amar ma’ruf nahi mungkar, “Jika ia melihat seorang pria yang berdiri bersama seorang wanita di jalan yang dilewati (orang-orang) dan tidak nampak dari keduanya tanda-tanda yang mencurigakan maka janganlah ia menghardik mereka berdua dan janganlah ia mengingkari. Namun jika mereka berdua berdiri di jalan yang sepi maka sepinya tempat mencurigakan maka ia boleh mengingkari pria tersebut dan hendaknya ia jangan segera memberi hukuman terhadap keduanya khawatir ternyata sang pria adalah mahram sang wanita. Hendaknya ia berkata kepada sang pria –jika ternyata ia adalah mahram sang wanita- jagalah wanita ini dari tempat-tempat yang mencurigakan. -Dan jika ternyata wanita tersebut adalah wanita ajnabiah- hendaknya ia berkata kepada sang pria, “Aku ingatkan kepadamu dari bahaya berkhalwat dengan wanita ajnabiah yang bisa menjerumuskan engkau kepada kemaksiatan”. Dan hendaknya tindakan tegasnya ia sesuaikan dengan tanda-tanda serta situasi dan kondisi. Jika seorang penegak amr ma’ruf dan nahi mungkar melihat tanda-tanda seperti ini maka hendaknya ia bersabar, hendaknya ia memeriksa dan memperhatikan situasi dan kondisi dan tidak tergesa-gesa untuk mengingkari sebelum ia mencari kejelasan perkara” Al-Adab As-Syar’iyah 1/302
[16] Sebagaimana disampaikan oleh guru kami Syaikh Abdul Qoyyum As-Suhaibaani
[17] Fathul Bari 9/414
[18] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam musonnafnya 7/17, ia berkata, ““Telah menyampaikan kepada kami Aswad bin ‘Amir, (ia berkata), “Telah menyampaikan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Ali bin Zaid dari Sa’id bin Al-Musayyib…”
[19] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 4/373 no 5452 dengan sanadnya hingga Ali bin Al-Madini dari Sufyan dari Ali bin Zaid bin Jad’an.
[20] HR Al-Bukhari no 5096 (Kitabun Nikah) dan Mulim no 97,98 (kitab Adz-Dzikir)
[21] Al-Faidul Qodir 5/436
[22] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tobaqoot Al-Kubro (5/136) ia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami ‘Amr bin ‘Ashim, ia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Salam bin Miskin, ia berkata, “Telah menyampaikan kepada kami ‘Imron bin ‘Abdillah”
[23] Siyar A’lam An-Nubala” 5/87-88
[24] Al-Bidayah wan Nihayah 10/318, Bugyatut Tolab fi tarikh Al-Halab 2/750
[25] Tahdzibut Tahdzib 4/87
[26] Siyar A’lam An-Nubala” 5/84, Thdzibul Kamal 20/80, Tarikh Ibnu ‘Asakir 40/392, Hilyatul Auliya’ 3/310
[27] Syaradzatuz Dzahab 3/58, Tobaqoot As-Sufiah 1/364
[28] Kasyful Qina’ 5/16
[29] Al-Majmu’ 4/241
[30] Kasyful Qona’ 5/16.
[31] Tafsir Ibnu Katsir, tafsir surat 24 ayat 30
[32] Matholib Ulin Nuha 5/19
[33] Al-Majmu’ (4/241).

Hukum memandang amrod (Mukhtasor Al-Fatawa Al-Mishriyah 1/29-30):
Berkata Ibnu Taimiyah, “Memandang amrod dengan syahwat hukumnya haram dan ini merupakan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, demikian juga memandang kepada para wanita yang merupakan mahram (namun dengan syahwat) dan berjabat tangan dengan mereka serta berledzat-ledzat dengan mereka. Barangsiapa yang mengatakan bahwa hal ini adalah ibadah maka ia telah kafir, dan dia seperti orang yang menjadikan bantuan kepada orang yang ingin berbuat nista sebagai ibadah, bahkan memandang kepada pepohonan, kuda, dan hewan-hewan jika dengan perasaan menganggap indah dan baik dunia, kekuasaan dan kepemimpinan, serta harta benda, maka pandangan seperti ini tercela sebagaimana firman Allah:
?ولا تمدن عينيك إلى ما متعنا به أزواجا منهم زهرة الحياة الدنيا لنفتنهم فيه ورزق ربك خير وأبقى?
Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabbmu adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. 20:131)
Adapun jika pandangan tersebut dengan perasaan tanpa merendahkan agama, namun dengan pandangan tersebut timbul rileks jiwa seperti memandang bunga-bunga maka ini termasuk kebatilan yang dimanfaatkan untuk kebenaran.
Terkadang seseorang memandang kepada orang lain karena keimanan dan ketakwaan yang dimiliki oleh orang yang dipandang tersebut maka pandangan yang seperti ini patokannya adalah hati dan amal orang yang dipandang tersebut bukan karena rupa orang itu.
Terkadang seseorang memandang orang tersebut karena keindahan rupa orang tersebut sehingga mengingatkan dia akan Dzat yang menciptakan rupa tersebut (yaitu Allah) maka pendangan seperti ini baik.
Terkadang seseorang memandang orang lain hanya karena keindahan rupanya
Maka masing-masing model memandang di atas kapan saja disertai dengan nafsu maka hukumnya haram tanpa diragukan lagi, sama saja apakah syahwat yang menimbulkan syahwat untuk berjima’ ataupun tidak.
Dan berbeda antara perasaan seseorang tatkala memandang bunga-bunga dengan perasaannya tatkala memandang wanita dan amrod, dikarenakan perbedaan ini maka dibedakan juga dalam hukum syar’inya, maka jadilah memandang kepada amrod ada tiga macam:
1. Jika pandangan tersebut disertai dengan syahwat maka hukumnya adalah haram
2. Yang dibolehkan karena tidak disertai dengan syahwat seperti seseorang yang wara’ yang memandang kepada putranya yang tampan dan putrinya yang cantik. Pandangan yang seperti ini tidak disertai dengan syahwat kecuali dilakukan oleh orang yang paling fajir. Kapan saja pandangan ini disertai dengan syahwat maka hukumnya adalah haram. Oleh karena itu barangsiapa yang hatinya tidak condong kepada amrod sebagaimana para sahabat, sebagaimana sebuah umat yang tidak pernah mengenal kemaksiatan yang nista ini. Seorang dari mereka tidak membedakan antara pandangannya kepada wajah amrod dengan pandangannya kepada putranya, putra tetangganya, anak kecil ajnabi. Sama sekali tidak terbetik dihatinya syahwat, karena ia tidak terbiasa dengan hal itu, hatinya bersih. Budak-budak wanita di zaman para sahabat keluar berjalan di jalan-jalan dalam keadaan terbuka wajah-wajah mereka dan mereka melayani (membantu) para lelaki dan hati-hati mereka dalam keadaan bersih. Kalau di negeri ini dan saat ini ada orang yang ingin membiarkan budak-budak wanitanya dari Turki berjalan di jalan-jalan maka akan timbul kerusakan. Demikian pula dengan amrod-amrod yang tampan, tidak dibenarkan untuk keluar di tempat-tempat dan di waktu-waktu yang dikhawatirkan mereka akan terkena fitnah kecuali sebatas keperluan. Maka tidaklah mungkin pemuda amrod yang tampan berjalan santai atau duduk di tempat pemandian umun diantara lelaki asing…
3. Hanyalah timbul perbedaan pendapat diantara para ulama pada jenis yang ketiga yaitu memandang kepada para amrod tanpa disertai syahwat, namun ada kekawatiran akan timbulnya gejolak syahwat, maka ada dua pendapat pada madzhab Imam Ahmad. Dan yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah pendapat yang juga merupakan pernyataan Imam As-Syafi’i dan yang lainnya yaitu tidak boleh. Pendapat yang kedua boleh, karena yang merupakan asal adalah tidak timbulnya gejolak syahwat.. Pendapat pertamalah yang lebih benar.
Barangsiapa yang berlama-lama memandang amrod lalu mengatakan bahwa ia tidak memandangnya dengan syahwat maka ia telah berdusta, karena kalau memang tidak ada sesuatu (yaitu syahwat) yang mendorongnya untuk terus memandang tentunya ia tidak akan memandang. Sesungguhnya ia tidak mengulangi pandangannya kepada amrod kecuali karena ada keledzatan yang terdapat dalam hatinya.”
[34] Al-Majmu’ 4/242
[35] Al-Majmu’ 4/241
[36] HR Al-Bukhari 1/149, Muslim 1/457
عن أنس بن مالك أن جدته مليكة دعت رسول الله صلى الله عليه وسلم لطعام صنعته له فأكل منه ثم قال قوموا فلأصل لكم قال أنس فقمت إلى حصير لنا قد اسود من طول ما لبس فنضحته بماء فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم وصففت أنا واليتيم وراءه والعجوز من ورائنا فصلى لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ركعتين ثم انصرف
Dari Anas bin Malik ia berkata bahwasanya neneknya (yang bernama) Mulaikah mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memakan makanan yang telah dibuatnya untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabipun memakannya kemudian ia shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Marilah sholat aku akan mengimami kalian” Anas berkata, “Maka akupun mengambil sebuah tikar milik kami yang sudah menghitam karena telah lama dipakai lalu akupun memercikkan air pada tidak tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri (untuk sholat) dan aku bersama seorang anak yatim berdiri satu saf dibelakang beliau ÷ dan orang yang tua (yaitu nenek beliau) de belakang kami. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat dua rakaat kemudian beliau berpaling (selesai dari sholat).
[37] Al-Mabshuth karya As-Sarkashi 1/166
[38] Al-Majmu’ 4/242
[39] Al-Majmu’ 4/242
[40] HR Muslim 4/1711, Shahih Ibnu Hibban 12/398
[41] Al-Minhaj 4/155
[42] Al-Minhaj 4/155
[43] Silsilah Al-Huda wan Nuur, kaset no 18
[44] Al-Majmu’ 4/241
[45] HR Al-Bukhari no 5232
[46] Fathul Bari 9/411
[47] Adapun Al-Maziri, maka beliau menyatakan bahwa makna Al-Hamwu adalah bapak suami, dan pendapat inipun diikuti oleh Ibnul Atsir dalam An-Nihayah, namun dzahirnya Ibnul Atsir juga tidak membatasi makna Al-Hamwu pada bapak sang suami tapi ia memang Al-Hamwu itu adalah umum mencakup seluruh kerabat suami tanpa mengecualikan bapak dan anak-anak suami. Beliau berkata, Al-Hamwu, “Kerabat-kerabat suami” (An-Nihayah 1/440) Berkata Imam An-Nawawi, “Ini adalah pendapat yang rusak dan tertolak” (Al-Minhaj 14/154). Ibnu Hajar menjelaskan bahwa penafsiran dan penjelasan para imam menunjukan bahwa pendapat ini bukanlah pendapat yang rusak (Fathul Bari 9/412).
Al-Maziri mengisyaratkan bahwa disebutkannya bapak suami untuk dilarang masuk menemui mughibah sebagai peringatan bahwa pelarangan terhadap salain bapak suami terlebih lagi (Al-Fath 9412)
Ibnul Atsir berkata, “Jika menurut sang suami bahwa bapaknya adalah maut (jika masuk kedalam rumahnya dan ia dalam keadaan tidak di rumah) –padahal ia adalah mahram istrinya- bagaimana jika yang masuk adalah orang asing??!, maksudnya yaitu “Lebih baik ia (sang istri) mati saja dan janganlah ia (sang istri) melakukannya (membiarkan ada yang masuk rumahnya tanpa kehadiran sang suami)”…, ia berkata, “Maknanya adalah berkhalwatnya Al-Hamwu bersama sang istri lebih berbahya daripada berkhalwat dengan orang asing, karena terkadang jika Al-Hamwu tersebut berbuat baik pada sang istri atau mamintanya untuk melakukan perkara-perkara yang menurut suami adalah hal yang berat seperti mencari sesuatu yang diluar kemampuan sang suami maka jadilah rusaklah hubungan antara suam istri karena hal itu. Dan karena seorang suami tidak suka jika Al-Hamwu mengetahui urusan dalam keluarganya jika ia masuk dalam rumahnya” (An-Nihayah 1/440)
Ibnu Hajar mengomentari perkataan Ibnul Atsir ini, “Seakan-akan perkataannya Al-Hamwu maut yaitu mesti terjadi dan tidak mungkin mencegah sang istri dari masuknya Al-Hamwu, sebagaimana kematian itu tidak bisa dihindari. Dan pendapat yang terakhir ini dipilih oleh Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyah) dalam syarhul ‘Umdah” (Al-Fath 9/413)
[48] Al-Minhaj 14/154.
[49] Perkataan kedua ulama ini dinukil oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj 14/154
[50] Umdatul Qori 20/214
[51] Majmu’ 4/242

sumber:www.muslim.or.id

Bahaya Kholwat 1

Bahaya Kholwat


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يخلون أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما

Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.[1]
ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يخلون بامرأة ليس معها ذو محرم منها فإن ثالثهما الشيطان

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahrom wanita tersebut, karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.[2]

لا يخلون رجل بامرأة إلا مع ذي محرم فقام رجل فقال يا رسول الله امرأتي خرجت حاجة واكتتبت في غزوة كذا وكذا قال ارجع فحج مع امرأتك

Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kacuali jika bersama dengan mahrom sang wanita tersebut”. Lalu berdirilah seseorang dan berkata, “Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk berhaji, dan aku telah mendaftarkan diriku untuk berjihad pada perang ini dan itu”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kembalilah!, dan berhajilah bersama istrimu”[3]


Apa maksud perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua”?

Berkata Al-Munawi, :”Yaitu syaitan menjadi penengah (orang ketiga) diantara keduanya dengan membisikan mereka (untuk melakukan kemaksiatan) dan menjadikan syahwat mereka berdua bergejolak dan menghilangkan rasa malu dan sungkan dari keduanya serta menghiasi kemaksiatan hingga nampak indah di hadapan mereka berdua, sampai akhirnya syaitan pun menyatukan mereka berdua dalam kenistaan (yaitu berzina) atau (minimal) menjatuhkan mereka pada perkara-perkara yang lebih ringan dari zina yaitu perkara-perkara pembukaan dari zina yang hampir-hampir menjatuhkan mereka kepada perzinaan.”[4]

Berkata As-Syaukani, “Sebabnya adalah lelaki senang kepada wanita karena demikanlah ia telah diciptakan memiliki kecondongan kepada wanita, demikian juga karena sifat yang telah dimilikinya berupa syahwat untuk menikah. Demikian juga wanita senang kepada lelaki karena sifat-sifat alami dan naluri yang telah tertancap dalam dirinya. Oleh karena itu syaitan menemukan sarana untuk mengobarkan syahwat yang satu kepada yang lainnya maka terjadilah kemaksiatan.”[5]

Imam An-Nawawi berkata, “…Diharamkannya berkhalwat dengan seorang wanita ajnabiah dan dibolehkannya berkholwatnya (seorang wanita) dengan mahramnya, dan dua perkara ini merupakan ijma’ (para ulama)”[6]

Apakah yang dimakasud dengan mahram??

Berkata As-Suyuthi, “Para sahabat kami (para pengikut madzhab Syafi’i) mengatakan, ‘Mahrom adalah wanita yang diharamkan untuk dinikahi untuk selama-lamanya baik karena nasab maupun dikarenakan sebab tertentu yang dibolehkan dan dikarenakan kemahraman wanita tersebut”[7]

Dari definisi ini maka diketahui bahwa
1. (wanita yang diharamkan untuk dinikahi), maka bukanlah mahrom anak-anak paman dan anak-anak bibi (baik paman dan bibi tersebut saudara sekandung ayah maupun saudara sekandung ibu)
2. (untuk selama-lamanya), maka bukanlah mahrom saudara wanita istri dan juga bibi (tante) istri (baik tante tersebut saudara kandung ibu si istri maupun saudara kandung ayah si istri) karena keduanya bisa dinikahi jika sang istri dicerai, demikian juga bukanlah termasuk mahrom wanita yang telah ditalak tiga, karena ia bisa dinikahi lagi jika telah dinikahi oleh orang lain kemudian dicerai. Demikian juga bukanlah termasuk mahram wanita selain ahlul kitab (baik yang beragama majusi, budha, hindu, maupun kepercayaan yang lainnya) karena ia bisa dinikahi jika masuk dalam agama Islam
3. (dikarenakan sebab tertentu yang dibolehkan), maka bukanlah mahrom ibu yang dijima’i oleh ayah dengan jima’ yang syubhat (tidak dengan pernikahan yang sah) dan juga anak wanita dari ibu tersebut. Ibu tersebut tidak boleh untuk dinikahi namun ia bukanlah mahrom karena jima’ syubhat tidak dikatakan boleh dilakukan
4. (dikarenakan kemahroman wanita tersebut), maka bukan termasuk mahrom wanita yang dipisah dari sauaminya karena mula’anah[8], karena wanita tersebut diharamkan untuk dinikahi kembali oleh suaminya yang telah melaknatnya selama-lamanya namun bukan karena kemahroman wanita tersebut namun karena sikap ketegasan dan penekanan terhadap sang suami.[9]

Dan jika telah jelas bahwa sang wanita adalah mahromnya maka tidak boleh baginya untuk menikahinya dan boleh baginya untuk memandangnya dan berkhalwat dengannya dan bersafar menemaninya, dan hukum ini mutlak mencakup mahrom yang disebabkan karena nasab atau karena persusuan atau dikarenakan pernikahan.[10]

Peringatan:

Berkata Imam An-Nawawi, “Yang dimaksud mahram dari sang wanita ajnabiah yang jika ia berada bersama sang wanita maka boleh bagi seorang pria untuk duduk (berkhalwat) bersama wanita ajnabiah tersebut, disyaratkan harus merupakan seseorang yang sang pria ajnabi sungkan (malu/tidak enak hati) dengannya. Adapun jika mahrom tersebut masih kecil misalnya umurnya dua atau tiga tahun atau yang semisalnya maka wujudnya seperti tidak adanya tanpa ada khilaf.”[11]Anas bin Malik berkata, جاءت امرأة من الأنصار إلى النبي صلى الله عليه وسلم فخلا بها فقال والله إنكم لأحب الناس إلي

“Datang seorang wanita dari kaum Ansor kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkhalwat dengannya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Demi Allah kalian (kaum Anshor) adalah orang-orang yang paling aku cintai”[12]

Imam Al-Bukhori memberi judul hadits ini dengan perkataannya,

باب ما يجوز أن يخلو الرجل بالمرأة عند الناس

“Bab : Dibolehkannya seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita jika di hadapan khalayak”

Ibnu Hajar berkata, “Imam Al-Bukhori menyimpulkan hukum (dalam judul tersebut dengan perkataannya) “dihadapan khalayak” dari perkataan Anas bin Malik dari riwayat yang lain[13] “Maka Nabipun berkhalwat dengannya di sebagian jalan atau sebagian السكك (sukak)”. Dan السكك, adalah jalan digunakan untuk berjalan yang biasanya selalu dilewati manusia”

Ibnu Hajar berkata, “Yaitu ia tidak berkhalwat dengan wanita tersebut hingga keduanya tertutup dari pandangan khalayak (tersembunyi dan tidak kelihatan-pen), namun maksudnya dibolehkan khalwat jika (mereka berdua kelihatan oleh khalayak) namun suara mereka berdua tidak terdengar oleh khalayak karena ia berbicara dengannya perlahan-lahan, contohnya karena suatu perkara yang wanita tersebut malu jika ia menyebutkan perkara tersebut di hadapan khalayak”

Ibnu Hajar menjelaskan bahwasanya ada khalwat yang diharamkan dan ada khalwat yang diperbolehkan,

1. Khalwat yang diperbolehkan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama wanita tersebut, yaitu memojok dengan suara yang tidak di dengar oleh khalayak namun tidak tertutup dari pandangan mereka. Hal ini juga sebagaimana penjelasan Al-Muhallab, “Anas tidak memaksudkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga tidak kelihatan oleh orang-orang sekitar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala itu, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga orang-orang disekitarnya tidak mendengar keluhan sang wanita dan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wanita tersebut. Oleh karena itu Anas mendengar akhir dari pembicaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wanita tersebut lalu iapun menukilnya (meriwayatkannya) dan ia tidak meriwayatkan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wanita itu karena ia tidak mendengarnya”[14]

2. Khalwat yang diharamkan adalah khalwat (bersendiriannya) antara lelaki dan wanita sehingga tertutup dari pandangan manusia.[15]

Syaikh Sholeh Alu Syaikh berkata:

((والخلوة المحرمة هي ما كانت مع إغلاق لدار أو حجرة أو سيارة ونحو ذلك أو مع استتار عن الأعين، فهذه خلوة محرمة وكذا ضبطها الفقهاء))

“Dan khalwat yang diharamkan adalah jika disertai dengan menutup (mengunci) rumah atau kamar atau mobil atau yang semisalnya atau tertutup dari pandangan manusia (khalayak). Inilah khalwat yang terlarang, dan demikianlah para ahli fikh mendefinisikannya.”[16]

Jadi khalwat yang diharamkan ada dua bentuk sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Sholeh Alu Syaikh. Dan bukanlah merupkan kelaziman bahwa ruangan yang tertutup melazimkan juga tertutupnya dari pandangan khalayak.

Jika ada yang mengatakan, “Berdasarkan definisi khalwat yang diharamkan di atas maka berdua-duaannya seorang wanita dan pria di emperan jalan-jalan raya bukanlah khalwat yang diharamkan karena semua orang memandang mereka’??,

Memang benar hal itu bukanlah merupakan khalwat yang diharamkan, namun ingat di antara hikmah diharamkan khalwat adalah karena khalwat merupakan salah satu sarana yang mengantarakan kepada perbuatan zina, sebagaimana mengumbar pandangan merupakan awal langkah yang akhirnya mengantarkan pada perbuatan zina. Oleh karena itu bentuk khalwat yang dilakukan oleh kebanyakan pemuda meskipun jika ditinjau dari hakikat khalwat itu sendiri bukanlah khalwat yang diharamkan, namun jika ditinjau dari fitnah yang timbul akibat khalwat tersebut maka hukumnya adalah haram. Para pemuda-pemudi yang berdua-duaan tersebut telah jatuh dalam hal-hal yang haram lainnya seperti saling memandang antara satu dengan yang lainnya, sang wanita mendayu-dayukan suaranya dengan menggoda, belum lagi pakaian sang wanita yang tidak sesuai dengan syari’at, dan lain sebagaianya yang jauh lebih parah. Khalwat yang asalnya dibolehkan ini namun jika tercampur dengan hal-hal yang haram ini maka hukumnya menjadi haram. Khlawat yang tidak aman dari munculnya fitnah maka hukumnya haram.

Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini (yaitu hadits Anas di atas) menunjukan akan bolehnya berbincang-bincang dengan seorang wanita ajnabiah (bukan mahram) dengan pembicaraan rahasia (diam-diam), dan hal ini bukanlah celaan terhadap kehormatan agama pelakunya jika ia aman dari fitnah. Namun perkaranya sebagaimana perkataan Aisyah وأيكم يملك إربه كما كان النبي يملك إربه “Dan siapakah dari kalian yang mampu menahan gejolak nafsunya sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menahan syahwatnya”[17]

Sa’id bin Al-Musayyib berkata, : لقد بلغت ثمانين سنة وأنا أخوف ما أخاف على النساء ”Aku telah mencapai usia delapan puluh tahun dan yang paling aku takutkan adalah para wanita”[18]

Dalam riwayat yang lain dari Ali bin Zaid bin Jad’an bahwasanya Sa’id berkata,

ما أيس الشيطان من شيء الا أتاه من قبل النساء، ثم قال سعيد (وهو بن أربع وثمانين سنة وقد ذهبت احدى عينيه وهو يعشى بالأخرى) ما من شيء أخوف عندي من النساء

“Tidaklah syaitan berputus asa dari (menggoda) sesuatu kecuali ia mencari jalan keluar dengan mempergunakan para wanita (sebagai senjatanya untuk menggoda)”, Ali bin Zaid bin Jad’an berkata, “Kemudian Sa’id berkata (padahal waktu itu ia telah berumur 84 tahun dan matanya yang satu tidak bisa digunakan untuk melihat lagi, dan mata yang satunya lagi rabun) :Tidak ada sesuatu yang lebih aku takutkan daripada para wanita”[19]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, :

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

Tidak pernah aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya terhadap kaum pria daripada finah para wanita.[20]

Abdurrouf Al-Munawi mengomentari hadits ini, ((Hal ini dikarenakan seorang wanita tidaklah menyuruh suaminya kecuali kepada perkara-perkara yang buruk, dan tidak memotivasinya kecuali untuk melakukan keburukan, dan bahaya wanita yang paling minimal adalah ia menjadikan suaminya cinta kepada dunia hingga akhirnya binasa dalam dunianya, dan kerusakan apa yang lebih parah dari hal ini, belum lagi wanita adalah sebab timbulnya mabuk asmara dan fitnah-fitnah yang lainnya yang sulit untuk dihitung.

Ibnu Abbas berkata, لم يكفر من كفر ممن مضى إلا من قبل النساء وكفر من بقي من قبل النساء “Tidaklah kafir orang-orang terdahulu kecuali dikarenakan para wanita dan demikian juga dengan orang-orang yang di masa mendatang”.

Para raja mengirimkan hadiah-hadiah kepada para ahli fikh maka merekapun menerima hadiah tersebut, adapun Fudhail ia menolak hadiah tersebut. Istrinyapun berkata kepadanya, “Engkau menolak sepuluh ribu (dinar atau dirham) padahal kita tidak memiliki makanan untuk dimakan pada hari ini?”, Fudhailpun menimpali, “Permisalan antara aku dan engkau (wahai istriku) sebagaimana suatu kaum yang memiliki seekor sapi yang mereka membajak dengan menggunakan sapi tersebut, tatkala sapi tersebut telah tua maka merekapun menyembelihnya. Demikianlah aku, kalian engkau ingin menyembelihku setelah aku mencapai usia senja, lebih baik engkau mati dalam keadaan lapar sebelum engkau menyembelih Fudhail”))[21]

Dari Imron bin Abdillah, Sa’id bin Al-Musayyib berkata, ما خفت على نفسي شيئا مخافة النساء “Tidaklah aku takut pada sesuatu menimpa diriku sebagaimana ketakutanku kepada (fitnah) para wanita”, para sahabat beliau berkata, يا أبا محمد إن مثلك لا يريد النساء ولا تريده النساء قال هو ما أقول لكم “Wahai Abu Muhammad, orang yang sepertimu tidak menghendaki para wanita dan para wanitapun tidak menghendakinya!”. Sa’id berkata, “Kenyataannya sebagaimana yang telah aku katakan kepada kalian”[22]

‘Ato’ berkata, لو ائتمنت على بيت مال لكنت أمينا ولا آمن نفسي على أمة شوهاء “Jika aku diberi kepercayaan untuk menjaga baitul mal (tempat penyimpanan harta kaum muslimin) maka aku akan menjalankan amanah tersebut, namun aku tidak bisa menjamin diriku dari seorang budak wanita yang cantik”

Imam Ad-Dzahabi mengomentari perkataan ‘Ato ini, صدق رحمه الله ففي الحديث ألا لايخلون رجل بامرأة فإن ثالثهما الشيطان “Sungguh benar perkataan ‘Ato’ –semoga Allah merahmati beliau- sebagaimana telah disebutkan dalam hadits, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua”[23]

Maka sungguh benarlah perkataan Ahmad bin ‘Ashim Al-Anthoki (beliau meninggal tahun 239 H), من كان بالله أعرف كان منه أخوف “Barangsiapa yang lebih mengenal Allah maka ia akan lebih takut kepada Allah”[24]. Lihatlah para salaf seperti Sa’id bin Al-Musayyib yang tidaklah pernah dikumandangkan adzan selama empat puluh tahun kecuali Sa’id telah berada di masjid[25], demikian juga ‘Ato yang Ibnu Juraij berkata tentangnya, كان المسجد فراش عطاء عشرين سنة وكان من أحسن الناس صلاة “Masjid adalah tempat tidur ‘Ato’ selama dua puluh tahun, dan beliau adalah orang yang paling baik sholatnya”[26]. Dengan ibadah mereka yang luar biasa tersebut maka mereka lebih mengenal Rob mereka shingga mereka lebih takut kepada Allah, takut kalau diri mereka terjerumus dalam kemaksiatan. Tidak sebagaimana halnya sebagian kaum muslimin yang merasa percaya diri untuk terselamatkan dari fitnah, apalagi fitnah yang sangat berbahaya yaitu fitnah wanita???

Dan diharamkan berkhalwatnya seseorang dengan lawan jenisnya yang bukan merupakan mahromnya, dan hal ini umum mencakup seluruh bentuk, dan sama saja apakah disertai nafsu syahwat ataupun tidak, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berkhalwat secara mutlak baik disertai syahwat maupun tidak.

قيل له أن بعض الناس يجالس النسوان ويقول أنا معصوم في رؤيتهن فقال ما دامت الأشباح باقية فإن الأمر والنهي باق والتحليل والتحريم مخاطب بهما ولن يجترئ على الشبهات إلا من يتعرض للمحرمات

Dikatakan kepada Abul Qosim An-Nasr Abadzi, “Sebagian orang duduk (bergaul) dengan para wanita dan mereka berkata, “Saya bisa terjaga untuk tidak memandang mereka”. Iapun berkata, “Selama jasad masih utuh maka perintah dan larangan juga tetap berlaku dan penghalalan dan pengharaman juga tetap ditujukan dengan keduanya (yaitu perintah dan larangan) dan tidaklah memberanikan diri kepada syubhat-syubhat kecuali orang yang menjerumuskan dirinya untuk jatuh dalam hal-hal yang haram“[27]


Peringatan:

1. Diharamkan berkhalwatnya seorang wanita dengan hewan yang bisa tertarik dan bernafsu kepada seorang wanita seperti monyet, karena dikawatirkan terjadinya fitnah (hal yang tidak diinginkan) sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Aqil dan Ibnul Jauzi, serta Syaikh Taqiyuddin.[28]

2. Orang yang banci bersama seorang wanita hukumnya ia seperti seorang pria (maka berlaku hukum-hukum khalwat), dan demikian juga jika bersama banyak wanita. Dan jika bersama seorang pria maka ia hukumnya seperti seorang wanita, demikian juga jika ia bersama banyak lelaki, dalam rangka untuk berhati-hati[29]

3. Berkhalwat dengan seorang amrod (anak muda yang belum tumbuh rambut wajahnya) yang berparas tampan hukumnya sebagaimana khalwat bersama seorang wanita, meskipun khalwat tersebut untuk kemaslahatan ngajar mengajar atau pendidikan . Imam Ahmad berkata kepada seseorang yang berjalan bersama seorang anak yang tampan yang merupakan keponakan orang tersebut; “Menurutku hendaknya engkau tidak berjalan bersamanya di jalan”. Ibnul Jauzi berkatam “Para salaf berkata tentang amrod: “وهو أشد فتنة من العذارى” “Fitnahnya lebih besar daripada fitnah wanita perawan”[30]. Berkata Ibnu Katsir, “Banyak salaf yang mengatakan bahwa mereka melarang seorang pria menajamkan pandanganya (menatapi dengan serius) kepada amrod”[31]. Berkata Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyah), “Barangsiapa yang mengulangi pendangannya kepada amrod dan terus memandangnya lantas ia berkata “Aku tidak memandangnya dengan syahwat” maka ia telah berdusta”[32]. Berkata Imam An-Nawawi, “Imam As-Syafi’i menyatakan akan haramnya memandang (wajah) amrod, dan jika memandang saja haram maka berkhalwat dengan amrad lebih haram lagi karena hal itu lebih jelek dan lebih dekat kepada mafsadah dan hal yang dikawatirkan (jika berkhalwat bersama seorang wanita) juga ada (jika berkhalwat dengan amrod”[33]
bersambung

Sabtu, 05 Maret 2011

Mewaspadai Bahaya Korupsi

MEWASPADAI BAHAYA KORUPSI

Oleh
Ustadz Abu Humaid Arif Syarifuddin



Menengok keadaan saat ini, betapa banyak orang yang melakukan perbuatan yang amat tercela ini. Bahkan hampir kita dapati dalam semua lapisan masyarakat, dari masyarakat yang paling bawah, menengah sampai kalangan atas. Khalayak pun kemudian menggolongkan para pelaku korupsi ini menjadi berkelas-kelas. Mulai koruptor kelas teri sampai kelas kakap. Dalam lingkup masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan banyak kita jumpai, seseorang yang mendapat amanah untuk membelanjakan sesuatu, kemudian setelah dibelanjakan, uang yang diberikan pemiliknya masih tersisa, tetapi dia tidak memberitahukan adanya sisa uang tersebut, meskipun hanya seratus rupiah, melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau dengan cara memanipulasi nota belanja. Adapun koruptor kelas kakap, maka tidak tanggung-tanggung yang dia ‘embat’ sampai milyaran bahkan triliyunan. Sejauh mana bahaya perbuatan ini? Kami mencoba mengulasnya dengan mengambil salah satu hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini. Semoga bermanfaat, dan kita dapat menghindari ataupun mewaspadai bahayanya. (Redaksi).
Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

((مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))، قَالَ: فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: ((وَمَا لَكَ؟))، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: ((وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى)).

“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”.
(‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan."
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,"Ada apa gerangan?”
Dia menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.)."
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata,"Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.”

TAKHRIJ HADITS
- Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415.
- Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab al Aqdhiyah, bab Fi Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3110.
- Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 17264 dan 17270, dari jalur Isma’il bin Abu Khalid, dari Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat ‘Adiy bin ‘Amirah al Kindi Radhiyallahu 'anhu di atas. Adapun lafadz hadits di atas dibawakan oleh Muslim.

BIOGRAFI SINGKAT ‘ADIY BIN ‘AMIRAH RADHIYALLAHU 'ANHU
Beliau merupakan sahabat mulia, dengan nama lengkapnya ‘Adiy bin ‘Amirah bin Farwah bin Zurarah bin al Arqam, Abu Zurarah al Kindi. Beliau hanya sedikit meriwayatkan hadits Rasululllah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya adalah hadits ini.
Beliau wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu. Ada pula yang berpendapat selain itu [1]. Wallahu a’lam bish shawab.

MUFRADAT (KOSA KATA)
Kata ghululan (غُلُولاً) dalam lafadz Muslim, atau ghullun (غُلٌّ) dalam lafadz Abu Dawud, keduanya dengan huruf ghain berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa pengertian, di antaranya bermakna belenggu besi, atau berasal dari kata kerja ghalla (غَلَّ) yang berarti khianat [2]. Ibnul Atsir menerangkan, kata al ghulul (الْغُلُولُ), pada asalnya bermakna khianat dalam urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagikan [3]. Kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan secara sembunyi-sembunyi.[4]

Jadi, kata ghulul (الْغُلُولُ) di atas, secara umum digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh seseorang secara khianat, atau tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya (tanpa seizin pemimpinnya atau orang yang menugaskannya). Dalam bahasa kita sekarang, perbuatan ini disebut korupsi, seperti tersebut dalam hadits yang sedang kita bahas ini.

MAKNA HADITS
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan dimintai pertanggungjawabnya nanti pada hari Kiamat.

Ketika kata-kata ancaman tersebut didengar oleh salah seorang dari kaum Anshar, yang orang ini merupakan satu di antara para petugas yang ditunjuk oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta merta dia merasa takut. Dia meminta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melepaskan jabatannya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, agar setiap orang yang diberi tugas dengan suatu pekerjaan, hendaknya membawa hasil dari pekerjaannya secara keseluruhan, sedikit maupun banyak kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian mengenai pembagiannya, akan dilakukan sendiri oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang diberikan, berarti boleh mereka ambil. Sedangkan yang ditahan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mereka tidak boleh mengambilnya.

SYARAH HADITS
Hadits di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta di luar hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya. Seperti ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

((مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقاً فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ)).

"Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)".[5]

Asy Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya (haram) bagi pekerja (petugas) mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah ghulul (korupsi).[6]

Dalam hadits tersebut maupun di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan secara global bentuk pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang menghasilkan harta atau yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan zakat harta, yang bisa jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat menyembunyikan sebagian yang telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak menyerahkan kepada pimpinan yang menugaskannya.

HUKUM SYARI’AT TENTANG KORUPSI
Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (al Qur`an) maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih.

Di dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …" [Ali Imran: 161].

Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.

Menurut penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ayat ini diturunkan pada saat (setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengambilnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terbebas dari tuduhan tersebut.

Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya [7]. Hal itu, karena berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu.

Mengenai besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …”

Ibnu Katsir mengatakan,"Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.” [8]

Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dalam firmanNya :

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui" [al Baqarah/2:188]

Juga firmanNya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…" [an Nisaa`/4 : 29].

Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, di antaranya hadits dari ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu dan hadits Buraidah Radhiyallahu 'anhu di atas.

PINTU-PINTU KORUPSI
Peluang melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu-pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab kita.

Berikut adalah di antara pintu-pintu korupsi.

1. Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan :

((غَزَا نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَقَالَ لِقَوْمِهِ لَا يَتْبَعْنِي رَجُلٌ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا وَلَا أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ سُقُوفَهَا وَلَا أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ يَنْتَظِرُ وِلَادَهَا فَغَزَا فَدَنَا مِنْ الْقَرْيَةِ صَلَاةَ الْعَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ فَقَالَ لِلشَّمْسِ إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَجَمَعَ الْغَنَائِمَ فَجَاءَتْ يَعْنِي النَّارَ لِتَأْكُلَهَا فَلَمْ تَطْعَمْهَا فَقَالَ إِنَّ فِيكُمْ غُلُولًا فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ فَلْيُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ فَجَاءُوا بِرَأْسٍ مِثْلِ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنْ الذَّهَبِ فَوَضَعُوهَا فَجَاءَتْ النَّارُ فَأَكَلَتْهَا، ثُمَّ أَحَلَّ اللَّهُ لَنَا الْغَنَائِمَ رَأَى ضَعْفَنَا وَعَجْزَنَا فَأَحَلَّهَا لَنَا))

"Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : "Tidak boleh mengikutiku (berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia belum melakukannya; tidak pula seseorang yang yang telah membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan) peranakannya".

Lalu nabi itu pun berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : "Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami," maka tertahanlah matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada kaumnya): "Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari setiap kabilah bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan seseorang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul," maka mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita (karena) Allah melihat kelemahan kita.[9]

2. Ketika pengumpulan zakat maal (harta).
Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat amanah mengumpulkan zakat maal tersebut dengan mengatakan :

((أَفَلَا قَعَدْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لَا))

"Tidakkah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?"

Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di antara isi penjelasan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :

((فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا لَهَا خُوَارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ))

"(Maka) Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah seseorang dari kalian mengambil (mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …" [10]

3. Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang menugaskannya.
Dalam hal ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :

((هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ))

"Hadiah untuk para petugas adalah ghulul". [11]

4. Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta, seperti seorang yang mendapat amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga baitul maal atau yang lainnya, terdapat peluang bagi seseorang yang berniat buruk untuk melakukan ghulul (korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah yang telah ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam hadits yang telah lalu, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya : Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).[12]

BAHAYA BUATAN GHULUL (KORUPSI)
Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Diantaranya :

1. Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

((... وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ...))

"Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …” [13]

2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

((... فَإِنَّ الْغُلُولَ عَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشَنَارٌ وَنَارٌ))

"…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya". [14]

3. Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

((مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ))

"Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang". [15]

4. Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

((لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ))

"Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)".[16]

5. Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

((أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ))

"Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,"Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan". Dia (Allah) juga berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu," kemudian beliau (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): "Ya Rabb…, ya Rabb…," tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?". [17]

Demikian yang bisa tuliskan untuk para pembaca seputar masalah korupsi. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita dari segala keburukan yang lahir maupun tersembunyi. Dan semoga uraian singkat ini bermanfaat.

Wallahu a’lam bish Shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tahdzibul Kamal, II/924 -copi manuskrip oleh Penerbit Daarul Ma’mun lit Turats, Damaskus, dan didistribusikan oleh Maktabatul Ghuraba, Madinah. Lihat juga Taqributh Tahdzib, urutan no. 4544.
[2]. Lisanul ‘Arab, 11/499.
[3]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu tentang kisah seorang nabi (sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ) dengan umatnya ketika mereka memperoleh rampasan perang. Kemudian di antara mereka ada yang mencuri harta rampasan perang tersebut, hingga Allah mengirimkan api dan melahap semua harta rampasan perang tersebut, dan Allah mengharamkannya untuk umat sebelum umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Muttafaqun ‘alaihi. Al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam (Uhillat), hadits no. 3124, dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sair, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshatan, hadits no. 3287.)
[4]. Lihat an Nihayah fi Gharibil Hadits, 3/380.
[5]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya di kitab al Kharaj wal Imarah wal Fa-i, bab Fi Arzaqul Ummal, hadits no. 2943 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 6023.
[6]. Nailul Authar, 4/233.
[7]. Tafsir Ibnu Katsir (1/398).
[8]. Ibid.
[9]. HR al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam (Uhillat), hadits no. 3124 dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sayr, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshah, hadits no. 3287.
[10]. HR al Bukhari dalam kitab al Aiman wan Nudzur, bab Kaifa Kaanat Yamiinun Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam, hadits no. 6636 dan lainnya dengan lafazh yang berdekatan, serta Muslim dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413 dan 3414 dengan lafazh yang serupa, dan ada sedikit perbedaan.
[11]. HR Ahmad, no. 23090 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Irwa’ul Ghalil hadits no. 2622.
[12]. Lihat takhrijnya pada catatan kaki no. 5.
[13]. HR al Bukhari dalam kitab al Hibah wa Fadhluha wat Tahridhu ‘Alaiha, bab Man lam Yaqbalil Hadiyata li ‘Illatin, hadits no. 2597 dan Muslim (dengan lafazh serupa) dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413.
[14]. HR Ibnu Majah dalam kitab al Jihad, bab al Ghulul, hadits no. 2850, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 7869.
[15]. HR Ahmad, no. 21291; at Tirmidzi, no. 1572; an Nasaa-i dan Ibnu Majah.
[16]. HR Muslim dalam kitab Thaharah, bab Wujubuth Thaharah lish Shalati, hadits no. 329, dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anh, dan diriwayatkan pula oleh yang lain dari Ibnu 'Umar dan Usamah bin Umair al Hudzali Radhiyallahu 'anhu.
[17]. HR Muslim dalam kitab az Zakat, bab Qabulush Shadaqati minal Kasbit Thayyibi wa Tarbiyatuha, hadits no. 1686.
SUMBER:http://almanhaj.or.id/content/2673/slash/0

Adab Meminta Izin

ADAB MEMINTA IZIN


Oleh
Ummu Ihsan Choiriyah


Di tengah masyarakat sekarang ini, masih sering kita saksikan perbuatan salah yang dianggap lumrah. Atau perbuatan berbahaya yang dianggap biasa. Hal ini wajar, karena masih sangat sedikit dari mayoritas kaum muslimin orang yang benar-benar memahami tuntunan syari'at. Sedikit juga orang yang berkemauan keras untuk belajar dan mendalami agamanya.

Diantara kebiasaan yang kerap kita saksikan, yaitu seseorang memasuki rumah orang lain tanpa meminta izin si empunya rumah. Atau kita dapati seseorang mengintip ke dalam rumah orang lain karena si empunya tak menjawab salamnya.

Masih banyak kaum muslimin yang menganggap ini sebagai perbuatan sepele yang sah-sah saja. Apalagi bila si empunya rumah termasuk kerabat atau sahabat yang dekat dengannya. Mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti itu merupakan perbuatan dosa yang dapat membawa mudharat yang sangat berbahaya.
Rumah, pada hakikatnya adalah hijab bagi seseorang. Di dalamnya seseorang biasa membuka aurat. Di sana juga terdapat perkara-perkara yang ia merasa malu bila orang lain melihatnya. Tidak dapat kita bayangkan, bagaimana bila akhirnya pandangan mata terjatuh pada perkara-perkara yang haram. Ditambah lagi tabiat manusia yang mudah curiga-mencurigai, berprasangka buruk satu sama lain. Akankah akibat-akibat buruk itu dapat terelakkan bila masing-masing pribadi jahil dan tak mengindahkan tuntunan agama?

Syari'at Islam adalah syari'at yang universal. Tidak ada satupun perkara yang membawa kemashlahatan bagi kehidupan manusia, kecuali Islam memerintahkannya. Dan tidak ada satu pun perkara yang dapat membawa mudharat bagi kehidupan manusia, kecuali Islam melarangnya. Tidak terkecuali dalam masalah adab meminta izin atau disebut isti'dzan. Islam telah memberikan tuntunan adab yang sangat agung dalam masalah ini. Berikut ini kami berusaha sedikit mengulasnya.

MEMINTA IZIN BERBEDA DENGAN UCAPAN SALAM
Sebagian orang beranggapan, bila salam telah dijawab, berarti ia boleh masuk ke dalam rumah tanpa harus meminta izin. Ini adalah anggapan yang jelas keliru. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

"Hai, orang orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat".[An Nur:27].

Ayat di atas dengan jelas membedakan antara salam dan meminta izin. Dengan demikian, seseorang yang telah dijawab salamnya, harus meminta izin sebelum masuk ke dalam rumah. Inilah adab yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Kaladah bin Al Hambal, bahwasanya Shafwan bin Umayyah mengutusnya pada hari penaklukan kota Makkah dengan membawa liba' [1], jadayah [2] dan dhaghabis [3]. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di atas lembah. Aku menemui Beliau tanpa mengucapkan salam dan tanpa minta izin. Maka Beliau bersabda:

"اِرْجِعْ فَقُلْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أأدخل"

"Keluarlah, ucapkanlah salam dan katakan: “Bolehkah aku masuk?” [Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa’i]

HENDAKLAH BERDIRI DI SISI KIRI ATAU KANAN PINTU
Bagi orang yang meminta izin, hendaklah berdiri di sisi kanan atau kiri pintu. Dan janganlah ia berdiri tepat di depan pintu. Hal ini dimaksudkan agar pandangan mata tidak jatuh pada perkara-perkara yang tidak layak dipandang saat pintu terkuak. Terlebih lagi, jika pintu memang dalam keadaan terbuka. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr, ia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَي بَابَ قَوْمٍ لَمْ يَسْتَقْبِلِ البَابَ مِنْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ وَلَكِنْ مِنْ رُكْنِهِ الأَيْمَنِ أَوْ الأَيْسَرِ وَيَقُوْلُ "السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ"

"Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi rumah orang, Beliau tidak berdiri di depan pintu, akan tetapi di samping kanan atau samping kiri, kemudian Beliau mengucapkan salam "assalamu 'alaikum, assalamu 'alaikum", karena saat itu rumah-rumah belum dilengkapi dengan tirai". [Hadist riwayat Abu Dawud].

Abu Dawud juga meriwayatkan dari Huzail, ia berkata: "Seorang lelaki –Utsman bin Abi Syaibah menyebutkan, lelaki ini adalah Sa'ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu - datang lalu berdiri di depan pintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta izin. Dia berdiri tepat di depan pintu. Utsman bin Abi Syaibah mengatakan: Berdiri menghadap pintu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:

"هَكَذَا عَنْكَ - أَوْ هَكَذَا - فَإِنَّمَا الاِسْتِئْذَانُ مِنَ النَّظَرِ"

"Menyingkirlah dari depan pintu, sesungguhnya meminta izin disyari’atkan untuk menjaga pandangan mata".

BILA TIDAK DIIZINKAN HENDAKLAH IA KEMBALI
Dalam Al Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فِيهَآ أَحَدًا فَلاَ تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِن قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ ازْكَى لَكُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

"Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu "Kembali (saja)lah,” maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [An Nur:28].

Apabila seseorang telah mengucapkan salam dan meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak juga dipersilakan, hendaklah ia kembali. Boleh jadi tuan rumah sedang enggan menerima tamu, atau ia sedang bepergian. Karena seorang tuan rumah mempunyai kebebasan antara mengizinkan atau menolak tamu. Demikianlah adab yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, Beliau bersabda:

"إِذَا اسْتَأَذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَنْصَرِفْ"

"Jika salah seorang dari kamu sudah meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak diberi izin, maka kembalilah". [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].

LARANGAN MENGINTIP KE DALAM RUMAH ORANG LAIN
Sering kita jumpai orang-orang yang jahil tentang tuntunan syari'at, karena terdorong rasa ingin tahu, ia mengintip ke dalam rumah orang lain. Baik karena salam yang tak terjawab, atau hanya sekedar iseng. Mereka tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti ini diancam keras oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Beliau bersabda:

"لَوْ أَنَّ امْرَأً اِطْلَعَ عَلَيْكَ بِغَيْرِ إِذْنٍ فَخَذَفَتْهُ بِحُصَاةٍ فَفَقَأَتْ عَيْنُهُ مَا كَانَ عَلَيْكَ مِنْ جُنَاحٍ"

"Sekiranya ada seseorang yang mengintip rumahmu tanpa izin, lalu engkau melemparnya dengan batu hingga tercungkil matanya, maka tiada dosa atasmu". [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Sahal bin Saad As Sa'idi Radhiyallahu 'anhu, ia mengabarkan bahwasanya seorang laki laki mengintip pada lubang pintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika itu, Beliau tengah membawa sebuah sisir yang biasa Beliau gunakan untuk menggaruk kepalanya. Ketika melihatnya, Beliau bersabda: "Seandainya aku tahu engkau tengah mengintipku, niscaya telah aku lukai kedua matamu dengan sisir ini". Beliau bersabda: "Sesungguhnya permintaan izin itu diperintahakan untuk menjaga pandangan mata." [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].

Demikianlah beberapa perkara yang harus diperhatikan ketika hendak memasuki rumah orang lain, kecuali rumah-rumah yang tidak didiami oleh seorangpun, dan ia ada keperluan di dalamnya. Seperti rumah yang memang disediakan untuk para tamu, jika di awal ia telah diberi izin, maka cukuplah baginya. Demikian juga tempat-tempat umum, seperti tempat-tempat jualan, penginapan dan lain sebagainya.

Kini muncul pertanyaan, apakah kita juga harus meminta izin ketika hendak masuk menemui salah seorang anggota keluarga kita? Berikut ini perinciannya.

SEORANG LAKI-LAKI HARUS MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK MASUK MENEMUI IBUNYA
Seorang anak laki laki yang telah baligh, wajib meminta izin secara mutlak ketika hendak masuk menemui ibunya.

Di dalam kitab Adabul Mufrad, Imam Al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Muslim bin Nadzir, bahwasanya ada seorang laki laki bertanya kepada Hudzaifah Ibnul Yaman: "Apakah saya harus meminta izin ketika hendak masuk menemui ibuku?" Maka ia menjawab: "Jika engkau tidak meminta izin, niscaya engkau akan melihat sesuatu yang tidak engkau sukai." [Hadits mauquf shahih].

Demikian juga riwayat dari Alqamah, ia berkata: Seorang laki laki datang kepada Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu dan berkata: "Apakah aku harus meminta jika hendak masuk menemui ibuku?" Maka ia menjawab: "Tidaklah dalam semua keadaannya ia suka engkau melihatnya." [Hadits mauquf shahih].

SEORANG LAKI-LAKI HARUS MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK MENEMUI SAUDARA PEREMPUANNYA
Demikian juga seorang laki laki baligh, harus meminta izin ketika hendak masuk menemui saudara perempuannya.

Di dalam kitab Al Adabul Mufrad, Imam Al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Atha'. Dia berkata, aku bertanya kepada Ibnu 'Abbas: "Apakah aku harus meminta izin jika hendak masuk menemui saudara perempuanku?" Dia menjawab,”Ya.” Aku mengulangi pertanyaanku: "Dua orang saudara perempuanku berada di bawah tanggunganku. Aku yang mengurus dan membiayai mereka. Haruskah aku meminta izin jika hendak masuk menemui mereka?" Maka dia menjawab,”Ya. Apakah engkau suka melihat mereka berdua dalam keadaan telanjang?" [Hadits mauquf shahih].

PERINTAH KEPADA ORANG TUA AGAR MENGAJARI ANAK-ANAK DAN PARA PELAYANNYA TENTANG KEHARUSAN MEMINTA IZIN PADA TIGA WAKTU
Di dalam Al Qur’an surat An Nur ayat 58, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah sesudah shalat Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".

Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kaum mukminin, agar para pelayan yang mereka miliki dan anak-anak yang belum baligh meminta izin kepada mereka pada tiga waktu.

Pertama : Sebelum shalat subuh, karena biasanya orang-orang pada waktu itu sedang nyenyak tidur di pembaringan mereka.

Kedua : Ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari”, yaitu pada waktu tidur siang, karena pada saat itu orang-orang melepas pakaian mereka untuk bersantai bersama keluarga.

Ketiga : Sesudah sesudah shalat Isya, karena saat itu adalah waktu tidur.

Pelayan dan anak-anak diperintahkan agar tidak masuk menemui ahli bait pada waktu-waktu tersebut, karena dikhawatirkan seseorang sedang bersama isterinya, atau sedang melakukan hal-hal yang bersifat pribadi.

Oleh sebab itu, Allah mengatakan: "Itulah tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu", yakni jika mereka masuk pada waktu di luar tiga waktu tersebut, maka tiada dosa atas kamu bila membuka kesempatan buat mereka (untuk masuk), dan tiada dosa atas mereka bila melihat sesuatu di luar tiga waktu tersebut. Karena mereka telah diizinkan untuk masuk menemui kalian, karena mereka keluar masuk untuk melayani kamu atau untuk urusan lainnya.

Para pelayan yang biasa keluar masuk diberi dispensasi yang tidak diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, Imam Malik, Imam Ahmad dan penulis kitab Sunan meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang kucing:

"إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسَةٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِيْنَ عَلَيْكُمْ أَوْ وَالطَّوَّافَاتِ"

"Ia (kucing) tidaklah najis, karena ia selalu berkeliaran di sekitar kamu".

Selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin", yakni apabila anak-anak yang sebelumnya harus meminta izin pada tiga waktu yang telah disebutkan di atas. Apabila mereka telah mencapai usia baligh, mereka wajib meminta izin di setiap waktu, seperti halnya orang-orang dewasa dari putera seseorang, atau dari kalangan karib-kerabatnya wajib meminta izin.

Al Auza'i meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir, ia mengatakan: "Apabila seorang anak masih balita, ia harus meminta izin kepada kedua orang tuanya (bila ingin masuk menemui keduanya dalam kamar) pada tiga waktu tersebut. Apabila ia telah mencapai usia baligh ia harus meminta izin di setiap waktu."

Demikianlah paparan singkat tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan adab-adab isti'dzan. Mudah-mudahan dapat memambah pemahaman kita tentang ajaran Islam dalam membimbing umat manusia, guna memperoleh seluruh kemashlahatan dan menggapai kabahagiaan hidup di dunia dan di dunia dan akhirat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Susu yang diperah saat unta baru saja melahirkan
[2]. Rusa yang baru berusia enam bulan
[3]. Buah semacam mentimun

MENINGKATKAN NILAI IBADAH SEORANG MUSLIM

MENINGKATKAN NILAI IBADAH SEORANG MUSLIM

Oleh
Syaikh DR. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili


Bulan suci Ramadhan telah berlalu. Pelipatgandaan pahala, kemudahan dari Allah di bulan Ramadhan pergi seiring dengan kepergian tamu kita, bulan Ramadhan. Nuansa Ramadhan yang istimewa pun lewat. Tapi kaum muslimin mesti TETAP berlomba untuk menggapai rahmat dan hidayah Allah melalui peningkatan ibadah dan doa kepada-Nya, di bulan-bulan lainnya. Hanya saja, terkadang seorang muslim dihadapkan pada sekian banyak amalan yang ingin ia kerjakan semuanya. Namun kadang-kadang kesempatan, waktu dan fisik tidak memungkinkannya untuk menuntaskan segala amalan sholeh yang ia inginkan. Apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga, mempunyai istri (atau suami) dan anak-anak. Dalam kondisi demikian, dipandang perlu agar seorang muslim mengetahui beberapa kaedah dalam beramal sholeh untuk memudahkan bagi dirinya dalam memilih amalan yang lebih baik dan berkualitas, lebih dicintai oleh Allah l dan mengundang pahala yang lebih besar dibandingkan amalan lainnya.
Urgensi aspek ini:

1.Perhatian Generasi Salaf Terhadap Masalah Ini.
Topik ini menjadi fokus perhatian ekstra dari generasi Salaf. Hasrat mereka untuk mendalami permasalahan ini sangat besar. Para sahabat menjadi teladan dengan melontarkan banyak pertanyaan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Generasi tabi'in dan para tokoh ulama Islam pun memberi porsi perhatian yang besar. Kongkretnya, tercermin dalam penulisan buku dan pembakuan kaedah dalam materi ini.

2. Ekonomis Dalam Beramal
Seorang muslim yang memahami bab ini, akan meraih kebaikan besar dalam masa yang singkat dan modal yang minim, yang dikerjakan oleh orang lain dengan waktu panjang dan tenaga besar. Hal ini penting sekali diketahui, terutama pada akhir-akhir ini yang begitu banyak kesibukan dan halangan untuk bisa beribadah dengan frekuensi yang banyak.

3. Penyimpangan Yang Dilakukan Sebagian Firqah Dalam Aspek Ini.
Sebagian firqah menyimpang dari garis sunnah lantaran kegandrungan mereka kepada bid'ah daripada sunnah Nabi. Amalan sunnah lebih diutamakan daripada kewajiban. Lebih berbahaya lagi ketika amalan bid'ah lebih disukai daripada ajaran Islam.

4. Bahaya Jerat Syaithan Terhadap Sebagian Ahli Ibadah.
Sebagian ahli ibadah tertipu oleh bisikan syaithan dengan mengamalkan amalan yang kualitasnya di bawah.

Berikut ini beberapa faktor yang bisa mempengaruhi peningkatan kualitas amalan ibadah:

TINGKATKAN KEIKHLASAN DAN PERBAIKI NIAT
Ikhlas dalam amalan merupakan tonggak asasi dalam setiap amalan sholeh. Disamping itu, juga tingkatkan unsur mutaba'ah (mengikuti) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah. Dua hal ini merupakan syarat diterimanya amalan seseorang. Dalilnya, Allah berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaknya ia mengerjakan amalan yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya". [1]

Ibnu Katsir berkata: ‘(Yaitu orang yang ) mengharapkan pahala, dan ganjaran dariNya, [فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا / hendaknya ia mengerjakan amalan yang sholeh ] yaitu amalan yang bertepatan dengan petunjuk syariat, [ وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا / dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya ] yaitu amalan yang ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Dua hal ini adalah dua syarat diterimanya amalan. Mesti murni karena Allah, lagi cocok dengan aturan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam". [2]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَآءُ

"Dan Allah melipatgandakan (pahala) bagi yang Dia kehendaki" [3].

Ibnu Katsir menjelaskan : "Berdasarkan keikhlasannya dalam beramal". [4]

Syaikh As Sa'di berkata: "Itu bergantung pada kekuatan iman dan kesempurnaan ikhlas yang terdapat pada orang yang berinfak"[5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلَامَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ وَكُلُّ سَيِّئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِمِثْلِهَا

"Jika salah seorang dari kalian telah memperindah Islamnya, maka setiap kebaikan yang diamalkannya akan dicatat baginya dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus lipat. Dan setiap kejelekan yang ia kerjakan akan dicatat baginya satu kejelekan semisalnya". [6]

Ibnu Rajab berkata tentang hadits di atas : "Pelipatgandaan kebaikan dengan sepuluh kali lipat pasti terjadi. Sedangkan tambahan yang lebih dari itu tergantung pada kebaikan nilai Islam seseorang, dan keikhlasan niatnya, serta urgensi dan keutamaan amalan tersebut"[7].

Sebagai pelengkap dalam menetapkan naiknya tingkatan amalan yang dibarengi kekuatan ikhlas, adanya beberapa nash yang menyatakan keutamaan amalan yang dilakukan secara tersembunyi dibandingkan amalan yang dilakukan di hadapan khalayak. Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman:

إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرُُ لَّكُمْ

"Jika kalian memperlihatkan sedekah maka itu baik. Dan jika kalian menyembunyikan sedekah dan memberikannya kepada orang-orang fakir, niscaya lebih baik …" [8].

Ibnu Katsir berkata: "Dalam ayat ini terkandung petunjuk bahwa menyembunyikan sedekah lebih baik daripada memperlihatkannya. Sebab lebih jauh dari noda riya`. Kecuali bila dengan memperlihatkan saat mengeluarkan sedekah ada unsur maslahat yang pasti"[9].

Ibnul Qayyim menjelaskan rahasia mengapa sedekah yang dilakukan dengan sembunyi lebih baik dengan berkata: "Adapun memberikannya kepada orang-orang fakir, jika dilakukan dengan cara tersembunyi mengandung beberapa manfaat, menutupi jati dirinya (pemberi sedekah) , dan tidak membuat malu si penerima di hadapan orang banyak, tidak menempatkan dirinya sebagai orang yang sedang direndahkan kehormatannya, dan supaya orang tidak melihat bahwa tangannya sufla, juga agar orang tidak berkomentar dirinya (sang penerima) tidak ada harganya sama sekali sehingga mereka enggan untuk berinteraksi dan melakukan tukar-menukar dengannya. Ini adalah manfaat tambahan selain berbuat baik kepadanya dengan memberi sedekah, di samping penjagaan aspek ikhlas.

Hal ini berlaku pada ibadah yang sifatnya tathawu' (sunnah).

Dari Bustham bin Huraits, ia berkata: ‘Adalah Ayyub pernah terharu (karena takut kepada Allah), sehingga air matanya keluar. Namun ia ingin menyembunyikannya. Maka ia memegangi hidungnya, bersikap seolah-oleh orang yang sedang mengalami influenza. Jika ia khawatir , air matanya semakin deras, maka ia beranjak pergi"[10]

TINGKATKAN PERHATIAN PADA ASPEK MUTABA'AH KEPADA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM DALAM BERIBADAH.
Maksud dari mutaba'ah dalam beramal adalah "menjalankan perintah Nabi dalam suatu amalan dan melaksanakannya sesuai dengan aturan syariat yang dahulu dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ".

Sementara Syaikhul Islam menjelaskannya dengan :

أنْ يُفْعَلَ مِثْلَ مَا فَعَلَ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ فَعَلَ

"Hendaknya dikerjakan persis dengan yang dilakukan Nabi sesuai dengan aturan pelaksanaannya"[11].

Jadi mutaba'ah kepada Nabi harus memenuhi dua unsur:
a. Kesesuaian dengan Nabi dalam pelaksanaan, persis dengan tata cata beliau
b. Kesesuaian dalam niat, ditujukan untuk beribadah
Dalam point ini, maksudnya adalah penjelasan peningkatan nilai amalan yang lahir sebagai dampak dari mutaba'ah.

Topik mutaba’ah adalah pembahasan yang sangat luas. Hakikatnya, berusaha mengerjakan seluruh aturan syariat atau mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang umum. Jalan perealisasiannya, melalui kesempurnaan memahami agama, kekuatan tekad yang penuh dalam beramal -dengan bantuan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala - ada beberapa prinsip dalam mutaba’ah yang terangkum dalam beberapa point berikut ini:

Mutaba’ah kepada Nabi dalam keseluruhan ibadah, tidak hanya menyibukkan dengan salah satu jenis ibadah saja dengan menelantarkan ibadah lainnya. Tapi ‘namanya selalu tercantum’ dalam setiap ibadah. Dengan kata lain, berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan seluruh cabang iman qalbiyyah, amaliyyah maupun qauliyyah

Disebutkan dalam hadits keutamaan orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai amaliah, mereka akan dipanggil dari berbagai pintu syurga. Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan orang-orang yang dipanggil dari pintu yang sesuai dengan ibadah yang ia tekuni, Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu bertanya:

فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا

"Apakah ada seseorang yang dipanggil dari seluruh pintu?"

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ

"Ya, dan aku berharap engkau termasuk mereka, wahai Abu Bakar" [12].

Mutaba’ah kepada Nabi dalam aspek kontinyuitas amalan.
Mutaba’ah kepada Nabi dengan mengerjakan amalan tanpa unsur memberatkan diri (takalluf).

Oleh karena itu, beliau melarang shaumud dahri (puasa setahun penuh) atau meninggalkan perkawinan, makanan, tidur dengan dalih memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ

"Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada orang yang bersikap keras dengannya, kecuali akan terkalahkan.." [13]

Mutaba’ah kepada Nabi dengan melakukan keseimbangan (balancing) terhadap hak-hak yang ada, tidak menyisihkan salah satu hak demi pemenuhan hak lainnya. Tapi memberikan hak kepada para pemiliknya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

"Maka, sesungguhnya bagi jasadnya ada hak atasmu, bagi matamu ada hak atasmu dan bagi istrimu ada hak atasmu dan bagi tamumu ada hak atasmu" [14]

UTAMAKAN & BERIKAN PERHATIAN EKSTRA TERHADAP AMALAN YANG WAJIB
Amalan yang wajib lebih utama daripada amalan yang sunnah. Demikian juga, memperhatikan ibadah yang wajib lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala daripada ibadah yang sunnah.

Abu Hurairah meriwayatkan, ia berkata: Rasulullah Sh bersabda:

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ُ

"Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Aku telah mengobarkan peperangan dengannya. Dan tidaklah ada seorang hambaKu yang mendekatkan dirinya kepada-Ku, dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku wajibkan kepadanya…' [15]

Ibnu Hajar berkata: "Dapat disimpulkan dari hadits tersebut, bahwa melaksanakan amalan yang wajib merupakan tindakan yang paling dicintai oleh Allah" [16].

Abu Bakar pernah berwasiat kepada Umar dengan mengatakan:

وَأنَّهُ لاَ يَـقـْـبَلُ نَافِلَةً حَتَّى تُؤَدَّى الْفَريِْضَة

"Sesungguhnya Allah tidak akan menerima ibadah sunnah kecuali apabila amalan ibadah yang wajib telah ditunaikan"[17].

Ibnu Taimiyah menegaskan pula: "Oleh karena itu, wajib bertaqarrub kepada Allah dengan amalan-amalan yang wajib sebelum menjalankan amalan yang sunnah. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang sunnah terhitung sebagai ibadah jika amalan yang wajib sudah dikerjakan"[18].

Al Hafizh Ibnu Hajar menukil dari sebagian ulama besar zaman dahulu, mereka menetapkan :

مَنْ شَغَلَهُ الْفَرْضُ عَنِ النَّفْلِ فَهُوَ مَعْذُورٌ وَ مَنْ شَغَلَهُ النَّفْلُ عَنِ الْفَرْضِِ فَهُوَ مَغْرُورٌ

"Barangsiapa disibukkan dengan perkara wajib sehingga melupakan perkara sunnah, maka ia termaafkan. Barangsiapa disibukkan dengan perkara sunnah sehingga perkara wajib terbengkalai, maka ia adalah orang yang tertipu" [19]

KERJAKAN SATU AMALAN SHOLEH DENGAN KONTINYU
Faktor lain yang bisa meningkatkan nilai amaliah seseorang adalah al mudawamah (kontinyuitas dalam beramal). Amalan yang sedikit, tapi kontinyu lebih utama dari amalan yang putus-putus, tidak dikerjakan secara terus-menerus, kendati banyak.

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

"Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinyu dikerjakan, meskipun sedikit" [20].

Demikian pula, ini merupakan kebiasaan Rasulullah. Amaliah beliau sehari-hari diimah (kontinyu), yaitu dikerjakan secara terus menerus, tidak putus darinya. Dan beliau menganjurkan umatnya untuk itu, memperingatkan dari amalan-amalan yang memberatkan yang tidak kuat dipikul oleh seseorang. Sebab hal itu rawan sekali untuk ditinggalkan sehingga tidak berlangsung lama.

Dalam hadits lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ

"Wahai manusia, kerjakanlah amalan yang kalian sanggupi" [21]

Al Qadhi ‘Iyadh menerangkan sabda beliau dengan: Kerjakanlah amalan yang kalian sanggup untuk mengerjakannya dengan kontinyu [22]. Sementara Imam An Nawawi rahimahullah menyimpulkan dari hadits di atas: Di dalamnya terkandung anjuran untuk kontinyu dalam beribadah, dan amalan yang sedikit (tapi) kontinyu lebih baik daripada amalan banyak tapi ditinggalkan [23].

Para ulama telah memaksimalkan daya pikir untuk menyibak rahasia mengapa amalan sedikit tapi kontinyu dapat lebih utama dan mulia dibandingkan amalam lain. Di antara keterangan mereka:

Al Qurthubi berkata: "Sebabnya, amalan yang ringan, bisa dikerjakan dengan berkesinambungan dan hati yang giat, sehingga pahala semakin banyak lantaran terjadinya pengulangan amalan tersebut yang disertai oleh konsentrasi pikirannya. Berbeda dengan amalan yang berat, biasanya disertai dengan terganggunya konsentrasi dan menyebabkan seseorang meninggalkannya" [24].

Sementara itu, Imam An Nawawi memberikan alasan: "Amalan sedikit yang langgeng itu lebih baik dari amalan banyak tapi putus di jalan, karena dengan kontinyu dalam satu amalan yang sedikit, bararti ketaatannya kepada Allah juga berlangsung terus-menerus, demikian juga dzikir, muraqabah, niat, keikhjlasan serta sikapnya menghadapkan dirinya kepada Allah berjalan terus. Sehingga yang sedikit tapi kontinyu akan membuahkan hasil yang berlipat-lipat daripada amalan banyak tapi ditinggalkan".

Adapun Ibnul Jauzi mengajukan keterangan, bahwa orang yang meninggalkan amalan setelah pernah ia lakukan bagaikan orang yang berpaling darinya sehingga pantas untuk dicela. Dan alasan kedua, orang yang senantiasa beramal, berarti ia senantiasa melakukan penghambaan diri kepada Allah. Dan orang yang sering mengetuk di satu waktu setiap harinya tidak sama dengan orang yang menunggu pintu seharian kemudian ia tinggalkan’

TINGKATKAN KAPASITAS ILMIAH ANDA
Di antara aspek yang bisa meningkatkan kualitas amaliah seseorang adalah, kemuliaan dan kedudukannya di sisi Allah.

Rasulullah bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

"Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai pahala infak mereka sebesar satu mud ataupun setengahnya".

Al Baidhawi menerangkan hadits ini dengan berkata: Makna hadits ini, salah seorang dari kalian tidak akan mampu menggapai dengan infak sebesar gunung Uhud yang berupa emas, keutamaan dan pahala yang diraih oleh salah seorang mereka (sahabat) dengan infak satu mud atau setengahnya. Sebab perbedaan ini, kondisi yang menyertai orang yang lebih mulia yang berupa kekuatan ikhlas yang lebih tinggi dan kejujuran niat mereka.

Dengan ini, menjadi jelas keutamaan para sahabat dan amalan yang mereka lakukan dibandingkan amalan selain mereka.

Sebagian ulama telah menyinggung beberapa sebab pengutamaan dalam kaedah ini. meskipun melalui nash-nash yang ada, peningkatan nilai amaliah tergantung dari kedudukan orang yang beramal, tapi ada beberara rahasia di belakang itu, yang telah disinggung oleh sebagian ulama.

Di antaranya: Keutamaan yang mereka raih itu berangkat dari kondisi batiniah mereka yang mengalahkan orang lain. Seperti yang dikatakan Ibnu Mas’ud: Kalian itu lebih banyak puasanya dibandingkan para sahabat Muhammad, tapi mereka tetap lebih baik dari kalian. Mereka bertanya: Apa sebabnya?’. Ibnu Mas’ud menjawab:

كَانُوا أَزْهَدَ مِنْـكـُمْ فِي الدُّنـيَا وَأرْغَبَ فِي الأخِرَة

"Mereka (para sahabat) lebih zuhud kepada dunia dan lebih berharap kepada akhirat daripada kalian".

Kedua, lantaran mereka lebih paham terhadap agama, dan itu otomatis berpengaruh pada kualitas ibadah mereka sehingga dilaksanakan dengan cara yang lebih baik.

Ini makna yang terkandung pada pernyataan Abu Darda`: Dan satu biji sawi kebaikan orang yang bertakwa dan yakin, lebih besar, lebih utama dan lebih berat timbangannya seperti beratnya gunung-gunung dibandingkan ibadah orang-orang yang tertipu’.

UTAMAKAN AMALAN SOSIAL DARIPADA AMALAN YANG MANFAATNYA TERBATAS PADA PRIBADI SEMATA
Ditinjau dari sudut kemanfaatannya bagi orang lain, amalan sholeh terkualifikasikan menjadi dua:

A. Amalan yang hanya terbatas kemanfaatannya bagi pelakunya saja, tidak bisa dinikmati oleh orang lain. Misalnya seluruh ibadah yang menjadi kendaraan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa ada kaitan dengan makhluk.

B. Amalan yang manfaatnya bisa dinikmati oleh orang lain, sehingga maslahat keagamaan dan duniawi mereka terpenuhi.

Dalam masalah pemilahan amalan sholeh, para ulama telah menetapkan bahwa amalan sholeh yang bersifat sosial lebih utama dibandingkan amalan yang manfaatnya terbatas pada pelakunya sendiri. Sebabnya, terwujudnya maslahat serta dampak positif yang dapat dirasakan oleh orang lain. Dasar penetapan mereka adalah semua dalil yang menunjukkan ketinggian nilai amal sholeh yang bersifat sosial, anjuran untuk melakukannya serta sanjungan bagi para pelakunya.

Di antaranya :

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ
لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

"Barangsiapa menyeru kepada hidayah, niscaya ia mendapatkan pahala sebesar pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.." [al hadits] [25]

Hadits di atas, dengan jelas menggambarkan besarnya keutamaan menyalurkan dan mengajarkan ilmu kepada orang lain. Dan nash-nash yang senada dengan makna hadits di atas sangat banyak.

Demikian juga, terdapat dalil yang berisi sanjungan bagi orang-orang yang sering berbuat baik untuk orang lain, mereka adalah makhluk pilihan di sisi Allah. Nabi bersabda:

خَيْرُ الْأَصْحَابِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

"Sebaik-baik kawan di sisi Allah, ialah yang paling bermanfaat bagi kawannya. Dan sebaik-baik tetangga adalah tetangga yang paling baik bagi tetangganya" [26].

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang terbaik bagi keluarganya. Dan aku adalah orang yang terbaik bagi keluargaku"[27].

Nabi pernah bertanya kepada para sahabat tentang orang-orang yang baik dan orang-orang yang buruk sampai tiga kali. Namun mereka diam. Maka beliau menerangkan:

خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ وَشَرُّكُمْ مَنْ لَا يُرْجَى خَيْرُهُ وَلَا يُؤْمَنُ شَرُّهُ

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan dirasa aman keburukannya. Dan sejelek-jelek kalian adalah orang yang tidak pernah diharapkan kebaikannya dan tidak dirasa aman keburukannya".

Hadits-hadits di atas mengindikasikan bahwa manusia pilihan di sisi Allah adalah mereka yang terbaik di mata manusia. Dan yang paling utama dari kalangan mereka di sisi Allah, adalah insan yang paling bermanfaat bagi orang lain.

Kaidah ini sudah diaplikasikan oleh generasi Salaf. Mereka mengutamakan amalan yang bermanfaat bagi orang lain daripada amalan sholeh yang bersifat pribadi.

Majjaad berkata: ‘Aku pernah menemani perjalanan Ibnu Umar untuk membantunya tapi justru dialah yang melayaniku”. Sebagian dari mereka, kalangan Salaf, bahkan mengajukan syarat saat akan melakukan perjalanan bersama dengan kawan-kawan lain agar dia saja yang melayani mereka di tengah perjalanan. Di antara mereka, ‘Amir bin Abdi Qais, ‘Amr bin Utbah bin Farqad, orang-orang yang dikenal dengan ketekunan mereka dalam beribadah.

Meskipun melayani orang lain itu makan tenaga dan waktu, tapi ternyata mereka lebih mengutamakannya. Seandainya menurut mereka ibadah qashirah itu lebih afdhal sudah mesti mereka tidak akan menyibukkan diri dengan amalan sosial tersebut. Padahal mereka adalah orang-orang yang faqih dan sangat antusias melakukan kebaikan. Artinya, amalan sosial itu lebih berharga dan bernilai menurut mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ibnu Rajab menetapkan: "Berbuat baik kepada teman perjalanan lebih baik daripada ibadah qashirah (yang manfaatnya hanya direguk secara pribadi), apalagi jika seseorang punya keinginan sendiri untuk menservis kawan-kawannya" [28]. (Red).

Petikan dari Kitab Tajridu Al Ittiba’I Fi Bayani Asbabi Tafadhuli Al A’mali karya Syaikh DR. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, Maktabah Ulum Wal Hikam Madinah Munawwarah, Cet. I TH. 1424 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Al Kahfi : 110.
[2]. Tafsir Ibnu Katsir : 5/205.
[3]. Al Baqarah : 261
[4]. Tafsir Ibnu Katsir: 1/693
[5]. Tafsir As Sa’di : 1/157.
[6]. Shahih Al Bukhari (Fathul Bari: 1/100 hadits no: 42), Shahih Muslim : 1/118 no: 129.
[7]. Jami’ul Ulumi Wal Hikam : 1/213.
[8]. Al Baqarah: 271
[9]. Tafsir Ibnu Katsir : 1/701.
[10]. Dzammu Ar Riya` hlm. 180.
[11]. Majmu’ Al Fatawa: 1/280
[12]. HR. Bukhari (Fathul Bari : 7/19 no: 3666), Muslim (2/711 no: 1027).
[13]. HR. Bukhari (Fathul Bari : 1/93 no: 39).
[14]. Diriwayatkan Bukhari (Fathul Bari: 10/531 no: 6134), Muslim : 2/813
[15] HR. Bukhari no: 6502.
[16]. Fathul Bari : 11/343
[17]. Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah : 1/36
[18]. Majmu’ Al Fatawa : 17/133
[19]. Fathul Bari : 11/442
[20]. HR. Muslim : 1/541
[21]. HR. Bukhari (Fathul Bari : 1/101 no: 43), Muslim : 1/542 no: 758
[22]. Ikmal Al Mu’lim : 3/147
[23]. Syarah Shahih Muslim : 6/71
[24]. Al Mufhim : 2/413
[25]. HR. Muslim no: 2674.
[26] HR. At Tirmidzi no: 1944, Al Hakim dan berkata: ‘Shahih berdasarkan syarat Syaikhan’ dan disepakati oleh Adz Dzahabi
[28]. HR. Ibnu Majah no: 1977 (Ash Shahihah: 285).
Lathaiful Ma’arfi hlm. 411.