Sabtu, 13 November 2010

kembalilah kepada para ulama

Oleh : Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin bin Hamd al-Badr

Penerjemah Abu Ahmad Fuad Hamzah Baraba`, Lc.

Tidak samar bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran mereka. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. az-Zumar: 9)

Dan firman-Nya Azza wa Jalla:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. al-Mujadilah: 11)

Diantara keutamaannya adalah para malaikat akan membentangkan sayapnya karena tunduk akan ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada di airpun ikut memohonkan ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyala ilmu, dan pewaris sama kedudukannya dengan yang mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan kedudukan yang sama dengan yang mewariskannya itu.

Di dalam hadits Abi Darda radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhya para malaikat akan membuka sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang alim akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” (Shahih, HR Ahmad (V/196), Abu Dawud (3641), at-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223) dan Ibnu Hibban (80/al-Mawarid).

Para ulama telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para Nabi, dan menggantikan peran dakwah di tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Juga melarang dari perbuatan maksiat serta membela agama Allah. Mereka berkedudukan seperti rasul-rasul antara Allah dan hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta untuk menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan.

Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Sesungguhnya orang alim itu perantara antara Allah dan hamba-hamba-Nya, maka perhatikanlah bagaimana dia bisa masuk di kalangan hamba-hamba-Nya.”

Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Manusia yang paling agung kedudukannya adalah yang menjadi perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para Nabi dan ulama.”

Sahl bin Abdullah berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat majlisnya para Nabi, maka hendaklah dia melihat majelisnya para ulama, dimana ada seseorang yang datang kemudian bertanya, ‘Wahai fulan apa pendapatmu terhadap seorang laki-laki yang bersumpah kepada istrinya demikian dan demikian?’ Kemudian dia menjawab, ‘Istrinya telah dicerai.’ Kemudian datang orang lain dan bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang bersumpah pada istrinya demikian-demikian?’ Maka dia menjawab, ‘Dia telah melanggar sumpahnya dengan ucapannya ini.’ Dan ini tidak dimiliki kecuali oleh Nabi atau orang alim. (maka cari tahulah tentang mereka itu).”

Maimun bin Mahran berkata, “Perumpamaan seorang alim disuatu negeri itu, bagaikan mata air yang tawar di negeri itu.”

Jikalau para ulama memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi seperti itu, maka wajib atas orang-orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta kemuliaannya.

Dari Ubadah bin Ashomit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Bukan termasuk umatku orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak tahu kedudukan ulama.”

Dan di antara hak para ulama adalah mereka tidak diremehkan dalam hal keahlian dan kemampuannya, yaitu menjelaskan tentang agama Allah, serta penetapan hukum-hukum dan yang semisalnya dengan mendahului mereka, atau merendahkan kedudukannya, serta sewenang-wenang dengan kesalahannya, juga menjauhkan manusia darinya atau perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahil yang tidak tahu akan kedudukan dan martabat para ulama.

Satu hal yang sudah maklum bagi setiap orang, bahwa mempercayakan setiap cabang-cabang ilmu tidak dilakukan kecuali kepada para ahli dalam bidangnya. Jangan meminta pendapat tentang kedokteran kepada insiyur, dan jangan pula meminta pendapat tentang arsitektur kepada para dokter, maka janganlah meminta pendapat dalam suatu ilmu kecuali kepada para ahlinya.

Maka bagaimana dengan ilmu syariah, pengetahuan tentang hukum-hukum dan fiqh kontemporer? Bagaimana kita meminta pendapat kepada orang yang tidak terkenal begitu mumpuni dan handal dalam ilmu ini, dan tidak meminta pendapat kepada para ulama yang mumpuni dan para imam yang kokoh ilmunya serta ahli fiqh dan ilmu pengetahuan dan ahli istimbath?

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya, (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu). (QS. an-Nisa`: 83)

Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama yang mumpuni dan handal dalam beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab maupun sunnah, karena nash-nash yang jelas tidaklah cukup untuk menjelaskan seluruh permasalahan kontemporer dan hukum-hukum terkini, dan tidaklah begitu handal untuk beristimbath serta mengerluarkan hukum-hukum dari nash-nash kecuali para ulama yang mumpuni lagi handal.

Abul ‘aliyah mengatakan tentang makna “Ulil Amri” dalam ayat ini, “Mereka adalah para ulama, tidakkah kamu tahu Allah berfirman, ‘(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)’.”

Dari Qatadah, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka”, dia mengatakan, “Kepada ulamanya.” “Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”, tentulah orang-orang yang membahas dan menyelidikinya mengetahui akan hal itu.

Dan dari Ibu Juraij, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul” sehingga beliaulah yang akan memberitakannya “dan kepada Ulil Amri” orang yang faqih dan faham agama.

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam Fath al-Bari:

Ibnu Attin menukil dari ad-Dawudi, bahwasanya beliau menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan Kami turunkan az-Zikir (al-Qur`an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” An-Nahl : 44, berkata: Allah Ta’ala banyak menurunkan perkara-perkara yang masih bersifat global, kemudian ditafsirkan oleh Nabi-Nya apa-apa yang dibutuhkan pada waktu itu, sedangkan apa-apa yang belum terjadi pada saat itu, penafsirannya di wakilkan kepada para ulama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : (padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka. (QS. an-Nisa`: 83)

Al-’Allamah Abdurrahman bin Sa’di rahimahullahu menafsirkan ayat ini: Ini merupakan pelajaran tentang adab dari Allah untuk para hamba-Nya, bahwa perbuatan mereka tidak layak, maka seyogyanya bagi mereka, apabila ada urusan yang penting, juga untuk kemaslahatan umum, yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum mukminin, atau ketakutan yang timbul dari suatu musibah, maka wajib bagi mereka untuk memperjelas dan tidak tergesa-gesa untuk menyebarkan berita itu, bahkan mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri dikalangan mereka, yang ahli dalam hal pemikiran ilmu, nasehat serta brilian, yang faham akan permasalahan, kemaslahatan dan mafsadatnya. Jikalau mereka memandang pada penyebaran berita itu ada maslahat dan sebagai penyemangat bagi kaum mukminin, yang membahagiakan mereka, serta dapat melindungi dari musuh-musuhnya maka hal itu dilakukan, dan apabila mereka memandang hal itu tidak bermanfaat, atau ada manfaatnya akan tetapi mudhorotnya lebih besar dari manfaatnya maka tidak menyebarkan berita itu, oleh karena itu Allah berfirman : “tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka.” Yaitu: mengerahkan pikiran dan pandangannya yang lurus serta ilmunya yang benar.

Dan dalam hal ini ada kaidah tentang etika (adab) yaitu: apabila ada pembahasan dalam suatu masalah hendaknya di berikan kepada ahlinya dan tidak mendahului mereka, karena itu lebih dekat dengan kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Juga ada larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan berita tatkala mendengarnya, yang patut adalah dengan memperhatikan dan merenungi sebelum berbicara, apakah ada maslahat maka disebarkan atau mudharat maka dicegah. Selesai ucapan syaikh rahimahullahu.

Dengan penjelasan ini diketahui wahai para pembaca budiman, bahwa perkara yang sulit dan hukum-hukum yang kontemporer serta penjelasan hukum-hukum syariatnya tidak semua orang boleh campur tangan dalam masalah itu, kecuali para ulama yang memiliki bashirah dalam agama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Jabatan dan kedudukan tidaklah menjadikan orang yang bukan alim menjadi orang yang alim, kalau seandainya ucapan dalam ilmu dan agama itu berdasarkan kedudukan dan jabatan niscaya khalifah dan sulthan (pemimpin negara) lebih berhak untuk berpendapat dalam ilmu dan agama. Juga dimintai fatwa oleh manusia, dan mereka kembali kepadanya pada permasalahan yang sulit difahami baik dalam ilmu ataupun agama. Apabila pemimpin negara saja tidak mengaku akan kemampuan itu pada dirinya, dan tidak memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti suatu hukum dalam satu pendapat tanpa mengambil pendapat yang lain, kecuali dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, maka orang yang tidak memiliki jabatan dan kedudukan lebih tidak dianggap pendapatnya.” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah.

Dan kita memohon kepada Allah Ta’ala agar memberkati kita, dengan adanya para ulama, juga memberikan kita manfaat dengan ilmu mereka, serta membalas mereka dengan sebaik-baik balasan. Sesungguhnya Allah Maha mendengar dan mengabulkan permintaan.

SUMBER : OMMATY, ed. 40 Dzulhijjah 1428/ Des. 2007

Dicuplik dari http://artikel.stai-ali.ac.id/?p=56

Selasa, 02 November 2010

FiQih Qurban 4

Fiqih Qurban 4: Harus Baca Basmalah
Kategori: Fiqih Tanggal: Nov 25, 2009 | 5 Komentar
Telah lalu disampaikan syarat kedua dan ketiga dalam penyembelihan yang syar’i dan ini kelanjutannya,
Syarat Keempat: Menyebut Nama Allah
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman menjelaskan syarat keempat ini dalam Al Qur’an yang berbunyi:
“Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya. Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan. Dan janganlah kamu mamakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu;dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” (QS. al An’am [6]: 118-121)
Para ulama sepakat disyari’atkannya menyebut nama Allah dalam penyembelihan dengan dasar ayat ini.
Hukumnya
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum menyebut nama Allah (mengucapkan ‘bismillah’) ini, namun yang rajih adalah wajib dengan dasar sebagai berikut:
1. Firman Allah ’Azza wa Jalla yang artinya,
”Dan janganlah kamu mamakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu;dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. al An’am [6]: 121)
2. Hadits Rafi’ bin Khudaij yang berbunyi: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Semua yang darahnya tertumpah dan disebutkan nama Allah atasnya, maka makanlah! Bukan memakai gigi dan kuku. Saya akan sampaikan tentang hal itu. Adapun gigi maka ia adalah tulang, sedangkan Kuku maka itu adalah alat potongnya orang Habasyah.” (HR. Al Bukhari)
Inilah pendapat yang di-rajih-kan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika menyatakan: “Inilah pendapat yang paling rajih, karena Al Qur’an dan Sunnah menggantungkan kehalalan dengan menyebut nama Allah pada banyak ayatNya.”[1]
Hikmah Pensyariatannya
Disyari’atkan menyebut nama Allah dalam penyembelihan karena dapat memperbagusnya dan menolak syaithan dari penyembelih dan hewan sembelihannya. Apabila tidak dibacakan nama Allah, maka syaithan dapat mencampuri penyembelih dan hewan yang disembelih hingga memberikan kejelekan pada hewan tersebut. [2]
Bacaan yang Disyariatkan Sebagai Menyebut Nama Allah
Demikian juga dalam permasalahan ini, namun yang rajih adalah harus dengan bismilah tidak bisa diganti dengan lainnya. Hal ini berdasarkan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih membaca: “Bismillah”. Amalan inilah yang menjelaskan kemutlakan ayat perintah menyebut nama Allah. Inilah yang di-rajih-kan Syaikh Shalih Al Fauzan.
Waktu Membacanya
Menurut kesepakatan para ulama bahwa waktu membacanya adalah pada waktu penyembelihan, sebab tidak terwujud makna menyebut nama Allah dalam penyembelihan kecuali pada waktunya dan diperbolehkan dibaca menjelang waktu penyembelihan dalam waktu yang sebentar dan tidak lama dari penyembelihan.
Hukum Sembelihan yang Tidak Jelas Apakah Dibacakan Bismilah Atau Tidak?
Permasalahan ini langsung dijawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist A’isyah, beliau berkata:
“Sesungguhnya satu kaum bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada satu kaum memberi kami daging yang kami tidak mengetahui apakah dibacakan padanya nama Allah atau tidak? Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Bacalah padanya ‘Bismilah’ dan makanlah! Aisyah menyatakan bahwa mereka tersebut baru masuk Islam.” (HR. Al Bukhari)
Dari hadits ini dapat diambil satu hukum, yaitu seseorang bila mendapatkan daging yang telah disembelih orang lain, maka ia diperbolehkan memakannya dan menyebut nama Allah, dengan dasar prasangka baik kepada orang lain.
Syaikh Shalih Al Fauzan memberikan penjelasan sebagai berikut: “Apabila yakin bahwa sang penyembelih tidak menyebut nama Allah, maka tidak boleh memakannya. Bila tidak mengetahuinya apakah dibacakan padanya nama Allah atau tidak, maka boleh memakannya, karena tidak diwajibkan kamu mengetahui dibacakan bismilah atau tidak dalam semua yang ada di pasar kaum muslimin dari sembelihan kaum muslimin atau ahlu kitab. Karena kaum muslimin semua mengetahui dan bisa mengucapkan ‘bismilah’ dan seorang muslim harus diberi prasangka baik selama belum jelas yang menyelisihinya dan ahlu kitab sama hukumnya dengan mereka.”
Demikian syarat-syarat penyembelihan yang ada. Semua sembelihan yang telah memenuhi empat syarat di atas adalah sembelihan yang sah menurut syari’at.
Mudah-mudahan bermanfaat.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Artikel UstadzKholid.Com
________________________________________
[1] Majmu’ Fatawa 35/239.
[2] Al Ath’imah Syaikh Shalih Al Fauzan, hal. 127

FiQih Qurban 3

FiQih Qurban 2

Fiqih Qurban 2: Penyembelih Yang Sah
Oleh :Ustadz Kholid
Terdahulu disampaikan tentang pengertian sembelihan, hukum dan hikmahnya. Maka berikut ini dipaparkan tentang syarat sembelihan yang sesuai dengan syariat Islam.
Sembelihan yang sesuai syariat Islam memiliki syarat-syarat, sebagian syarat berhubungan dengan penyembelihnya dan sebagian lainnya berhubungan dengan hewan sembelihan dan alat sembelihnya.
Syarat Pertama: Syarat yang berhubungan dengan penyembelih
Syarat-syarat yang berhubungan dengan penyembelih adalah:
1. Penyembelih harus berakal baik laki-laki atau perempuan, sudah baligh atau belum asalkan sudah mumayyiz. Sehingga tidak sah sembelihan orang gila, anak kecil yang belum berakal dan orang mabuk, karena mereka dianggap tidak berakal dalam syariat. Inilah pendapat mayoritas ulama Islam.
Imam Ibnu Hazm rahimahullah menyatakan: “Tidak sah sembelihan orang yang tidak berakal seperti orang gila dan orang mabuk, karena mereka tidak dibebani beban syariat dalam firman Allah Ta’ala:
“Kecuali yang sempat kamu menyembelihnya.” (QS. al Maidah [5]: 3). Karena mereka tidak mukallaf.[1]
Sedangkan Syaikh DR. Shalih Al Fauzan menyatakan: “Yang rajih disyaratkan akal dan mumayyiz dalam penyembelih, karena menyembelih adalah satu jenis ibadah dan disebutkan padanya nama Allah. Sedangkan ibadah harus dengan niat dan niat tidak akan diakui kecuali penyembelih tersebut berakal dan mumayyiz. Demikian juga penyembelihan memiliki syarat-syarat yang tidak akan diperhatikan dan dilaksanakan kecuali berakal dan mumayyiz.[2]
2. Penyembelih harus muslim atau ahlu kitab. Sembelihan orang musyrikin dan Majusi tidak sah menurut syariat dan ini merupakan ijma’ kesepakatan ulama islam. Hal ini karena orang musyrik tidak akan ikhlas menyebut nama Allah dan menyembelih untuk berhala mereka hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk ( mengalahkan) agamamu. (QS. al Maidah [5]: 3)
Adapun sembelihan ahlu kitab dihalalkan karena dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (QS. 5:5)
Sahabat yang mulia Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menafsirkan kata ??????? dalam ayat di atas dengan sembelihan. Seandainya yang dimaksud dengan kata ??????? dalam ayat di atas bukan sembelihan, maka pengkhususan terhadap ahlu kitab sia-sia, sebab makanan seluruh orang kafir selain sembelihan halal dimakan. Demikian juga kata ??????? adalah sesuatu yang dimakan dan sembelihanpun masuk dalam pengertian yang dimakan.[3]
3. Penyembelih tidak dalam keadaan berihram baik untuk umroh atau haji, apabila menyembelih hewan buruan darat. Seorang yang berihram dilarang secara syariat ikut campur tangan terhadap hewan buruan darat baik dengan berburu, menyembelih atau membunuhnya. Bahkan juga diharamkan menunjukkan hewan buruan kepada pemburu atau memberi isyarat. Sehingga hewan buruan darat yang disembelih seseorang yang sedang berihram adalah bangkai.

FiQih Qurban 1

Fiqih Qurban 1: Cara Penyembelihan
Kategori: Fiqih Tanggal: Nov 16, 2009 | 3 Komentar
Hewan yang boleh dimakan tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama. Hewan jinak yang berada di tangan kita. Hewan yang dapat kita kurung, lepas, kendarai atau tunggangi, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Rabbmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengucapkan:”Maha Suci Dia yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya,dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami”. (QS. al Zukhruf [43]: 12-14)
Kedua. Hewan yang berada di luar jangkauan kita, menjauh dari kita dan sulit menangkapnya dan ini ada dua jenis:
1. Jenis hewan yang terpisah dari manusia, seperti di hutan, padang pasir, gunung dan sebagainya. Jenis ini dinamakan hewan liar.
2. Jenis hewan yang jinak dan tidak liar namun terjadi keadaan kabur dan jauh dari jangkauan kita dan dianggap liar. Jenis ini dalam bahasa Arab dinamakan al Na’am al Mutawahisy.
Jenis-jenis ini semua memiliki tata cara penyembelihan yang berbeda-beda sesuai keadaannya.
Oleh karena itu perlu sekali diketahui pengertian sembelihan (al Dzakah) dan tata caranya agar dapat memilah-milah cara penyembelihan yang sesuai syari’at.
Pengertian penyembelihan (al Dzakah)
Kata al Dzakah dalam etimologi bahasa Arab bermakna sembelihan. Sedangkan dalam istilah syariat al Dzakah (sembelihan) ini memiliki pengertian sebab yang menjadikan halnya memakan daging hewan darat secara ikhtiyari.
Dengan demikian maka sembelihan itu ada dua jenis:
1. Sembelihan dengan digorok atau dalam bahasa Arabnya al Dzabhu.
2. Sembelihan dengan ditusuk atau dalam bahasa Arabnya al Nahru.
Al Dzabhu adalah menyembelih dengan cara memutus tenggorokan dari badan pada persendian antara kepala dengan leher di bawah dagu. Inilah yang sudah dikenal banyak dalam menyembelih sembelihan selain unta.
Sedangkan al Nahru adalah menyembelih hewan dengan cara menusukkan pisau atau sejenisnya di bagian Lubbah (bagian bawah leher tempat kalung), dan ini khusus untuk unta saja.
Pengkhususan al Nahru pada unta dan al Dzabhu pada selainnya adalah sunnah, karena Allah menyebutkan kata al Nahru pada penyembelihan onta dan al Dzabhu pada selainnya, seperti firmanNya:
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan naharlah (berkorbanlah)”. (QS. al Kautsar [108]: 2)
Dan firmanNya:
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya:”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina”. Mereka berkata:”Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?”. Musa menjawab:”Aku berlindung kepada Allah sekiranya menjadi seorang dari orang-orang yang jahil”. (QS. al Baqarah [2]: 67)
Serta firmanNya:
Dan Kami tebus anak itu dengan dengan seekor sembelihan yang besar. (QS. al Shaffat [37]: 107)
Hukum Penyembelihan
Para ulama Islam telah bersepakat ketidakhalalan hewan yang dimakan dagingnya kecuali ikan-ikanan dan belalang tanpa disembelih atau yang semakna dengannya.
Dasar kesepakatan ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya.” (QS. al Maidah [5]: 3)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Semua yang ditumpahkan darahnya dan disebut nama Allah atasnya maka makanlah!” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dalam hadits ini ada petunjuk bahwa sembelihan dan menyebut nama Allah adalah syarat kehalalan hewan tersebut.
Hikmahnya
Diantara hikmah penyembelihan yang disampaikan para ulama adalah:
1. Keharaman dalam hewan yang dimakan adalah pada darah yang tertupah (al Dam al Masfuh) dan ini akan hilang hanya dengan penyembelihan. Padahal Allah telah berfirman:
“Mereka menanyakan kepadamu:”Apakah yang dihalalkan bagi mereka”. Katakanlah:”Dihalalkan bagimu yang baik-baik”. (QS. al Maidah [5]: 4).
Sedangkan hewan tersebut tidak baik kecuali dengan ditumpahkan darahnya dengan disembelih. Oleh karena itu, diharamkan bangkai karena masih ada al dam al masfuh-nya.
2. Pembeda antara hewan yang dimakan manusia dengan binatang buas.
3. Pengingat manusia tentang kemurahan Allah kepadanya dengan diperbolehkannya menghilangkan nyawa hewan tersebut dan memanfaatkannya setelah hewan tersebut mati.
Demikianlah sebagian hikmah penyembelihan dan juga pengantar pembahasan tata cara dan syarat penyembelihan yang akan dibahas dalam edisi berikutnya.
Mudah-mudahan bermanfaat.

Senin, 01 November 2010

7 faedah seputar dakwah

Faidah I: KAIDAH PENTING



Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Mengingkari kemungkaran memiliki empat tingkatan:



* Pertama: Apabila kemungkaran tersebut hilang dan berganti sebaliknyaدعوة إلي الله يا أخي



* Kedua: Apabila mengecil sekalipun tidak hilang seluruhnya,.



* Ketiga: Apabila berganti dengan kemungkaran semisalnya.



* Keempat: Apabila berganti kepada yang lebih parah darinya.



Tingkatan pertama dan kedua disyari’atkan



Tingkatan ketiga perlu pertimbangan



Tingkatan keempat hukumnya haram.



Lanjut beliau: “Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -semoga Allah menerangi kuburnya- berkata:



Pada zaman pasukan Tatar, aku bersama para kawanku pernah melewati orang-orang lagi asyik minum khamr, seorang kawan mengingkari mereka namun aku menegurnya seraya kukatakan padanya: “Sesungguhnya Allah mengharamkan khamr karena menghalangi manusia dari mengingat Allah dan mengingat shalat, dan mereka apabila minum khamr maka mereka tidak membunuh, menawan anak-anak dan merampok harta, jadi biarkan saja mereka”.[1]





Faidah II

INDAHNYA COBAAN



Imam adz-Dzahabi menceritakan dalam Siyar A’lam Nubala’ 8/80-81 tentang cobaan yang menimpa Imam Malik bin Anas karena suatu fatwanya, dimana beliau dipanggil oleh pemimpin saat itu, lalu dilepasi bajunya, dicambuki, dan ditarik tangannya hingga terlepas tulang pundaknya, tetapi semua itu malah menjadikan beliau setelah itu dalam ketinggian derajat. Imam adz-Dzahabi berkomentar: “Demikianlah buah cobaan yang terpuji, dia mengangkat derajat seorang hamba dalam hati orang-orang yang beriman!!”.



Faidah III: JANGAN TERGESA-GESA



Hendaknya bagi setiap juru dakwah untuk saling menyayangi dan saling memaafkan antara sesama. Bila ada suatu kabar miring tentang saudaranya, maka janganlah dia tergesa-gesa meresponnya, hendaknya dia mengecek kebenarannya terlebih dahulu karena betapa banyak kabar yang ternyata hanya sekedar gosip semata, yang justru kerapkali meretakkan hubungan antara para juru dakwah!!!. Rasulullah bersabda:



كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ



“Cukuplah seorang dianggap berdusta apabila dia menceritakan setiap yang dia dengar”.[2]



Dahulu dikatakan:



وَمَا آفَةُ الأَخْبَارِ إِلاَّ رُوَاتُهَا



Tidaklah kecacatan sebuah kabar kecuali dari penukilnya[3].



Dan apabila berita tersebut memang benar, maka kedepankanlah husnu zhan (baik sangka) kepada saudaramu dalam memahami ucapan atau perbuatannya.



* Amirul mukminin Umar bin Khaththab berkata:



“Janganlah engkau menyangka jelek suatu kalimat yang keluar dari saudaramu muslim sedangkan engkau masih bisa mendapatkan ruang kebaikan dalam memahaminya”.[4]



Faidah IV

PUJIAN DAN CELAAN





Imam Ibnu Hazm berkata: “Sebuah cara yang paling manjur untuk mendapatkan ketenangan adalah mengabaikan omongan orang dan memperhatikan ucapan Sang Pencipta alam. Barangsiapa yang menyangka bahwa dirinya bisa selamat dari celaan manusia, maka dia telah gila.



* Seorang yang mencermati secara seksama -sekalipun ini pahit rasanya- niscaya akan mengetahui bahwa celaan manusia kepadanya justru lebih baik daripada pujian mereka, sebab pujian kalau memang benar maka bisa menyeretnya lupa daratan dan menimbulkan penyakit ‘ujub (bangga diri) yang akan merusak keutamaannya, namun apabila pujian itu tidak benar dan dia bergembira dengannya, maka berarti dia gembira dengan kedustaan. Sungguh ini kekurangan yang sangat.



* Adapun celaan manusia, kalau memang benar maka hal itu dapat mengeremnya dari perbutan yang tercela, dan ini sangat bagus sekali, semuanya pasti menginginkannya kecuali orang yang kurang akalnya. Namun apabila celaannya tidak benar dan dia sabar, berarti dia mendapatkan keutamaan sabar, dan akan mengambil pahala kebajikan orang yang mencelanya sehingga dia akan menuai pahala kelak di hari kiamat hanya dengan perbuatan yang tidak memberatkan. Sungguh ini adalah kesempatan berharga, semuanya pasti menginginkannya kecuali orang yang gila ”.[5]



FAIDAH V

JANGAN BERSEDIH



Saudaraku, janganlah engkau sedih hati dengan sedikitnya orang yang menghadiri pengajianmu atau mendengarkan ceramahmu! Ingatlah selalu hadits Nabi:



عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ, فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ, وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ, وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ



Dinampakkan kepadaku semua umat, lalu saya melihat ada seorang Nabi bersama tiga hingga sembilan pengikutnya, ada seorang nabi bersama satu atau dua pengikut, dan ada seorang nabi yang tidak memiliki pengikut satupun[6].



* Mahmud bin Syukri al-Alusi berkata: “Seorang alim tidaklah berkurang kedudukannya hanya dikarenakan sedikitnya murid sebagaimana Nabi tidaklah berkurang kedudukannya dikarenakan sedikitnya pengikut”.[7]



Sekalipun hanya beberapa orang yang ingin belajar kepadamu, maka ajarilah mereka ilmu yang Allah anugerahkan kepadamu, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu. Ingatlah selalu kisah-kisah para ulama sebelum kita yang jauh lebih alim daripada kita.



* Imam Malik berkata: “Aku mendatangi Nafi’ ketika usiaku masih kecil bersama seorang temanku, beliaupun turun untuk mengajariku. Beliau duduk setelah shubuh di masjid, namun tidak ada seorangpun yang datang kepadanya”. [8]



* Imam Atha’ bin Robah, dia adalah seorang yang paling dicintai manusia, namun yang hadir di majlisnya hanyalah delapan atau sembilan orang saja”.[9]



.



FAIDAH VI: ADAB BERDIALOG



Pernah dikatakan kepada Hatim al-Asham[10]: “Engkau adalah orang ‘ajami (bukan Arab), kamu juga tidak fashih, namun kamu selalu menang dalam berdebat, apa rahasianya?! Dia menjawab: Saya memiliki tiga kunci dalam berdebat, aku bergembira apabila lawanku benar, aku sedih bila dia salah, dan aku menjaga diriku untuk tidak menyakitinya”. Tatkala ucapan ini sampai kepada Imam Ahmad bin Hanbal, beliau berkomentar: “Subhanallah! Alangkah cerdasnya orang ini!!”. [11]



FAIDAH VII

CITA-CITA KITA



مُنَايَ مِنَ الدُّنْيَا عُلُوْمٌ أَبُثُّهَا وَأَنْشُرُهَا فِيْ كُلِّ بَادٍ وَحَاضِرِ



دُعَاءٌ إِلَى الْقُرْآنِ وَ السُّنَنِ الَّتِيْ تَنَاسَى رِجَالٌ ذِكْرَهَا فِي الْمَحَاضِرِ



وَقَدْ أَبْدَلُوْهَا بِالْجَرَائِدِ تَارَةْ وَتِلْفَازُهُمْ رَأْسُ الشُّرُوْرِ وَالْمَنَاكِرِ



وَبِالرَّادِيُوْ فَلاَ تَنْسَ شَرَّهُ فَكَمْ ضَاعَ الْوَقْتُ بِهَا مِنْ خَسَائِرِ



Cita-citaku di dunia adalah menyebarkan ilmu



Ke pelosok desa dan kota



Mengajak menusia kepada Al-Qur’an dan Sunnah



Yang kini banyak dilalaikan manusia.[12]



Mereka menggantinya dengan koran



Dan Televisi mereka sumber kerusakan dan kemunkaran



Dan juga Radio, jangan kamu lupakan kejelekannya



Betapa banyak waktu hilang sia-sia karenanya[13].



Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi



www.abiubaidah.com



.



CATATAN KAKI:

[1] I’lam Muwaqqi’in, 4/339-340.



[2] HR. Muslim: 5.



[3] Ghoyah Nihayah 1/263, sebagaimana dalam An-Nadhair Bakr Abu Zaid hal. 301



[4] Dikeluarkan al-Mahamili dalam Al-Amali: 460.



[5] Mudawah Nufus hal. 80-81.



[6] Syaikh al-Albani berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jelas bahwa banyak dan sedikitnya pengikut bukanlah timbangan benar atau salahnya seorang dai”. Lanjutnya: “Dalam hadits ini juga terdapat pelajaran bagi para dai dan mad’u (yang didakwahi), seorang dai hendaknya terus maju dalam kancah dakwah tanpa menghiraukan sedikitnya orang yang menerima dakwahnya, karena kewajibannya hanyalah menyampaikan. Demikian pula bagi orang yang didakwahi hendaknya tidak sedih karena sedikitnya orang yang menerima dakwah, atau meragukan dakwah yang benar, apalagi menolaknya hanya dengan alasan sedikitnya pengikut, seandainya dakwah yang benar tentu akan diikuti banyak orang!!”. (Lihat Silsilah ash-Shahihah 1/2/755-756).



[7] al-Misku wal Idzhir hal. 198.



[8] Siyar A’lam Nubala’ 8/107.



[9] Siyar A’lam Nubala’ 5/84, lihat Ma’alim fi Thalabil Ilmi, Abdul Aziz as-Sadhan hal. 310.



[10] Al-Asham adalah gelar yang artinya tuli. Konon ceritanya, ada seorang wanita bertanya kepadanya tentang suatu permasalahan, namun dengan tidak sengaja dia keluar kentut bersuara, sehingga wanita tadi merasa malu. Untuk menjaga perasaannya, Hatim berpura-pura tidak mendengar seraya berkata: “Keraskanlah suaramu”. Wanita itupun merasa senang karena dia menduga Hatim tidak mendengar suara kentutnya. Setelah itu Hatim terus menjadi tuli. (al-Muntadham 11/253)



[11] al-Muntadham fi Tarikhi Muluk wal Umam, Ibnul Jauzi 11/254.



[12] Siyar A’lam Nubala 18/206. Adz-Dzahabi berkomentar: “Syairnya Ibnu Hazm ini sangat indah sekali sebagaimana engkau lihat sendiri”.



[13] dari Madarik Nadhar Abdul Malik al-Jazairi



.

Rabu, 27 Oktober 2010

dakwah salafiah


Nasehat Al Imam Ahmad Bin Hanbal Rahimahullah

oleh Al Khair pada 27 Oktober 2010 jam 14:06
Amalan yang paling utama

Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Ahmad rahimahullah: “Beritakan kepada kami amalan apakah yang paling  utama ?”
Beliau menjawab: “Menuntut ilmu.”
Dia bertanya kembali: “Bagi siapa?”
Beliau menjawab: “Bagi orang yang benar niatnya.”
Dia bertanya kembali: “Apa saja yang bisa membenarkan niat itu?”
Beliau menjawab: “Dengan meniatkan dirinya agar bisa bertawadhu’ dan menghilangkan kebodohan darinya.”

Kewajiban Menuntut Ilmu

“Setiap orang wajib  menuntut ilmu yang menjadikan agamanya tegak dengannya.”
Ditanyakan kepada beliau, “Seperti apa halnya?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Yang ia tidak boleh bodoh (tidak berilmu) tentang sholat, puasa, dan lainnya.”

Kemuliaan hati

Sesungguhnya setiap sesuatu memiliki kemuliaan, dan kemuliaan hati adalah ridha kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala.

Mengingat Mati

Bahwasanya Imam Ahmad jika disebutkan tentang kematian maka beliau menangis tersedu-sedu.
Dan beliau berkata: “Rasa takut telah menghalangiku untuk menyantap makanan dan minuman.”

Anjuran untuk berusaha

Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Ahmad: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang duduk di  rumahnya atau di masjidnya kemudian berkata: “Aku tidak akan bekerja apapun sampai rizki itu yang datang sendiri  kepadaku.”
Beliau berkata: “Ini adalah seorang laki-laki yang tidak mengetahui ilmu. Tidakkah dia mendengar ucapan Rasulullah: ‘dijadikan rizki-ku di bawah naungan tombakku.’ Dan hadits yang lainnya tentang seekor burung yang di pagi hari dalam  keadaan lapar kemudian pergi untuk mencari makan.
Allah berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah (rizki).” [Al-Muzammil: 20]

Zuhud

Zuhud di dunia adalah: pendek angan-angan dan berputus asa (tidak mengharapkan) dari apa yang ada di tangan manusia.

Kemuliaan sahabat

Rasulullah Jika engkau melihat seseorang menyebutkan tentang salah seorang dari sahabat Rasulullah dengan kejelekan  maka ragukanlah keislamannya.

Merasakan kesenangan

Ada seseorang bertanya kepada beliau: “Kapan seorang hamba akan merasakan kesenangan?”
Beliau menjawab: “Dia akan merasakan kesenangan tatkala mulai memasuki Al-Jannah (surga).”

Manusia pada hari kiamat

Sesungguhnya Allah membangkitkan para hamba pada hari kiamat atas 3 keadaan:
1. Orang baik yang tidak ada jalan untuk menyalahkannya.
Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang  berbuat baik.” [At-Taubah: 91]
2. Orang yang kafir mereka berada dalam An-Naar (neraka),
Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Dan orang-orang yang kafir, mereka berada di dalam Jahannam.”  [Fathir: 36]
3. Orang yang berdosa (dibawah dosa syirik), maka perkaranya diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak, maka  ia akan diadzab, dan jika Allah berkehendak, ia akan diampuni.
Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia  mengampuni semua dosa yang di bawah dosa syirik bagi siapa yang dikehendakinya.” [An-Nisaa: 48 dan 116]

Hartawan yang zuhud

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki harta sebanyak 1000 dinar, apakah dia bisa dikatakan zuhud?” Beliau menjawab: “Ya, dengan syarat dia tidak gembira ketika hartanya bertambah dan tidak bersedih ketika  hartanya berkurang.”

Menjaga harga diri

Beliau pernah berdoa dalam sujudnya: “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menjaga wajahku dari sujud kepada selain-Mu, maka jagalah wajahku dari meminta-minta kepada selain-Mu.”

Zakatnya ilmu

Beliau pernah ditanya tentang seorang yang banyak menulis hadits, maka beliau memberikan jawaban: “Seharusnya bagi  ia untuk memperbanyak amalan sebatas apa yang dia peroleh dalam mencari hadits tersebut.” Kemudian beliau melanjutkan ucapannya: “Jalannya ilmu itu sama dengan jalannya harta. Sesungguhnya harta itu jika bertambah maka  bertambah pula zakatnya.”

Kesempurnaan makanan

Jika terkumpul pada makanan itu 4 hal maka sungguh telah sempurna:
1. Jika disebutkan nama Allah, pada awalnya.
2. Memuji nama Allah pada akhirnya.
3. Memperbanyak jumlah orang yang makan.
4. Makanan tersebut diperoleh dari jalan yang halal.

Tingkatan-tingkatan Zuhud

Dalam zuhud ada tiga tingkatan:
1. Meninggalkan yang haram.
Ini adalah zuhudnya orang-orang yang awam.
2. Meninggalkan sesuatu yang kurang bermanfaat dari perkara yang halal.
Ini adalah zuhudnya orang-orang yang khusus.
3. Meninggalkan sesuatu yang menyibukkan dari Allah.
Ini adalah zuhudnya orang-orang yang telah mengenal Rabbnya.

Sikap dalam shalat

Beliau pernah ditanya: “Apa makna dari meletakkan tangan yang kanan di atas tangan yang kiri?”
Beliau menjawab: “Merendahkan diri di hadapan Allah Subhanallahu wa Ta’ala.”

Ketakwaan hati

‘Ali bin Al-Madini rahimahullah berkata: “Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata kepadaku, ‘Sebenarnya aku ingin  menemanimu pergi ke Makkah dan tidaklah ada yang menghalangiku untuk menemanimu kecuali aku khawatir akan  membuatmu bosan atau engkau yang membuatku bosan.’
Ali rahimahullah berkata: “Ketika aku akan berpisah, kukatakan kepadanya: ‘Wahai Abu ‘Abdillah, berilah aku suatu  wasiat?’
Ahmad rahimahullah berkata: “Ya, tetapkanlah ketakwaan itu dalam hatimu, dan tegakkanlah akhirat itu di hadapanmu.”

Bersegera dalam kebaikan

Setiap sesuatu dari kebaikan hendaklah engkau memberi perhatian padanya, kemudian bersegera untuk memperolehnya  sebelum terhalang antaramu dengan kebaikan tersebut.

Ringan dalam hisab

Suatu yang sedikit dari perkara dunia maka kelak hisab (perhitungan)nya akan ringan di akhirat. Berkurangnya keimanan Iman bisa bertambah dan berkurang. kebaikan semuanya adalah bagian dari iman (menambah keimanan -red) dan kemaksiatan dapat mengurangi keimanan.

Semangat belajar

Tidaklah seseorang akan patah semangat di dalam menuntut ilmu kecuali orang yang bodoh.

Keikhlasan

Al-Ikhlas adalah hendaklah amalanmu diniatkan dalam rangka ibadah dan meninggalkan sesuatu yang haram, serta  meniatkan setiap kebaikan dan ketakwaan hanya semata-mata ditujukan kepada Allah. Ikhlas adalah ruhnya amalan.
Amalan tanpa ruh ibarat mayit. Allah tidak menerima amalan tersebut dan tidaklah dia akan selamat dari api neraka.

Semangat beramal

Tidaklah aku menulis sebuah hadits kecuali aku telah mengamalkannya walaupun cuma satu kali supaya tidak menjadi hujjah pada diriku kelak, sampaipun shalat 2 rakaat Maghrib antara adzan dan iqamat (aku telah mengamalkannya).

Doa beliau

Ya Allah, janganlah Engkau sibukkan hati kami dengan sesuatu yang telah Engkau bebankan kepada diri kami. Dan  janganlah Engkau menghalangi diri kami dari kebaikan yang ada pada-Mu dengan suatu kejelekan yang ada pada diri  kami. Dan janganlah Engkau perlihatkan pada diri kami apa yang telah Engkau larang. Dan janganlah Engkau luputkan  bagi diri kami apa-apa yang telah Engkau perintahkan. Muliakanlah diri kami dan janganlah Engkau hinakan diri kami. Muliakanlah diri kami dengan ketaatan dan janganlah Engkau hinakan diri kami dengan kemaksiatan.

Maraji’:

1. Mawa’izh Al-Imam Ahmad
2. Musthalah Hadits karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ’Utsaiminrahimahullah, hal. 63-66.
3. Kitab Fadhail Shahabah jilid I
4. Siyar A’lamin Nubala
5. Bidayah wa Nihayah