Kamis, 26 Mei 2011

Nasyid dalam pandangan Islam

Dahulu pada
zaman Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam ditemukan nasyid
yg sifat nasyid tersebut berbeda
sangat jauh dari nasyid2 yg ada
sekarang ini. Inilah beberapa
perbedaannya:
1. Nasyid pada zaman Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam
dilantunkan tanpa takalluf
(berlebih-lebihan) karena nasyid
sebenarnya untaian syair yg
keluar secara tabiat keluar dari
lisan orang2 arab yg dikenal akan
kefasihan mereka dalam
membuat syair tanpa intonasi
atau nada2 yg diatur sedemikian
rupa seperti nasyid yg dijumpai
pd zaman ini, terlebih nasyid yg
dikatakan islami lebih tepat
dikatakan musik karena sudah
diiringi oleh alat musik yg tlah
datang hadits shahih yg
menerangkan akan
keharamannya.
2. Nasyid pada zaman beliau -
shallallahu 'alaihi wasallam- tidak
dilantunkan setiap waktu,
maksudnya: diucapkan pada
waktu tertentu saja dgn maksud
membangkitkan semangat para
sahabat ketika menggali parit
pada Perang Khandaq. Adapun
nasyid islami pada zaman ini
dilantunkan hampir setiap saat
bahkan rekamannya tlah dijual
bebas dan dinikmati oleh orang
awam kaum muslimin. Bahkan
nasyid yg dikatakan islami tlah
disenandungkan di masjid Allah
dgn iringan alat musik sehingga
menyerupai keadaan kaum
nashrani yg ibadah mereka
dilakukan dgn cara bernyanyi di
gereja-gereja.
3. Dahulu nasyid dimaksudkan utk
membangkitkan semangat
terutama ketika akan berperang,
adapun zaman ini nasyid
digunakan kaum sufi utk
mendekatkan diri kpd Allah.
Allahul musta'an.
Inilah beberapa perbedaan
mencolok antara nasyid pada
zaman Rasulullah dgn zaman
sekarang yg penuh dgn fitnah.
Nasyid2 yg dikatakan islami lebih
berbahaya daripada musik
sebagaimana bid'ah lebih
berbahaya daripada pelaku
maksiat. Karena pelaku maksiat
seperti para pemusik atau
penyanyi masih bisa diharapkan
taubatnya, adapun para munsyid
(pelaku nasyid) susah diharapkan
taubatnya lantaran mereka
meyakini apa yg mereka lakukan
adalah islami atau merupakan
jenis pendekatan diri kepada
Allah. Maka benarlah perkataan
Tsufyan Ats-Tsaury -
rahimahullah-: "Bid'ah itu lebih
dicintai iblis daripada perbuatan
maksiyat, karena pelaku maksiyat
masih diharapkan taubatnya,
adapun pelaku bid'ah tidak bisa
diharapkan taubatnya."
(baca
kitab Al-Wajiz Fi 'Aqidah As-Salaf
As-Shalih karya Fadhilatusy Syaikh
'Abdullah Bin 'Abdil Hamid Al-
Atsary.

Adapun dalam acara pernikahan
atau acara walimah al-'ursy maka
diperbolehkan bagi wanita utk
mengumumkan pernikahan dgn
memukul Duff saja (semacam
rebana) dan nyanyian yg mubah
yg tidak ada pensifatan tentang
kecantikan sang mempelai wanita
dan penyebutan ungkapan2 yg
berbau kemaksiyatan. Diantara
hadits yg menunjukkan akan hal
itu:
sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam:
"a'linuu an-nikah
(umumkanlah pernikahan) (hasan,
Shahih Sunan Ibni Majah no. 1537
dan Shahih Ibni Hibban no. 1285)

dan sabda beliau:
"Fashlu maa
baina al-halal wa al-haram: ad-
duffu wa as-shoutu fi an-nikah
(pembatas antara halal dan haram
adalah dipukulnya Duff dan suara
(nyanyian mubah) dalam
pernikahan." (hasan, Shahih
Sunan Ibni Majah no. 1538, An-
Nasai no. 127 dan At-Tirmidzi no.
1094)
(baca Kitab Al-Wajiz Fi Fiqh
As-Sunnah wa Al-Kitab Al-'Aziz
pada Bab Nikah karya DR. 'Abdul
'Azhim Badawy).

Ini adalah tulisan seorang ikhwan. Semoga amal baiknya di terima oleh Allah.

Nasyid dalam pandangan Islam

Dahulu pada
zaman Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam ditemukan nasyid
yg sifat nasyid tersebut berbeda
sangat jauh dari nasyid2 yg ada
sekarang ini. Inilah beberapa
perbedaannya:
1. Nasyid pada zaman Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam
dilantunkan tanpa takalluf
(berlebih-lebihan) karena nasyid
sebenarnya untaian syair yg
keluar secara tabiat keluar dari
lisan orang2 arab yg dikenal akan
kefasihan mereka dalam
membuat syair tanpa intonasi
atau nada2 yg diatur sedemikian
rupa seperti nasyid yg dijumpai
pd zaman ini, terlebih nasyid yg
dikatakan islami lebih tepat
dikatakan musik karena sudah
diiringi oleh alat musik yg tlah
datang hadits shahih yg
menerangkan akan
keharamannya.
2. Nasyid pada zaman beliau -
shallallahu 'alaihi wasallam- tidak
dilantunkan setiap waktu,
maksudnya: diucapkan pada
waktu tertentu saja dgn maksud
membangkitkan semangat para
sahabat ketika menggali parit
pada Perang Khandaq. Adapun
nasyid islami pada zaman ini
dilantunkan hampir setiap saat
bahkan rekamannya tlah dijual
bebas dan dinikmati oleh orang
awam kaum muslimin. Bahkan
nasyid yg dikatakan islami tlah
disenandungkan di masjid Allah
dgn iringan alat musik sehingga
menyerupai keadaan kaum
nashrani yg ibadah mereka
dilakukan dgn cara bernyanyi di
gereja-gereja.
3. Dahulu nasyid dimaksudkan utk
membangkitkan semangat
terutama ketika akan berperang,
adapun zaman ini nasyid
digunakan kaum sufi utk
mendekatkan diri kpd Allah.
Allahul musta'an.
Inilah beberapa perbedaan
mencolok antara nasyid pada
zaman Rasulullah dgn zaman
sekarang yg penuh dgn fitnah.
Nasyid2 yg dikatakan islami lebih
berbahaya daripada musik
sebagaimana bid'ah lebih
berbahaya daripada pelaku
maksiat. Karena pelaku maksiat
seperti para pemusik atau
penyanyi masih bisa diharapkan
taubatnya, adapun para munsyid
(pelaku nasyid) susah diharapkan
taubatnya lantaran mereka
meyakini apa yg mereka lakukan
adalah islami atau merupakan
jenis pendekatan diri kepada
Allah. Maka benarlah perkataan
Tsufyan Ats-Tsaury -
rahimahullah-: "Bid'ah itu lebih
dicintai iblis daripada perbuatan
maksiyat, karena pelaku maksiyat
masih diharapkan taubatnya,
adapun pelaku bid'ah tidak bisa
diharapkan taubatnya."
(baca
kitab Al-Wajiz Fi 'Aqidah As-Salaf
As-Shalih karya Fadhilatusy Syaikh
'Abdullah Bin 'Abdil Hamid Al-
Atsary.

Adapun dalam acara pernikahan
atau acara walimah al-'ursy maka
diperbolehkan bagi wanita utk
mengumumkan pernikahan dgn
memukul Duff saja (semacam
rebana) dan nyanyian yg mubah
yg tidak ada pensifatan tentang
kecantikan sang mempelai wanita
dan penyebutan ungkapan2 yg
berbau kemaksiyatan. Diantara
hadits yg menunjukkan akan hal
itu:
sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam:
"a'linuu an-nikah
(umumkanlah pernikahan) (hasan,
Shahih Sunan Ibni Majah no. 1537
dan Shahih Ibni Hibban no. 1285)

dan sabda beliau:
"Fashlu maa
baina al-halal wa al-haram: ad-
duffu wa as-shoutu fi an-nikah
(pembatas antara halal dan haram
adalah dipukulnya Duff dan suara
(nyanyian mubah) dalam
pernikahan." (hasan, Shahih
Sunan Ibni Majah no. 1538, An-
Nasai no. 127 dan At-Tirmidzi no.
1094)
(baca Kitab Al-Wajiz Fi Fiqh
As-Sunnah wa Al-Kitab Al-'Aziz
pada Bab Nikah karya DR. 'Abdul
'Azhim Badawy).

Ini adalah tulisan seorang ikhwan. Semoga amal baiknya di terima oleh Allah.

Kamis, 19 Mei 2011

fatwa Ulama Tentang Usamah Bin Laden

FATWA AL ALLAMAH AL IMAM
ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN
BAZ, MUFTI AGUNG KERAJAAN
SAUDI ARABIA YANG LALU
TENTANG USAMAH BIN LADEN

FATWA PERTAMA:
Beliau berkata:
Sementara apa yang dilakukan
pada masa kini oleh Muhammad
Al Misari dan Sa’d Al Faqih serta
yang serupa dengan keduanya
dari aktivitas penyebaran seruan-
seruan yang rusak dan sesat,
maka hal itu tanpa diragukan lagi
merupakan suatu bahaya yang
besar dan mereka semua itu
dalah penyeru-penyeru
kejahatan dan pengrusakan yang
besar.
Maka wajib (kepada seluruh
umat) untuk waspada dari apa
apa yang telah mereka sebarkan
dan dengan segera
memusnahkannya serta tidak
bekerja sama dengan mereka
dalam kegiatan apapun yang
menyeru pada
kerusakan,kejelekan,kebatilan
dan fitnah. Karena Allah Azza wa
jalla memerintahkan untuk
berta’awun (bekerja sama) di
atas kebajikan dan ketaqwaan.
Bukan diatas kerusakan,
kejahatan,dan penyebaran
kedustaan, serta penyebaran
seruan-seruan kebatilan yang
bias menyebabkan perpecahan
serta ketidak-stabilan keamanan
atau yang lainnya.
Selebaran-selebaran tersebut
yang telah disebarkan oleh Al
Faqih dan Al Misari atau selain
keduanya dari kalangan penyeru
kebatilan dan kejahatan serta
perpecahan, wajib untuk segera
dimusnahkan dan tidak
memberikan perhatian
kepadanyasedikitpun
sebagaimana wajib pula untuk
membrikan nasehat dan
pengarahan kepada mereka
untuk kembali kepada Al-
Haq,serta memperingatkan
meraka dari kebatilan tersebut
dan tidak boleh bagi seorangpun
bertaawun dengan mereka
dalam perkara kejelekan ini serta
hendaknya mereka kembali
kepada kebenarandan
meninggalkan jauh-jauh
kebatilan tersebut.
Maka untuk itu nasehatku untuk
Al Misari,Al Faqih, dan Bin Laden
serta semua pihak yang
menempuh jalan (pemikiran)
mereka ini agar segera
meninggalkan cara-cara jelek
tersebut.
Dan hendaknya bertaqwa
kepada Allah serta waspada dari
adzab-Nya dan kemarahan-
Nya,sera kembali kepada
kebenaran,Bertaubatkepada
Allah dari semua apa yang telah
lalu. Karena sesungguhnya Allah
Azza wa jalla telah berjanji
kepada hamba-hamba-Nya yang
bertaubat untuk menerima tabat
mereka, Sebagaimana Allah
katakana dalam ayat-Nya:
“Wahai hamba-hamba-Ku yang
malampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu
berputus asa dari rahmat Allah
(karena) Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah
yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Dan Kembalilah kamu kepada
Tuhanmu, dan berserah dirilah
kepada-Nya sebelum datang
adzab kepadamu kemudian
kamu tidak dapat ditolong (lagi)”.
(Az-zumar:53-54)
“Bertaubatlah kamu sekalian
wahai orang-orang yang
beriman agar kalian
beruntung.” (An Nur:31)

FATWA KEDUA:
Al Imam Abdul Aziz bin Baz
menyebutkan di dalam surat
kabar Al Muslimun dan Asy
Syarqul Ausath tanggal 9 jumadil
Ula 1417 H, bahwa:
Usamah tergolong kelompok
orang-orang perusak di muka
bumi yang telah menempuh jalan
kejahatan dan kejelekan serta
keluar dari sikap ketaatan
kepada waliyyul amr.

Disalin oleh Al Akh Eko Budi dari
buku Mereka adalah teroris!!
(edisi revisi) oleh Al ustadz
Luqman bin Muhammad
Baabduh.hal 268-269.

Sumber: darussalaf.or.id

Sabtu, 14 Mei 2011

Menggapai Keutamaan TAUHID

oleh al-Ustadz Abdul Mu'thi al
Maidany

Bismillah
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash
radhiallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,


"Pada hari kiamat nanti,
sesungguhnya Allah akan
memanggil seorang dari
ummatku dihadapan para
makhluq pada hari kiamat.
Maka dihamparkanlah di
depannya sembilan puluh
sembilan gulungan (catatan
dosa), setiap gulungan
panjangnya sejauh mata
memandang, kemudian Allah
berfirman (kepadanya) :
apakah kamu mengingkari
sesuatu dari ini (yaitu catatan
dosa yang terhampar
didepannya), apakah para
penulis-Ku yang mengawasi
kamu menzholimimu? maka ia
menjawab : "Tidak wahai
Rabbku", kemudian Allah
berfirman : "Apakah kamu
mempunyai udzur (berupa
kebaikan)?", maka ia
menjawab : "Tidak wahai
Rabbku". Maka Allah
berfirman : "Bahkan engkau
mempunyai satu kebaikan di
sisi Kami, sesungguhnya tidak
ada kezholiman pada hari ini
atasmu", maka dikeluarkanlah
satu bithoqoh (kartu) tertulis
dalamnyaﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ
ﻭﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﻋﺒﺪﻩ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ
maka Allah berfirman :
"Saksikanlah timbanganmu",
maka ia berkata : "Wahai
Rabbku apalah artinya
bithoqoh ini dibanding dengan
gulungan-gulungan tersebut",
maka Allah berfirman :
"Sesungguhnya engkau tidak
akan dizholimi". Maka
diletakkanlah gulungan-
gulungan tersebut pada satu
anak timbangan dan bithoqoh
(diletakkan) pada anak
timbangan (lainnya). Maka
terangkatlah gulungan-
gulungan itu dan kartu
tersebut lebih berat".
Hadits ini dikeluarkan oleh
Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd
no.371, Ahmad 2/213, Tirmidzy
no.2639, Ibnu Majah no.4300,
Ibnu Hibban sebagaimana
dalam Al-Ihsan no.225, Al-
Hakim 1/46 dan 1/710, Ath-
Thobarany dalam Al-Ausath
5/79 no.4725, Al-Baihaqy
dalam Syu’abul Iman no.283,
Hamzah bin Muhammad Al-
Kinany dalam Juz`ul Bithoqoh
no.2, Al-Khatib Al-Baghdady
dalam Mudhih Auham Al-jam’i
Wat Tafriq 2/204, Al-Mizzy
dalam Tahdzibul Kamal, Adz-
Dzahaby dalam Mu’jamul
Muhadditsin 1/47-48 dan As-
Suyuthi dalam Tadrib Ar-Rawy
2/409.
Dan hadits ini adalah hadits
yang shohih, dishohihkan oleh
Hamzah Al-Kinany dalam Juz`ul
Bithoqoh hal.35, Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-
Albany rahimahullah dalam
Silsilah Ahadits Ash-Shohihah
no.135 dan Syaikh Muqbil bin
Hadi Al-Wadi’iy rahimahullah
dalam Ash-Shohih Al Musnad
Mimma Laisa Fii Ash-Shohihain
1/534-535.
Ibnul Qoyyim rahimahullah
menerangkan hadits ini
sebagai berikut,“Amal-amal
perbuatan tidaklah berbeda-
beda
keutamaannya dikarenakan
bentuk dan bilangannya. Hanya
saja keutamaannya berbeda-
beda sebab perbedaan
keyakinan dalam hati sehingga
dua amalan bisa memiliki
bentuk yang satu namun nilai
perbedaan di antara keduanya
sejauh antara langit dan bumi.”
Selanjutnya beliau berkata,
“Perhatikan hadits tentang
sebuah kartu yang diletakkan
pada satu anak timbangan lalu
diimbangi dengan timbangan
sembilan puluh sembilan
gulungan yang masing-
masingnya sejauh mata
memandang ternyata
timbangan kartu itu berat dan
timbangan gulungan-gulungan
itu ringan. Maka pemiliknya
tidak diadzab. Bersamaan
dengan ini, merupakan suatu
perkara yang maklum bahwa
setiap orang yang bertauhid
memiliki kartu itu. Akan tetapi
kebanyakan mereka masuk
neraka dengan sebab dosa-
dosanya”. (Lihat Fathul Majid
hal 69)
sumber :
Dari buletin asysyariah
Vol.5/03/1429H/2008

Jumat, 06 Mei 2011

Wasiat Rasulullah 8

oleh: Deden Salafy

Fawaa-Id (Pelajaran Dari Hadits Ini)
1. Disyari’atkan memberikan nasehat. Akan tetapi, hendaknya dilakukan
pada tempatnya dan jangan terlalu
sering agar tidak membosankan.


2. Nasehat atau wasiat perpisahan
biasanya menyentuh hati.
3. Nasehat Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam semuanya bermanfaat dan
menyentuh hati para Sahabat.
4. Boleh bagi seseorang untuk
meminta nasehat dari orang alim
(Ulama), dan dalam hal ini apabila ada
sebabnya, yakni seseorang membutuhkan nasehat.
5. Wasiat yang paling baik adalah
wasiat takwa kepada Allah Ta ’ala .
6. Seseorang akan mencapai takwa
kepada Allah Ta ’ala apabila ia menuntut ilmu syar’i, mengamalkannya, dan mentauhidkan
Allah Ta’ala dan menjauhkan syirik.
7. Takwa adalah melaksanakan
perintah Allah Ta’ala dan menjauhkan larangan-Nya. Perintah yang paling
besar adalah mentauhidkan Allah
Ta’ala dan larangan yang terbesar adalah syirik.
8. Takwa mempunyai keutamaan yang
sangat banyak.
9. Wajib mendengar dan taat kepada
ulil amri (penguasa) dari kaum
Muslimin dalam hal yang ma’ruf.
10. Tidak boleh taat kepada ulil amri
dalam hal maksiat.
11. Perintah taat kepada ulil amri
meskipun dia seorang hamba sahaya
(budak), menunjukkan pentingnya
taat kepada ulil amri.
12. Di antara mukjizat Nabi Salallahu
‘Alaihi Wassalam , beliau mengabarkan akan terjadinya perpecahan dan
perselisihan di tengah-tengah kaum
Muslimin.
13. Jalan selamat dari perpecahan dan
perselisihan adalah berpegang kepada
al-Qur‘ân dan Sunnah Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam serta memahaminya sebagaimana yang difahami oleh para
Sahabat radhiallahu’anhum .
14. Keutamaan Khulâfaur Râsyidin.
15. Keutamaan para Sahabat
radhiallahu’anhum, karena mereka adalah orang-orang yang berserah diri
kepada Allah Ta ’ala dan Rasul-Nya.
16. Baiknya hati para Sahabat
radhiallahu’anhum, karena mereka takut kepada Allah Ta ’ala .
17. Wajib atas setiap Muslim
mempelajari Sunnah Nabi Salallahu
‘Alaihi Wassalam.
18. Kita wajib mengikuti Sunnah Nabi
Salallahu ‘Alaihi Wassalam dan Sunnah Khulafâ‘ur Râsyidin serta berpegang teguh dengan keduanya.
19. Kita wajib waspada dan hati-hati
kepada setiap perkara yang baru yang
tidak ada asalnya dari Nabi Salallahu
‘Alaihi Wassalam.
20. Setiap perkara yang baru yang
diada-adakan dalam agama adalah
bid’ah.
21. Semua bid’ah adalah sesat, tidak ada bid’ah hasanah dalam Islam dan tidak ada juga pembagian bid’ah menjadi lima (hasanah, mubah,
makruh, haram, dan wajib). Yang
mengatakan semua bid’ah sesat adalah Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam. Beliau adalah orang yang paling tahu
tentang Islam, paling fasih berbahasa
Arab, dan paling jujur.
22. Semua kesesatan tempatnya di
Neraka.
23. Menjelaskan tentang bahaya bid’ah kepada umat tidak termasuk memecah
belah kaum Muslimin, namun termasuk
dalam kategori amar ma’ruf nahi munkar.
24. Tidak boleh memastikan para
pelaku bid’ah dengan masuk Neraka karena kita tidak tahu akhir
kehidupannya. Bisa jadi ia bertaubat
dari perbuatan bid’ahnya tersebut.
25. Bid’ah merusak hati, akal, dan agama...wallahua'lam
Semoga bermanfaat

Wasiat Rasulullah 7

oleh: Deden Salafy

Definisi Bid’ah

Imam asy-Syâthibi rahimahullah (wafat
th. 790 H) mengatakan, “Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-
lebihan dalam beribadah kepada Allah
Ta’ala.” Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab, bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang telah ditetapkan
dalam syari’at. Ungkapan “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu
yang diada-adakan dalam agama itu
pada hakekatnya tidak ada dalam
syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk
tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah
tertentu yang dalam syari’at tidak ada ketentuannya. Ungkapan “untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta ’ala“, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab, demikian itulah tujuan para
pelaku bid’ah, yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena
manusia diciptakan Allah Ta ’ala hanya untuk beribadah kepada-Nya
sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” (Qs adz- Dzâriyât/51:56) Seakan-akan orang yang membuat
bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat
tersebut. Dia merasa bahwa apa yang
telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum
belum mencukupi sehingga dia
berlebih-lebihan dan menambahkan
serta mengulang-ulanginya. Imam al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali
rahimahullah (wafat th. 795 H)
mengatakan, “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang menunjukkan keabsahannya.
Adapun yang memiliki dasar dalam
syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid ’ah, meskipun secara bahasa dikatakan
bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu
menisbatkannya kepada ajaran agama,
namun tidak memiliki landasan dari
ajaran agama yang bisa dijadikan
sandaran, berarti itu adalah kesesatan.
Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang
berkaitan dengan keyakinan, amalan
ataupun ucapan, lahir maupun bathin. Terdapat beberapa riwayat dari
sebagian Ulama Salaf yang
menganggap baik sebagian perbuatan
bid’ah, padahal yang dimaksud tidak lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at. Contohnya adalah ucapan ‘Umar bin al- Khaththâb radhiallahu’anhu ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin
untuk melaksanakan shalat malam di
bulan Ramadhan (shalat Tarawih)
dengan mengikuti satu imam di masjid.
Ketika beliau radhiallahu’anhu keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah.
Maka, beliau radhiallahu’anhu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah yang semacam ini.” Tidak diragukan lagi bahwa setiap
bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi
Salallahu ‘Alaihi Wassalam yang artinya, “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang
baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” Juga sabda beliau Salallahu ‘Alaihi Wassalam yang artinya,
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini,
sesuatu yang bukan bagian darinya,
maka ia tertolak”. Kedua hadits di atas menunjukkan
bahwa perkara baru yang dibuat-buat
dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan tertolak. Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya
berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu sendiri. Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam juga bersabda,
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak didasari atas
perintah kami maka amalannya
tertolak”. Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam sendiri yang mengatakan amalan
bid’ah itu tertolak karena tidak terpenuhinya salah satu syarat dari dua
syarat diterimanya ibadah, yaitu
mutâba’ah (mengikuti contoh Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam). Syarat diterimanya ibadah ada dua:
pertama, niat ikhlas karena Allah Ta ’ala dan kedua, sesuai dengan Sunnah;
yakni sesuai dengan Kitab-Nya atau
yang dijelaskan Rasul-Nya dan
Sunnahnya. Jika salah satunya tidak dipenuhi,
maka amalnya tersebut tidak bernilai
shalih dan tertolak, hal ini ditunjukkan
dalam firman-Nya yang artinya : “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia
mengerjakan amal shalih dan
janganlah dia mempersekutukan
dengan sesuatu pun dalam beribadah
kepada Rabb-nya”. (Qs al- Kahfi/18:110) Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan agar menjadikan amal
itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan
Sunnah Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam, kemudian memerintahkan
agar orang yang mengerjakan amal
shalih itu mengikhlaskan niatnya
karena Allah Ta ’ala semata, tidak menghendaki selain-Nya. Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah
berkata dalam tafsirnya35, “Inilah dua landasan amalan yang diterima:
Pertama, ikhlas karena Allah Ta ’ala dan Kedua, sesuai dengan Sunnah
Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam.” Menjelaskan tentang bahaya bid’ah dan ahlul bid’ah kepada umat tidaklah termasuk memecah-belah persatuan
kaum Muslimin, bahkan menjelaskan
bahaya bid’ah dan membantah ahlul bid’ah termasuk dalam kategori jihad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata, “Orang yang membantah ahlul bid’ah adalah mujahid, sampai Yahya bin
Yahya berkata, ‘Membela Sunnah Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam lebih utama daripada jihad (fî sabîlillâh).’.
bersambung.. Insya Allah

Wasiat Rasulullah 6

oleh:Deden Salafy

“Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian.”
Sabda beliau merupakan kiasan
tentang kuatnya berpegang teguh
kepada Sunnah. Hal itu karena sudah
begitu banyaknya fitnah dan syubhat
yang ada. Kadang-kadang ada orang
berpegang pada manhaj Salaf lalu keluar dari manhaj Salaf karena
banyaknya fitnah, syubhat, dan
syahwat. Fitnah terbagi menjadi dua:
fitnah syahwat dan syubhat. Fitnah
syubhat ialah fitnah yang terkait
dengan pemahaman, aliran, kelompok, firqah, keyakinan, dan lainnya.
Sedangkan fitnah syahwat ialah yang
berkenaan dengan harta, wanita,
jabatan, kedudukan, kekuasaan, dan
lain sebagainya. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam telah menggabungkan Sunnah Sahabatnya
dengan Sunnahnya, dan
memerintahkan untuk mengikutinya
seperti memerintahkan untuk
mengikuti Sunnahnya, sampai-sampai
beliau memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham.
Dan ini meliputi apa yang mereka
fatwakan dan apa yang mereka
contohkan walaupun sebelumnya Nabi
Salallahu ‘Alaihi Wassalam tidak melakukannya. Hal ini juga meliputi apa yang mereka
fatwakan secara keseluruhan atau
sebagian besar dari mereka atau
sebagian mereka saja karena
Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam mengaitkannya dengan apa yang
disunnahkan (dicontohkan) oleh
Khulafâ Râsyidin. Dan sudah
dimaklumi, jika mereka mencontohkan
hal itu pada saat yang bersamaan,
maka bisa diketahui bahwa Sunnah tiap orang dari mereka (Sahabat) pada
masa beliau Salallahu ‘Alaihi Wassalam adalah termasuk Sunnah Khulafâur
Râsyidin.” Hadits ini sebagai pukulan keras yang
menghujam di kepala para ahlul bid’ah yang menyelisihi manhaj Salaf, karena
hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal :
Pertama:
Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam menggabungkan Sunnah Khulafâur
Râsyidin, yaitu pemahaman Salaf,
dengan Sunnah beliau. Ini
menunjukkan bahwa Islam tidak bisa
dipahami kecuali dengan manhaj Salaf.
Kedua: Beliau Salallahu ‘Alaihi Wassalam menjadikan Sunnah Khulafâur Râsyidin
sebagai Sunnah beliau, beliau
mengatakan, “Gigitlah ia dengan gigi geraham.” Dan tidak mengatakan, “Gigitlah keduanya dengan gigi geraham.” Dengan demikian jelaslah bahwa Sunnah Khulafâ`ur Râsyidin
termasuk Sunnah beliau Salallahu
‘Alaihi Wassalam. Ketiga:
Beliau menghadapkan (menjadikan
berlawanan) semua itu dengan
peringatan terhadap bid’ah, maka hal ini menunjukkan setiap yang
menyelisihi manhaj Salaf berarti ia
terjerumus dalam bid’ah tanpa ia sadari.
Keempat:
Beliau menjadikan hal itu (manhaj
Salaf) sebagai solusi dari perselisihan
dan kebid’ahan, barangsiapa yang berpegang teguh kepada Sunnah
Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam dan Sunnah Khulafâ‘ur Râsyidin maka ia termasuk dalam golongan yang
selamat kelak di hari Kiamat.
Kelima:
Beliau tidak menjadikan Sunnahnya
dan Sunnah Khulafâ Râsyidin dalam
perselisihan yang banyak itu. Hal ini menunjukkan bahwa semuanya itu
berasal dari Allah Ta’ala , karena terjadinya perselisihan yang banyak
tidak mungkin dari Allah Ta ’ala, sebagaimana dalam firman-Nya yang
artinya, “Sekiranya (al-Qur`ân) itu bukan dari Allah, pasti mereka menemukan
banyak hal yang bertentangan di
dalamnya.” (Qs an-Nisâ’/4:82) Dari poin-poin yang berkaitan ini maka
jelaslah bahwa jalan keselamatan dari
perselisihan dan perpecahan serta jalan
untuk melindungi kehidupan dari
kesesatan hawa nafsu dan rusaknya
syubhat dan syahwat adalah dengan memahami Sunnah Rasulullâh Salallahu
‘Alaihi Wassalam dengan pemahaman mereka. Karena mereka telah
mendapat bagian melimpah dari
Sunnah tersebut, mereka berhasil
menempati posisi terdepan dan
memimpin masa, sehingga tidak
menyisakan kesempatan bagi generasi setelahnya untuk menyusul dan
menyamai mereka karena mereka
berhenti di atas petunjuk, telah
dicukupkan dengan ilmu, dan dengan
ketajaman pandangan mereka melihat
Sunnah Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam menjadi sesuatu yang paling
agung di hati mereka, paling hebat
dalam jiwa mereka. Jika Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam mengajak mereka pada
suatu perintah, secepatnya mereka
segera memenuhinya baik beramai-
ramai maupun sendiri-sendiri. Mereka
segera membawa jiwa raganya untuk
melaksanakan perintah tersebut tanpa perlu bertanya tentang dalil atau
buktinya. Oleh karena itu, mereka adalah orang
yang paling berhak terhadap
Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam dan Sunnahnya, baik dalam
pemahaman, pengamalan, maupun
dakwah. Dan yang wajib bagi orang
setelah mereka adalah berpegang
teguh kepada manhaj mereka, agar
bisa bersambung dengan Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam dan agama Allah Ta’ala . Jika tidak, maka ia bagaikan pohon buruk yang tercabut
dari dalam tanah dan ia tidak memiliki
ketetapan.26 Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam mengabarkan tentang akan terjadinya
perpecahan dan perselisihan pada
umatnya, kemudian Rasulullah
Salallahu ‘Alaihi Wassalam memberikan jalan keluar agar selamat dunia dan
akhirat yaitu dengan mengikuti
Sunnahnya dan Sunnah para Sahabat.
Hal ini menunjukkan wajibnya
mengikuti Sunnahnya (Sunnah Nabi
Salallahu ‘Alaihi Wassalam) dan Sunnah para Sahabatnya radhiallahu’anhum..
Bersambung..insya Allah

Wasiat Rasulullah 5

oleh Deden Salafy

Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum Muslimin
agar menjadi baik, Allah Ta ’ala memerintahkan agar kita mengubah
diri kita sendiri terlebih dulu, bukan
mengubah penguasa yang ada. Allah
Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka
mengubah keadaan diri mereka
sendiri.” (Qs ar-Ra’d/13:11) Kita harus memperhatikan kewajiban
mendengar dan taat kepada ulil amri.
Bila tidak, maka akan terjadi kehinaan,
kekacauan, pertumpahan darah, kaum
Muslimin menjadi korban, dan lain
sebagainya. Sedangkan darah kaum Muslimin itu lebih mulia dari pada
Ka’bah yang mulia dan lebih berat di sisi Allah Ta’ala dari pada hancurnya dunia. Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,
“Hancurnya dunia ini lebih ringan dosanya di sisi Allah dari pada
terbunuhnya seorang Muslim.” Terjadinya Perpecahan Dan Perselisihan
Di Tengah Kaum Muslimin Sabda Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam,
“Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, maka ia
akan melihat perselisihan yang
banyak.” Sesungguhnya perpecahan dan
perselisihan dalam Islam itu tercela.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih setelah sampai kepada
mereka keterangan yang jelas. Dan
mereka itulah orang-orang yang
mendapat adzab yang berat.” (Qs Ali ‘Imrân/3:105) Allah Ta’ala berfirman yang artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang
memecah-belah agamanya dan mereka
menjadi (terpecah) dalam golongan-
golongan, sedikit pun bukan tanggung
jawabmu (Muhammad) atas mereka.
Sesungguhnya urusan mereka (terserah) atas Allah. Kemudian Dia
akan memberitahukan kepada mereka
apa yang telah mereka perbuat".(Qs al-
An’âm/6:159) Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as- Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa agama Islam
memerintahkan untuk berjama’ah dan bersatu serta melarang perpecahan
dan perselisihan dalam prinsip agama,
bahkan dalam setiap permasalahan
agama, baik yang pokok maupun
cabangnya.” Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,
“Ketahuilah, sesungguhnya orang- orang Ahlul Kitab sebelum kalian telah
berpecah-belah menjadi 72 golongan.
Sesungguhnya umat Islam akan
berpecah-belah menjadi 73 golongan,
72 golongan tempatnya di neraka dan
hanya satu golongan di Surga, yaitu al- Jama’âh.” Dalam riwayat lain disebutkan:
“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku
dan para Sahabatku berjalan di
atasnya.”.

Jalan Selamat Dari Perpecahan Dan Perselisihan

Jalan selamat dari perpecahan dan
perselisihan adalah dengan berpegang
teguh kepada al-qur-an dan as-sunnah
menurut pemahaman salafush shalih.
Sabda Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam, “Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah
Khulafâur Râsyidin yang mendapat
petunjuk.” Sabda beliau Salallahu ‘Alaihi Wassalam di atas terdapat perintah untuk
berpegang teguh dengan Sunnah
Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam dan Sunnah Khulafâur Râsyidin
sepeninggal beliau. Sunnah adalah
jalan yang dilalui, termasuk di
dalamnya berpegang teguh kepada
keyakinan-keyakinan, perkataan-
perkataan, dan perbuatan perbuatan Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam dan para Khulafâur Râsyidin. Itulah Sunnah
yang paripurna. Oleh karena itu,
generasi Salaf dahulu tidak
menamakan Sunnah, kecuali kepada
apa saja yang mencakup ketiga aspek
tersebut. Hal ini diriwayatkan dari al- Hasan, al-Auzâ’i, dan Fudhail bin ‘Iyâdh. Keempat Khalifah tersebut disebut
Râsyidîn karena mereka mengetahui
kebenaran dan memutuskan segala
perkara dengan kebenaran. Râsyîd
adalah lawan kata dari ghâwi. Ghâwi
ialah orang yang mengetahui kebenaran, namun mengamalkan
kebalikannya. Sedangkan kata
Mahdiyyîn maksudnya adalah Allah
Ta’ala membimbing mereka kepada kebenaran dan tidak menyesatkan
mereka darinya. Jadi, manusia terbagi
menjadi tiga: râsyid, ghâwi, dan dhâll. Râsyid ialah orang yang mengetahui
kebenaran dan mengikutinya. Dhâll
ialah orang yang tidak mengetahui
kebenaran secara total. Jadi, seluruh
orang râsyid itu ialah orang yang
mendapatkan petunjuk, dan orang yang diberi petunjuk dengan petunjuk
paripurna ialah orang yang râsyid
(mendapatkan petunjuk), karena
petunjuk hanya sempurna dengan
mengetahui kebenaran dan
mengamalkannya. Perintah Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam untuk mengikuti Sunnah beliau dan
Sunnah Khulafâ Râsyidin setelah
perintah mendengar dan taat kepada
ulil amri adalah bukti bahwa Sunnah
para Khulafâur Râsyidin harus diikuti
seperti halnya mengikuti Sunnah Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam . Ini tidak berlaku bagi Sunnah para pemimpin
selain Khulafâ Râsyidin. Ini menunjukkan bahwa kita wajib
berpegang kepada al-Qur‘ân dan Sunnah menurut pemahaman Salafush
Shalih. Selain itu, kita diwajibkan
mengikuti manhaj para Salafush Shalih
karena Allah Ta ’ala menyebutkan dalam al-Qur‘ân tentang wajibnya kita mengikuti mereka. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka jika mereka beriman sebagaimana kamu telah beriman,
sungguh, mereka telah mendapat
petunjuk; dan jika mereka berpaling,
sesungguhnya mereka berada dalam
permusuhan (dengan kamu). Maka
Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dialah yang Maha
Mendengar, Maha Mengetahui.” (Qs al- Baqarah/2:137) Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan selain
jalan orang-orang Mukmin, Kami
biarkan dia dalam kesesatan yang telah
dilakukannya itu dan akan Kami
masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk
tempat kembali". (Qs an-Nisâ’/4:115) Kita berpegang dengan pemahaman
Salaf, mengikuti jejak Salafus Shalih,
dengan tujuan ingin selamat dunia
akhirat dan ingin masuk Surga, bukan
untuk mencari kedudukan, harta, dan
ketenaran. Kita mengikuti jejak mereka supaya selamat di dunia dan di akhirat
dan agar Allah Ta’ala memasukkan kita ke dalam Surga-Nya, bukan untuk
memperoleh kesenangan dunia, harta,
jabatan, maupun kekuasaan. Kita wajib mengikuti jejak Salafush
Shalih karena mereka adalah khairun
nâs (sebaik-baik manusia), dan khairu
hâdzhihil ummah (dan sebaik-baik
umat ini). Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat),
kemudian yang sesudahnya (masa
Tâbi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tâbi’ut Tâbi’în).” Mengenai berpegang kepada al-Qur‘ân dan Sunnah dengan pemahaman
Salafush Shalih ini, Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam bukan hanya menyuruh
berpegang saja. Tetapi menyuruh kita
agar memegangnya dengan sangat
kuat dan erat sehingga beliau
mengungkapkannya melalui sabda
beliau,.
bersambung..insya Allah

Wasiat Rasulullah 4

oleh: Deden Salafy

Mendengar Dan Taat Kepada Ulil Amri (Penguasa Kaum
Muslimin)

Sabda Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam, “…Mendengar dan taat…” Maksudnya, mendengar dan taat
kepada ulil amri (penguasa) kaum
Muslimin. Mendengar apabila mereka
berbicara dan menaati apabila mereka
memerintahkan sesuatu.
Dalam surat an-Nisâ ayat 59, Allah
Ta’ala berwasiat kepada kaum Muslimin agar mereka menaati Allah Ta ’ala , Rasul-Nya, dan ulil amri dari kalangan
kaum Muslimin yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu maka kembalikanlah ia kepada
Allah (al-Qur`ân) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
Kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (Qs an-Nisâ’/4:59) Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Tidak boleh taat terhadap perintah yang di dalamnya terdapat maksiat
kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan
itu hanya dalam kebajikan.” Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal
Jama’ah adalah wajib taat kepada pemimpin kaum Muslimin selama
mereka tidak menyuruh berbuat
maksiat, meskipun mereka berbuat
zhalim. Karena menaati mereka
termasuk dalam ketaatan kepada Allah
Ta’ala, sedangkan ketaatan kepada Allah Ta’ala adalah wajib. Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,
“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat kepada penguasa
pada apa-apa yang ia cintai atau ia
benci, kecuali kalau ia disuruh untuk
berbuat maksiat, jika ia disuruh untuk
berbuat maksiyat, maka tidak boleh
mendengar dan tidak boleh taat.” Imam al-Qâdhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abil-‘Izz ad-Dimasyqi rahimahullah (yang terkenal dengan
Ibnu Abil ‘Izz wafat th. 792 H) berkata, “Hukum menaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan)
meskipun mereka berbuat zhalim,
karena keluar dari ketaatan kepada
mereka akan menimbulkan kerusakan
yang berlipat ganda dibanding dengan
kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman
mereka dapat melebur dosa-dosa dan
dapat melipat-gandakan pahala.
Karena Allah Ta ’ala tidak akan menguasakan mereka atas diri kita
melainkan disebabkan kerusakan amal
perbuatan kita juga. Ganjaran itu
bergantung pada amal perbuatan.
Maka hendaklah kita
bersungguhsungguh memohon ampunan, bertaubat, dan memperbaiki
amal perbuatan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian
besar (dari kesalahankesalahan).” (Qs asy-Syûrâ/42:30) Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya,
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu
menjadi pemimpin bagi sebagian yang
lain disebabkan apa yang mereka
usahakan.” (Qs al-An’âm/6:129).
Apabila rakyat ingin selamat dari kezhaliman pemimpin
mereka, hendaklah mereka
meninggalkan kezhaliman itu juga.” Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata,
“Penjelasan di atas sebagai jalan selamat dari kezhaliman para penguasa
yang ‘warna kulit mereka sama dengan kulit kita, berbicara sama dengan
bahasa kita (bahasa Arab )’ karena itu agar umat Islam selamat : 1. Hendaklah kaum Muslimin bertaubat
kepada Allah Ta ’ala . 2. Hendaknya mereka memperbaiki
‘akidah mereka. 3. Hendaklah mereka mendidik diri dan
keluarganya di atas Islam yang benar
sebagai penerapan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum
sebelum mereka merubah keadaan diri
mereka sendiri.” (Qs ar-Ra’d/13:11) Untuk menghindarkan diri dari
kezhaliman penguasa bukan dengan
cara mengikuti sangkaan sebagian
orang yaitu dengan memberontak,
mengangkat senjata ataupun dengan
cara kudeta, karena yang demikian itu termasuk bid’ah dan menyalahi nash- nash syariat yang memerintahkan
untuk merubah diri kita lebih dahulu.
Karena itu harus ada perbaikan kaidah
dalam pembinaan, dan pasti Allah
Ta’ala menolong hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya.
Sungguh, Allah benar-benar Maha
Kuat, Maha Perkasa.” (Qs al-Hajj/22:40) Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
rahimahullah mengatakan,
“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya menjadikan para raja, pemimpin, dan
pelindung umat manusia berada satu
jenis dengan amal perbuatan mereka,
bahkan amal perbuatan mereka
seakan-akan tampak tercermin pada
pemimpin dan penguasa mereka. Jika mereka lurus, maka akan lurus juga
penguasa mereka, dan jika mereka
adil, maka akan adil pula penguasa
mereka terhadap mereka, tetapi jika
mereka zhalim, maka akan zhalim pula
penguasa dan pemimpin mereka. Jika tampak tipu muslihat dan penipuan di
tengah-tengah mereka, maka demikian
pula yang terjadi pada pemimpin
mereka. Dan jika menolak hak-hak
Allah Ta’ala atas mereka dan enggan memenuhinya, maka para penguasa
dan pemimpin mereka pun akan
menolak hak-hak yang ada pada
mereka dan kikir untuk
menerapkannya pada mereka. Dan jika
dalam muamalah mereka mengambil sesuatu yang bukan haknya dari
orang-orang lemah, maka para
penguasa pun akan mengambil hal-hal
yang bukan haknya serta menimpakan
berbagai beban dan tugas kepada
mereka. Setiap yang mereka keluarkan (yang
mereka ambil) dari orang-orang lemah,
maka akan dikeluarkan (diambil) pula
oleh para penguasa itu dari diri mereka
dengan kekuatan (paksaan). Dengan
demikian amal perbuatan mereka tercermin pada amal perbuatan
penguasa dan pemimpin mereka. Dan
menurut hikmah Ilâhiyyah, tidaklah
diangkat seorang pemimpin atas
orang-orang jahat lagi berbuat keji,
kecuali orang-orang yang sejenis dengan mereka. Ketika pada kurun-
kurun pertama merupakan kurun yang
paling baik, maka demikian itu pula
para pemimpin mereka. Dan ketika
mereka mulai tercemari, maka
pemimpin mereka pun mulai tercemari pula. Dengan demikian, hikmah Allah Ta ’ala menolak jika kita di zaman ini dipimpin
oleh orang-orang seperti Mu’awiyah dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, apalagi orang-orang seperti Abu Bakar dan
‘Umar, tetapi pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Dan pemimpin
orang-orang sebelum kita pun sesuai
dengan kondisi mereka. Masing-
masing dari kedua hal tersebut
merupakan konsekuensi dan tuntutan
hikmah Allah Ta ’ala .”14 Pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Thâlib radhiallahu’anhu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi
pertengkaran dan fitnah, sedangkan
pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar tidak?” ‘Ali z menjawab, “Karena pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar yang menjadi rakyatnya adalah aku dan
Sahabat yang lainnya. Sedangkan pada
zamanku yang menjadi rakyatnya
adalah kalian.”15.
bersambung... Insya Allah

Wasiat Rasulullah 3

sambungan dari artikel sebelumnya
oleh Deden Salafy

Bertakwalah Kepada Allah Ta’ala

Sabda Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam,
“Aku wasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah …” Wasiat takwa adalah wasiat yang
paling mulia, wasiat yang menjamin
kebahagiaan di dunia dan di akhirat
bagi orang yang berpegang teguh
kepadanya. Dan wasiat takwa
merupakan wasiat Allah Ta ’ala kepada manusia generasi pertama dan akhir,
sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang yang
telah diberikan kitab suci sebelum
kamu dan (juga) kepadamu agar
bertakwa kepada Allah. Tetapi jika
kamu ingkar, maka (ketahuilah) milik
Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah
Mahakaya, Maha Terpuji.” (Qs an- Nisâ’/4:31) Takwa yang dimaksud menurut
penjelasan para Ulama bukan sekedar
melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan, namun harus dirinci lagi.
Perintah paling besar dalam syari’at adalah mentauhidkan Allahk dan
larangan yang terbesar adalah
menjauhkan syirik. Thalq bin Habîb rahimahullah
mengatakan, “Takwa ialah engkau melaksanakan ketaatan kepada Allah
Ta’ala dengan cahaya dari Allah Ta’ala karena mengharap ganjaran dari Allah
Ta’ala , dan engkau meninggalkan perbuatan maksiat kepada Allah Ta ’ala dengan cahaya dari Allah Ta’ala karena takut terhadap adzab Allah Ta ’ala . Di antara pesan Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam kepada kita semua ialah agar
selalu bertakwa dimana pun kita
berada. Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda yang artinya,
“Bertakwalah kepada Allah dimana pun engkau berada dan iringilah
perbuatan buruk dengan perbuatan
baik, niscaya ia akan
menghapuskannya serta bergaullah
bersama manusia dengan akhlak yang
baik..

bersambung ,..insya Allah...

Kamis, 05 Mei 2011

Wasiat Rasulullah 2

lanjutan dari artikel sebelumnya
oleh Deden Salafy

Keutamaan Salafush Shalih

Perkataan al-‘Irbâdh bin Sâriyah radhiallahu’anhu, “Lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas
pada jiwa, yang menjadikan air mata
berlinang dan membuat hati menjadi
takut…” Di dalamnya terdapat isyarat tentang
baiknya keadaan para Sahabat,
bersihnya jiwa-jiwa mereka, dan
selamatnya hati-hati mereka. Mereka
mengambil pelajaran dari sabda
Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam, merasa takut tatkala mendengar firman
Allah Ta’ala , dan ini merupakan tanda keimanan dan kebaikan. Menangis dan
rasa takut hati ketika mendengar
peringatan dari firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya adalah dua sifat kaum
Mukminin yang dipuji oleh Allah Ta ’ala . Seperti firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila
disebut Nama Allah gemetar (takutlah)
hatinya, dan apabila dibacakan ayat-
ayat-Nya kepada mereka, bertambah
kuat imannya dan hanya kepada Rabb
mereka bertawakkal. ” (Qs al-Anfâl/8:2) Sesungguhnya orang yang menangis
karena takut kepada Allah Ta ’ala , matanya itu tidak akan disentuh api
neraka. Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalambersabda, Ada dua mata
yang tidak akan disentuh oleh api
Neraka, mata yang menangis karena
takut kepada Allah dan mata yang
begadang untuk berjaga di jalan Allah. Maksud dari dua mata yang begadang
untuk berjaga di jalan Allah ialah ketika
berjuang di jalan Allah Ta’ala melawan musuh, ia senantiasa berjaga-jaga di
perbatasan karena khawatir kaum
Muslimin diserang oleh musuh. Oleh
karena itu, wajib mencintai para
Sahabat g , memuliakan mereka,
memohonkan ampunan dan keridhaan Allah Ta’ala untuk mereka, dan mengikuti contoh teladan mereka.
Mereka adalah pendahulu umat ini
yang telah menyampaikan al-Qur‘ân dan Sunnah Nabi-Nya kepada kita. Para Ulama menjelaskan bahwa
siapapun tidak boleh mencela dan
mencaci-maki para Sahabat karena
baiknya hati mereka. ‘Abdullâh bin Mas’ûd z mengatakan tentang para Sahabat Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam, Barangsiapa di antara kalian
yang ingin mengambil teladan,
hendaklah mengambil teladan dari
para Sahabat Rasulullâh Salallahu
‘Alaihi Wassalam. Karena sesungguhnya mereka adalah umat
yang paling baik hatinya, paling dalam
ilmunya, paling sedikit bebannya,
paling lurus petunjuknya, dan paling
baik keadaannya. Suatu kaum yang
Allah Ta’ala telah pilih untuk menemani Nabi-Nya dan untuk menegakkan
agama-Nya, maka kenalilah keutamaan
mereka serta ikutilah atsar-atsarnya
karena mereka berada di atas jalan
yang lurus. Para Salafush Shalih memiliki sekian
banyak keutamaan, maka kewajiban
kita adalah mencintai, menghormati
dan mengikuti jejak mereka, serta
memohonkan ampunan, rahmat, dan
keridhaan Allah Ta ’ala untuk mereka. Maka dianjurkan untuk mengucapkan
radhiyallâhu ‘anhum ketika kita menyebut para Sahabat, sebagai
realisasi dari firman Allah Ta’ala yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang Muhajirin dan Anshar
serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha
terhadap mereka dan mereka ridha
kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di bawahnya; mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar.” (Qs at-Taubah/9:100) Tidak boleh ada seorang pun yang
mencela dan menjelekkan para
Sahabat. Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, Janganlah kalian
mencaci para Sahabatku! Demi Dzat
Yang diriku berada di tangan-Nya,
sungguh, jika seandainya salah
seorang dari kalian berinfak sebesar
Gunung Uhud berupa emas, maka belum mencapai nilai infak mereka
meskipun (mereka infak hanya) satu
mud (yaitu sepenuh dua telapak
tangan) dan tidak juga separuhnya. Karena itulah Imam Abu Zur ’ah ar-Râzi rahimahullah (wafat th. 264 H) berkata,
“Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang dari Sahabat
Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam maka ketahuilah bahwa ia adalah
zindiq (munafik). Karena
sesungguhnya Rasulullâh Salallahu
‘Alaihi Wassalam itu benar, sesungguhnya al-Qur`ân itu benar, dan
yang menyampaikan al-Qur`ân kepada
kita adalah mereka, para Sahabat
Rasulullâh. Dan orang-orang yang
mencela itu hendak merusak
persaksian kita demi membatalkan al- Qur`ân dan Sunnah. Maka celaan itu
hanyalah pantas untuk mereka. Mereka
adalah orang-orang zindiq.” Kaum Muslimin dianjurkan untuk
mendoakan para Sahabat dengan doa
yang terdapat di dalam al-Qur‘ân yang artinya, “Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dulu daripada kami, dan
janganlah Engkau biarkan kedengkian
dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman. Wahai Rabb kami,
sesungguhnya Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (Qs al- Hasyr/59:10).

Wasiat Rasulullah 1

Diriwayatkan dari al-‘Irbâdh bin Sâriyah radhiallahu’anhu bahwa ia berkata, “Suatu hari Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam pernah shalat bersama kami, kemudian
beliau menghadap kepada kami, lalu
memberikan nasehat kepada kami
dengan nasehat kepada kami
dengan nasehat yang membekas pada
jiwa, yang menjadikan air mata
berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullâh! Seolah-olah ini adalah
nasehat dari orang yang akan
berpisah, maka apakah yang engkau
wasiatkan kepada kami ?’ Maka Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,: “Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah
mendengar dan taat, walaupun yang
memerintah kalian adalah seorang
budak dari Habasyah. Sungguh, orang
yang masih hidup di antara kalian
sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib
atas kalian berpegang teguh dengan
Sunnahku dan Sunnah Khulafâ
Râsyidîn yang mendapat petunjuk.
Peganglah erat-erat dan gigitlah dia
dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara
yang baru (dalam agama), karena
sesungguhnya setiap perkara yang
baru itu adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.”.
Takhrij Hadist Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh
Imam-imam Ahlul Hadits, di antaranya
adalah Imam Ahmad dalam Musnadnya
7/126-127, Imam Abu Dâwud no.
4607 dan ini lafazhnya, Imam at-
Tirmidzi no. 2676, Imam Ibnu Mâjah no. 42, Imam ad-Dârimi 1/44, Imam Ibnu
Hibbân dalam Shahîhnya no. 5, At-
Ta’lîqâtul Hisân dan no. 102, al- Mawârid, Imam al-Hâkim 1/95-96,
Imam Ibnu Abi ‘Ashim dalam As- Sunnah no. 54-59, Imam al-Baghawi
dalam Syarhus Sunnah 1/205, no. 102,
Imam al-Baihaqi dalam Sunannya
10/114, Imam al-Lâlikâi dalam Syarah
Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/ 83, no. 81 dan lain-lain. Hadits ini dishahîhkan oleh para Imam
Ahlul Hadits. Imam at-Tirmidzi
rahimahullah mengatakan, “Hadits ini hasan shahîh.” Imam al-Bazzâr rahimahullah mengatakan, “Hadits ini tsâbit shahîh.” Imam Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Hadits ini tsâbit.” Imam al-Hâkim rahimahullah mengatakan,
“Hadits ini shahîh dan tidak ada cacatnya,” dan disetujui oleh Imam adz- Dzahabi rahimahullah. Hadits ini
dishahîhkan juga oleh Imam
al-‘Allâmah al-Muhaddits Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni rahimahullah
dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah
no. 937 dan 2735 dan dalam Irwâ-ul
Ghalîl 8/107-109, no. 2455.
Disyariatkannya Memberikan Nasihat
Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam memberikan nasehat kepada para
Sahabatnya, kemudian seorang
Sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullâh! Nasihat ini seakan-akan
nasihat dari orang yang akan berpisah,
maka apakah yang engkau wasiatkan
kepada kami?”. Ini menunjukkan bahwa Nabi Salallahu
‘Alaihi Wassalam amat serius dalam memberikan nasehat tersebut dan
tidak seserius itu pada nasehat yang
lainnya. Oleh karena itu, para Sahabat
paham bahwa nasehat tersebut adalah
nasehat orang yang akan berpisah,
karena orang yang akan berpisah dapat mempunyai pengaruh dalam
perkataan dan perbuatan yang tidak
bisa dikerjakan orang lain. Karenanya,
Nabi Salallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan seseorang shalat
seperti shalatnya orang yang akan
berpisah, ia akan mengerjakannya
sesempurna mungkin. Agama adalah nasehat. Rasulullah
Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda yang artinya, “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat,
agama itu adalah nasihat. Mereka (para
Sahabat) bertanya: ‘Untuk siapa, wahai Rasulullâh?’ Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalammenjawab: ‘Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum
Muslimin atau Mukminin, dan bagi
kaum Muslimin pada umumnya.” Nasehat merupakan hak seorang
Muslim atas Muslim yang lainnya.
Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda yang artinya, “Hak orang Muslim atas Muslim lainnya ada enam.
Ditanyakan, “Apa saja keenam hak tersebut, wahai Rasulullâh?” Beliau menjawab, “Jika engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam
kepadanya, jika ia mengundangmu
maka penuhilahnya, jika ia meminta
nasihat kepadamu maka nasihatilah
dia, jika ia bersin kemudian memuji
Allah maka doakan dia (dengan ucapan: yarhamukallâh), jika ia sakit
maka jenguklah, dan jika ia meninggal
dunia maka antarkan (jenazah)nya.” Prinsip dalam memberikan nasehat
ialah harus ikhlas semata-mata karena
Allah Ta’ala dan mengikuti contoh Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam, bukan dengan membuka aib orang
yang dinasehati. Sebab, orang yang
aibnya dibuka tidak akan mau
menerima nasehat. Begitu juga dengan
menuduh orang lain. Orang yang
dituduh, akan sulit baginya untuk menerima nasehat karena menuduh
tidaklah sama dengan memberi
nasehat. Sebaliknya juga orang yang
diberikan nasehat jangan menuduh
orang yang memberikan nasehat
dengan tuduhan yang jelek..

Tangis dan Generasi Salaf

oleh: Muhammad Gazali
diposkan pertamakali pda grup facebook."Dakwah Salaf, Dakwah Rasulullah, Dakwah Untuk
Mempersatukan Kaum Muslimin"

Generasi salaf adalah generasi yang
memiliki hati yang amat lembut.
Sehingga hati mereka mudah tergugah
dan menangis karena takut kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Terlebih
tatkala membaca ayat-ayat suci Al- Qur'an. Ketika membaca firman Allah: َّﻦُﻜِﺗﻮُﻴُﺑ ﻲِﻓ َﻥْﺮَﻗَﻭ “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu” [Al-Ahzab : 33] ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha menangis tersedu-sedu hingga basahlah
pakaiannya. Demikian pula Ibnu Umar Radhiyallahu
'anhu, ketika membaca ayat. ِﺮْﻛِﺬِﻟ ْﻢُﻬُﺑﻮُﻠُﻗ َﻊَﺸْﺨَﺗ ﻥَﺃ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ َﻦﻳِﺬَّﻠِﻟ ِﻥْﺄَﻳ ْﻢَﻟَﺃ ِﻪَّﻠﻟﺍ “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk
tunduk hati mereka mengingat Allah
dan kepada kebenaran yang telah
turun (kepada mereka).” [Al-Hadid : 16] Beliau menangis hingga tiada kuasa
menahan tangisnya. Ketika beliau membaca surat Al-
Muthaffifin setelah sampai pada ayat َﻦﻴِﻤَﻟﺎَﻌْﻟﺍ ِّﺏَﺮِﻟ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ ُﻡﻮُﻘَﻳ َﻡْﻮَﻳ ٍﻢﻴِﻈَﻋ ٍﻡْﻮَﻴِﻟ “Pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Rabb semesta alam.” [Al- Muthaffifiin : 5-6] Beliau menangis dan bertambah keras
tangis beliau sehingga tidak mampu
meneruskan bacaannya.