Selasa, 15 Mei 2012

Aku Ingin Terkena Lemparan Panah

Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dengan sanad shahih, An-Nasai dan lain-lain, dari Syaddad bin Al-Had bahwa ada seorang laki-laki Arab Badui datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beriman kepada apa yang dibawa oleh nabi dan mengikuti beliau. Badui tersebut berkata kepada nabi, “Aku akan berhijrah bersamamu,” Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memberikan nasihat agama kepadanya. Pada Perang Khaibar, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membagikan ghanimah kepada kaum muslimin. Nabi memberikan bagian kepada para sahabat yang membuat mereka bergembira, akan tetapi ketika pembagian sampai kepada si Badui, tiba-tiba dia menolaknya sembari berkata, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Ini adalah bagian ghanimah untukmu yang berasal dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Mendapatkan jawaban para sahabat, si Badui terpaksa mengambil bagian ghanimah itu tetapi kemudian dia menghadap Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sesampai di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, si Badui bertanya, “Harta apakah ini?” “Ini adalah bagian ghanimah yang aku bagi untukmu.” jawab Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Kembali orang Badui itu berkata, “Bukan karena perkara ini aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu karena aku ingin agar suatu saat nanti aku terkena lemparan panah di sini –sambil menunjuk ke lehernya– sehingga aku terbunuh dan masuk jannah karenanya.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau jujur kepada Allah, maka Allah akan membenarkanmu.”
Setelah itu, kaum muslimin beristirahat sebentar, mereka kemudian  melanjutkan lagi penyerbuan terhadap musuh. Di tengah berkecamuknya peperangan, si Badui dibawa menghadap Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan keadaan terkena panah di tempat yang sesuai dengan yang dia tunjukkan sebelumnya. Melihat itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah dia orang yang kemarin?” Para sahabat menjawab, “Benar,” Nabi bersabda, “Dia telah berbuat shiddiq kepada Allah , maka Allah berbuat shiddiq kepadanya.” Selanjutnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengkafaninya dengan baju besi milik Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mendoakannya dan di antara doa beliau adalah,
“Ya Allah, ini adalah hamba-Mu, dia keluar untuk behijrah di jalan-Mu dan terbunuh sebagai syahid. Dan aku bersaksi atas perkara itu.”
Sumber: Kisah-Kisah Pahlawan Generasi Pilihan, Hilmi bin Muhammad bin Ismail, Wafa Press
Artikel www.KisahMuslim.com

Senin, 07 Mei 2012

Jadilah Pelopor Kebaikan Sebelum Mengajak yang Lain

Sebagian kita memiliki sifat demikian. Berkata dan mengajak orang lain dalam kebaikan, namun diri sendiri enggan untuk melakukan. Melarang dari suatu kemungkaran, namun diri sendiri masih menerjangnya. Muslim yang baik adalah yang menjadi pelopor dalam kebaikan dan yang terdepan dalam menjauhi kemungkaran sebelum mengajak atau mendakwahi lainnya.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?  Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (QS. Ash Shaff: 2-3).
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan,
Kenapa kalian berkata kebaikan dan mengajak untuk berbuat baik, bahkan kalian terpuji dengan kebaikan tersebut, namun kalian sendiri tidak melakoni. Kalian melarang dari kejelekan dan menyucikan diri dari kejelekan tersebut, namun sebenarnya kalian sendiri menerjang dan senyatanya memiliki sifat yang jelek.
Apakah pantas orang beriman memiliki sifat yang tercela seperti ini?
Ataukah ia rela mendapatkan kemurkaan yang besar di sisi Allah dengan ia mengatakan apa yang ia sendiri tidak melakukannya?
Sudah sepatutnya bagi orang yang mengajak pada kebaikan, maka hendaklah dia yang menjadi pelopor pertama dalam melaksanakan kebaikan. Jika ia melarang suatu kemungkaran, hendaklah ia yang lebih menjauhi kemungkaran tersebut.
Allah Ta’ala berfirman (mengenai orang Yahudi),
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah: 44).
Syu’aib berkata kepada kaumnya,
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ
Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan menerjang) apa yang aku larang” (QS. Hud: 88). Demikian keterangan dari Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya, Taisir Al Karimir Rahman, hal. 858.
Ibnu Juraij berkata mengenai ayat,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan”, yaitu ahlul kitab dan orang munafik dahulu memerintahkan orang pada kebaikan, menyuruh puasa dan shalat, mereka mengajak orang lain untuk beramal, namun Allah mencela mereka (karena mereka mengajak orang lain, namun diri sendiri enggan melakoni, pen). Oleh karenanya, siapa saja yang mengajak orang lain dalam kebaikan, hendaklah ia yang terdepan dalam kebaikan tersebut (artinya: ia hendaklah yang melakukannya terlebih dahulu).” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 381).
Adh Dhohak berkata, dari Ibnu ‘Abbas di mana beliau berkata menjelaskan surat Al Baqarah ayat 44. Beliau berkata,
أتأمرون الناس بالدخول في دين محمد صلى الله عليه وسلم وغير ذلك مما أمرتم (3) به من إقام الصلاة، وتنسون أنفسكم.
“Engkau memerintahkan manusia untuk masuk dalam agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengajak pada kebaikan lainnya seperti mengerjakan shalat, lantas engkau melupakan diri kalian sendiri?” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 382).
Namun Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan mengenai surat Al Baqarah ayat 44 di atas, “Ayat tersebut tidaklah menerangkan bahwa seseorang yang tidak dapat melaksanakan kebajikan, maka ia tidak boleh beramar ma’ruf atau ia tidak boleh melarang kemungkaran yang masih ia terjang. Karena jika ia tidak beramal dan tidak mengajak orang lain, maka ia tercela karena meninggalkan dua kewajiban. Ketahuilah bahwa manusia memiliki dua kewajiban, yaitu (1) mengajak orang lain pada kebaikan atau melarang dari kemungkaran, dan (2) memerintahkan diri sendiri untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran. Jika tidak bisa melakukan salah satunya, maka tidak boleh meninggalkan yang lainnya. Dikatakan sempurna jika sudah melaksanakan dua kewajiban tersebut (yaitu beramal dan berdakwah). Dan jika meninggalkan dua-duanya, maka itu menunjukkan cacat yang sempurna. Sedangkan jika mampu melaksanakan satu kewajiban, maka ia tidak berada di martabat yang utama, masih di bawahnya” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 51).
Tentang masalah ini pula pernah diterangkan oleh Syaikh ‘Ubaid Al Jabiri hafizhohullah. Intinya beliau menerangkan bahwa jika yang ditinggalkan adalah kewajiban namun ia mengajak orang lain, maka ia tercela. Namun jika yang ditinggalkan adalah amalan sunnah, maka ia tidaklah tercela. Karena meninggalkan yang sunnah tentu saja tidak berakibat dosa (Dauroh Kitab Ushulus Sunah Imam Ahmad dan Kitabul Fitan Shahih Al Bukhari, 1-5 Jumadal Ula 1433 H).
Intinya, sebaik-baik kita adalah yang menjadi pelopor dalam kebaikan dan yang terdepan dalam meninggalkan kemungkaran sebelum mengajak atau mendakwahi yang lain. Ya Allah, mudahkanlah kami dalam hal ini.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

@ KSU, Riyadh, KSA, 8 Jumadal Ula 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Minggu, 06 Mei 2012

Tidak Ada Kata Terlambat !!!!


Menuntut ilmu agama adalah amalan yang amat mulia. Lihatlah keutamaan yang disebutkan oleh sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,  “Tuntutlah ilmu (belajarlah Islam) karena mempelajarinya adalah suatu kebaikan untukmu. Mencari ilmu adalah suatu ibadah. Saling mengingatkan akan ilmu adalah tasbih. Membahas suatu ilmu adalah jihad. Mengajarkan ilmu pada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkan tenaga untuk belajar dari ahlinya adalah suatu qurbah (mendekatkan diri pada Allah).
Imam yang telah sangat masyhur di tengah kita, Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidak ada setelah berbagai hal yang wajib yang lebih utama dari menuntut ilmu.
Namun ada yang merasa bahwa ia sudah terlalu tua, malu jika harus duduk di majelis ilmu untuk mendengar para ulama menyampaikan ilmu yang berharga dan akhirnya enggan untuk belajar. Padahal ulama di masa silam, bahkan sejak masa sahabat tidak pernah malu untuk belajar, mereka tidak pernah putus asa untuk belajar meskipun sudah berada di usia senja. Ada yang sudah berusia 26 tahun baru mengenal Islam, bahkan ada yang sudah berusia senja -80 atau 90 tahun- baru mulai belajar. Namun mereka-mereka inilah yang menjadi ulama besar karena disertai ‘uluwwul himmah (semangat yang kuat dalam belajar).
Berikut 10 contoh teladan dari ulama salaf di mana ketika berusia senja, mereka masih semangat dalam mempelajari Islam.

Teladan 1 – Dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum
Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya, “Para sahabat belajar pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru ketika usia senja”.
Teladan 2 – Perkataan Ibnul Mubarok
Dari Na’im bin Hammad, ia berkata bahwa ada yang bertanya pada Ibnul Mubarok, “Sampai kapan engkau menuntut ilmu?” “Sampai mati insya Allah”, jawab Ibnul Mubarok.
Teladan 3 – Perkataan Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’
Dari Ibnu Mu’adz, ia berkata bahwa ia bertanya pada Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’, “Sampai kapan waktu terbaik untuk belajar bagi seorang muslim?” “Selama hayat masih dikandung badan”, jawab beliau.
Teladan 4 – Teladan dari Imam Ibnu ‘Aqil
Imam Ibnu ‘Aqil berkata, “Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktuku dalam umurku walau sampai hilang lisanku untuk berbicara atau hilang penglihatanku untuk banyak menelaah. Pikiranku masih saja terus bekerja ketika aku beristirahat. Aku tidaklah bangkit dari tempat dudukku kecuali jika ada yang membahayakanku. Sungguh aku baru mendapati diriku begitu semangat dalam belajar ketika aku berusia 80 tahun. Semangatku ketika itu lebih dahsyat daripada ketika aku berusia 30 tahun”.
Teladan 5 – Teladan dari Hasan bin Ziyad
Az Zarnujiy berkata, “Hasan bin Ziyad pernah masuk di suatu majelis ilmu untuk belajar ketika usianya 80 tahun. Dan selama 40 tahun ia tidak pernah tidur di kasur”.
Teladan 6 – Teladan dari Ibnul Jauzi
Kata Adz Dzahabiy, “Ibnul Jauzi pernah membaca Wasith di hadapan Ibnul Baqilaniy dan kala itu ia berusia 80 tahun.”
Teladan 7 – Teladan dari Imam Al Qofal
Al Imam Al Qofal menuntut ilmu ketika ia berusia 40 tahun.
Teladan 8 – Teladan dari Ibnu Hazm
Ketika usia 26 tahun, Ibnu Hazm belum mengetahui bagaimana cara shalat wajib yang benar. Asal dia mulai menimba ilmu diin (agama) adalah ketika ia menghadiri jenazah seorang terpandang dari saudara ayahnya. Ketika itu ia masuk masjid sebelum shalat ‘Ashar, lantas ia langsung duduk tidak mengerjakan shalat sunnah tahiyatul masjid. Lalu ada gurunya yang berkata sambil berisyarat, “Ayo berdiri, shalatlah tahiyatul masjid”. Namun Ibnu Hazm tidak paham. Ia lantas diberitahu oleh orang-orang yang bersamanya, “Kamu tidak tahu kalau shalat tahiyatul masjid itu wajib?”(*) Ketika itu Ibnu Hazm berusia 26 tahun. Ia lantas merenung dan baru memahami apa yang dimaksud oleh gurunya.
Kemudian Ibnu Hazm melakukan shalat jenazah di masjid. Lalu ia berjumpa dengan kerabat si mayit. Setelah itu ia kembali memasuki masjid. Ia segera melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Kemudian ada yang berkata pada Ibnu Hazm, “Ayo duduk, ini bukan waktu untuk shalat”(**).
Setelah dinasehati seperti itu, Ibnu Hazm akhirnya mau belajar agama lebih dalam. Ia lantas menanyakan di mana guru tempat ia bisa menimba ilmu. Ia mulai belajar pada Abu ‘Abdillah bin Dahun. Kitab yang ia pelajari adalah mulai dari kitab Al Muwatho’ karya Imam Malik bin Anas.
* Perlu diketahui bahwa hukum shalat tahiyatul masjid menurut jumhur –mayoritas ulama- adalah sunnah. Sedangkan menurut ulama Zhohiriyah, hukumnya wajib.
** Menurut sebagian ulama tidak boleh melakukan shalat tahiyatul masjid di waktu terlarang untuk shalat seperti selepas shalat Ashar. Namun yang tepat, masih boleh shalat tahiyatul masjid meskipun di waktu terlarang shalat karena shalat tersebut adalah shalat yang ada sebab.
Teladan 9 – Teladan dari Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam
Beliau adalah ulama yang sudah sangat tersohor dan memiliki lautan ilmu. Pada awalnya, Imam Al ‘Izz sangat miskin ilmu dan beliau baru sibuk belajar ketika sudah berada di usia senja.
Teladan 10 – Teladan dari Syaikh Yusuf bin Rozaqullah
Beliau diberi umur yang panjang hingga berada pada usia 90 tahun. Ia sudah sulit mendengar kala itu, namun panca indera yang lain masih baik. Beliau masih semangat belajar di usia senja seperti itu dan semangatnya seperti pemuda 30 tahun.
Jika kita telah mengetahui 10 teladan di atas dan masih banyak bukti-bukti lainnya, maka seharusnya kita lebih semangat lagi untuk belajar Islam. Dan belajar itu tidak pandang usia. Mau tua atau pun muda sama-sama punya kewajiban untuk belajar. Inilah yang penulis sendiri saksikan di tengah-tengah belajar di Saudi Arabia, banyak yang sudah ubanan namun masih mau duduk dengan ulama-ulama besar seperti Syaikh Sholeh Al Fauzan, bahkan mereka-mereka ini yang duduk di shaf terdepan.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
مَنْ لَا يُحِبُّ الْعِلْمَ لَا خَيْرَ فِيهِ
“Siapa yang tidak mencintai ilmu (agama), tidak ada kebaikan untuknya.”
Ya Allah berkahilah umur kami dalam ilmu, amal dan dakwah. Wabillahit taufiq.

Referensi:
‘Uluwul Himmah, Muhammad bin Ahmad bin Isma’il Al Muqoddam, terbitan Dar Ibnul Jauzi, hal. 202-206.
Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfaazhil Minhaaj, Syamsuddin Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, terbitan Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H, 1: 31.

@ KSU, Riyadh, KSA, 4 Jumadats Tsani 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Teladan 1 – Dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum
Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya, “Para sahabat belajar pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru ketika usia senja”.
Teladan 2 – Perkataan Ibnul Mubarok
Dari Na’im bin Hammad, ia berkata bahwa ada yang bertanya pada Ibnul Mubarok, “Sampai kapan engkau menuntut ilmu?” “Sampai mati insya Allah”, jawab Ibnul Mubarok.
Teladan 3 – Perkataan Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’
Dari Ibnu Mu’adz, ia berkata bahwa ia bertanya pada Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’, “Sampai kapan waktu terbaik untuk belajar bagi seorang muslim?” “Selama hayat masih dikandung badan”, jawab beliau.
Teladan 4 – Teladan dari Imam Ibnu ‘Aqil
Imam Ibnu ‘Aqil berkata, “Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktuku dalam umurku walau sampai hilang lisanku untuk berbicara atau hilang penglihatanku untuk banyak menelaah. Pikiranku masih saja terus bekerja ketika aku beristirahat. Aku tidaklah bangkit dari tempat dudukku kecuali jika ada yang membahayakanku. Sungguh aku baru mendapati diriku begitu semangat dalam belajar ketika aku berusia 80 tahun. Semangatku ketika itu lebih dahsyat daripada ketika aku berusia 30 tahun”.
Teladan 5 – Teladan dari Hasan bin Ziyad
Az Zarnujiy berkata, “Hasan bin Ziyad pernah masuk di suatu majelis ilmu untuk belajar ketika usianya 80 tahun. Dan selama 40 tahun ia tidak pernah tidur di kasur”.
Teladan 6 – Teladan dari Ibnul Jauzi
Kata Adz Dzahabiy, “Ibnul Jauzi pernah membaca Wasith di hadapan Ibnul Baqilaniy dan kala itu ia berusia 80 tahun.”
Teladan 7 – Teladan dari Imam Al Qofal
Al Imam Al Qofal menuntut ilmu ketika ia berusia 40 tahun.
Teladan 8 – Teladan dari Ibnu Hazm
Ketika usia 26 tahun, Ibnu Hazm belum mengetahui bagaimana cara shalat wajib yang benar. Asal dia mulai menimba ilmu diin (agama) adalah ketika ia menghadiri jenazah seorang terpandang dari saudara ayahnya. Ketika itu ia masuk masjid sebelum shalat ‘Ashar, lantas ia langsung duduk tidak mengerjakan shalat sunnah tahiyatul masjid. Lalu ada gurunya yang berkata sambil berisyarat, “Ayo berdiri, shalatlah tahiyatul masjid”. Namun Ibnu Hazm tidak paham. Ia lantas diberitahu oleh orang-orang yang bersamanya, “Kamu tidak tahu kalau shalat tahiyatul masjid itu wajib?”(*) Ketika itu Ibnu Hazm berusia 26 tahun. Ia lantas merenung dan baru memahami apa yang dimaksud oleh gurunya.
Kemudian Ibnu Hazm melakukan shalat jenazah di masjid. Lalu ia berjumpa dengan kerabat si mayit. Setelah itu ia kembali memasuki masjid. Ia segera melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Kemudian ada yang berkata pada Ibnu Hazm, “Ayo duduk, ini bukan waktu untuk shalat”(**).
Setelah dinasehati seperti itu, Ibnu Hazm akhirnya mau belajar agama lebih dalam. Ia lantas menanyakan di mana guru tempat ia bisa menimba ilmu. Ia mulai belajar pada Abu ‘Abdillah bin Dahun. Kitab yang ia pelajari adalah mulai dari kitab Al Muwatho’ karya Imam Malik bin Anas.
* Perlu diketahui bahwa hukum shalat tahiyatul masjid menurut jumhur –mayoritas ulama- adalah sunnah. Sedangkan menurut ulama Zhohiriyah, hukumnya wajib.
** Menurut sebagian ulama tidak boleh melakukan shalat tahiyatul masjid di waktu terlarang untuk shalat seperti selepas shalat Ashar. Namun yang tepat, masih boleh shalat tahiyatul masjid meskipun di waktu terlarang shalat karena shalat tersebut adalah shalat yang ada sebab.
Teladan 9 – Teladan dari Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam
Beliau adalah ulama yang sudah sangat tersohor dan memiliki lautan ilmu. Pada awalnya, Imam Al ‘Izz sangat miskin ilmu dan beliau baru sibuk belajar ketika sudah berada di usia senja.
Teladan 10 – Teladan dari Syaikh Yusuf bin Rozaqullah
Beliau diberi umur yang panjang hingga berada pada usia 90 tahun. Ia sudah sulit mendengar kala itu, namun panca indera yang lain masih baik. Beliau masih semangat belajar di usia senja seperti itu dan semangatnya seperti pemuda 30 tahun.
Jika kita telah mengetahui 10 teladan di atas dan masih banyak bukti-bukti lainnya, maka seharusnya kita lebih semangat lagi untuk belajar Islam. Dan belajar itu tidak pandang usia. Mau tua atau pun muda sama-sama punya kewajiban untuk belajar. Inilah yang penulis sendiri saksikan di tengah-tengah belajar di Saudi Arabia, banyak yang sudah ubanan namun masih mau duduk dengan ulama-ulama besar seperti Syaikh Sholeh Al Fauzan, bahkan mereka-mereka ini yang duduk di shaf terdepan.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,

مَنْ لَا يُحِبُّ الْعِلْمَ لَا خَيْرَ فِيهِ

“Siapa yang tidak mencintai ilmu (agama), tidak ada kebaikan untuknya.”
Ya Allah berkahilah umur kami dalam ilmu, amal dan dakwah. Wabillahit taufiq.

Referensi:
‘Uluwul Himmah, Muhammad bin Ahmad bin Isma’il Al Muqoddam, terbitan Dar Ibnul Jauzi, hal. 202-206.
Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfaazhil Minhaaj, Syamsuddin Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, terbitan Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H, 1: 31.

@ KSU, Riyadh, KSA, 4 Jumadats Tsani 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Jumat, 04 Mei 2012

Wanita, Cobaan Atas Kaum Pria


Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah/cobaan yang lebih membahayakan bagi kaum pria daripada fitnah kaum wanita.” (HR. Muslim [2740])
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah mempercayakan kalian untuk mengurusinya, Allah ingin melihat bagaimana perbuatan kalian. Maka berhati-hatilah kalian dari fitnah dunia dan takutlah kalian akan fitnah kaum wanita. Karena sesungguhnya fitnah pertama di kalangan Bani Isra’il adalah dalam masalah wanita.” (HR. Muslim [2742])
Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Termasuk dalam kategori wanita yang dimaksud oleh hadits ini adalah para istri maupun selain mereka. Dan yang paling banyak fitnahnya adalah para istri karena fitnah mereka terus-menerus menyertai dan kebanyakan orang pun telah terfitnah dengannya.” (lihat Syarh Muslim [9/8] cet. Dar Ibnu al-Haitsam)
[1] Perintah Menjaga Pandangan   
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada kaum lelaki yang beriman hendaknya mereka menundukkan sebagian pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Hal itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa saja yang kalian lakukan.” (QS. an-Nuur: 30)
Salah seorang yang salih mengatakan, “Barangsiapa yang memakmurkan penampilan lahirnya dengan ittiba’/mengikuti sunnah dan menghiasi batinnya dengan senantiasa muroqobah/merasa diawasi Allah, menundukkan pandangannya dari sesuatu yang diharamkan, menahan dirinya dari hal-hal yang syubhat/samar-samar, dan mengkonsumsi makanan yang halal, niscaya firasatnya tidak akan meleset.” (lihat Tazkiyat an-Nufus, hal. 39)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah akan menggantikan untuknya yang lebih baik darinya. Barangsiapa yang menundukkan pandangannya maka Allah akan menjadikan mata hatinya kembali bersinar.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [5/409])
[2] Perisai Untuk Menghadapi Fitnah
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Fitnah syubhat ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat  ditepis dengan kesabaran. Oleh karena itu Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah: 24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan bekal sabar dan keyakinan akan dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran merupakan penangkal fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah penangkal fitnah syahwat” (Lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/134], Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah melakukan amal-amal (ketaatan) sebelum datangnya fitnah-fitnah (cobaan dan godaan) yang datang bagaikan potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada waktu itu,  seseorang di pagi hari masih beriman namun di sore harinya telah menjadi kafir. Atau di sore hari beriman, lalu di pagi harinya menjadi kafir. Dia rela menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim [118])
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga itu diliputi dengan hal-hal yang tidak disenangi, sedangkan neraka diliputi dengan hal-hal yang disenangi oleh nafsu.” (HR. Muslim [2822])
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menjaga apa yang ada diantara kedua jenggotnya dan apa yang ada diantara kedua kakinya niscaya dia akan masuk Surga.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 22)
Dikisahkan bahwa pada suatu malam ada seorang lelaki yang merayu seorang wanita di tengah padang pasir. Akan tetapi wanita itu enggan memenuhi ajakannya. Maka lelaki itu berkata, “Tidak ada yang melihat kita kecuali bintang-bintang.” Wanita itu pun berkata, “Kalau begitu, dimanakah yang menciptakan bintang-bintang itu?!” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 33)
Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang, yang mana seorang lelaki di antara mereka kepalanya berada satu bantal dengan kepala istrinya dan basahlah apa yang berada di bawah pipinya karena tangisannya akan tetapi istrinya tidak menyadari hal itu. Dan sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang yang salah seorang di antara mereka berdiri di shaf [sholat] hingga air matanya mengaliri pipinya sedangkan orang di sampingnya tidak mengetahui.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 249)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berbuat zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan larangan-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 89)
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata dalam syairnya,
            Kulihat tumpukan dosa mematikan hati
            Mengidapnya membuat diri bertambah hina
Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati
Yang terbaik untukmu tentu mencampakkannya
(lihat Tazkiyat an-Nufus, hal. 32)
Hati yang sehat dan sempurna memiliki dua karakter yang melekat padanya.
Karakter pertama; kesempurnaan ilmu, pengetahuan, dan keyakinan yang tertancap di dalam hatinya.
Karakter kedua; kesempurnaan kehendak hatinya terhadap segala perkara yang dicintai dan diridhai Allah ta’ala. Dengan kata lain, hatinya senantiasa menginginkan kebaikan apapun yang dikehendaki oleh Allah bagi hamba-Nya. Kedua karakter ini akan berpadu dan melahirkan profil hati yang bersih, yaitu hati yang mengenali kebenaran dan mengikutinya, serta mengenali kebatilan dan meninggalkannya. Orang yang ilmunya dipenuhi dengan syubhat/kerancuan dan keragu-raguan, itu artinya dia telah kehilangan karakter yang pertama. Adapun orang yang keinginan dan cita-citanya selalu mengekor kepada hawa nafsu dan syahwat, maka dia telah kehilangan karakter yang kedua. Seseorang bisa tertimpa salah satu perusak hati ini, atau bahkan -yang lebih mengerikan lagi- adalah keduanya bersama-sama menggerogoti kehidupan hatinya (lihat al-Qawa’id al-Hisan, hal. 86)
[3] Sumber Kemaksiatan
Dalam kitabnya al-Fawa’id, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Sumber segala bentuk kemaksiatan yang besar ataupun yang kecil ada tiga: ketergantungan hati kepada selain Allah, memperturutkan kekuatan angkara murka, dan mengumbar kekuatan nafsu syahwat. Wujudnya adalah syirik, kezaliman, dan perbuatan keji. Puncak ketergantungan hati kepada selain Allah adalah kemusyrikan dan menyeru sesembahan lain sebagai sekutu bagi Allah. Puncak memperturutkan kekuatan angkara murka adalah terjadinya pembunuhan. Adapun puncak mengumbar kekuatan nafsu syahwat adalah terjadinya perzinaan.”
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa Allah ta’ala telah memadukan ketiga hal ini dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak menyeru bersama Allah sesembahan yang lain, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali apabila ada alasan yang benar, dan mereka juga tidak berzina.” (QS. al-Furqan: 68). Ketiga jenis dosa ini saling menyeret satu dengan yang lainnya. Syirik akan menyeret kepada kezaliman dan perbuatan keji, sebagaimana halnya keikhlasan dan tauhid akan menyingkirkan kedua hal itu dari pemiliknya (ahli tauhid). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikianlah, Kami palingkan darinya -Yusuf- keburukan dan perbuatan keji, sesungguhnya dia termasuk kalangan hamba pilihan Kami (yang ikhlas).” (QS. Yusuf: 24)
Beliau menjelaskan, “Yang dimaksud dengan ‘keburukan’ (as-Suu’) di dalam ayat tadi adalah mabuk asmara (‘isyq), sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan keji (al-fakhsya’) adalah perzinaan. Maka demikian pula kezaliman akan bisa menyeret kepada perbuatan syirik dan perbuatan keji. Sesungguhnya syirik itu sendiri merupakan kezaliman yang paling zalim, sebagaimana keadilan yang paling adil adalah tauhid. Keadilan pendamping tauhid, sedangkan kezaliman pendamping syirik.”
Oleh sebab itu Allah menyebutkan kedua hal itu secara berdampingan. Adapun yang pertama -keadilan sebagai pendamping tauhid- adalah seperti yang terkandung dalam firman Allah (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Allah, demikian juga bersaksi para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dalam rangka menegakkan keadilan.” (QS. Ali Imran: 18). Adapun yang kedua -kezalimaan sebagai pendamping syirik- adalah seperti yang terkandung dalam firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya syirik merupakan kezaliman yang sungguh-sungguh besar.” (QS. Luqman: 13). Sementara itu, perbuatan keji pun bisa menyeret ke dalam perbuatan syirik dan kezaliman. Terlebih lagi apabila keinginan untuk melakukannya sangat kuat dan hal itu tidak bisa didapatkan selain dengan menempuh tindakan zalim serta meminta bantuan sihir dan setan.
Allah juga menggandengkan antara zina dengan syirik di dalam firman-Nya (yang artinya), “Seorang lelaki pezina tidak akan menikah kecuali dengan perempuan pezina pula atau perempuan musyrik. Demikian juga seorang perempuan pezina tidak akan menikah kecuali dengan lelaki pezina atau lelaki musyrik. Dan hal itu diharamkan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nur: 3).
Ibnul Qayyim menegaskan, “Ketiga perkara ini saling menyeret satu dengan yang lainnya dan saling mengajak satu sama lain. Oleh sebab itu, tatkala semakin lemah tauhid dan semakin kuat syirik di dalam hati seseorang maka semakin banyak pula perbuatan keji yang dilakukan, dan semakin besar  ketergantungan hatinya kepada gambar-gambar -yang terlarang- serta semakin kuat pula kerinduan yang menggelayuti hatinya terhadap gambar/rupa tersebut.” (lihat al-Fawa’id, hal. 78-79)