Minggu, 31 Juli 2011

Misteri Penyaliban Yesus

Sesungguhnya penolakan kaum muslimin
terhadap dogma penyaliban Isa al-Masih (Yesus)
guna menebus dosa manusia adalah bersumber
dari keimanan mereka yang dalam kepada kabar
yang diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam kitab suci al-Qur’an yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menolak mitos ini
dengan penolakan yang tegas dan keras. Allah
berfirman: ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻝﻮُﺳَﺭ َﻢَﻳْﺮَﻣ َﻦْﺑﺍ ﻰَﺴﻴِﻋ َﺢﻴِﺴَﻤْﻟﺍ ﺎَﻨْﻠَﺘَﻗ ﺎَّﻧِﺇ ْﻢِﻬِﻟْﻮَﻗَﻭ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َّﻥِﺇَﻭ ْﻢُﻬَﻟ َﻪِّﺒُﺷ ْﻦِﻜَﻟَﻭ ُﻩﻮُﺒَﻠَﺻ ﺎَﻣَﻭ ُﻩﻮُﻠَﺘَﻗ ﺎَﻣَﻭ َﻉﺎَﺒِّﺗﺍ ﺎَّﻟِﺇ ٍﻢْﻠِﻋ ْﻦِﻣ ِﻪِﺑ ْﻢُﻬَﻟ ﺎَﻣ ُﻪْﻨِﻣ ٍّﻚَﺷ ﻲِﻔَﻟ ِﻪﻴِﻓ ﺍﻮُﻔَﻠَﺘْﺧﺍ ﺎًﻨﻴِﻘَﻳ ُﻩﻮُﻠَﺘَﻗ ﺎَﻣَﻭ ِّﻦَّﻈﻟﺍ “dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya Kami
telah membunuh Al Masih, `Isa putra Maryam, Rasul
Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan
tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka
bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan `Isa
bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) `Isa,
benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang
dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan
tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti
persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin
bahwa yang mereka bunuh itu adalah `Isa.” (Al- Nisaa’: 157)
Akan tetapi berbeda dengan umat Nasrani yang menjadikan akidah penyaliban Yesus sebagai inti
dari iman Kristiani dan sebagai satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Karena
itu salib menjadi lambang dan symbol bagi agama
mereka!! (Lihat Lukas 23: 46; Mathius 27: 50;
Yohanes 19: 28; Roma 5: 8-9; Timotius 2? 5-6). Yang sangat mengherankan adalah perbedaan
umat Nasrani tentang bentuk penyaliban ini, yang
mengindikasikan kepada kacaunya doktrin palsu
ini!
Sesungguhnya setiap yang ada kaitannya dengan
kisah penyaliban ini menjadi ajang perselisihan di antara Injil-Injil mereka dan sejarahwan mereka.
Mereka berselisih tentang waktu perjamuan malam
terakhir yang menjadi salah satu mukaddimah dari
penyaliban. Mereka berselisih tentang murid
pengkhianat yang menunjukkan Yesus dan
mereka berselisih tentang semuanya. Mereka berselisih, apakah penyaliban itu terjadi
minimal sehari sebelum perjamuan makan terakhir
seperti penuturan Lukas, atau di tengah-tengahnya
setelah Isa al-Masih memberinya suapan seperti
penuturan Yohanes!
Mereka berselisih jam berapa Yesus disalib, Apakah jam sembilan seperti laporan Markus (15: 25)
ataukah di atas jam 12 seperti laporan Yohanes
(19: 14)?
Mereka berselisih, Apakah Yesus disalib dengan
suka rela seperti laporan Efesus (5: 2) ataukah
karena terpaksa seperti laporan Markus (14: 33-34) dan Yohanes ( 12: 27)?
Mereka berselisih, Apakah Yesus yang membawa
salibnya sebagaimana riwayat Yohanes –menurut
kebiasaan orang yang akan disalib menurut
ucapan Nitonham- ataukah Sam’an al-Qairawani
sebagaimana yang diceritakan oleh ketiga pengarang Injil yang lain?
Mereka berselisih, tulisan apakah yang ada di atas
tiang salib? Apakah tertulis “Raja orang
Yahudi” (Markus 15: 26), ataukah “Inilah Raja
orang Yahudi” (Lukas 23: 38), ataukah “Inilah
Yesus Raja orang Yahudi (Mathius 27: 37), ataukah “Yesus, orang Nasaret, Raja orang
Yahudi” (Yohanes 19: 19)
Mereka berselisih tentang sikap kedua pencuri
yang juga disalib di samping kanan dan kiri Yesus.
Apakah keduanya yang mencaci Yesus, bahwa
Tuhannya telah menyerahkannya kepada musuh- musuhnya (Mathius 27: 44 dan Markus 15: 32),
ataukah hanya satu orang saja dan yang lainnya
menghardik temannya yang mencela ini (Lukas 23:
39)?
Mereka berselisih, berapakah orang yang bersaksi
dusta pada waktu penghakiman Yesus? Apakah dua orang (Mathius 26: 60) ataukah beberapa
orang (Markus 14: 57), ataukah tidak diketahui
seperti Lukas dan Yohanes yang diam seribu
bahasa.
Mereka berselisih apakah Yesus mengecap anggur
bercampur empedu (Mathius 27: 33-34) ataukah menolaknya (Markus 15: 23)
Mereka berselisih, apakah teriakan Yesus sewaktu
disalib? Apakah Eli, Eli Lima Sabakhtani (Mathius 27:
46-52; Markus 15: 34-38), ataukah Ya Bapa, ke
dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku (Lukas 23:
45-46). Mereka berselisih, apakah Yesus mengatakan “Saya
haus” ketika disalib (Yohanes 19: 28-29) ataukah
tidak (Mathius 27: 48 dan Markus 15: 36)?
Mereka berselisih apa yang terjadi setelah
penyaliban, apakah Hijab Haekal terbelah dari atas
ke bawah (Markus), ataukah di samping itu bumi berguncang, bebatuan terpecah belah, mayat-
mayat orang suci banyak yang bangkit dari
kuburnya lalu masuk ke kota suci dan terlihat oleh
banyak orang (Mathius), ataukah matahari menjadi
gelap dan Hijab Haekal terbelah dari tengahnya.
Dan tatkala pemimpin mereka melihat hal itu langsung memuji Allah sambil mengatakan: “Orang
ini benar-benar orang baik” (Lukas)?! . Ataukah
seperti Yohanes yang bungkam seribu bahasa,
tidak tahu sama sekali tentang peristiwa ini?
Mereka berselisih, siapakah yang menurunkan
tubuh Yesus dari tiang salib, apakah Yusuf Arimatea sendiri (Mathius 27: 59-60, Markus 15:
45-46, dan Lukas 23: 53). Ataukah Yusuf Arimatea
dan Nicademus (Yohanes 19: 38-42)?!
Banyaknya kontradiksi dalam kisah penyaliban
Yesus ini terjadi karena para murid Yesus tidak ada
yang menyaksikan penyaliban (Markus 14: 50). Hal ini membuktikan bahwa mereka hanya mengikuti
persangkaan belaka dan tidak yakin bahwa yang
dibunuh itu adalah Yesus (Isa ‘Alaihi Sallam)
Maha Benar Allah dalam firman-Nya dalam al-
Qur’an Surat al-Nisaa’: 157: ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻝﻮُﺳَﺭ َﻢَﻳْﺮَﻣ َﻦْﺑﺍ ﻰَﺴﻴِﻋ َﺢﻴِﺴَﻤْﻟﺍ ﺎَﻨْﻠَﺘَﻗ ﺎَّﻧِﺇ ْﻢِﻬِﻟْﻮَﻗَﻭ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َّﻥِﺇَﻭ ْﻢُﻬَﻟ َﻪِّﺒُﺷ ْﻦِﻜَﻟَﻭ ُﻩﻮُﺒَﻠَﺻ ﺎَﻣَﻭ ُﻩﻮُﻠَﺘَﻗ ﺎَﻣَﻭ َﻉﺎَﺒِّﺗﺍ ﺎَّﻟِﺇ ٍﻢْﻠِﻋ ْﻦِﻣ ِﻪِﺑ ْﻢُﻬَﻟ ﺎَﻣ ُﻪْﻨِﻣ ٍّﻚَﺷ ﻲِﻔَﻟ ِﻪﻴِﻓ ﺍﻮُﻔَﻠَﺘْﺧﺍ ﺎًﻨﻴِﻘَﻳ ُﻩﻮُﻠَﺘَﻗ ﺎَﻣَﻭ ِّﻦَّﻈﻟﺍ “dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya Kami
telah membunuh Al Masih, `Isa putra Maryam, Rasul
Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan
tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka
bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan `Isa
bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) `Isa,
benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang
dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan
tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti
persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin
bahwa yang mereka bunuh itu adalah `Isa.” Dan Maha Benar Allah dalam firman-Nya tentang al-
Qur’an yang suci: ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﺮْﻴَﻏ ِﺪْﻨِﻋ ْﻦِﻣ َﻥﺎَﻛ ْﻮَﻟَﻭ َﻥﺍَﺀْﺮُﻘْﻟﺍ َﻥﻭُﺮَّﺑَﺪَﺘَﻳ ﺎَﻠَﻓَﺃ ﺍًﺮﻴِﺜَﻛ ﺎًﻓﺎَﻠِﺘْﺧﺍ ِﻪﻴِﻓ ﺍﻭُﺪَﺟَﻮَﻟ “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al
Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan
yang banyak di dalamnya.” (al-Nisaa’: 82)
Sungguh usaha yang berat dan mustahil untuk
menutupi aib kitab-kitab Injil yang telah dirubah- rubah; yang telah mereka akui sendiri bahwa tidak
seperti ini Injil diturunkan kepada Nabi Isa. Bahkan
para saksi yang terpercaya lari tunggang langgang
tidak ada yang menghadiri peristiwa penyaliban
ini.
Maka usaha untuk meyakinkan kebenaran penyaliban tidak ubahnya usaha seorang desa
yang lugu yang ingin meyakinkan para ulama
(pakar) bahwa bom atom itu dibuat dari tepung
jagung!!
Mari kita lanjutkan perbincangan kita tentang
misteri penyaliban Yesus. Kitab-Kitab Injil menceritakan bahwa Yesus memberikan
Tanabbu’at (ramalan-ramalan) tentang
keselamatannya dari usaha pembunuhan:
Suatu saat orang-orang Farisi dan imam imam
kepala Kahin (dukun) mengutus penjaga Bait Allah
untuk menangkapnya. Maka Yesus berkata kepada mereka: “Tinggal sedikit waktu saja Aku akan
bersama kalian dan sesudah itu Aku akan pergi
kepada Dia yang telah mengutus Aku. Kamu akan
mencari Aku, tetapi kamu tidak akan bertemu
dengan-Ku sebab kamu tidak dapat ke tempat Aku
berada” (Yohanes: 32-34). Dalam kesempatan lain Yesus berkata: “Aku akan
pergi, dan kamu akan mencari aku, dan kamu
akan mati dalam dosa-dosa kamu. Ke mana aku
pergi kamu tidak akan dapat datang ke sana”.
Maka orang-orang Yahudi berkata: “Barangkali Dia
akan bunuh diri, karena dia berkata: “Ke mana aku pergi kamu tidak akan dapat ke sana”.
Dia berkata kepada mereka: “Kamu dari bawah
sedangkan aku dari atas. Kamu dari alam ini
sedangkan aku tidaklah dari alam ini…… Manakala
kamu mengangkat anak manusia maka kamu
mengetahui bahwa akulah dia. Aku tidak melakukan apapun dari diriku sendiri. Aku tidak
mengucapkan kecuali apa yang telah diajarkan
Bapak kepadaku. Dan Bapak yang telah mengutus
aku, ia menyertai aku. Ia tidak membiarkan aku
sendiri, sebab aku senantiasa berbuat apa yang
berkenan kepada-Nya (Yohanes 8: 21-29). Kemudian akhirnya Yesus berkata kepada mereka:
“Kamu tidak akan melihat aku kecuali pada hari
kamu berbisik. Maha suci orang yang datang
dengan nama Bapak. Dan telah keluar
Yasu’ (Yesus) dari Haekal…… (Mathius 32: 39; 24: 1;
Lukas 13: 35). Nash-nash Injil ini menggambarkan bahwa Yesus
benar-benar percaya bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak akan menyerahkannya kepada
musuh-musuh-Nya dan tidak akan
membiarkannya sendirian.
“Akan datang suatu saat, bahkan telah datang sekarang, di mana kamu akan berpecah belah.
Masing-masing ada dalam jalannya dan kamu
meninggalkan aku sendiri. Akan tetapi aku tidak
sendirian karena Bapak bersamaku…… Kamu akan
mengalami kesulitan di dunia ini. Maka beranilah;
aku telah mengalahkan dunia ini!! (Yohanes 16: 32-33).
Oleh karena itu setiap orang yang berat, bahkan
seluruh orang yang menghadiri sandiwara
penyaliban ini!! Semuanya melecehkan al-Masih.
Dan ini mustahil untuk Nabi Isa ‘Alahi Sallam,
sebagaimana yang dilaporkan oleh penulis Injil ini: “Orang-orang yang lewat menggeleng-gelengkan
kepala mereka dan mencacinya. Mereka berkata:
“Jika kamu putra Allah, maka bebaskanlah dirimu,
turunlah dari tiang salib.” Para imam-imam kepala
dan para pengajar syariah serta para sesepuh
melecehkannya, mereka mengatakan: “Dia menyelamatkan orang lain dan tidak mampu
menyelamatkan dirinya sendiri?! Dia raja Israel,
maka hendaklah dia turun sekarang dari tiang
salib agar kita beriman kepada-Nya; Dia tawakkal
kepada Allah dan berkata: “Aku putra Allah, maka
seharusnya Allah menyelamatkannya jika Dia benar-benar ridha kepadanya”. Dan dua pencuri
yang disalib bersamanya itu juga mencemoohnya
dengan mengatakan seperti ucapan ini”.
Di sini Injil-Injil itu menggambarkan bahwa
kepercayaan Yesus mulai goyah –ini tentu mustahil
bagi Nabi Isa ‘Alaihi Sallam. “Ia datang bersama Yasu’ ke sebuah tempat yang
bernama Jatsimani. Dia berkata kepada mereka:
“Duduklah kalian di sini hingga aku pergi dan
shalat di sana. Kemudian dia membawa serta Petrus
dan dua putra Zubdi. Dia mulai merasa sedih dan
gelisah, maka dia berkata kepada mereka: “Jiwaku sedih sampai mati. Tinggallah di sini dan
bergadanglah bersamaku. Dia menjauh sedikit dari
mereka dan bersungkur sujud dan shalat, maka
dia berdo’a: “Jika memungkinkan wahai Bapak,
maka lewatkanlah gelas ini dari diriku, akan tetapi
bukan seperti yang aku inginkan melainkan seperti yang Engkau inginkan. Kemudian dia
mendatangi murid-muridnya, ternyata ia mendapat
mereka sedang tidur…… dia menjauh lagi dan
shalat lalu berkata: “Wahai Bapak, jika tidak
mungkin Engkau melewatkan gelas ini dariku,
kecuali aku harus meminumnya maka hendaklah itu kehendak-Mu. Kemudian ia mendatangi mereka
lagi ternyata mereka tetap tidur…… Dia kembali
shalat lalu mengulang-ulang ucapan tadi kemudian
mendatangi murid-muridnya lagi dan berkata
kepada mereka: “Apakah masih tidur dan
beristirahat?! Telah datang saatnya putra manusia diserahkan kepada tangan-tangan orang yang
berdosa” (Mathius 26: 36-40).
Lukas melaporkan peristiwa ini dengan
mengatakan: “Dia berada dalam kesempitan, maka
dia memaksa dirinya dalam shalat. Keringatnya
seperti tetesan-tetesan darah yang berjatuhan di atas tanah. Dia bangkit dari shalat dan mendatangi
murid-muridnya ternyata dia mendapati mereka
tidur, karena sedih maka dia berkata kepada
mereka: “Kenapa kalian tidur?! Bangunlah dan
shalatlah supaya kamu tidak terjatuh dalam cobaan
ini (Lukas 22: 44). Oleh karena pelecehan terhadp klaim al-Masih ini –
menurut mereka- dan karena keyakinan al-Masih
bahwa Allah selalu bersama-Nya dan tidak akan
menghinakannya, maka sangat logis jika penulis
Injil yang membuat-buat kedustaan tentang
peristiwa ini menutup pertunjukan ini dengan adegan yang menggambarkan kepedihan al-Masih
dan kekecewaannya kepada Allah, Maha Suci Allah
dari kedustaan mereka ini- penulis yang
mengarang-ngarang itu mengatakan: “Pada waktu
Zhuhur, seluruh permukaan bumi tertutup gelap
hingga jam tiga. Kira-kira jam tiga berserulah Yasu’ (Yesus) dengan suara nyaring: “Eli, Eli, Lama
Sabakhtani?”. Artinya: Allahku, Allahku, Mengapa
Engkau meninggalkan aku? (Mathius 27: 46 /
Markus 15: 34).
Bila kita telah mengetahui mutu kisah penyaliban
ini dalam timbangan kritis maka gugurlah keyakinan apa saja yang dibangun di atasnya
seperti akidah pengorbanan dan penebusan dosa. Hanya Allah yang membimbing dan menuntun kepada jalan hidayah-Nya yang lurus. Tidak ada Rabb kecuali Dia dan tidak ada Ilah yang hak selain Dia. (Majalah Qiblati Edisi 1 Tahun I) dikutip dari http://qiblati.com/misteri-penyaliban-
yesus.html

Keyakinan Umat Islam Tentang Isa Al-Masih

“Dia Bukan Tuhan dan Bukan Anak Tuhan” Sesungguhnya keyakinan kaum muslimin tentang
al-Masih adalah berdasarkan kepada al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Maka kami mengimani, bahwa Isa ‘Alaihi Sallam
adalah salah satu hamba dari hamba Allah dan
salah satu Rasul dari Rasul-Rasul Allah yang mulia. Allah mengutusnya kepada Bani Israel, menyeru
mereka kepada Allah agar mentauhidkan dan
menyembah-Nya. Allah berfirman : ُﻝﻮُﺳَﺭ ﻲِّﻧِﺇ َﻞﻴِﺋﺍَﺮْﺳِﺇ ﻲِﻨَﺑﺎَﻳ َﻢَﻳْﺮَﻣ ُﻦْﺑﺍ ﻰَﺴﻴِﻋ َﻝﺎَﻗ ْﺫِﺇَﻭ ﺍًﺮِّﺸَﺒُﻣَﻭ ِﺓﺍَﺭْﻮَّﺘﻟﺍ َﻦِﻣ َّﻱَﺪَﻳ َﻦْﻴَﺑ ﺎَﻤِﻟ ﺎًﻗِّﺪَﺼُﻣ ْﻢُﻜْﻴَﻟِﺇ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﺕﺎَﻨِّﻴَﺒْﻟﺎِﺑ ْﻢُﻫَﺀﺎَﺟ ﺎَّﻤَﻠَﻓ ُﺪَﻤْﺣَﺃ ُﻪُﻤْﺳﺍ ﻱِﺪْﻌَﺑ ْﻦِﻣ ﻲِﺗْﺄَﻳ ٍﻝﻮُﺳَﺮِﺑ ٌﻦﻴِﺒُﻣ ٌﺮْﺤِﺳ ﺍَﺬَﻫ ﺍﻮُﻟﺎَﻗ “Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata:
“Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan
Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun)
sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar
gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang
akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)” Maka tatkala rasul itu datang
kepada mereka dengan membawa bukti-bukti
yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang
nyata”. (al-Shaff: 6)
Jadi Isa ‘Alaihi Sallam bukan Tuhan atau
sesembahan dan bukan putra Allah seperti yang diklaim oleh orang-orang Nasrani. Allah berfirman: َﻢَﻳْﺮَﻣ ُﻦْﺑﺍ ُﺢﻴِﺴَﻤْﻟﺍ َﻮُﻫ َﻪَّﻠﻟﺍ َّﻥِﺇ ﺍﻮُﻟﺎَﻗ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َﺮَﻔَﻛ ْﺪَﻘَﻟ ْﻢُﻜَّﺑَﺭَﻭ ﻲِّﺑَﺭ َﻪَّﻠﻟﺍ ﺍﻭُﺪُﺒْﻋﺍ َﻞﻴِﺋﺍَﺮْﺳِﺇ ﻲِﻨَﺑﺎَﻳ ُﺢﻴِﺴَﻤْﻟﺍ َﻝﺎَﻗَﻭ ْﺪَﻘَﻓ ِﻪَّﻠﻟﺎِﺑ ْﻙِﺮْﺸُﻳ ْﻦَﻣ ُﻪَّﻧِﺇ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻡَّﺮَﺣ َﻦﻴِﻤِﻟﺎَّﻈﻠِﻟ َﺎﻣَﻭ ُﺭﺎَّﻨﻟﺍ ُﻩﺍَﻭْﺄَﻣَﻭ َﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ٍﺭﺎَﺼْﻧَﺃ ْﻦِﻣ “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang
berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih
putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata:
“Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan
Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan
tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-
orang zalim itu seorang penolongpun.” (al-
Maaidah: 72)
Allah berfirman: ُﺢﻴِﺴَﻤْﻟﺍ ﻯَﺭﺎَﺼَّﻨﻟﺍ ِﺖَﻟﺎَﻗَﻭ ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﻦْﺑﺍ ٌﺮْﻳَﺰُﻋ ُﺩﻮُﻬَﻴْﻟﺍ ِﺖَﻟﺎَﻗَﻭ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َﻝْﻮَﻗ َﻥﻮُﺌِﻫﺎَﻀُﻳ ْﻢِﻬِﻫﺍَﻮْﻓَﺄِﺑ ْﻢُﻬُﻟْﻮَﻗ َﻚِﻟَﺫ ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﻦْﺑﺍ َﻥﻮُﻜَﻓْﺆُﻳ ﻰَّﻧَﺃ ُﻪَّﻠﻟﺍ ُﻢُﻬَﻠَﺗﺎَﻗ ُﻞْﺒَﻗ ْﻦِﻣ ﺍﻭُﺮَﻔَﻛ “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra
Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu
putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka
dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan
orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-
lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (al-Taubah: 30)
Kalimat pertama yang diucapkan oleh Isa ‘Alaihi
Sallam, tatkala Allah membuatnya berbicara pada
waktu ia berada dalam gendongan ibunya: ﺎًّﻴِﺒَﻧ ﻲِﻨَﻠَﻌَﺟَﻭ َﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ َﻲِﻧﺎَﺗﺍَﺀ ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﺪْﺒَﻋ ﻲِّﻧِﺇ َﻝﺎَﻗ “Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah,
Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan
aku seorang nabi.” (Maryam: 30)
Kami beriman bahwa Allah mendukungnya
dengan beberapa mu’jizat sebagai bukti
kebenaran. Allah berfirman: ﻰﻠَﻋَﻭ َﻚْﻴَﻠَﻋ ﻲِﺘَﻤْﻌِﻧ ْﺮُﻛْﺫﺍ َﻢَﻳْﺮَﻣ َﻦْﺑﺍ ﻰَﺴﻴِﻋﺎَﻳ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻝﺎَﻗ ْﺫِﺇ ِﺪْﻬَﻤْﻟﺍ ﻲِﻓ َﺱﺎَّﻨﻟﺍ ُﻢِّﻠَﻜُﺗ ِﺱُﺪُﻘْﻟﺍ ِﺡﻭُﺮِﺑ َﻚُﺗْﺪَّﻳَﺃ ْﺫِﺇ َﻚِﺗَﺪِﻟﺍَﻭ َﺓﺍَﺭْﻮَّﺘﻟﺍَﻭ َﺔَﻤْﻜِﺤْﻟﺍَﻭ َﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ َﻚُﺘْﻤَّﻠَﻋ ْﺫِﺇَﻭ ﺎًﻠْﻬَﻛَﻭ ﻲِﻧْﺫِﺈِﺑ ِﺮْﻴَّﻄﻟﺍ ِﺔَﺌْﻴَﻬَﻛ ِﻦﻴِّﻄﻟﺍ َﻦِﻣ ُﻖُﻠْﺨَﺗ ْﺫِﺇَﻭ َﻞﻴِﺠْﻧِﺈْﻟﺍَﻭ َﻪَﻤْﻛَﺄْﻟﺍ ُﺉِﺮْﺒُﺗَﻭ ﻲِﻧْﺫِﺈِﺑ ﺍًﺮْﻴَﻃ ُﻥﻮُﻜَﺘَﻓ ﺎَﻬﻴِﻓ ُﺦُﻔْﻨَﺘَﻓ ﻲِﻨَﺑ ُﺖْﻔَﻔَﻛ ْﺫِﺇَﻭ ﻲِﻧْﺫِﺈِﺑ ﻰَﺗْﻮَﻤْﻟﺍ ُﺝِﺮْﺨُﺗ ْﺫِﺇَﻭ ﻲِﻧْﺫِﺈِﺑ َﺹَﺮْﺑَﺄْﻟﺍَﻭ ﺍﻭُﺮَﻔَﻛ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َﻝﺎَﻘَﻓ ِﺕﺎَﻨِّﻴَﺒْﻟﺎِﺑ ْﻢُﻬَﺘْﺌِﺟ ْﺫِﺇ َﻚْﻨَﻋ َﻞﻴِﺋﺍَﺮْﺳِﺇ ٌﻦﻴِﺒُﻣ ٌﺮْﺤِﺳ ﺎَّﻟِﺇ ﺍَﺬَﻫ ْﻥِﺇ ْﻢُﻬْﻨِﻣ “(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai `Isa
putra Maryam, ingatlah ni`mat-Ku kepadamu dan
kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu
dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara
dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan
sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil,
dan (ingatlah pula) di waktu kamu membentuk
dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung
dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup padanya,
lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya)
dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam
kandungan ibu dan orang yang berpenyakit
sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu
kamu mengeluarkan orang mati dari kubur
(menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah)
di waktu Aku menghalangi Bani Israel (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu
mengemukakan kepada mereka keterangan-
keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir di
antara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan
sihir yang nyata.” (al-Maaidah: 110)
Kami beriman bahwa Isa ‘Alaihi Sallam dilahirkan dari rahim Maryam gadis perawan yang suci tanpa
ayah. Hal ini tidak sulit bagi Allah karena jika Dia
menginginkan sesuatu, Dia cukup mengatakan:
“Jadilah” maka iapun jadi.
Allah berfirman: َّﻢُﺛ ٍﺏﺍَﺮُﺗ ْﻦِﻣ ُﻪَﻘَﻠَﺧ َﻡَﺩﺍَﺀ ِﻞَﺜَﻤَﻛ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﺪْﻨِﻋ ﻰَﺴﻴِﻋ َﻞَﺜَﻣ َّﻥِﺇ ُﻥﻮُﻜَﻴَﻓ ْﻦُﻛ ُﻪَﻟ َﻝﺎَﻗ “Sesungguhnya misal (penciptaan) `Isa di sisi Allah,
adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah
berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang
manusia), maka jadilah dia.” (Ali Imran: 59)
Kami beriman bahwa Isa ‘Alaihi Sallam menghalalkan untuk orang Yahudi sebagian dari
apa yang dulunya diharamkan atas mereka.
Allah berfirman, menceritakan tentang Isa yang
mengatakan kepada Bani Israel : ﻱِﺬَّﻟﺍ َﺾْﻌَﺑ ْﻢُﻜَﻟ َّﻞِﺣُﺄِﻟَﻭ ِﺓﺍَﺭْﻮَّﺘﻟﺍ َﻦِﻣ َّﻱَﺪَﻳ َﻦْﻴَﺑ ﺎَﻤِﻟ ﺎًﻗِّﺪَﺼُﻣَﻭ َﻪَّﻠﻟﺍ ﺍﻮُﻘَّﺗﺎَﻓ ْﻢُﻜِّﺑَﺭ ْﻦِﻣ ٍﺔَﻳﺂِﺑ ْﻢُﻜُﺘْﺌِﺟَﻭ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ َﻡِّﺮُﺣ ِﻥﻮُﻌﻴِﻃَﺃَﻭ “Dan (aku datang kepadamu) membenarkan
Taurat yang datang sebelumku, dan untuk
menghalalkan bagimu sebagian yang telah
diharamkan untukmu, dan aku datang kepadamu
dengan membawa suatu tanda (mu`jizat) dari
Tuhanmu. Karena itu bertaqwalah kepada Allah dan ta`atlah kepadaku.” (Ali Imran: 50)
Kami beriman bahwa Isa belum mati, tidak dibunuh
oleh orang Yahudi musuh-musuhnya. Akan tetapi
ia diselamatkan oleh Allah dari kejaran mereka dan
mengangkatnya ke langit dalam keadaan hidup.
Allah berfiman tentang orang Yahudi : ﺎًﻤﻴِﻈَﻋ ﺎًﻧﺎَﺘْﻬُﺑ َﻢَﻳْﺮَﻣ ﻰَﻠَﻋ ْﻢِﻬِﻟْﻮَﻗَﻭ ْﻢِﻫِﺮْﻔُﻜِﺑَﻭ  ﺎَّﻧِﺇ ْﻢِﻬِﻟْﻮَﻗَﻭ ُﻩﻮُﻠَﺘَﻗ ﺎَﻣَﻭ ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻝﻮُﺳَﺭ َﻢَﻳْﺮَﻣ َﻦْﺑﺍ ﻰَﺴﻴِﻋ َﺢﻴِﺴَﻤْﻟﺍ ﺎَﻨْﻠَﺘَﻗ ﻲِﻔَﻟ ِﻪﻴِﻓ ﺍﻮُﻔَﻠَﺘْﺧﺍ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َّﻥِﺇَﻭ ْﻢُﻬَﻟ َﻪِّﺒُﺷ ْﻦِﻜَﻟَﻭ ُﻩﻮُﺒَﻠَﺻ ﺎَﻣَﻭ ُﻩﻮُﻠَﺘَﻗ ﺎَﻣَﻭ ِّﻦَّﻈﻟﺍ َﻉﺎَﺒِّﺗﺍ ﺎَّﻟِﺇ ٍﻢْﻠِﻋ ْﻦِﻣ ِﻪِﺑ ْﻢُﻬَﻟ ﺎَﻣ ُﻪْﻨِﻣ ٍّﻚَﺷ ﺎًﻨﻴِﻘَﻳ  ﺎًﻤﻴِﻜَﺣ ﺍًﺰﻳِﺰَﻋ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻥﺎَﻛَﻭ ِﻪْﻴَﻟِﺇ ُﻪَّﻠﻟﺍ ُﻪَﻌَﻓَﺭ ْﻞَﺑ “Dan karena kekafiran mereka (terhadap `Isa), dan
tuduhan mereka terhadap Maryam dengan
kedustaan besar (zina), dan karena ucapan
mereka: “Sesungguhnya Kami telah membunuh Al
Masih, `Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal
mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah)
orang yang diserupakan dengan `Isa bagi mereka.
Sesungguhnya orang-orang yang berselisih
paham tentang (pembunuhan) `Isa, benar-benar
dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu.
Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan
belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang
mereka bunuh itu adalah `Isa. Tetapi (yang
sebenarnya), Allah telah mengangkat `Isa kepada-
Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (An-Nisaa’: 156-158) Kami beriman bahwa ia telah menyebarkan
kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. kepada para pengikutnya Allah berfirman : ُﻝﻮُﺳَﺭ ﻲِّﻧِﺇ َﻞﻴِﺋﺍَﺮْﺳِﺇ ﻲِﻨَﺑﺎَﻳ َﻢَﻳْﺮَﻣ ُﻦْﺑﺍ ﻰَﺴﻴِﻋ َﻝﺎَﻗ ْﺫِﺇَﻭ ﺍًﺮِّﺸَﺒُﻣَﻭ ِﺓﺍَﺭْﻮَّﺘﻟﺍ َﻦِﻣ َّﻱَﺪَﻳ َﻦْﻴَﺑ ﺎَﻤِﻟ ﺎًﻗِّﺪَﺼُﻣ ْﻢُﻜْﻴَﻟِﺇ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﺕﺎَﻨِّﻴَﺒْﻟﺎِﺑ ْﻢُﻫَﺀﺎَﺟ ﺎَّﻤَﻠَﻓ ُﺪَﻤْﺣَﺃ ُﻪُﻤْﺳﺍ ﻱِﺪْﻌَﺑ ْﻦِﻣ ﻲِﺗْﺄَﻳ ٍﻝﻮُﺳَﺮِﺑ ٌﻦﻴِﺒُﻣ ٌﺮْﺤِﺳ ﺍَﺬَﻫ ﺍﻮُﻟﺎَﻗ “Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata:
“Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan
Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun)
sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar
gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang
akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)” Maka tatkala rasul itu datang
kepada mereka dengan membawa bukti-bukti
yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang
nyata”. (al-Shaff: 6)
Kami beriman bahwa Isa akan turun di akhir jaman
mendustakan orang-orang Yahudi yang memusuhinya, yang mengklaim telah
membunuhnya. Dan untuk mendustakan orang-
orang Nasrani yang mengklaim bahwa ia adalah
Allah atau anak Allah. Dan dia tidak menerima
agama apapun kecuali Islam. Imam Bukhari dan Muslim (no. 2222 dan 115)
meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu
‘Anhu, dia berkata: “Rasul Allah Subhanahu wa
Ta’ala bersabda : “Demi Allah yang jiwaku ada di
tangan-Nya, hampir saja putra Maryam turun di
tengah-tengah kalian. Dalam satu riwayat: “Tidak akan terjadi kiamat sehingga putra Maryam turun
di tengah-tengah kalian sebagai hakim yang adil,
maka dia menghancurkan salib, membunuh babi,
menghapus jizyah. Dan harta akan melimpah
hingga tidak ada seorangpun yang mau
menerimanya”. Artinya Isa ‘Alaihi Sallam akan turun menegakkan
syariat Islam, dan membatalkan agama Nasrani
yaitu dengan menghancurkan salib dan
membunuh babi. Membatalkan pengagungan
Nasrani terhadapnya. Dia menebar keadilan
melibas kezhaliman sehingga berkahpun turun, kekayaan bumi dan harta melimpah. Minat memiliki
hartapun surut sebab mereka tahu bahwa kiamat
sudah dekat. Kemudian Isa ‘Alaihi Sallam
meninggal dunia, dishalati dan dimakamkan oleh
kaum muslimin.
Imam Ahmad meriwayatkan (no.9349) dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
beliau bersabda:
“Aku adalah manusia yang paling berhak terhadap
Isa putra Maryam sebab tidak ada Nabi antara aku
dan dia”. Kemudian beliau menyebutkan turunnya
Isa di akhir jaman lalu bersabda: “Dia tinggal di bumi selama dikehendaki Allah, sampai wafat ,lalu
dishalati dan dimakamkan oleh umat Islam”.
Kami beriman bahwa pada hari kiamat nanti Isa
akan berlepas diri dari orang-orang yang meyakini
bahwa dia adalah Tuhan (sesembahan).
Allah berfirman : ِﺱﺎَّﻨﻠِﻟ َﺖْﻠُﻗ َﺖْﻧَﺃَﺀ َﻢَﻳْﺮَﻣ َﻦْﺑﺍ ﻰَﺴﻴِﻋﺎَﻳ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻝﺎَﻗ ْﺫِﺇَﻭ ﺎَﻣ َﻚَﻧﺎَﺤْﺒُﺳ َﻝﺎَﻗ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﻥﻭُﺩ ْﻦِﻣ ِﻦْﻴَﻬَﻟِﺇ َﻲِّﻣُﺃَﻭ ﻲِﻧﻭُﺬِﺨَّﺗﺍ ْﺪَﻘَﻓ ُﻪُﺘْﻠُﻗ ُﺖْﻨُﻛ ْﻥِﺇ ٍّﻖَﺤِﺑ ﻲِﻟ َﺲْﻴَﻟ ﺎَﻣ َﻝﻮُﻗَﺃ ْﻥَﺃ ﻲِﻟ ُﻥﻮُﻜَﻳ َﺖْﻧَﺃ َﻚَّﻧِﺇ َﻚِﺴْﻔَﻧ ﻲِﻓ ﺎَﻣ ُﻢَﻠْﻋَﺃ ﺎَﻟَﻭ ﻲِﺴْﻔَﻧ ﻲِﻓ ﺎَﻣ ُﻢَﻠْﻌَﺗ ُﻪَﺘْﻤِﻠَﻋ ِﺏﻮُﻴُﻐْﻟﺍ ُﻡﺎَّﻠَﻋ  ِﻥَﺃ ِﻪِﺑ ﻲِﻨَﺗْﺮَﻣَﺃ ﺎَﻣ ﺎَّﻟِﺇ ْﻢُﻬَﻟ ُﺖْﻠُﻗ ﺎَﻣ ُﺖْﻣُﺩ ﺎَﻣ ﺍًﺪﻴِﻬَﺷ ْﻢِﻬْﻴَﻠَﻋ ُﺖْﻨُﻛَﻭ ْﻢُﻜَّﺑَﺭَﻭ ﻲِّﺑَﺭ َﻪَّﻠﻟﺍ ﺍﻭُﺪُﺒْﻋﺍ ﻰَﻠَﻋ َﺖْﻧَﺃَﻭ ْﻢِﻬْﻴَﻠَﻋ َﺐﻴِﻗَّﺮﻟﺍ َﺖْﻧَﺃ َﺖْﻨُﻛ ﻲِﻨَﺘْﻴَّﻓَﻮَﺗ ﺎَّﻤَﻠَﻓ ْﻢِﻬﻴِﻓ ٌﺪﻴِﻬَﺷ ٍﺀْﻲَﺷ ِّﻞُﻛ “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai `Isa
putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada
manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang
tuhan selain Allah?” `Isa menjawab: “Maha Suci
Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa
yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau
telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa
yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui
apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya
Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-
ghaib”. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan
kepadaku (mengatakan) nya yaitu: “Sembahlah
Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku
menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada
di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan
(angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan
atas segala sesuatu.” (al-Maaidah: 116-117)
Imam Bukhari meriwayatkan (3435), begitu pula
Muslim (28) dari Ubadah Radhiallahu ‘Anhu, dari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda:
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah semata tak ada
sekutu bagi-Nya, dan bahwasanya Muhammad
adalah hamba dan Rasul-Nya, dan Isa adalah
hamba Allah rasulnya, dan Firman-Nya yang
dilontarkan kepada Maryam dan Ruh dari Dia,
surga itu benar, neraka itu benar, maka Allah memasukkannya ke surga lewat pintu mana saja
yang ia suka”.
Inilah keyakinan umat Islam tentang al-Masih putra
Maryam.
Kami memohon semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala menegakkan kita di atas iman dan mengambil nyawa kita dalam keadaan iman.
Semoga shalawat dan salam untuk Nabi kita
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam serta
seluruh sahabatnya. (Majalah Qiblati Edisi 1 Tahun I)

Jumat, 29 Juli 2011

Nama “Syamsuddin”, Bolehkah?! (dengan sambungan ad-Din)

Abu Ashim Muhtar Arifin

Salah satu penamaan yang banyak dipakai masyarkat adalah disandarkannya nama seseorang kepada agama, yaitu dengan menambahkan kata Din (agama). Sejak kapan penamaan seperti ini ada? Bagaimana pendapat ulama tentang hal ini? Berikut uraian ringkasnya. Semoga bermanfaat.
Asal mula penamaan yang dinisbatkan kepada Din.
Penamaan dengan laqob (gelar/julukan) yang menisbatkan kepada agama ini bukan berasal dari tiga generasi pertama dan utama, tapi terjadi setelahnya.
Ketika menjelaskan seputar laqob Ibnu Hajar al-Asqalani, as-Sakhawi mengatakan:
“Aku berkata: Pemilik biografi ini (yaitu Ibnu Hajar) telah memberi faedah –sebagiamana yang aku baca dalam tulisannya– bahwa pemberian laqob yang dinisbatkan/disandarkan kepada Din terjadi pada permulaan Dinasti Turki di Baghdad yang telah menguasai Dailam.
Dahulu, pada zaman Dailam, mereka menyandarkan laqob tersebut kepada kata Daulah (Negara). Di antara orang yang paling akhir dalam hal ini adalah Jalaluddaulah bin Buwaih (dalam manuskrip lain disebutkan: Jalaluddin bin Buwaih,). Dan orang pertama yang menjadi raja Turki adalah Tughrl Bik, lalu mereka memberinya laqob Nushrotuddin. Sejak itulah, tersebar laqob seperti ini, dan itu tidak banyak digunakan melainkan beberapa waktu setelahnya.
Kemudian aku juga melihat pada tulisan beliau (Ibnu Hajar) dalam Ikhtiyarot-nya dari at-Tadwin fi Tarikh Qazwin, terdapat sebuah ringkasan yang isinya bahwa gempa yang terjadi di Qazwin bulan Ramadhan 513 H, mengakibatkan runtuhnya ruangan pada sebuah masjid jami’, yang kemudian dibongkar untuk diperbaiki. Lalu ditemukan sebuah papan di bawah mihrab yang berukir tulisan:
بِسْمِ اللهِ، أَمَرَ الْعَادِلُ الْمُظَفَّرُ عَضُدُ الدِّيْنِ عَلاَءُ الدَّوْلَةِ، أَبُوْ جَعْفَرَ بِتَخْلِيْدِ هَذَا اللَّوْحِ إِلَى آخِرِهِ. كُتِبَ فِيْ رَمَضَانَ سَنَةَ 422
Dengan menyebut Nama Allah, Pemimpin Adil al-Mudzdzaffar ‘Adhuddin ‘Ala’uddaulah Abu Ja’far memerintahkan agar papan ini dijaga seterusnya. Ditulis pada bulan Ramadhan tahun 422.
Syaikh kami (Ibnu Hajar) berkata: “Faedah yang dapat dipetik darinya, bahwa waktu itu merupakan permulaan laqob dengan ‘Ala`uddin”. (Al-Jawaahir wa ad-Durar, hlm. 4-5 dalam naskah yang digabungkan dengan Inba’ al-Ghumr Bi Anba’ al-’Umr, karya Ibn Hajar, jilid yang kelima)
Ahmad al-Khafaji (wafat 1069 H) menjelaskan –dengan menukil pernyataan Ibnul Hajj-, bahwa pada masa Dinasti Turki tersebut, mereka tidak memberikan laqob yang dinisbatkan kepada Daulah, melainkan dengan izin dari Sultan, dan mereka membayarnya dalam rangka pemberian sebutan tersebut. Setelah itu mereka berpaling dari laqob dengan menyandarkan kepada kata Daulah, dan menuju kepada laqob yang digabungkan dengan kata Din. (Raihanah al-Aliba wa Zahrah al-Hayah ad-Dunya, jilid 1, hlm. 155, tahqiq Abdulfattah Muhammad al-Hulw)
Demikianlah uraian ringkas berkaitan dengan asal-muasal dipakainya panggilan yang disandarkan kepada Din.
Fatwa Para Ulama  tentang Nama yang bernisbatkan kepada din.
Ulama banyak yang mencela nama yang dinisbatkan kepada Din.
Di antara mereka adalah:

Pertama: Imam al-Qurthubi al-Maliki (wafat 671 H).
Ketika menafsirkan surat an-Nisa’ ayat 49:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?
Beliau mengatakan:”Al-Qur`an dan as-Sunnah menunjukkan bahwa menganggap diri bersih/suci merupakan hal terlarang. Termasuk kategori larangan ini, fenomena yang telah tersebar luas di negeri Mesir dengan disifatinya diri sendiri dengan sifat-sifat yang mengandung tazkiyah (anggapan diri bersih dan suci) seperti Zakiyyuddin, Muhyiddin dan semisalnya. Dan ketika keburukan kaum muslimin semakin meluas dengan nama-nama seperti ini, tampaklah keterbelakangan sifat-sifat ini dari aslinya, sehingga tidak memberi faedah sedikitpun”. (Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz V, hlm. 246, dar Ihya’ Turats Arabi, Bairut, 1965 dan Kasysyaf Tahlili, karya Syaikh Masyhur dan Jamal ad-Dasuqi, hlm. 13, Dar Ibnul Qayyim)

Kedua: Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (wafat 676 H)
Ibnul Hajj menyampaikan dari Imam an-Nawawi v, bahwasanya beliau amat benci tatkala diberi laqob Muhyiddin.
Ibnul Hajj juga berkata: “Sungguh dalam sebagian kitab yang dinisbatkan kepada beliau (an-Nawawi) terdapat ucapan: “Sesungguhnya aku tidak membolehkan orang-orang memberiku nama Muhyiddin“.
Aku juga pernah melihat beberapa ulama pemilik keutamaan dan kebaikan dari kalangan madzhab Syafi’i, –ketika menceritakan sesuatu dari an-Nawawi– ia berkata: “Yahya an-Nawawi berkata …”.
Lalu aku bertanya tentang ungkapan itu (Muhyiddin) kepadanya, ia menjawab: “Sesungguhnya kami dahulu tidak suka memanggilnya dengan panggilan yang ia benci semasa hidupnya”. (Tanbih al-Ghafilin, Ibn Nahhas asy-Syafi’i, hlm. 510)

Ketiga: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H)
Syaikh Bakr menjelaskan bahwa Syaikhul Islam dahulu tidak ridha dengan laqob Taqiyyuddin. (Taghrib al-Alqab al-Ilmiyyah, Syaikh Bakr Abu Zaid, hlm. 22)

Keempat: Al-Fadhl bin Sahl
Di akhir biografi Taqiyyuddin bin Ma’ruf, Ahmad al-Khafaji menukil ungkapan dari al-Fadhl bin Sahl tentang masalah penamaan ini. Beliau memiliki sebuah qasidah yang berisi celaan terhadap nama seperti Fakhruddin dan ‘Izzuddin. (Raihanah al-Alibba’ , I/154)
Kelima: Ibnu an-Nahhas asy-Syafi’i (wafat 814 H)
Ia mengatakan: “Perkara merata dalam agama ini, yang berupa kedustaan yang telah tersebar pada lisan mayoritas kaum muslimin, yaitu perbuatan bid’ah yang diada-adakan berupa laqob-laqob seperti Muhyiddin, Nuruddin, ‘Adhududdin, Ghiyatsuddin, Mu’inuddin, Nashiruddin dan sebagainya. Ini merupakan kedustaan yang terulang-ulang pada lisan tatkala memanggilnya, memperkenalkannya, bercerita tentangnya, dst. Semua itu adalah bid’ah dalam agama, perbuatan mungkar yang menyelisihi syariat. Apalagi orang yang banyak memakai nama tersebut adalah fasiq, zhalim, tidak tahu-menahu tentang agama. Sekiranya hal itu sesuai dengan hakikat, maka nama-nama tersebut hukumnya makruh, karena mengandung tazkiyah. Lantas, bagaimana hal ini dibolehkan padahal jauh dari majaz, apalagi hakikat”. (Tanbih Ghafilin an A’mal al-jahilin, hlm 509, tahqiq ‘Imaduddin Abbas Sa’id, Dar al-Kutub ‘Ilmiyyah, Bairut)
Keenam: Imam ash-Shan’ani (w. 1182 H)
Beliau pernah melantunkan sebuah bait syair:
تَسَمَّى بِنُوْرِ الدِِّيْنِ وَهُوَ ظَلاَمُهُ      وَذَاكَ شَمْسُ الدِّيْنِ وَهُوَ لَهُ خَسْفُ
Orang itu memakai nama Nuruddin (cahaya agama), padahal gelap (agamanya)
Dan yang ini bernama Syamsuddin (mataharinya agama), padahal ia buta (agama)
(Taghrib al-Alqab al-Ilmiyyah, Syaikh Bakr Abu Zaid, hlm. 11)
Ketujuh: Muhammad Shiddiq Hasan Khan (wafat 1308 H)
Beliau menyebutkan sebuah hadits yang berkaitan dengan pengubahan nama Barrah menjadi Zainab, yaitu sabda Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- :
لاَ تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ، اللهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ، سَمُّوْهَا زَيْنَبَ
Janganlah kalian menyucikan diri-diri kalian, Allahlah yang lebih mengetahui orang-orang yang berbuat baik di antara kalian. Berilah dia nama Zainab. (Muslim)
Setelah itu, al-Allamah Muhammad Shiddiq Hasan Khan berkata: “Ini menunjukkan akan makruhnya memberi nama dengan Muhyiddin, Quthbuddin, Fakhruddin, ‘Adhimuddin dan sejenisnya, sebab nama-nama tersebut mengandung tazkiyah (pensucian)“. (ad-Din al-Khalish, jilid 2, hlm. 186, Kementrian Urusan Agama Qathar, cet. 1, 1428 H)

Kedelapan: Syaikh al-Albani.
Setelah membawakan hadits dalam kitab ash-Shahihah, no. 216, beliau berkata: “Berdasarkan hal itu, maka tidak boleh memakai nama dengan ‘Izzuddin, Muhyiddin, Nashiruddin … dan semacamnya”. (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, jilid 1 hlm. 427)
Kesembilan: Fatwa Syaikh Bakr Abu Zaid.
Syaikh Bakr berkata: ”Makruh hukumnya memberi nama dengan nama yang disandarkan kepada nama lain, mashdar (inggris: gerund), sifah musyabbahah yang disandarkan kepada kata Din dan lafal Islam, seperti Nuruddin, Dhiyaa’-uddin, Saiful Islam, Nurul Islam lantaran agungnya kedudukan dua lafal ini; Din dan Islam. Jadi, menyandarkan (nama) kepada keduanya merupakan sebuah dakwaan mentah yang dekat dengan kedustaan. Oleh karenanya, sebagian ulama menegaskan keharamannya, sedangkan mayoritas mereka menghukuminya makruh. Sebab, nama-nama tersebut ada yang mengesankan makna tidak benar yang tentunya tidak boleh digunakan.
Pada mulanya, nama-nama ini merupakan gelar tambahan, namun selanjutnya dipakai sebagai nama.
Dan di antara nama ini ada yang dilarang karena dua alasan seperti Syihabuddin. Karena Syihab artinya bara api, kemudian disandarkan kepada kata Din. Bahkan di Indonesia, kondisi seperti ini sampai kepada pemberian nama dengan Dzahabuddin, Masuddin (emasnya agama).
Dahulu an-Nawawi v membenci laqob Muhyiddin, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v tidak suka dengan laqob Taqiyyuddin, beliau mengatakan: ”Akan tetapi keluargaku memberiku laqob seperti ini, hingga (laqob ini) menjadi tenar”. (Mu’jam al-Manahi al-Lafdziyyah, hlm. 563-564)
Kesimpulan
Dari pernyataan para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian nama seperti ini adalah tercela, sebab mengandung unsur tazkiyah (menyucikan diri). Sedangkan tazkiyah itu adalah dilarang, berdasarkan al-Qur`an dan as-Sunnah, sebagaimana yang tertera pada surat an-Nisa’ ayat 49 dan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim tentang Nama Zainab di atas. Allahu a’lam bi ash-Shawab.
Demikian uraian ringkas dari kami ini, semoga dapat menambah pengetahuan kita tentang penamaan seseorang dan tidak terjatuh ke dalam nama yang tercela.
MAjalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 61, hal. 32-36

Kamis, 28 Juli 2011

Panduan Puasa Ramadhan

Di Bawah Naungan Al-Qur`an Dan As-Sunnah


...
Oleh:Ustadz Dzulqarnain Bin Muhammad Sunusi Al-Atsary



Berikut ini kami ketengahkan ke hadapan para pembaca tuntunan puasa Ramadhan yang benar,

berupa kesimpulan-kesimpulan yang dipetik dari Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu

‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang shohih.
Tulisan ini kami sarikan dari pembahasan luas dari berbagai madzhab fiqh dan kami uraikan

dengan kesimpulan-kesimpulan ringkas agar menjadi tuntunan praktis bagi setiap muslim dan

muslimah dalam menjalankan puasa Ramadhan.

Harapan kami mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan muslimat dalam

menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang mulia. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.



1. Beberapa Perkara Yang Perlu Diketahui Sebelum Masuk Ramadhan.



Tidak boleh berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud berjaga-jaga

jangan sampai Ramadhan telah masuk pada satu atau dua hari itu sementara mereka tidak

mengetahuinya. Adapun kalau berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan karena

bertepatan dengan kebiasaannya seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud dan lain-lain, maka

hal tersebut diperbolehkan.

Seluruh hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan

Muslim, Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

“Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali seseorang

yang biasa berpuasa dengan suatu puasa tertentu maka (tetaplah) ia berpuasa.”



Penentuan masuknya bulan adalah dengan cara melihat Hilal. Hilal adalah bulan sabit kecil

yang nampak di awal bulan.

Dan bulan Islam hanya terdiri dari 29 hari atau 30 hari, sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah

bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala

alihi wa sallam tatkala menyebut bulan Ramadhan beliau berisyarat dengan kedua tangannya

seraya berkata :

“Bulan (itu) begini, begini dan begini, kemudian beliau melipat ibu jarinya pada yang ketiga

(yaitu sepuluh tambah sepuluh tambah sembilan,-pent.), maka puasalah kalian karena kalian

melihatnya (hilal), dan berbukalah kalian karena kalian melihatnya, kemudian apabila bulan

tertutupi atas kalian maka genapkanlah bulan itu tiga puluh.”

Maka untuk melihat hilal Ramadhan hendaknya dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban setelah

matahari terbenam. Selang beberapa saat bila hilal nampak maka telah masuk tanggal 1

Ramadhan dan apabila hilalnya tidak nampak berarti bulan Sya’ban digenapkan 30 hari dan

setelah tanggal 30 Sya’ban secara otomatis besoknya adalah tanggal 1 Ramadhan.



Apabila hilal telah terlihat pada satu negeri maka diharuskan bagi seluruh negeri di dunia

untuk berpuasa. Ini merupakan pendapat Jumhur ‘Ulama yang bersandarkan kepada surat Al-

Baqaroh ayat 185 :

“Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”

Dan juga dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim

yang tersebut di atas dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan

Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :

“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila

bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”

Ayat dan dua hadits di atas adalah pembicaraan yang ditujukan kepada seluruh kaum

muslimin di manapun mereka berada di belahan bumi ini, wajib atas mereka untuk berpuasa

tatkala ada dari kaum muslimin yang melihat hilal.

Majalah An-Nashihah Vol. 7 (1425/2008) 2



2. Niat Dalam Puasa



Tidak diragukan bahwa niat merupakan syarat syahnya puasa dan syarat syahnya seluruh

jenis ibadah lainnya sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala

alihi wa sallam dalam hadits ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan

Muslim :

“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung pada niatnya dan setiap orang hanyalah

mendapatkan apa yang ia niatkan.”

Karena itu hendaknyalah seorang muslim benar-benar memperhatikan masalah niat ini yang

menjadi tolak ukur diterima atau tidaknya amalannya. Seorang muslim tatkala akan berpuasa

hendaknya berniat dengan sungguh-sungguh dan bertekad untuk berpuasa ikhlash karena

Allah Ta’ala.



Niat tempatnya di dalam hati dan tidak dilafadzkan. Hal ini dapat dipahami dari hadits di atas.

Diwajibkan bagi orang yang akan berpuasa untuk berniat semenjak malam harinya yaitu

setelah matahari terbenam sampai terbitnya fajar subuh.

Dan kewajiban berniat dari malam hari ini umum pada puasa wajib maupun puasa sunnah

menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.

Dan tidak dibenarkan berniat satu kali saja untuk satu bulan bahkan diharuskan berniat setiap

malam menurut pendapat yang paling kuat.

Tiga point terakhir berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshoh radhiyallahu ‘anhuma yang

mempunyai hukum marfu’ (sama hukumnya dengan hadits yang diucapkan langsung oleh

Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) dengan sanad yang shohih :

“Siapa yang tidak berniat puasa dari malam hari maka tidak ada puasa baginya.”



Apabila telah pasti masuk 1 Ramadhan dan berita tentang hal itu belum diterima kecuali pada

pertengahan hari, maka hendaknyalah bersegera berpuasa sampai maghrib walaupun telah

makan atau minum sebelumnya dan tidak ada kewajiban qodho` atasnya sebagaimana dalam

hadits Salamah Ibnul Akwa’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata :

“Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengutus seorang laki-laki dari Aslam

pada hari ‘Asyuro` (10 Muharram,-pent.) dengan memerintahkannya untuk mengumumkan

kepada manusia siapa yang belum berpuasa maka hendaklah ia berpuasa dan siapa yang

telah makan maka hendaknya dia sempurnakan puasanya sampai malam hari.”



3. Waktu Pelaksanaan Puasa

Waktu puasa bermula dari terbitnya fajar subuh dan berakhir ketika matahari terbenam. Allah

Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :

“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam

yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”



4. Makan Sahur

Makan sahur adalah suatu hal yang sangat disunnahkan dalam syari’at Islam menurut

kesepakatan para ulama. Hal itu karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam

sangat menganjurkannya dan mengabarkan bahwa pada sahur itu terdapat berkah bagi

seorang muslim di dunia dan di akhirat sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik riwayat Al-

Bukhary dan Muslim :

“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu ada berkah.”

Bahkan beliau menjadikan sahur itu sebagai salah satu syi’ar (simbol) Islam yang sangat

agung yang membedakan kaum muslimin dari orang–orang yahudi dan nashroni, beliau

bersabda dalam hadits ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim :

“Pembeda antara puasa kami dan puasa ahlul kitab adalah makan sahur.”



Dan juga disunnahkan mengakhirkan sahur sampai mendekati waktu adzan subuh,

sebagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memulai makan sahur dalam

selang waktu membaca 50 ayat yang tidak panjang dan tidak pula pendek sampai waktu

adzan sholat subuh. Hal tersebut dinyatakan dalam hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu

riwayat Al-Bukhary dan Muslim :

“Kami bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kemudian kami

berdiri untuk sholat. Saya berkata (Anas bin Malik yang meriwaytkan dari Zaid,-pent.) :

“Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan)?”. Ia menjawab : “Lima puluh

ayat”.”

Dan dari hadits di atas, juga dapat dipetik kesimpulan akan disunnahkannya makan sahur

secara bersama.



Dan sebaik-baik makanan yang dipakai bersahur oleh seorang mu’min adalah korma.

Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Dawud dengan sanad

yang shohih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

Sebaik-baik sahur seorang mu’min adalah korma.”



Batas akhir bolehnya makan sahur sampai adzan subuh, apabila telah masuk adzan subuh

maka hendaknya menahan makan dan minum. Hal ini sebagaimana yang dipahami dari ayat

dalam surah Al Baqoroh ayat 187 :

“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam

yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”



Apabila telah yakin akan masuk waktu subuh dan seseorang sedang makan atau minum maka

hendaknyalah berhenti dari makan dan minumnya. Ini merupakan fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah

yang diketuai oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy

dan beberapa ulama lainnya berdasarkan nash ayat di atas. Adapun hadits Abu Daud, Ahmad

dan lain-lainnya yang menyebutkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam

bersabda :

“Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) dan bejana berada di

tangannya maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya (dari bejana

tersebut).”

Hadits ini adalah hadits yang lemah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Hatim. Baca

Al-‘Ilal 1/123 no 340 dan 1/256 no 756 dan An-Nashihah Vol. 02 rubrik Hadits.

Dan andaikata hadits ini shohih maka maknanya tidak bisa dipahami secara zhohir-nya tapi

harus dipahami sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Baihaqy dalam Sunanul Kubra

4/218 bahwa yang diinginkan dari hadits adalah ia boleh minum apabila diketahui bahwa si

muadzdzin mengumandangkan adzan sebelum terbitnya fajar shubuh, demikianlah menurut

kebanyakan para ‘ulama. Wallahu A’lam.



Apabila seeorang ragu apakah waktu subuh telah masuk atau tidak, maka diperbolehkan

makan dan minum sampai ia yakin bahwa waktu subuh telah masuk.

Hal ini berdasarkan firman Allah :

“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam

yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat

187)

Ayat ini memberikan pengertian apabila fajar subuh telah jelas nampak maka harus berhenti

dari makan dan minum, adapun kalau belum jelas nampak seperti yang terjadi pada orang

yang ragu di atas masih boleh makan dan minum.



5. Perkara-Perkara Yang Wajib Ditinggalkan Oleh Orang Yang Berpuasa



Diwajibkan atas orang yang berpuasa untuk meninggalkan makan, minum dan hubungan

seksual. Hal ini tentunya sangat dimaklumi berdasarkan firman Allah :

“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam

yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”

Dan dalam hadits Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah

shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :

“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus

kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku

dan Aku yang akan memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan

syahwatnya dan makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)



Diwajibkan meninggalkan perkataan dusta, makan harta riba dan mengadu domba.



Juga diharuskan meninggalkan segala perkara yang sia-sia dan tidak berguna.

Dua point di atas berdasarkan dalil-dalil umum akan larangan melakukan perkara-perkara di

atas, dan secara khusus menyangkut puasa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa

sallam telah menjelaskan dalam hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary :

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah tidak

ada hajat/keperluan padanya apabila ia meninggalkan makan dan minumnya (yaitu pada

puasanya, -pent.).”

Dan juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad

yang hasan, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :

“Bukanlah puasa itu sekedar (menahan) dari makan dan minumannya, namun puasa itu

hanyalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”

Meninggalkan puasa wishol.

Puasa wishol artinya menyambung puasa dua hari berturut-turut atau lebih tanpa berbuka.

Puasa wishol adalah haram atas umat ini kecuali bagi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi

wa sallam menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.

Hal tersebut berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Umar, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan Anas bin Malik

radhiyallahu ‘anhum riwayat Al-Bukhary dan Muslim. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi

wa sallam menyatakan :

“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dari puasa wishol, maka para

sahabat berkata : “Sesungguhnya engkau melakukan wishol?”. Beliau menjawab :

“Sesungguhnya saya tidak seperti kalian saya diberi (kekuatan) makan dan minum.”



6. Perkara-Perkara Yang Jika Terdapat Pada Orang Yang Berpuasa Boleh

Baginya Untuk Berpuasa.



Orang yang bangun kesiangan dalam keadaan junub.

Diperbolehkan baginya untuk berpuasa berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah

radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim :

“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kadang-kadang dijumpai

oleh waktu subuh sedang beliau dalam keadaan junub dari istrinya, kemudian beliau mandi

dan berpuasa.”

Tidak ada perbedaan apakah dia junub sebab mimpi atau sebab berhubungan. Demikian pula

wanita yang haid atau nifas yang telah suci sebelum terbit fajar akan tetapi dia belum sempat

mandi takut kesiangan dia juga boleh berpuasa menurut pendapat yang paling kuat di

kalangan para ‘ulama berdasarkan hadits di atas.



Juga diperbolehkan untuk bersiwak bahkan hal tersebut merupakan sunnah, apakah

menggunakan kayu siwak atau dengan sikat gigi.



Dan juga dibolehkan menyikat gigi dengan pasta gigi, tetapi dengan menjaga jangan sampai

menelan sesuatu ke dalam kerongkongannya dan juga jangan mempergunakan pasta gigi

yang mempunyai pengaruh kuat ke dalam perut dan tidak bisa diatasi.

Dua point di atas berdasarkan keumuman hadits-hadits yang menunjukkan akan

disunnahkannya bersiwak seperti hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary

dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk

bersiwak bersama setiap wudhu`.”

Dua hadits ini menunjukkan sunnah bersiwak secara mutlak tanpa membedakan apakah

dalam keadaan berpuasa atau tidak.



Boleh berkumur-kumur dan menghirup air ketika berwudhu`, dengan ketentuan tidak terlalu

dalam dan berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam kerongkongan. Juga tidak

ada larangan untuk berkumur-kumur disebabkan teriknya matahari sepanjang tidak menelan

air ke kerongkongan. Seluruh hal ini berdasarkan hadits shohih dari Laqith bin Shabirah

radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya,

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan :

“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air kecuali jika engkau dalam keadaan

puasa.”

Dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan disunnahkannya berkumur-kumur dan

menghirup air dalam wudhu`, juga datang dengan bentuk umum tanpa membedakan dalam

keadaan berpuasa atau tidak.



Juga boleh mandi dalam keadaan berpuasa bahkan juga boleh berenang sepanjang ia

menjaga tidak tertelannya air ke dalam tenggorokannya.



Dan juga boleh bercelak untuk mata ketika berpuasa.

Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarangnya.



Dan juga boleh memeluk/bersentuhan dan mencium istri bila mampu menguasai dirinya.

Menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.

Majalah An-Nashihah Vol. 7 (1425/2008) 6

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim,

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mencium dalam keadaan berpuasa dan

memeluk dalam keadaan berpuasa dan beliau adalah orang yang paling mampu menguasai

syahwatnya.”

Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh

mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian menelannya. Adapun dahak tidaklah

membatalkan puasa kalau ditelan, tetapi menelan dahak tidak boleh karena ia adalah kotoran

yang membahayakan tubuh.



Boleh mencium bau-bauan apakah itu bau makanan, bau parfum dan lain-lain.

Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarang.



Boleh mencicipi masakan dengan ketentuan menjaganya jangan sampai masuk ke dalam

tenggorokan dan kembali mengeluarkannya. Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin

‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ dengan sanad yang hasan dari

seluruh jalan-jalannya :

“Tidak apa-apa bagi orang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu yang ia ingin beli

sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokannya.”



Boleh bersuntik dengan apa saja yang tidak mengandung makna makanan dan minuman

seperti( suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus, dan lain-lainnya).

Hal ini boleh karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut membatalkan

puasa.



7. Hal-Hal Yang Makruh Bagi Orang Yang Berpuasa



Berbekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala dan anggota tubuh lainnya) adalah makruh

karena bisa mengakibatkan tubuh menjadi lemas dan menyeret orang berbekam untuk

berbuka. Demikian pula halnya yang semakna dengan ini adalah memberikan donor darah.

Hukum ini merupakan bentuk kompromi dari dua hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala

alihi wa sallam, yaitu antara hadits mutawatir yang di dalamnya beliau menyatakan :

“Telah berbuka orang yang berbekam dan orang yang membekamnya.”

Dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary :

“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbekam dan beliau dalam keadaan berpuasa.”



Memeluk dan mencium istrinya hingga membangkitkan syahwatnya.

Hal tersebut berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud dengan

sanad yang shahih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata :

“Sesungguhnya seseorang lelaki bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa

sallam tentang berpelukan/bersentuhan bagi orang yang berpuasa maka beliau memberikan

keringanan kepadanya (untuk melakukan hal tersebut) dan datang laki-laki lain bertanya

kepadanya dan beliaupun melarangnya (untuk melakukan hal tersebut), ternyata orang yang

diberikan keringanan padanya adalah orang yang sudah tua dan yang dilarang adalah

seseorang yang masih muda.”



Menyambung puasa dari maghrib sampai waktu sahur (puasa wishol)

Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

Majalah An-Nashihah Vol. 7 (1425/2008) 7

“Janganlah kalian puasa wishol, siapa yang menyambung maka sambunglah sampai waktu

sahur.”



8. Pembatal-Pembatal Puasa.



Makan dan minum dengan sengaja merupakan pembatal puasa, adapun kalau seseorang

melakukannya dengan tidak sengaja atau lupa, tidaklah membatalkan puasanya.

Hal ini adalah perkara diketahui secara darurat dan dimaklumi oleh seluruh kaum muslimin

berdasarkan dalil yang sangat banyak. Di antaranya adalah ayat dalam surah Al-Baqaroh

ayat 187 :

“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam

yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”



Dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah

shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :

“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus

kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku

dan Aku yang akan memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan

syahwatnya dan makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)

Dan juga hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah

shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

“Siapa saja yang lupa dan ia dalam keadaan berpuasa lalu ia makan dan minum, maka

hendaknyalah ia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya ia hanyalah diberi makan dan

minum oleh Allah.”

Pemahaman dari hadits ini bahwa siapa yang makan dan minum dengan sengaja maka

batallah puasanya.



Suntikan–suntikan penambah kekuatan berupa vitamin dan yang sejenisnya yang masuk

dalam makna makan dan minum.



Menelan darah mimisan dan darah yang keluar dari bibir juga merupakan pembatal puasa.

Dua point di atas berdasarkan keumuman nash-nash yang tersebut di atas.



Muntah dengan sengaja juga membatalkan puasa, adapun kalau muntah dengan tidak sengaja

tidak membatalkan.

Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai

hukum marfu’, beliau berkata :

“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk

membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasai menahan muntahnya (muntah denga tidak

sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan

sanad yang shohih)



Haid dan nifas.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau

menyatakan :

“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho`

puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”



Bersetubuh.

Dalilnya akan disebutkan kemudian insya Allah.



9. Berbuka Puasa.



Waktu berbuka puasa adalah ketika siang beranjak pergi dan matahari telah terbenam dan

malampun menyelubunginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Jalla Jalaluhu : dalam

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)

Dan diantara sekian banyak hadits yang menjelaskan tentang hal ini, adalah hadits Umar bin

Khaththab riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

“Apabila malam telah datang dan siang beranjak pergi serta matahari telah terbenam maka

orang yang berpuasa telah waktunya berbuka.”



Disunnahkan mempercepat berbuka puasa ketika telah yakin bahwa waktunya telah masuk,

karena manusia akan tetap berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka

puasa sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits

Sahl bin Sa’d As-Sa’idy Radhiyallahu 'anhu riwayat Al-Bukhari dan Muslim :

“Terus-menerus manusia berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka

puasa.”

Bahkan Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam menganggap mempercepat berbuka puasa

sebagai salah satu sebab tetap nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu

Hurairah Radhiyallahu 'anhu riwayat Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang

hasan, beliau menegaskan :

“Terus-menerus agama ini akan nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka

puasa karena orang-orang Yahudi dan Nashoro mengakhirkannya.”



Dan Nabi Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berbuka puasa sebelum sholat Maghrib

dengan memakan ruthob (kurma kuning yang mengkal dan hampir matang) dan apabila beliau

tidak menemukan ruthob maka beliau berbuka dengan korma (matang) jika tidak menemukan

korma maka beliau berbuka dengan beberapa teguk air.

Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik riwayat Abu Dawud dengan sanad hasan Rasulullah

Shollallahu 'alaihi wa sallam beliau berkata :

“Adalah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berbuka dengan beberapa biji

ruthob sebelum sholat, apabila tidak ada ruthob maka dengan beberapa korma,dan kalau

tidak ada korma maka dengan beberapa teguk air.



Dan disunahkan memperbanyak do’a ketika berbuka, karena waktu itu merupakan salah satu

tempat mustajabnya (diterimanya) do’a sebagaimana dalam hadits yang shohih dari seluruh

jalan-jalannya.



Merupakan suatu amalan yang sangat mulia dan mendapatkan pahala yang besar apabila

seseorang memberikan makanan buka puasa pada saudaranya yang berpuasa.

Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Khalid Al-Juhany Radhiyallahu 'Anhu riwayat Ahmad, At-

Tirmidzy, Ibnu Majah dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih Rasulullah Shollallahu 'alaihi

wa 'ala alihi wa sallam bersabda :

“Siapa yang memberikan makanan buka puasa pada orang yang berpuasa maka baginya

pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang

berpuasa sedikitpun.”



10. Orang–Orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Tidak Berpuasa



Musafir

Secara umum Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada musafir yang sedang dalam

perjalanan untuk tidak berpuasa.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqaroh ayat 184 :

“Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka)

maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari

yang lain.”

Dan suatu hal yang kita ketahui bersama bahwa perjalanan safar kadang merupakan

perjalanan meletihkan dan kadang perjalanan yang tidak meletihkan. Adapun perjalanan yang

meletihkan, yang paling utama bagi sang musafir adalah berbuka berdasarkan hadits Jabir bin

Abdillah Radhiyallahu 'anhuma riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa

sallam bersabda :

“Adalah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam perjalanannya dan beliau

melihat seorang lelaki telah dikelilingi oleh manusia dan sungguh ia telah diteduhi, maka

beliau bertanya :”Ada apa dengannya?” maka para sahabat menjawab :”Ia adalah orang yang

berpuasa,” maka Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : “Bukanlah

dari kebaikan berpuasa dalam safar”

Kendati demikian, hadits ini tidaklah menunjukkan haramnya berpuasa dalam perjalanan yang

meletihkan karena ada pembolehan dalam syari'at bagi orang yang mampu untuk berpuasa

walaupun dalam perjalanan yang meletihkan.

Hal ini berdasarkan hadits riwayat Malik, Asy-Syafi'I, Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya

dengan sanad yang shohih dari sebagian sahabat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa

sallam, beliau berkata :

“Saya melihat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam memerintahkan manusia

untuk berbuka dalam suatu perjalanan safar beliau pada tahun penaklukan Makkah dan beliau

berkata :“Persiapkanlah kekuatan kalian untuk menghadapi musuh kalian”, dan Rasulullah

Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam sendiri berpuasa. Berkata Abu Bakar (bin

'Abdurrahman rawi dari sahabat) sahabat yang bercerita kepadaku bertutur : ”Sesungguhnya

saya melihat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di ‘Araj menuangkan air

diatas kepalanya dan beliau dalam keadaan berpuasa karena kehausan atau karena

kepanasan.”

Dan juga dalam hadits Abu Darda’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim beliau berkata :

“Kami keluar bersama Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di bulan Ramadhan

dalam cuaca yang sangat panas sampai-sampai salah seorang diantara kami meletakkan

tangannya diatas kepalanya karena panas yang sangat dan tak ada seorangpun yang berpuasa

diantara kami kecuali Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan Abdullah bin

Rawahah.”



Adapun dalam perjalanan yang tidak meletihkan maka berpuasa lebih utama baginya dari berbuka

menurut pendapat yang paling kuat diantara para ulama. Kesimpulan ini bisa dipahami dari puasa

Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam perjalanan yang meletihkan pada

hadits-hadits di atas. Juga dimaklumi bahwa menjalankan kewajiban secepat mungkin adalah

lebih bagus untukmengangkat kewajibannya, karena itulah dalam posisi perjalanan yang tidak

meletihkan lebih afdhol baginya untuk berpuasa.



Orang yang sakit.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala dalam surat Al-Baqaroh ayat 184 :

“Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka)

maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari

yang lain.”



Wanita haid atau nifas

Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry riwayat Al-Bukhary dan Muslim Rasulullah Shollallahu

'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :

“Bukankah wanita apabila haid ia tidak sholat dan tidak puasa.”

Dan wanita yang nifas didalam pandangan syari’at islam hukumnya sama dengan wanita haid,

hal ini berdasarkan hadits Ummi Salamah Radhiyallahu 'Anha riwayat Imam Al-Bukhary :

“Tatkala saya berbaring bersama Nabi Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di dalam

sebuah baju maka tiba-tiba saya haid maka sayapun pergi lalu saya mengambil pakaian

haidku maka beliau bersabda: "apakah kamu nifas," maka saya menjawab : "Ya." Lalu

beliau memanggilku lalu sayapun berbaring bersamanya diatas permadani.”

Pertanyaan beliau : "Apakah kamu nifas" padahal Ummu Salamah ketika itu menjalani haid

bukan nifas sebab tidak pernah melahirkan anak dari Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi

wa sallam menunjukkan bahwa haid dianggap nifas dari sisi hukum dan demikian pula

sebaliknya.



Laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu berpuasa



Wanita hamil dan menyusui khawatir akan memberikan dampak negatif kepada

kandungannya, anak yang dalam susuannya atau dirinya sendiri apabila ia berpuasa.

Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas riwayat Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan

lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-

Baqarah 184.

Berkata Ibnu 'Abbas :

“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua untuk hal itu (yaitu untuk tidak

berpuasa,-pent) sementara/walaupun keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan

keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang

miskin setiap hari dan tidak ada qodho’ atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh

(dihapus hukumnya) dalam ayat ini {barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan

(Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa} dan kemudian hukumnya ditetapkan bagi lakilaki

dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan

menyusui apabila keduanya khawatir (akan membahayakan kandungannya, anak yang ia

susui, atau dirinya sendiri,-pent), boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah

setiap hari.” (Lafadz hadits oleh Ibnul Jarud)



11. Meng-qodho` (mengganti) Puasa.



Diwajibkan meng-qodho` puasa atas beberapa orang :

1. Musafir.



2. Orang Sakit yang Diharapkan Bisa Sembuh.

Yaitu sakit yang menurut para ahli kesehatan atau menurut kebiasaan merupakan penyakit

yang bisa disembuhkan.

Dua point di atas berdasarkan firman Allah Ta’ala :

“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia

berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada

hari-hari yang lain.”



3. Wanita yang Menangguhkan Puasa Karena Haid dan Nifas

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim,

beliau menyatakan :

“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho`

puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”

Adapun wanita yang nifas dalam pandangan syari’at Islam hukumnya sama dengan wanita

haidh sebagaimana yang telah dijelaskan.



4. Muntah dengan Sengaja

Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai

hukum marfu’, beliau berkata :

“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk

membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasa menahan muntahnya (muntah dengan tidak

sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan

sanad yang shohih)



5. Makan dan Minum Dengan Sengaja.

Orang yang tidak berpuasa karena ketinggalan berita bahwa Ramadhan telah masuk pada

hari yang ia tinggalkan.

Hal ini berdasarkan dalil akan wajibnya berpuasa bulan Ramadhan satu bulan penuh maka

jika ia luput sebagian dari bulan Ramadhan maka ia tidak dianggap berpuasa satu bulan

penuh.

Tidak ada qodho` atas selain orang-orang tersebut diatas.



Waktu Untuk meng-qodho`

Waktu untuk meng-qodho` bisa dilakukan setelah Ramadhan sampai akhir bulan Sya’ban

sebagaimana yang dipahami dalam riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari hadits ‘Aisyah

radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :

“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qadho`nya

kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala

alihi wa sallam.”



Dan ada keluasan didalam mengqodho’nya apakah dengan cara berturut-turut atau secara

terpisah.

Hal ini berdasarkan hukum umum dalam firman Allah Ta’ala :

1 Demikian pendapat yang dahulu kami anggap kuat . Kemudian belakangan ini kami memandang bahwa pendapat yang

kuat adalah tidak bisa di-qodho`. Uraiannya insya Allah akan kami tulis dalam rangkaian buku khusus berkaitan dengan

tuntunan lengkap dan mendetail seputar puasa. Wallahul Muwaffiq.

“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang

lain.”

Firman-Nya “pada hari-hari yang lain” adalah umum, apakah dilakukan secara berturut-turut

atau secara terpisah.



Dan tentunya tidaklah diragukan bahwa mempercepat dalam meng-qodho` puasa adalah

perkara sangat yang afdhol (lebih utama).

Hal ini berdasarkan keumuman perintah Allah untuk bersegera dalam kebaikan yang

ditunjukkan oleh berbagai dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, seperti firman Allah Ta’ala :

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang

lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun : 61)



Barangsiapa yang tidak meng-qodho` puasanya hingga masuknya bulan Ramadhan

berikutnya, padahal sebelumnya ada kemampuan dan kesempatan baginya untuk mengqodho`

puasanya, maka ia dianggap orang yang berdosa. Hal ini disimpulkan dari pernyataan

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :

“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qodho`nya

kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala

alihi wa sallam.”

Hal ini menunjukkan tidak bolehnya mengakhirkan qadho` puasa Ramadhan setelah Sya’ban,

sebab andaikata hal tersebut boleh, niscaya ‘Aisyah akan mengakhirkan qadho`nya setelah

Ramadhan karena mungkin saja dibulan Sya’ban beliau juga sibuk melayani Rasulullah

shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Berangkat dari sini Imam empat dan jumhur ulama

salaf dan khalaf bahkan ada dinukil kesepakatan dikalangan ulama akan tidak bolehnya

mengakhirkan qodho` setelah Ramadhan.



Adapun jika seseorang tidak mampu sama sekali untuk meng-qodho` puasanya karena udzur

yang terus menerus menahannya seperti orang yang musafir terus menerus, perempuan yang

masa kehamilannya rapat/dekat dan lain-lainnya, maka tidak ada dosa baginya dan hendaklah

mengganti puasanya kapan ia mampu.

Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-

Baqarah : 286)

Bagi orang yang meninggal dan belum meng-qodho` tunggakan puasanya pada bulan

Ramadhan padahal sebelumnya ada kemampuan baginya untuk meng-qodho` puasanya,

maka wajib atas ahli warisnya untuk membayar tunggakannya.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim,

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

“Siapa yang meninggal dan atasnya ada tunggakan puasa, maka ahli warisnya berpuasa

untuknya.”

Adapun kalau meninggal sebelum ada kemampuan yang memungkinan baginya untuk mengqodho`

puasanya maka tidak ada dosa atasnya insya Allah dan juga tidak ada kewajiban atas

ahli warisnya untuk membayar tunggakannya.

Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-

Baqarah : 286)



12. Ketentuan Membayar Fidyah.



Membayar fidyah diwajibkan atas beberapa orang:



1. Laki-laki dan perempuan tua yang tidak mampu berpuasa.

2. Perempuan hamil dan perempuan menyusui yang khawatir akan membahayakan

kandungannya, anak yang disusuinya, atau dirinya sendiri jika ia berpuasa.

Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Abu Daud,

Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan

firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)

untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”

Berkata Ibnu Abbas :

“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua dalam hal itu (yaitu untuk tidak

berpuasa,-pent.) sementara keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan)

untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap

hari dan tidak ada qodho` atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus

hukumnya) dalam ayat ini {Barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan (Ramadhan)

maka hendaknya ia berpuasa}, dan (kemudian) ditetapkan hukumnya bagi laki-laki dan

wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui

apabila keduanya khawatir (akan memberikan bahaya kepada kandungannya, anak yang ia

susui, atau dirinya sendiri,-pent.) boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah

setiap hari.” (Lafazh hadits oleh Ibnul Jarud)



3. Orang sakit terus menerus yang tidak diharapkan kesembuhannya.

Hal diatas berdasarkan riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas oleh Imam An-Nasa`i dengan sanad

yang shahih dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)

membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”

Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :

“Tidak diberikan keringanan untuk ini (tidak berpuasa akan tetapi membayar fidyah)

kecuali pada orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa atau pada orang sakit yang

tidak bisa sembuh.”



Cara membayar fidyah adalah dengan memberikan makan orang miskin sejumlah hari

yang telah ditinggalkan, contoh : apabila ia tidak berpuasa 15 hari maka ia memberi

makan 15 orang miskin.



Dan membayar fidyah boleh sekaligus dan boleh sebahagian secara terpisah.



Membayar fidyah berdasarkan konteks ayat adalah dengan makanan. Maka dengan ini

kami tegaskan bahwa fidyah tidak boleh diuangkan.



Teks ayat sifatnya umum tidak merinci ketentuan tentang jenis makanan. Jadi kapan suatu

makanan dianggap sebagai makanan menurut kebiasaan manusia di suatu tempat maka

hal tersebut telah dianggap syah/cukup untuk membayar fidyah.



Dan banyaknya makanan juga tidak dirinci dalam teks ayat sehingga ini juga kembali

kepada kebiasaan orang banyak di suatu tempat atau negeri.



Namun tidak diragukan akan terpujinya membayar fidyah dengan makanan yang paling

baik dan berharga, berdasarkan firman Allah Jalla wa ‘Azza :

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu

yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan

janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal

kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya.

Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”



13. Membayar Kaffarah.



Kaffarah adalah denda yang dikenakan atas seseorang dengan tiga syarat pelanggaran:

1. Melakukan hubungan suami istri.

2. Melakukannya di siang hari Ramadhan.

Adapun jika ia melakukannya di malam hari atau di luar bulan Ramadhan, seperti pada

saat ia membayar tunggakan puasa Ramadhannya, maka tidaklah dikenakan atasnya

kaffarah.

3. Dalam keadaan berpuasa.



Adapun jika ia melakukan di bulan Ramadhan dan ia dalam keadaan tidak berpuasa seperti

seorang yang kembali dari perjalanan dalam keadaan tidak berpuasa lalu mendapati

istrinya usai mandi suci dari haidh kemudian keduanya melakukan hubungan maka

keadaan seperti ini tidak dikenakan kaffarah.



Dan menurut pendapat yang paling kuat dikalangan para ulama bahwa dikenakan kaffarah

atas sang istri jika ia mengaja atau taat pada suaminya dengan kemauannya sendiri untuk

melakukan hubungan intim.



Seseorang membayar kaffarah adalah dengan memilih salah satu dari tiga jenis kaffarah

berikut ini secara berurut sesuai kemampuannya :

1. Membebaskan budak. Tidak ada perbedaaan antara budak kafir dengan budak muslim

menurut pendapat yang paling kuat.

2. Berpuasa dua bulan berturut-turut tanpa terputus. Dan jumhur ulama mensyaratkan agar

dua bulan ini jangan terputus dengan bulan Ramadhan dan hari-hari yang terlarang

berpuasa padanya yaitu hari ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan hari-hari tasyriq. Dan apabila ia

berpuasa kurang dari dua bulan maka belumlah dianggap membayar kaffarah.

3. Memberi makan 60 orang miskin dengan sesuatu yang dianggap makanan dalam

kebiasaan kebanyakan manusia. Kadar makanan untuk setiap orang miskin sebanyak satu

mud yaitu sebanyak dua telapak tangan orang biasa.



Tidak syah membayar kaffarah dengan selain dari tiga jenis di atas.



Apabila tidak ada kemampuan untuk membayar dari salah satu dari tiga jenis di atas maka

kewajiban membayar kaffarah tersebut tetap berada di atas pundaknya sampai ia mempunyai

kemampuan untuk membayarnya.

Seluruh keterangan di atas dipetik dari makna yang tersurat maupun tersirat dari kandungan

hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary dan Muslim :

“Seorang lelaki datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu berkata : “Saya

telah binasa wahai Rasulullah, beliau berkata : “Apakah yang membuatmu binasa,? ia berkata :

“Saya telah menggauli (hubungan intim dengan) istriku dalam (bulan) Ramadhan {padahal saya

sedang berpuasa}2.” Maka beliau bersabda : “Apakah engkau mampu membebaskan budak ?” , ia

berkata : “Tidak.”, beliau bertanya : “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut ?”,

ia berkata : “Tidak.”, beliau bertanya : “Apakah kamu mampu untuk memberi makan enam puluh

orang miskin ?” ia berkata : “Tidak.” Lalu iapun duduk. Kemudian dibawakan kepada Nabi

shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam satu ‘araq (tempat yang sekurang-kurangnya dapat

memuat 60 mud,-pent.) berisi korma, maka beliau berkata kepadanya : “Bershadaqahlah engkau

dengan ini.”, ia berkata : “(Apakah) diberikan kepada orang lebih fakir dari kami?, tidak ada

antara dua bukit Madinah keluarga yang lebih fakir dari kami.” Maka tertawalah Rasulullah

shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam hingga nampak gigi taring beliau kemudian beliau

berkata : “Pergilah dan beri makan keluargamu dengannya.



14. Beberapa Kesalahan Dalam Pelaksanaan Puasa Ramadhan.



Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu falak atau ilmu hisab.

Hal ini tentunya merupakan kesalahan yang sangat besar dan bertolak belakang dengan Al-

Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.

Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan dalam surat Al-Baqaroh ayat 185 :

“Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”



Dan juga dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim

dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi

shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :

“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila

bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”

Dalam ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan

terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung,

menghisab dan yang lainnya.



Mempercepat makan sahur

Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa

sallam yang beliau mengakhirkan sahurnya sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.



Menjadikan tanda imsak sebagai batasan waktu sahur

Sering terdengar di bulan Ramadhan tanda-tanda imsak seperti suara sirine, suara rekaman

ayam berkokok, suara beduk dan lain-lainnya, yang diperdengarkan sekitar seperempat jam

sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah sesat

lagi bertolak belakang dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi

wa ‘ala alihi wa sallam yang mulia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :

“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam

yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”



Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan dalam hadits Abdullah bin

‘Umar riwayat Al-Bukhary dan Muslim :

“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai kalian

mendengar seruan adzan Ibnu Ummi Maktum.”

Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa batasan dan akhir makan sahur adalah adzan

kedua yaitu adzan untuk sholat subuh. Inilah seharusnya yang dipegang oleh kaum muslimin

yaitu menjadikan waktu adzan subuh sebagai batasan terakhir makan sahur dan

meninggalkan tanda imsak yang tidak pernah dikenal oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala

alihi wa sallam dan para sahabatnya.



Melafadzkan niat puasa ketika makan sahur

Dan in juga merupakan perkara yang salah karena waktu niat tidak dikhususkan pada makan

sahur saja, bahkan bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar sebagaimana

yang telah kami jelaskan. Dan melafadzkan niat juga perkara baru dalam agama ini yang tidak

pernah dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para

sahabatnya.



Meninggalkan berkumur dan menghirup air ketika berwudhu`

Ini juga merupakan kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin. Mereka

menganggap bahwa berkumur-kumur dan menghirup air merupakan pembatal puasa padahal

berkumur-kumur dan menghirup air merupakan perkara yang disunnahkan dalam syari’at

Islam sebagaimana yang telah dijelaskan.



Anggapan tidak bolehnya menelan ludah

Hal ini juga kadang kita dapati pada kaum muslimin sehingga kita kadang mendapati

sebahagian kaum muslimin yang banyak meludah pada saat puasa. Tidakkah diragukan bahwa

hal ini merupakan sikap berlebihan dan memberatkan diri tanpa dilandasi dengan tuntunan

yang benar dalam syari’at Islam.



Mengakhirkan buka puasa

Ini juga kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin padahal tuntunan

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangatlah jelas akan sunnahnya

mempercepat buka puasa sebagaimana yang telah kami jelaskan.



Menghabiskan waktu di bulan ramadhan untuk perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.



Perasaan ragu mencicipi makanan, padahal hal tersebut adalah boleh sepanjang menjaga

jangan sampai menelan makanan tersebut sebagaimana terdahulu keterangannya.



Menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehingga melalaikannya dari

ibadah di bulan Ramadhan khususnya pada sepuluh hari terakhir.



Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasanya. Seperti wanita hamil 6 bulan yang tidak

akan berpuasa di bulan Ramadhan, lalu ia membayar fidyah untuk 30 hari sebelum Ramadhan

atau di awal Ramadhan. Tentunya ini adalah perkara yang salah karena kewajiban membayar

fidyah dibebankan atasnya apabila ia telah meninggalkan puasa.



Demikian tuntunan ringkas ini, mudah-mudahan bisa menjadi bekal untuk kita semua dalam

menjalani ibadah puasa Ramadhan yang agung dan mulia. Wallahu Ta’ala A’lam.

Sifat wudhu nabi 2

Membaca bismilah sebelum wudhu

Dari Rabah bin Abdurrahman bin Abu
Sufyan bin Huwaithib dari neneknya dari
bapaknya, dia (bapaknya, yaitu Sa ’id bin
...Zaid, pent) berkata :
ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻟَﺎ ﻭُﺿُﻮﺀَ
ﻟِﻤَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﺬْﻛُﺮْ ﺍﺳْﻢَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ

Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Tidak ada wudhu bagi
orang yang tidak menyebut nama Allah
padanya. ” (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh al-
Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan
Tirmidzi [1/25] namun dilemahkan oleh
Ibnul Jauzi dalam al- ’Ilal al-Mutanahiyah
[1/337] as-Syamilah).

Imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan,
“ Ahmad bin Hanbal mengatakan, ‘Aku tidak
mengetahui di dalam bab ini satu hadits
pun yang sanadnya bagus ’. Ishaq
mengatakan, ‘Apabila ada yang
meninggalkan tasmiyah -ucapan bismillah-
secara sengaja maka dia harus mengulangi
wudhu, namun apabila dia lupa atau
menta ’wil maka dinilai sah wudhunya itu.’
Muhammad bin Isma’il -Imam Bukhari-
mengatakan, ‘Riwayat yang paling bagus di
dalam bab ini adalah hadits Rabah bin
Abdurrahman -yaitu hadits di atas-. ’.” (Sunan
Tirmidzi [1/37] as-Syamilah)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

ﻻَ ﺻَﻼَﺓَ ﻟِﻤَﻦْ ﻻَ ﻭُﺿُﻮﺀَ ﻟَﻪُ ﻭَﻻَ
...ﻭُﺿُﻮﺀَ ﻟِﻤَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﺬْﻛُﺮِ ﺍﺳْﻢَ ﺍﻟﻠَّﻪِ
ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪِ

“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak
berwudhu. Dan tidak ada wudhu bagi orang
yang tidak menyebut nama Allah ta ’ala
atasnya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-
Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu
Dawud [1/179] as-Syamilah)

Syaikh al-Albani rahimahullah mengomentari
hadits riwayat Abu Dawud di atas, “Saya
katakan, ‘Ini adalah hadits yang sahih’.
Pendapat ini dikuatkan oleh al-Mundziri dan
al-Hafizh al- ’Asqalani. Hadits ini dinilai hasan
oleh Ibnu as-Shalah -dalam Nata’ij al-Afkar-.
al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, ‘Ini adalah
hadits hasan atau sahih.’ Ibnu Abi syaibah
mengatakan, ‘Ini hadits yang sah’.” (Shahih
Abu Dawud [1/168-169] as-Syamilah)
Dari Katsir bin Zaid. Dia berkata: Rubaih bin
Abdurrahman bin Abu Sa ’id al-Khudri
menuturkan kepadaku dari bapaknya dari
kakeknya Abu Sa ’id al-Khudri
radhiyallahu’anhu, dia berkata:Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻻَ ﻭُﺿُﻮﺀَ ﻟِﻤَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﺬْﻛُﺮِ ﺍﺳْﻢَ
ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak
menyebut nama Allah atasnya.” (HR. Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushannafnya, diriwayatkan
pula oleh Ibnu Majah dan dinilai hasan oleh
al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah [1/68],
hadits ini dilemahkan oleh Ibnul Jauzi dalam
al- ’Ilal al-Mutanahiyah[1/337] as-Syamilah)

Setelah memaparkan jalur-jalur hadits dalam
bab ini, akhirnya al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah berkesimpulan, “Yang tampak
-dari hasil penelitian ini- adalah bahwasanya
...hadits-hadits tersebut sebagai satu
kesatuan memunculkan kekuatan -
periwayatan- sehingga menunjukkan
bahwasanya hadits ini memang memiliki
asal-usul yang jelas. ” (Talkhish al-Habir
[1/257], hal ini pun disetujui oleh al-Albani
sebagaimana dalam Shahih Abu Dawud
[1/171] as-Syamilah)

Mendahulukan bagian yang kanan
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau
berkata,
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
...ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳُﻌْﺠِﺒُﻪُ ﺍﻟﺘَّﻴَﻤُّﻦُ ﻓِﻲ
ﺗَﻨَﻌُّﻠِﻪِ ﻭَﺗَﺮَﺟُّﻠِﻪِ ﻭَﻃُﻬُﻮﺭِﻩِ
ﻭَﻓِﻲ ﺷَﺄْﻧِﻪِ ﻛُﻠِّﻪِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya
sangat menyukai mendahulukan yang
kanan dalam hal mengenakan sandal,
bersisir, bersuci, dan dalam segala macam
urusan beliau. ” (HR. Bukhari dalam Kitab al-
Wudhu’)

Berwudhu dengan sekali basuhan
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, dia
berkata,
ﺗَﻮَﺿَّﺄَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ
...ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻣَﺮَّﺓً ﻣَﺮَّﺓً
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berwudhu sekali-sekali -untuk tiap anggota
badan yang dibersihkan- . ” (HR. Bukhari
dalam Kitab al-Wudhu’)

Berwudhu dengan dua kali basuhan
Dari Abdullah bin Zaid radhiyallahu’anhu
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺗَﻮَﺿَّﺄَ ﻣَﺮَّﺗَﻴْﻦِ
...ﻣَﺮَّﺗَﻴْﻦِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu
dua kali-dua kali (HR. Bukhari dalam Kitab al-
Wudhu ’).


Tidak boleh lebih dari tiga kali
Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya,
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ الطُّهُورُ فَدَعَا بِمَاءٍ فِى إِنَاءٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّاحَتَيْنِ فِى أُذُنَيْهِ وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ عَلَى ظَاهِرِ أُذُنَيْهِ وَبِالسَّبَّاحَتَيْنِ بَاطِنَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ « هَكَذَا الْوُضُوءُ فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا أَوْ نَقَصَ فَقَدْ أَسَاءَ وَظَلَمَ ». أَوْ « ظَلَمَ وَأَسَاءَ ».
Bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah cara bersuci?”. Maka beliau pun meminta dibawakan air di dalam ember lalu beliau membasuh kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau membasuh kedua lengannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengusap kepalanya lalu memasukkan dua jari telunjuknya ke dalam telinganya dan mengusap bagian luar daun telinga dengan kedua ibu jarinya, sedangkan kedua ibu jarinya digunakan untuk mengusap bagian dalam telinganya. Kemudian beliau membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali-tiga kali. Kemudian beliau berkata, “Demikianlah tata cara berwudhu. Barang siapa yang menambah atasnya atau mengurangi, sungguh dia telah berbuat jelek atau melakukan kezaliman.” atau “Berbuat kezaliman atau melakukan kejelekan.” (HR. Abu Dawud [1/51] disahihkan an-Nawawi dalam Syarh Muslim [3/30] dan dinyatakan hasan sahih oleh al-Albani namun tanpa kata-kata ‘atau mengurangi’ sebab ini adalah lafazh yang syadz/menyimpang dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/213] as-Syamilah. Lihat juga keterangan Ibnu Hajar yang mengisyaratkan hal ini di dalam Fath al-Bari [1/283])

Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan bahwa wajib wudhu dengan sekali basuhan/usapan untuk tiap anggota badan yang dibersihkan.Selain itu beliau juga berwudhu dua kali-dua kali, dan tiga kali-tiga kali. Namun, beliau tidak pernah lebih dari tiga kali. Para ulama tidak menyenangi perbuatan israf/berlebihan dalam hal itu dan melampaui perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Sahih Bukhari, sebagaimana yang dicetak bersama Fath al-Bari [1/281])


Boleh berbeda bilangan ketika membasuh
Dari Amr dari bapaknya, dia berkata:
شَهِدْتُ عَمْرَو بْنَ أَبِي حَسَنٍ سَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ زَيْدٍ عَنْ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَا بِتَوْرٍ مِنْ مَاءٍ فَتَوَضَّأَ لَهُمْ وُضُوءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكْفَأَ عَلَى يَدِهِ مِنْ التَّوْرِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي التَّوْرِ فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثَ غَرَفَاتٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَمَسَحَ رَأْسَهُ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Aku melihat Amr bin bin Abi Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid radhiyallahu’anhu mengenai tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dia pun meminta dibawakan sebuah ember yang berisi air. Kemudian dia berwudhu untuk mereka sebagaimana cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mengambil air dengan tangan kemudian dituangkan di atas telapak tangannya dan membasuh kedua telapak tangan itu, sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam ember lalu berkumur-kumur, beristinsyaq dan beristintsar dengan tiga kali cidukan telapak tangan. Kemudian dia masukkan tangannya ke dalam ember lalu membasuh wajahnya, sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh kedua tangannya sebanyak dua kali hingga dua siku. Kemudian dia masukkan tangan ke dalam ember lalu mengusap kepalanya dari depan ke belakang terus ke depan lagi hanya sekali. Kemudian dia membasuh kedua kakinya hingga kedua mata kaki. (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’, demikian juga Muslim dalam Kitab at-Thaharah)

Hadits ini menunjukkan bahwa boleh membedakan bilangan ketika membasuh. Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Zaid radhiyallahu’anhu. Beliau membasuh telapak tangan dan wajah tiga kali, sedangkan tangan hanya dua kali. Adapun kepala hanya sekali. an-Nawawi rahimahullah berkata, “Perbuatan ini boleh dilakukan, dan wudhu dengan tata cara seperti ini dinilai sah tanpa ada keraguan padanya. Namun yang disunnahkan adalah membersihkan anggota wudhu tiga kali-tiga kali, sebagaimana sudah kami terangkan.” (Syarh Muslim [3/25])



Wajib meratakan basuhan ke semua bagian yang harus dibersihkan
Dari Abu Zubair dari Jabir. Dia berkata:
أَخْبَرَنِى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ». فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى.
Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu mengabarkan kepadaku bahwa ada seorang lelaki yang berwudhu dan meninggalkan bagian yang tidak dibasuh di atas kakinya seukuran kuku, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya. Maka beliau bersabda, “Kembalilah, perbaikilah wudhumu.” Lalu dia pun kembali dan kemudian mengerjakan sholat (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah)

an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung pelajaran bahwa barang siapa yang meninggalkan sebagian kecil dari bagian yang seharusnya dibersihkan maka bersuci/thaharahnya dinilai tidak sah, ini merupakan perkara yang sudah disepakati.” Beliau juga mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa barang siapa yang meninggalkan anggota badan yang harus dibersihkan dalam keadaan tidak mengetahuinya maka thaharahnya tidak sah.” (Syarh Muslim [3/33] cet Dar Ibn al-Haits

Membasuh kedua telapak tangan tiga kali
Dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Atha’ bin Yazid al-Laitsi mengabarkan kepadanya
أَنَّ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلَاة
Humran bekas budak Utsman memberitakan kepadanya bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu meminta diambilkan air wudhu kemudian dia berwudhu dengan membasuh kedua telapan tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian dia berkumur-kumur dan ber-istintsar (mengeluarkan air yang dihirup ke hidung, pent). Kemudian dia membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian dia membasuh tangan kanannya hingga siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh tangan kiri seperti itu pula. Kemudian dia mengusap kepalanya. Kemudian dia membasuh kaki kanannya hingga mata kaki sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh kaki kiri seperti itu pula. Kemudian Utsman berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu berwudhu seperti yang kulakukan tadi. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu seperti caraku berwudhu ini kemudian bangkit dan melakukan sholat dua raka’at dalam keadaan pikirannya tidak melayang-layang dalam urusan dunia niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” Ibnu Syihab mengatakan, “Para ulama kita dahulu mengatakan bahwa tata cara wudhu seperti ini merupakan tata cara wudhu paling sempurna yang hendaknya dilakukan oleh setiap orang.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah, diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’ dengan redaksi yang agak berbeda)


Bahwa Rasulullah saw mencuci kedua
telapak tangan saat berwudhu’
sebanyak tiga kali. Rasulullah saw juga
membolehkan mengambil air dari
...bejancdengan telapak tangan lalu
mencuci kedua telapak tangan itu.
Tetapi Rasulullah melarang bagi orang
yang bangan tidur mencelupkan
tangannya ke dalam bejana kecuali
setelah mencucinya. (HR. Bukhari-
Muslim)Lihat Selengkapnya

Berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali
Dari Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim al-Anshari,
sedangkan beliau adalah tergolong sahabat
Nabi. Dia -Yahya- berkata:
...Ada yang berkata kepada Abdullah bin Zaid,
“ Lakukanlah wudhu untuk kami
sebagaimana tata cara wudhu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka dia
meminta dibawakan sebuah bejana -berisi
air- kemudian dia mengambil air itu dengan
telapak tangannya dan membasuh
keduanya dengan air tersebut, hal itu
dilakukannya sebanyak tiga kali. Kemudian
dia masukkan tangannya untuk mengambil
air kemudian dikeluarkannya untuk dipakai
berkumur-kumur dan ber-istinsyaq/
menghirup air ke hidung dari cidukan satu
telapak tangan, dia melakukannya sebanyak
tiga kali. Kemudian dia masukkan tangannya
ke dalam air dan mengeluarkannya untuk
membasuh wajahnya, dia melakukan itu
sebanyak tiga kali. Kemudian dia masukkan
tangannya ke dalam air dan
mengeluarkannya untuk membasuh kedua
tangannya hingga dua siku, hal itu
dilakukannya sebanyak dua kali-dua kali
(kanan dan kiri, pent). Kemudian dia
masukkan tangannya ke dalam air dan
dikeluarkannya untuk mengusap kepala dari
arah depan ke belakang lalu kembali ke
bagian depan lagi. Kemudian dia membasuh
kedua kakinya hingga dua mata kaki.
Kemudian dia mengatakan, “Demikianlah
cara berwudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.” (HR. Muslim dalam Kitab at-
Thaharah, diriwayatkan pula oleh Bukhari
dalam Kitab al-Wudhu ’)

Dari Hammam bin Munabbih, dia berkata:

Ini adalah hadits yang disampaikan oleh
Abu Hurairah radhiyallahu ’anhukepada kami
dari Muhammad utusan Allah shallallahu
‘ alaihi wa sallam. Lalu dia menyebutkan
...beberapa hadits, di antaranya adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda, “Apabila salah seorang dari
kalian berwudhu maka hiruplah air dengan
kedua lubang hidungnya kemudian
keluarkanlah. ”(HR. Muslim dalam Kitab at-
Thaharah)Lihat Selengkapnya

mengambil air sepenuh telapak
tangan kanan lalu memasukkan air
kedalam hidung dengan cara
menghirupnya dengan sekali nafas
...sampai air itu masuk ke dalam hidung
yang paling ujung, kemudian
menyemburkannya dengan cara
memencet hidung dengan tangan kiri.
Beliau melakukan perbuatan ini dengan
tiga kali cidukan air. (HR. Bukhari-Muslim.
Abu Dawud no. 140)
Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini
ada penunjukkan yang jelas bagi
pendapat yang shahih dan terpilih, yaitu
bahwasanya berkumur dengan
menghirup air ke hidung dari tiga
cidukan dan setiap cidukan ia berkumur
dan menghirup air ke hidung, adalah
sunnah. (Syarah Muslim, 3/122).
Demikian pula Rasulullah saw
menganjurkan untuk bersungguh-
sungguh menghirup air ke hidung,
kecuali dalam keadaan berpuasa,
berdasarkan hadits Laqith bin Shabrah.
(HR. Abu Dawud, no. 142; Tirmidzi, no.
38, Nasa’i )

Membasuh muka sambil menyela-
nyela jenggot.
Yakni mengalirkan air keseluruh bagian
muka. Batas muka itu adalah dari
...tumbuhnya rambut di kening sampai
jenggot dan dagu, dan kedua pipi
hingga pinggir telinga. Sedangkan Allah
memerintahkan kita:
”Dan basuhlah muka-muka kamu.” (Al-
Maidah: 6)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dari Humran bin Abaan, bahwa cara
Nabi saw membasuh mukanya saat
wudhu’ sebanyak tiga kali”. (HR Bukhari,
I/48), Fathul Bari, I/259. no.159 dan
Muslim I/14)
Setalah Nabi saw membasuh mukanya
beliau mengambil seciduk air lagi (di
telapak tangan), kemudian
dimasukkannya ke bawah dagunya, lalu
ia menyela-nyela jenggotnya, dan beliau
bersabda bahwa hal tersebut
diperintahkan oleh Allah swt. (HR.
Tirmidzi no.31, Abu Dawud, no. 145;
Baihaqi, I/154 dan Hakim, I/149, Shahih
Jaami’u ash-Shaghir no. 4572).

Menyela-nyelai jenggot
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dulu apabila berwudhu maka beliau
...mengambil air dengan telapak tangannya
kemudian dia masukkan ke bawah dagunya
dan menyela-nyelai jenggotnya dengan air
tersebut. Lantas beliau mengatakan,
“ Demikianlah yang diperintahkan oleh
Rabbku ‘azza wa jalla.” (HR. Abu Dawud,
disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if
Sunan Abu Dawud [1/223] as-Syamilah)
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu,
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dahulu biasa menyela-nyelai jenggotnya (HR.
Tirmidzi dan beliau mengatakan hadits ini
...hasan sahih, disahihkan al-Albani dalam
Shahih wa Dha ’if Sunan Tirmidzi [1/31].
Imam Tirmidzi mengatakan, “Muhammad
bin Isma’il -yaitu Imam Bukhari-
mengatakan bahwa riwayat paling sahih
dalam bab ini adalah hadits yang dibawakan
oleh ‘Amir bin Syaqiq dari Abu Wa’il dari
Utsman bin Affan -yaitu hadits di
atas-. ” (Sunan Tirmidzi [1/53] as-Syamilah)

Membasuh tangan hingga siku, kanan tiga
kali lalu kiri tiga kali
Habban bin Wasi ’ menuturkan bahwa
bapaknya menceritakan kepadanya
...Suatu ketika dia mendengar Abdullah bin
Zaid bin ‘Ashim al-Mazini radhiyallahu’anhu
teringat bahwa dahulu dia melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berwudhu. Ketika itu, beliau berkumur-
kumur kemudian beristintsar
(mengeluarkan air dari hidung). Kemudian
beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga
kali. Lalu membasuh tangan kanannya tiga
kali demikian juga yang sebelah kiri tiga kali.....(H.R muslim dalam bab Thaharah)
”Dan bashlah tangan-tanganmu sampai
siku” (Al-Maaidah: 6)

Mengusap (BuKan menyiram) seluruh rambut kepala cukup
sekali

Dari Abdurrahman bin Abi Laila, dia berkata:
.
...Aku melihat Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ’anhu melakukan wudhu, maka
dia membasuh wajahnya tiga kali,
membasuh kedua lengannya tiga kali, dan
mengusap rambut kepalanya sekali saja.
Kemudian Ali berkata, “Demikianlah cara
berwudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-
Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi
Dawud [1/193] as-Syamilah)

Imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan,
“ Banyak riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang menunjukkan bahwa beliau
mengusap rambut kepalanya hanya sekali.
Dan hal inilah yang diamalkan oleh
mayoritas ahli ilmu dari kalangan para
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para ulama setelah mereka. Inilah yang
dipegang oleh Ja ’far bin Muhammad, Sufyan
ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, as-Syafi’i, Ahmad,
dan Ishaq. Mereka berpendapat bahwa
mengusap kepala cukup sekali saja. ” (Sunan
at-Tirmidzi [1/49] as-Syamilah)

Boleh mengusap tiga kali
Dari Humran, dia berkata:
Aku melihat Utsman bin Affan
radhiyallahu ’anhu berwudhu. Kemudian dia
menceritakan sebagaimana hadits sebelum
ini, namun di dalamnya dia tidak
...menceritakan berkumur-kumur dan
istinsyaq. Dan di dalam riwayat itu
disebutkan bahwa Humran mengatakan: Dia
-Utsman- mengusap rambut kepalanya
sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh
kedua kakinya tiga kali. Lalu Utsman
mengatakan, “Aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu
demikian. Dan beliau bersabda, ‘Barang
siapa yang berwudhu kurang dari ini maka
hal itu pun mencukupi baginya. ’ Dan dia
tidak menyebutkan tentang perkara sholat
(sebagaimana yang ada pada riwayat
Muslim di atas, pent). ” (HR. Abu Dawud,
dinyatakan oleh al-Albani hasan sahih di
dalam Shahih wa Dha ’if Sunan Abu Dawud
[1/185] as-Syamilah)
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
menjelaskan bahwa pendapat yang
menyatakan bahwa mengusap kepala tiga
kali termasuk Sunnah (ajaran Nabi) adalah
...pendapat yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dan Ibnul Mundzir dari Anas, Atha ’
dan yang lainnya. Abu Dawud pun
meriwayatkan keterangan itu -mengusap
kepala tiga kali- melalui dua jalur yang salah
satunya dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah
dan ulama yang lain. Di dalam riwayat itu
disebutkan bahwa Utsman mengusap
kepalanya sebanyak tiga kali, sedangkan
tambahan keterangan dari perawi yang
terpercaya/tsiqah adalah informasi yang
harus diterima (ziyadatu tsiqah maqbulah,
istilah dalam ilmu hadits, pen), demikian
papar al-Hafizh (silakan periksa Fath al-Bari
[1/313], lihat juga keterangan Syaikh Dr.
Abdul ‘Azhim Badawi hafizhahullah dalam
kitabnya al-Wajiz, hal. 35

Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq
al- ’Azhim Abadi rahimahullah mengatakan,
“Kesimpulan hasil penelitian dalam masalah
ini menunjukkan bahwa hadits-hadits yang
...menyebutkan sekali usapan adalah lebih
banyak dan lebih sahih, dan ia lebih terjaga
keabsahannya daripada hadits yang
menyebutkan tiga kali usapan. Meskipun
hadits-hadits tiga kali usapan tersebut juga
berderajat sahih melalui sebagian jalannya,
akan tetapi ia tidak bisa mengimbangi
kekuatan hadits-hadits tersebut. Maka yang
semestinya dipilih adalah mengusap sekali
saja, walaupun mengusap tiga kali juga
tidak mengapa. ” (‘Aun al-Ma’bud [1/132] as-
Syamilah)
Kedua telinga termasuk bagian kepala
yang harus diusap
Dari Utsman bin Abdurrahman at-Taimi. Dia
berkata:
...Ibnu Abi Mulaikah pernah ditanya mengenai
wudhu, maka dia menjawab: Aku pernah
melihat Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu
ditanya tentang wudhu. Maka beliau
meminta diambilkan air. Lalu didatangkan
kepadanya sebuah timba berisi air lalu dia
ambil air itu dengan memasukkan tangan
kanannya ke dalam air. Kemudian dia
berkumur-kumur tiga kali dan beristintsar
tiga kali. Lalu dia membasuh wajahnya tiga
kali. Kemudian dia membasuh tangan
kanannya tiga kali dan membasuh tangan
yang kiri juga tiga kali. Kemudian dia
masukkan tangannya ke dalam timba itu
dan mengambil air untuk mengusap kepala
dan kedua daun telinganya. Dia membasuh
(mengusap) bagian dalam kedua telinga itu
dan bagian luarnya, dia melakukan itu hanya
sekali. Kemudian dia membasuh kedua
kakinya, lalu dia berkata, “Manakah orang-
orang yang bertanya mengenai wudhu tadi?
Demikian itu tadi cara berwudhu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang aku
saksikan.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan
hasan sahih oleh al-Albani dalam Shahih wa
Dha ’if Sunan Abu Dawud [1/186] as-
Syamilah)
Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits
adh-Dha’ifah, no. 995 mengatakan:
“Tidak terdapat di dalam sunnah
(hadits-hadits nabi saw) yang
...mewajibkan mengambil air baru untuk
mengusap dua telinga. Keduanya diusap
dengan sisa air dari mengusap kepala
berdasarkan hadits Rubayyi’:
Bahwasanya Nabi saw mengusap
kepalanya dengan air sisa yang ada di
tangannya. (HR. Abu Dawud dan lainnya
dengan sanad hasan)
Rasulullah saw juga mencontohkan
bahwa bagi orang yang memakai
sorban atau sepatu maka dibolehkan
untuk tidak membukanya saat
...berwudhu’, cukup dengan menyapu
diatasnya, (HSR. Bukhari dalam Fathul
Baari I/266 dan selainnya) asal saja
sorban dan sepatunya itu dipakai saat
shalat, serta tidak bernajis.

“Kemudian beliau membasuh mengusap
kepala dengan tangannya,(dengan
carapent.) menyapunya ke depan dan ke
belakang. Beliau memulainya dari bagian
...depan kepalanya ditarik ke belakang sampai
ke tengkuk kemudian mengembalikannya
lagi ke bagian depan kepalanya”[HR. Bukhori no. 185, Muslim 235].

Adapun untuk cara mengusap kepala dan
kedua telinga dengan air, untuk
perempuan sama seperti untuk laki-laki
sebagaimana yang dikatakan oleh An
...Nawawi Asy Syafi ’i rohimahullah demikian
juga hal ini merupakan pendapat Imam
Syafi ’i rohimahullah sendiri dan dinukil oleh
Al Bukhori rohimahullah dalam kitab
shohihnya dari Sa ’id bin Musayyib
rohimahullah [[lihat Al Majmu’ oleh An Nawawi
rohimahullah hal. 409/I Asy Syamilah]. Dan
hal ini sesuai dengan kaidah fiqh
keumuman hukum dalam syari ’at antara
laki-laki dan perempuan selama tidak ada
dalil yang mengkhususkannya pada salah
satu dari keduanya, [lihat Ma’alim Ushulil
Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh
Syaikh DR. Muhammad bin Husain bin
Hasan Al Jaizaniy hafidzahullah hal. 418,
cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA]].

Adapun peci/kopiah/songkok bukan
termasuk sorban, sebagaimana
dijelaskan oleh para Imam dan tidak
boleh diusap diatasnya saat berwudhu’
...seperti layaknya sorban. Alasannya
karena:
1. Peci/kopiah/songkok diluar
kebiasaan dan juga tidak
menutupi seluruh kepala.
2. Tidak ada kesulitan bagi
seseorang untuk melepaskannya.
Adapun Kerudung, jilbab bagi wanita,
maka dibolehkan untuk mengusap
diatasnya, karena ummu Salamah (salah
satu isteri Nabi) pernah mengusap
jilbabnya, hal ini disebutkan oleh Ibnu
Mundzir. (Lihat al-Mughni, I/312 atau
I/383-384).

Membasuh kedua kaki sampai
Measuh kaki hingga mata kaki, kanan tiga kali lalu kiri tiga kali
Allah swt berfirman: ”Dan basuhlah kaki-
kakimu hingga dua mata kaki” (Al-
...Maidah: 6)
Rasulullah menyuruh umatnya agar
berhati-hati dalam membasuh kaki,
karena kaki yang tidak sempurna cara
membasuhnya akan terkena ancaman
neraka, sebagaimana beliau
mengistilahkannya dengan tumit-tumit
neraka. Beliau memerintahkan agar
membasuh kaki sampai kena mata kaki
bahkan beliau mencontohkan sampai
membasahi betisnya. Beliau
mendahulukan kaki kanan dibasuh
hingga tiga kali kemudian kaki kiri juga
demikian. Saat membasuh kaki
Rasulullah menggosok-gosokan jari
kelingkingnya pada sela-sela jari kaki.
(HSR. Bukhari; Fathul Baari, I/232 dan
Muslim, I/149, 3/128)

Demikian juga pendapat Al Ghozali
rohimahullah, namun beliau qiyaskan
dengan cara istinja ’, sebagaimana yang
dinukilkan oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani
rohimahullah (Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu
...ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash
Shon’ani rohimahullah hal. 196/I dengan
tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi
Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy,
Riyadh, KSA.)


Kaki tidak cukup diusap
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma,
dia berkata:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertinggal
...dari rombongan dalam sebuah perjalanan
yang kami lakukan. Kemudian beliau
berhasil menyusul kami sementara waktu
‘ Ashar sudah hampir habis. Kami pun
tergesa-gesa berwudhu dan hanya
mengusap kaki kami. Maka beliau pun
berseru dengan suara yang tinggi,
“ Celakalah tumit-tumit yang tidak terbasuh
air karena ia akan terkena panasnya api
neraka. ” Beliau mengucapkannya dua atau
tiga kali (HR. Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’,
demikian juga Muslim dalam Kitab at-
Thaharah).
.
Dari Salim bekas budak Syaddad, dia
berkata:

Suatu saat aku menemui Aisyah
radhiyallahu ’anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yaitu ketika hari wafatnya Sa’ad
bin Abi Waqash radhiyallahu’anhu. Maka
Abdurrahman bin Abi Bakr pun masuk dan
berwudhu di sisinya. Lalu Aisyah
mengatakan, “Wahai Abdurrahman,
sempurnakanlah wudhu. Sesungguhnya aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Celakalah tumit-tumit -
yang tidak terbasuh air itu- sebab ia
terancam dengan api neraka. ’.” (HR. Muslim
dalam Kitab at-Thaharah)

Membaca doa setelah wudhu
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu, dia
berkata:
Dahulu kami memiliki tugas menjaga unta
...yang digembalakan. Maka ketika datang
orang lain yang akan menggantikanku,
maka aku pun pulang meninggalkannya
ketika waktu sore sudah tiba. Kemudian aku
menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang ketika itu sedang berdiri
memberikan ceramah kepada orang-orang.
Di antara sabda beliau yang kudengar
adalah, “Tidaklah ada seorang muslim yang
berwudhu dan membaguskan wudhunya
lalu dia bangkit untuk melakukan sholat dua
raka ’at dengan hati dan wajah yang penuh
konsentrasi di dalamnya melainkan dia pasti
akan masuk ke dalam surga. ” ‘Uqbah bin
‘Amir berkata: Aku mengatakan, “Alangkah
indahnya hal ini.” Tiba-tiba orang lain yang
berada di hadapanku berbicara, “Kata-kata
sebelumnya lebih indah lagi.” Lalu aku
perhatikan, ternyata orang itu adalah umar.
Lalu Umar mengatakan, “Aku melihat kamu
baru saja datang. [Nabi tadi mengatakan]
Tidaklah ada seseorang di antara kalian
yang berwudhu lalu menyempurnakan
wudhunya kemudian setelah itu dia
membaca doa ‘Asyhadu anlaa ilaaha illallaah
wa anna Muhammadan ‘abdullah warasuluh’
melainkan akan dibukakan baginya delapan
pintu surga yang dia akan dipersilakan
untuk masuk melalui pintu mana pun yang
dia inginkan. ”
Imam Muslim mengatakan: Abu Bakr bin Abi
Syaibah juga menuturkan kepada kami. Dia
berkata: Zaid bin al-Hubab menuturkan
kepada kami. Dia berkata: Mu ’waiyah bin
...Shalih menuturkan kepada kami dari Rabi’ah
bin Yazid dari Abu Idris al-Khaulani dan Abu
Utsman dari Jubair bin Nufair bin Malik al-
Hadhrami, dari ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani
radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, kemudian dia
menyebutkan hadits serupa. Hanya saja di
dalam hadits ini beliau mengatakan,
“ Barang siapa yang berwudhu lalu
membaca ‘asyhadu an laa ilaaha illallaah
wahdahu laa syariika lah wa asyhadu anna
Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh’.” (HR.
Muslim dalam Kitab at-Thaharah)
Muwalah
Muwalah[Lihat Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.]
adalah berturut-turut dalam
membasuh anggota-anggota wudhu dalam
...artian membasuh anggota wudhu lainnya
sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya
telah dibasuh pent.) mengering dalam
kondisi/waktu normal [] Dalam kondisi/waktu normal
maksudnya adalah jika tidak ada angin yang
berhembus, dalam kondisi cuaca yang
sangat panas (sehingga air wudhu dengan
cepat mengering), atau sangat dingin. [lihat
Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal.
120/I.].
Dalil wajibnya hal
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku”
isi pendalilannya sebagai berikut,
jawab
syarat (dari kalimat syarat yang ada dalam
ayat inipent.) merupakan suatu yang
...berurutan dan tidak boleh diakhirkan [ Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil
Mustaqni’ hal. 119/I]
.
Adapun dalil dari Sunnah adalah Nabi
shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu
dengan tidak memisahkan membasuh
anggota wudhu (yang satu dengan yang
lainnyapent.) dan hadits Nabi shallallahu
‘ alaihi was sallam yang diriwayatkan dari
sahabat Umar bin Khottob rodhiyallahu
‘ anhu
“Bahwasanya ada seorang laki-laki
berwudhu dan meninggalkan bagian yang
belum dibasuh sebesar kuku pada kakinya.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam
...melihatnya maka Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam mengatakan, “Kembalilah
(berwudhupent.) perbaguslah wudhumu”.
[H.R muslim 243].
Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i
dalam perkataannya yang lama, serta
pendapat Al Imam Ahmad dalam riwayat
yang masyhur dar beliau [Lihat dari Shohih Fiqhis Sunnah hal.
121/I].

sumber

Www.muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/panduan-praktis-tata-cara-wudhu.html
.
Www.abumushlih.com/hadits-hadits-pilihan-bab-wudhu.html/
....
Www.ummusalma.wordpress.com/2007/04/09/sifat-wudhu-nabi/Lihat Selengkapnya

Maaf berkaitan dg sunnah wudhu silahkan klik
Www.muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/panduan-praktis-tata-cara-wudhu.html
.
Mohon Maaf Apabila Ada kekurangan
Semoga Bermanfaat

Ana Harap di sebrkan/di tagg/di copy ke TEman lain agar lebih bermanfaat
“Bahwasannya Nabi sholallahu ‘alaihi
wasallam berkata kepada Bilal bin Harits
(Ketahuilah) Bilal berkata: apa yang harus
aku ketahui ya Rasulullah, Bersabda Nabi
...(Ketahuilah Ya Bilal), Bilal Berkata apa yang
harus aku ketahui Ya Rasulullah, Rasulullah
bersabda: {Sesungguhnya siapa yang
menghidupkan Sunnah dari Sunnahku yang
sungguh telah dimatikan dimasa sesudahku,
maka sesungguhnya ia mendapat pahala
seperti pahala orang yang mengerjakannya
dengan tidak dikurangi sedikitpun dari
pahala mereka.”(HR Attirmidzy dari Katsir
bin Abdullah pada Kitab Ilmu dan IBnu
Majah dalam Mukadimahnya)