Sabtu, 30 April 2011

Lalai untuk Belajar Islam

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta
alam. Shalawat dan salam kepada Nabi
kita Muhammad, keluarga dan
sahabatnya. Tuntunan zaman dan semakin
canggihnya teknologi menuntut
generasi muda untuk bisa melek akan
hal itu. Sehingga orang tua pun
berlomba-lomba bagaimana bisa
menjadikan anaknya pintar komputer dan lancar bercuap-cuap ngomong
English. Namun sayangnya karena
porsi yang berlebih terhadap ilmu
dunia sampai-sampai karena mesti
anak belajar di tempat les sore hari,
kegiatan belajar Al Qur ’an pun dilalaikan. Lihatlah tidak sedikit dari
generasi muda saat ini yang tidak bisa
baca Qur’an, bahkan ada yang sampai buku Iqro’ pun tidak tahu. Merenungkan Ayat Ayat ini yang patut jadi renungan
yaitu firman Allah Ta’ala, ِﻦَﻋ ْﻢُﻫَﻭ ﺎَﻴْﻧُّﺪﻟﺍ ِﺓﺎَﻴَﺤْﻟﺍ َﻦِﻣ ﺍًﺮِﻫﺎَﻇ َﻥﻮُﻤَﻠْﻌَﻳ َﻥﻮُﻠِﻓﺎَﻏ ْﻢُﻫ ِﺓَﺮِﺧَﺂْﻟﺍ “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang
mereka tentang (kehidupan) akhirat
adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7) Ath Thobari rahimahullah
menyebutkan sebuah riwayat dari
Ibnu ‘Abbas yang menerangkan mengenai maksud ayat di atas. Yang
dimaksud dalam ayat itu adalah
orang-orang kafir. Mereka benar-
benar mengetahui berbagai seluk
beluk dunia. Namun terhadap urusan
agama, mereka benar-benar jahil (bodoh). (Tafsir Ath Thobari, 18/462) Fakhruddin Ar Rozi rahimahullah
menjelaskan maksud ayat di atas,
“Ilmu mereka hanyalah terbatas pada dunia saja. Namun mereka tidak
mengetahui dunia dengan
sebenarnya. Mereka hanya
mengetahui dunia secara lahiriyah
saja yaitu mengetahui kesenangan
dan permainannya yang ada. Mereka tidak mengetahui dunia secara batin,
yaitu mereka tidak tahu bahaya dunia
dan tidak tahu kalau dunia itu
terlaknat. Mereka memang hanya
mengetahui dunia secara lahir, namun
tidak mengetahui kalau dunia itu akan fana.” (Mafatihul Ghoib, 12/206) Penulis Al Jalalain rahimahumallah
menafsirkan, “Mereka mengetahui yang zhohir (yang nampak saja dari
kehidupan dunia), yaitu mereka
mengetahui bagaimana mencari
penghidupan mereka melalui
perdagangan, pertanian,
pembangunan, bercocok tanam, dan selain itu. Sedangkan mereka
terhadap akhirat benar-benar
lalai.” (Tafsir Al Jalalain, hal. 416) Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi
hafizhohullah menjelaskan ayat di
atas, “Mereka mengetahui kehidupan dunia secara lahiriah saja seperti
mengetahui bagaimana cara mengais
rizki dari pertanian, perindustrian dan
perdagangan. Di saat itu, mereka
benar-benar lalai dari akhirat. Mereka
sungguh lalai terhadap hal yang wajib mereka tunaikan dan harus mereka
hindari, di mana penunaian ini akan
mengantarkan mereka selamat dari
siksa neraka dan akan menetapi
surga Ar Rahman.” (Aysarut Tafasir, 4/124-125) Lalu Syaikh Abu Bakr Al Jazairi
mengambil faedah dari ayat tersebut,
“Kebanyakan manusia tidak mengetahui hal-hal yang akan
membahagiakan mereka di akhirat.
Mereka pun tidak mengetahui aqidah
yang benar, syari’at yang membawa rahmat. Padahal Islam seseorang tidak
akan sempurna dan tidak akan
mencapai bahagia kecuali dengan
mengetahui hal-hal tersebut.
Kebanyakan manusia mengetahui
dunia secara lahiriyah seperti mencari penghidupan dari bercocok tanam,
industri dan perdagangan. Namun
bagaimanakah pengetahuan mereka
terhadap dunia yang batin atau tidak
tampak, mereka tidak mengetahui.
Sebagaimana pula mereka benar- benar lalai dari kehidupan akhirat.
Mereka tidak membahas apa saja yang
dapat membahagiakan dan
mencelakakan mereka kelak di
akhirat. Kita berlindung pada Allah
dari kelalaian semacam ini yang membuat kita lupa akan negeri yang
kekal abadi di mana di sana
ditentukan siapakah yang bahagia
dan akan sengsara.” (Aysarut Tafasir, 4/125) Itulah gambaran dalam ayat yang
awalnya menerangkan mengenai
kondisi orang kafir. Namun keadaan
semacam ini pun menjangkiti kaum
muslimin. Mereka lebih memberi porsi
besar pada ilmu dunia, sedangkan kewajiban menuntut ilmu agama
menjadi yang terbelakang. Lihatlah
kenyataan di sekitar kita, orang tua
lebih senang anaknya pintar
komputer daripada pandai membaca
Iqro’ dan Al Qur’an. Sebagian anak ada yang tidak tahu wudhu dan shalat
karena terlalu diberi porsi lebih pada
ilmu dunia sehingga lalai akan
agamanya. Sungguh keadaan yang
menyedihkan. Bahaya Jahil akan Ilmu Agama Kalau seorang dokter salah memberi
obat karena kebodohannya, maka
tentu saja akan membawa bahaya
bagi pasiennya. Begitu pula jika
seseorang jahil atau tidak paham akan
ilmu agama, tentu itu akan berdampak pada dirinya sendiri dan orang lain
yang mencontoh dirinya. Allah telah memerintahkan kepada
kita untuk mengawali amalan dengan
mengetahui ilmunya terlebih dahulu.
Ingin melaksanakan shalat, harus
dengan ilmu. Ingin puasa, harus
dengan ilmu. Ingin terjun dalam dunia bisnis, harus tahu betul seluk beluk
hukum dagang. Begitu pula jika ingin
beraqidah yang benar harus dengan
ilmu. Allah Ta’ala berfirman, َﻚِﺒْﻧَﺬِﻟ ْﺮِﻔْﻐَﺘْﺳﺍَﻭ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﺎَّﻟِﺇ َﻪَﻟِﺇ ﺎَﻟ ُﻪَّﻧَﺃ ْﻢَﻠْﻋﺎَﻓ “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang
berhak disembah selain Allah dan
mohonlah ampunan bagi
dosamu” (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat ini, Allah memulai dengan
‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih
dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu
sebelum amal perbuatan. Sufyan bin ‘Uyainah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan
keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana
dikeluarkan oleh Abu Nu ’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi
Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat
ini, lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah
memulai ayat ini dengan mengatakan
‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk
beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108) Al Muhallab rahimahullah
mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang
terlebih dahulu didahului dengan
ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak
terdapat niat, ingin mengharap-harap
ganjaran, dan merasa telah berbuat
ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu,
pen). Sesungguhnya yang dilakukan
hanyalah seperti amalannya orang
gila yang pena diangkat dari
dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144) Gara-gara tidak memiliki ilmu, jadinya
seseorang akan membuat-buat
ibadah tanpa tuntunan atau
amalannya jadi tidak sah. Jika
seseorang tidak paham shalat, lalu ia
mengarang-ngarang tata cara ibadahnya, tentu ibadahnya jadi sia-
sia. Begitu pula mengarang-ngarang
bahwa di malam Jumat Kliwon
dianjurkan baca surat Yasin, padahal
nyatanya tidak ada dasar dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut juga sia-sia belaka.
Begitu pula jika seseorang berdagang
tanpa mau mempelajari fiqih
berdagang terlebih dahulu. Ia pun
mengutangkan kepada pembeli lalu
utangan tersebut diminta diganti lebih (alias ada bunga). Karena kejahilan
dirinya dan malas belajar agama, ia
tidak tahu kalau telah terjerumus
dalam transaksi riba. Maka berilmulah
terlebih dahulu sebelum beramal.
Mu’adz bin Jabal berkata, ُﻪُﻌِﺑﺎَﺗ ُﻞَﻤَﻌﻟﺍَﻭ ِﻞَﻤَﻌﻟﺍ ُﻡﺎَﻣِﺇ ُﻢْﻠِﻌﻟﺍ “Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah
adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma ’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15) Beramal tanpa ilmu membawa akibat
amalan tersebut jauh dari tuntunan
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, akhirnya amalan itu jadi sia-sia dan
tertolak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ٌّﺩَﺭ َﻮُﻬَﻓ ﺎَﻧُﺮْﻣَﺃ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﺲْﻴَﻟ ًﻼَﻤَﻋ َﻞِﻤَﻋ ْﻦَﻣ “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami,
maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718) Kerusakanlah yang ujung-ujungnya
terjadi bukan maslahat yang akan
dihasilkan. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, ﺎَّﻤِﻣ َﺮَﺜْﻛَﺃ ُﺪِﺴْﻔُﻳ ﺎَﻣ َﻥﺎَﻛ ٍﻢْﻠِﻋ ِﺮْﻴَﻐِﺑ َﻪﻠﻟﺍ َﺪَﺒَﻋ ْﻦَﻣ ُﺢِﻠْﺼُﻳ “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan
membuat banyak kerusakan daripada
mendatangkan kebaikan. ” (Al Amru bil Ma’ruf, hal. 15) Beri Porsi yang Adil Bukan berarti kita tidak boleh
mempelajari ilmu dunia. Dalam satu
kondisi mempelajari ilmu dunia bisa
menjadi wajib jika memang belum
mencukupi orang yang capable dalam
ilmu tersebut. Misalnya di suatu desa belum ada dokter padahal sangat
urgent sehingga masyarakat bisa
mudah berobat. Maka masih ada
kewajiban bagi sebagian orang di
desa tersebut untuk mempelajari ilmu
kedokteran sehingga terpenuhilah kebutuhan masyarakat. Namun yang perlu diperhatikan di sini
bahwa sebagian orang tua hanya
memperhatikan sisi dunia saja apalagi
jika melihat anaknya memiliki
kecerdasan dan kejeniusan. Orang tua
lebih senang menyekolahkan anaknya sampai jenjang S2 dan S3,
menjadi pakar polimer, dokter, dan
bidan, namun sisi agama anaknya
tidak ortu perhatikan. Mereka lebih
pakar menghitung, namun
bagaimanakah mengerti masalah ibadah yang akan mereka jalani
sehari-hari, mereka tidak paham.
Untuk mengerti bahwa
menggantungkan jimat dalam rangka
melariskan dagangan atau
menghindarkan rumah dari bahaya, mereka tidak tahu kalau itu syirik.
Inilah yang sangat disayangkan. Ada
porsi wajib yang harus seorang anak
tahu karena jika ia tidak
mengetahuinya, ia bisa meninggalkan
kewajiban atau melakukan yang haram. Inilah yang dinamakan
dengan ilmu wajib yang harus
dipelajari setiap muslim. Walaupun
anak itu menjadi seorang dokter atau
seorang insinyur, ia harus paham
bagaimanakah mentauhidkan Allah, bagaimana tata cara wudhu, tata cara
shalat yang mesti ia jalani dalam
kehidupan sehari-hari. Tidak mesti
setiap anak kelak menjadi ustadz. Jika
memang anak itu cerdas dan tertarik
mempelajari seluk beluk fiqih Islam, sangat baik baik sekali jika ortu
mengerahkan si anak ke sana. Karena
mempelajari Islam juga butuh orang-
orang yang ber-IQ tinggi dan cerdas
sebagaimana keadaan ulama dahulu
seperti Imam Asy Syafi’i sehingga tidak salah dalam mengeluarkan
fatwa untuk umat. Namun jika
memang si anak cenderung pada ilmu
dunia, jangan sampai ia tidak
diajarkan ilmu agama yang wajib ia
pelajari. Dengan paham agama inilah
seseorang akan dianugerahi Allah
kebaikan, terserah dia adalah dokter,
engineer, pakar IT dan lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِﻦﻳِّﺪﻟﺍ ﻰِﻓ ُﻪْﻬِّﻘَﻔُﻳ ﺍًﺮْﻴَﺧ ِﻪِﺑ ُﻪَّﻠﻟﺍ ِﺩِﺮُﻳ ْﻦَﻣ “Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan,
maka Allah akan memahamkan dia
tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037) Ingatlah pula bahwa yang diwarisi
oleh para Nabi bukanlah harta, namun
ilmu diin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ﺎَﻤَّﻧِﺇ ﺎًﻤَﻫْﺭِﺩ َﻻَﻭ ﺍًﺭﺎَﻨﻳِﺩ ﺍﻮُﺛِّﺭَﻮُﻳ ْﻢَﻟ َﺀﺎَﻴِﺒْﻧَﻷﺍ َّﻥِﺇ ٍﺮِﻓﺍَﻭ ٍّﻆَﺤِﺑ َﺬَﺧَﺃ ِﻪِﺑ َﺬَﺧَﺃ ْﻦَﻤَﻓ َﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ﺍﻮُﺛَّﺭَﻭ “Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham,
mereka hanyalah mewariskan ilmu.
Barangsiapa yang mengambilnya,
maka dia telah memperoleh
keberuntungan yang banyak.” (HR Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no.
2682, Shahih) Semoga tulisan ini semakin
mendorong diri kita untuk tidak
melalaikan ilmu agama. Begitu pula
pada anak-anak kita, jangan lupa
didikan ilmu agama yang wajib
mereka pahami untuk bekal amalan keseharian mereka. Wallahu waiyyut
taufiq.
(*) Riyadh-KSA, 14 Rabi ’uts Tsani 1432 H (19/03/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasika
l Artikel www.muslim.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar