Minggu, 24 April 2011

Hukum teroris

Tidaklah diragukan bahwa
siapa yang membaca dan
memahami pembahasan-
pembahasan yang telah lalu
seputar keindahan Islam dan
tuntunan syari’at dalam
masalah jihad, maka ia akan
dapat menarik kesimpulan
pasti dan meyakinkan bahwa
terorisme dengan makna yang
banyak dibicarakan saat ini
adalah sesuatu hal yang
diharamkan dan tercela dalam
pandangan syari’at Islam.
Bagaimana mungkin agama
kita membolehkan terorisme
sementara nash-nash dari Al-
Qur`ân dan As-Sunnah
menjelaskan bahwa Islam
sangat menegakkan keamanan
dan menyeru manusia untuk
mengadakan perbaikan dan
melarang dari berbuat
kerusakan di muka bumi.
Terorisme yang dasarnya
adalah kesewenang-wenangan
terhadap manusia sangat
bertentangan dengan prinsip-
prinsip agama yang dibangun
di atas keadilan.
Dan terorisme yang sifatnya
kekerasan, menghancurkan,
merusak, dst… sangatlah
bertolak belakang dengan
syari’at Islam yang penuh
rahmat dan kebaikan bagi
manusia.
Karena itu hukum Islam
terhadap pelaku terorisme
sangatlah keras dan tegas.
Perhatikan hukum Islam
tersebut diterangkan dalam
keputusan Majelis Hai‘ah Kibâr
‘Ulama (Lembaga Ulama Besar)
No.148 tanggal 12/1/1409 H
(9/5/1998 M) yang dimuat oleh
majalah Majma’ Al-Fiqh Al-
Islâmy edisi 2 hal.181 dan
majalah Al-Buhûts Al-Islâmiyah
edisi 24 hal.384-387, dengan
persetujuan dan tanda tangan
para anggota majelis seperti
Syaikh Ibnu Bâzz, Syaikh Ibnu
‘Utsaimîn, Syaikh ‘Abdul ‘Azîz
Âlu Asy-Syaikh, Syaikh Shôlih Al-
Fauzân, Syaikh Shôlih Al-
Luhaidân dan 12 anggota yang
lainnya.
ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ ﻭﺍﻟﻌﺎﻗﺒﺔ
ﻟﻠﻤﺘﻘﻴﻦ،ﻭﻻ ﻋﺪﻭﺍﻥ ﺇﻻ ﻋﻠﻰ
ﺍﻟﻈﺎﻟﻤﻴﻦ.ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺑﺎﺭﻙ
ﻋﻠﻰ ﺧﻴﺮ ﺧﻠﻘﻪ ﺃﺟﻤﻌﻴﻦ،ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ
ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﺃﺟﻤﻌﻴﻦ ﻭﻣﻦ
ﺍﻫﺘﺪﻯ ﺑﻬﺪﻳﻪ ﺇﻟﻰ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ.ﻭﺑﻌﺪ :
Majelis Hai`ah Kibâr ‘Ulama
dalam sidangnya yang ke-32
yang diselenggarakan di kota
Thâ`if dari tanggal
8-12/1/1409 H, berdasarkan
bukti-bukti yang kuat
berkaitan dengan banyaknya
aksi-aksi perusakan yang telah
menelan korban yang sangat
banyak dari kalangan orang-
orang yang tidak berdosa dan
telah rusak karenanya (sesuatu
yang) banyak dari harta benda,
hak-hak milik maupun fasilitas-
fasilitas umum baik di negeri-
negeri Islam maupun yang di
negeri lain yang dilakukan oleh
orang-orang yang lemah atau
hilang imannya dari orang-
orang yang memiliki jiwa yang
sakit dan dendam. Diantaranya
menghancurkan rumah-rumah
dan membakarnya baik
tempat-tempat umum maupun
yang khusus, menghancurkan
jembatan-jembatan dan
terowongan-terowongan,
peledakan pesawat atau
membajaknya. Melihat
kejadian-kejadian seperti ini,
beberapa negara baik yang
dekat maupun yang jauh dan
karena Arab Saudi sama
seperti negara-negara lainnya,
memiliki kemungkinan akan
diserbu oleh aksi-aksi
perusakan ini, maka Majelis
Hai`ah Kibâr ‘Ulama melihat
sangat pentingnya
menetapkan hukuman bagi
pelakunya sebagai langkah
preventif untuk mencegah
orang-orang dari melakukan
gerakan perusakan, baik
gerakan tersebut dilakukan
terhadap tempat-tempat
umum dan sarana-sarana milik
pemerintah maupun ditujukan
kepada yang lainnya dengan
tujuan untuk merusak dan
mengganggu keamanan dan
ketentraman.
Majelis telah meneliti apa yang
disebutkan oleh para ulama
bahwa hukum-hukum syari’at
secara umum mewajibkan
untuk menjaga 5 perkara
pokok dan memperhatikan
sebab-sebab yang menjaga
kelestarian dan
keselamatannya, yaitu : agama,
jiwa, kehormatan, akal dan
harta. Dan Majelis telah
memperoleh gambaran akan
bahaya-bahaya yang sangat
besar yang timbul akibat
Jarîmah (perbuatan keji)
pelampauan batas terhadap
Hurumât (hak-hak suci) kaum
muslimin pada jiwa,
kehormatan dan harta mereka
dan apa-apa yang disebabkan
oleh aksi-aksi perusakan ini
berupa hilangnya rasa
keamanan umum dalam
negara, timbulnya kekacauan
dan kegoncangan dan
membuat takut kaum muslimin
pada dirinya maupun harta
bendanya.
Allah ‘Azza wa Jalla menjaga
manusia; agama, badan, jiwa,
kehormatan, akal dan harta
bendanya dengan
disyari’atkannya hudûd
(hukum-hukum ganjaran) dan
uqûbah (hukuman balasan)
yang akan menciptakan
keamanan secara umum dan
khusus.
Dan di antara yang
menjelaskan hal tersebut
adalah firman Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ,
“Oleh karena itu Kami tetapkan
(suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa : barangsiapa yang
membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka
seakan-akan dia telah
membunuh manusia
seluruhnya”. (QS. Al-Mâ`idah :
32).
Dan firman-Nya Subhânahu wa
Ta’âlâ,
“Sesungguhnya pembalasan
terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya
dan membuat kerusakan di
muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik
(secara bersilangan), atau
dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian
itu (sebagai) suatu penghinaan
untuk mereka di dunia, dan
bagi mereka di akhirat siksaan
yang besar”. (QS. Al-Mâ`idah :
33).
Dan penerapan hal tersebut
merupakan jaminan untuk
meratakan (menyebarkan) rasa
aman dan ketentraman dan
mencegah orang yang akan
menjerumuskan dirinya dalam
perbuatan dosa dan
melampaui batas tehadap
kaum muslimin pada jiwa-jiwa
dan harta benda mereka. Dan
jumhûr (kebanyakan) ulama
berpendapat bahwasanya
hukum muhârabah
(memerangi pembuat
kerusakan) di kota-kota dan
selainnya adalah sama, dengan
dalil firman Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ,
“Dan berupaya membuat
kerusakan di muka bumi”. (QS.
Al-Mâ`idah : 64)
Dan Allah Ta’âlâ berfirman,
“Dan di antara manusia ada
orang yang ucapannya tentang
kehidupan dunia menarik
hatimu, dan dipersaksikannya
kepada Allah (atas kebenaran)
isi hatinya, padahal ia adalah
penantang yang paling keras.
Dan apabila ia berpaling (dari
kamu), ia berjalan di bumi
untuk mengadakan kerusakan
padanya, dan membinasakan
tanam-tanaman dan binatang
ternak, dan Allah tidak
menyukai perusakan”. (QS. Al-
Baqarah : 204-205).
Dan (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Dan janganlah kamu
membuat kerusakan di muka
bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya”.(QS. Al-A’râf :
56,85).
Berkata Ibnu Katsir
rahimahullahu Ta’âlâ, “(Allah)
telah melarang membuat
kerusakan di muka bumi dan
apa-apa yang
membahayakannya setelah
diperbaikinya karena
sesungguhnya apabila
perkara-perkara berjalan di
atas As-Sadâd (lurus dan baik)
kemudian terjadi kerusakan
setelah itu maka itu adalah
sesuatu yang paling berbahaya
atas para hamba maka (Allah)
Ta’âlâ melarang hal tersebut”.
Dan berkata Al-Qurthuby,
“(Allah) Subhânahu wa Ta’âlâ
melarang setiap kerusakan
sedikit maupun banyak setelah
perbaikan yang sedikit
maupun banyak maka hal ini
(berlaku) secara umum
menurut (pendapat) yang
benar dari berbagai pendapat
(yang ada)”.
Berdasarkan penjelasan di atas
dan karena apa yang telah lalu
penjelasannya melampaui
perbuatan-perbuatan para
perusak, yang mereka itu
memiliki target-target khusus,
dimana mereka mengejar
hasilnya berupa harta benda
atau kehormatan, dan karena
sasaran mereka (para pelaku
teror itu,-pent.) adalah
mengganggu keamanan dan
merobohkan bangunan umat
dan membongkar aqidahnya
dan melencengkannya dari
manhaj Rabbâny (manhaj yang
haq), maka majelis dengan
sepakat memutuskan (hal-hal)
sebagai berikut :
Pertama : Siapa yang terbukti
secara syar’i melakukan suatu
perbuatan dari perbuatan-
perbuatan terorisme dan
membuat kerusakan di muka
bumi yang menyebabkan
gangguan keamanan dan
menganiaya jiwa-jiwa dan
harta benda baik milik khusus
maupun yang milik umum
seperti menghancurkan
rumah-rumah, mesjid-mesjid,
sekolah-sekolah atau rumah
sakit, pabrik-pabrik, jembatan-
jembatan, gudang-gudang
senjata, penampungan-
penampungan air, fasilitas-
fasilitas umum untuk baitul mal
seperti saluran-saluran/pipa-
pipa minyak, dan
menghancurkan pesawat atau
membajaknya dan yang
semacamnya, maka
hukumannya adalah dibunuh
berdasarkan kandungan ayat-
ayat di atas bahwasanya
perusakan di muka bumi yang
seperti ini mengharuskan
penumpahan darah si perusak.
Dan karena bahaya dan
kerusakan yang dilakukan oleh
orang-orang yang melakukan
perbuatan-perbuatan
perusakan adalah lebih besar
dari bahaya dan kerusakan
pembegal jalanan yang
melampaui batas kepada
seseorang lalu membunuh dan
merampas hartanya, maka
Allah telah menetapkan
hukumannya dalam apa yang
tersebut dalam ayat Al-Harabah
(QS. Al-Mâ`idah : 33 di atas,-
pent.).
Kedua : Bahwasanya sebelum
menjatuhkan hukuman
sebagaimana point di atas
(yaitu dibunuh-pent.), harus
menyempurnakan Al-Ijrâ`ât
(urusan, administrasi)
pembuktian yang lazim di
Pengadilan-pengadilan syari’at,
Hai‘ah At-Tamyîz dan
Mahkamah Agung dalam
rangka barâ`atun lidzdzimmah
(pertanggungjawaban di
hadapan Allah) dan kehati-
hatian terhadap nyawa. Dan
untuk menunjukkan
bahwasanya negeri ini (Arab
Saudi,-pent.) terikat dengan
segala ketentuan syari’at untuk
membuktikan kejahatan dan
menetapkan hukumannya.
Ketiga : Majelis memandang
perlunya memberitakan
tentang hukuman ini melalui
media massa.
Salam dan shalawat semoga
senantiasa terlimpahkan
kepada hamba dan Rasul-Nya,
Nabi kita Muhammad dan
kepada keluarga dan
shahabatnya.
Majelis Hai‘ah Kibâr ‘Ulama
Sumber : http://
jihadbukankenistaan.com/
terorisme/hukum-terorisme-
dan-pelakunya.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar