Rabu, 06 April 2011

Mendulang pelajaran Akhlak dari Ulama sunnah

(Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr, hafizhahullah) Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda Mengenai Syaikh Abdurrozzaq, sebagaimana pengakuan sebagian teman yang pernah dekat dengan beliau, bahwasanya beliau bukanlah orang yang paling ‘alim di kota Madinah, bahkan bukan pula orang yang paling ‘alim di Universitas Islam Madinah, karena pada kenyataannya masih banyak ulama lain lebih unggul daripada beliau dari sisi keilmuan. Akan tetapi yang menjadikan beliau istimewa di hati para mahasiswa adalah perhatian beliau terhadap amal, takwa, dan akhlak. Hal ini tidak mengherankan karena seringkali wejangan-wejangan beliau tentang perhatian pada mengamalkan ilmu. Selama kurang lebih 9 tahun, beliau mengajar sebuah kitab tentang adab karya Imam Al-Bukhari yang berjudul Al-Adab Al-Mufrad di masjid Universitas Islam Madinah, setiap hari Kamis setelah shalat Shubuh. Selama tiga tahun beliau mengajar kitab yang sama di Masjid Nabawi. Ini semua menunjukkan perhatian beliau terhadap adab dan akhlak mulia. Bahkan, saat beliau mengisi di Radiorodja dan waktu itu tidak ada materi yang siap untuk disampaikan, serta kebetulan salah seorang pembawa acara ingin ada pengajian khusus tentang tanya jawab dengan diberi sedikit mukadimah, maka beliau
langsung setuju, dan mukadimah yang beliau bawakan adalah tentang pentingnya mengamalkan ilmu.Orang yang Tidak Shalat Shubuh
Berjamaah Bukanlah Penuntut Ilmu Syaikh Abdurrozaq pernah
mengunjungi suatu kampung yang
terkenal memiliki banyak penuntut
ilmu. Maka beliau pun shalat di masjid
tersebut. Di sana, beliau bertemu
seorang kakek, lantas beliau berkata seraya memberi kabar gembira
kepada sang Kakek, “Masya Allah, kampung Kakek banyak sekali
penuntut ilmu.” Tapi, sang Kakek malah menimpali
dengan perkataan sinis, “Tidak ada tullabul ‘ilm (para penuntut ilmu) di kampung ini. Sebab, orang yang tidak
shalat shubuh berjamaah bukan
penuntut ilmu!” Syaikh Abdurrozaq tertegun
mendengar kalimat sang Kakek.
Rupanya benar, banyak penuntut ilmu
di kampung tersebut tidak menghadiri
shalat shubuh berjamaah. Syaikh pun
membenarkan perkataan sang Kakek, “Anda benar, bahwa ilmu itu untuk diamalkan. Bahkan bisa jadi kita
mendapatkan seorang penuntut ilmu
semalam suntuk membahas tentang
hadits-hadits Nabi yang menunjukkan
keutamaan shalat Shubuh secara
berjamaah, bahkan bisa jadi dia menghafalkan hadits-hadits tersebut
di luar kepalanya. Akan tetapi tatkala
tiba waktu mengamalkan hadits-
hadits yang dihafalkannya itu, dia
tidak mengamalkannya, malah
ketiduran, tidak shalat shubuh berjamaah.” Memang benar bahwasanya tujuan
dari menuntut ilmu adalah untuk
diamalkan. Rasulullah saw. bersabda: َﻚْﻴَﻠَﻋ ْﻭَﺃ َﻚَﻟ ٌﺔَّﺠُﺣ ُﻥﺁْﺮُﻘﻟﺍ Al-Quran akan menjadi hujjah (yang
akan membela) engkau atau akan
menjadi bumerang yang akan
menyerangmu. (HR Muslim no 223) Saya teringat nasihat Syaikh Utsaimin
yang disampaikan di hadapan para
mahasiswa Universitas Islam Madinah,
bahwasanya ilmu itu hanya akan
memberi dua pilihan, dan tidak ada
pilihan ketiga, yaitu: [1] menjadi pembela bagi pemiliknya atau [2]
akan menyerangnya pada hari kiamat
jika tidak diamalkan. Oleh karena itu, hendaknya seseorang
tidak menuntut ilmu hanya untuk
menambah wawasannya, tetapi
dengan niat untuk diamalkan agar
tidak menjadi bumerang yang akan
menyerangnya pada hari kiamat kelak. Marilah kita renungkan…! Sudah berapa lama kita ikut pengajian? Sudah berapa kitab yang kita baca? Sudah berapa muhadhorah yang kita dengarkan? Sungguh suatu kenikmatan ketika seseorang bisa aktif ikut pengajian, akan tetapi apakah kita siap untuk menjawab pertanyaan yang pasti akan ditanyakan kepada kita semua, sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw.: ِﻪِﻤْﻠِﻋ ْﻦَﻋﻭ , ؟ِﻪﻴِﻓ َﻞِﻤَﻋ ﺍَﺫﺎَﻣ “Dia akan ditanyakan tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan dari ilmunya?” Syaikh Abdurrozzaq menjelaskan bahwa seseorang yang telah banyak mengumpulkan ilmu lantas tidak diamalkan maka hal ini menunjukkan ada niatnya yang tidak beres. Sungguh menyedihkan jika kita, ahlus sunah, yang seharusnya memberi perhatian besar terhadap ilmu akidah, baik penanaman akidah maupun pembenahan akidah-akidah yang menyimpang di masyarakat, namun ilmu akidah tidak tercermin pada amalan shalih kita. Syaikh Abdurrozzaq berkata: “Aku ingin mengingatkan sebuah perkara yang terkadang kita melalaikannya tatkala kita mempelajari ilmu aqidah. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:ُّﻞُﻛ ٍﻢْﻠِﻋ ٍﻞَﻤَﻋَﻭ َﻻ ُﺪْﻳِﺰَﻳ َﻥﺎَﻤﻳِﻹﺍ َﻦْﻴِﻘَﻴﻟﺍﻭ ًﺓَّﻮُﻗ ٌﻝْﻮُﺧْﺪَﻤَﻓ ، ُّﻞُﻛَﻭ ٍﻥﺎَﻤﻳِﺇ َﻻ ُﺚَﻌْﺒَﻳ ﻰَﻠَﻋ ِﻞَﻤَﻌْﻟﺍ ٌﻝْﻮُﺧْﺪَﻤَﻓ Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah kekuatan dalam keimanan
dan keyakinan maka telah termasuki (terkontaminasi), dan setiap iman yang tidak mendorong untuk beramal maka telah termasuki (tercoreng).( Al Fawaid 86) Maksud “telah termasuki” dari perkataan Ibnul Qoyyim yaitu telah termasuki sesuatu; baik riya, tujuan duniawi, atau yang semisalnya, maka ilmu tersebut tidak akan bermanfaat dan tidak akan diberkahi. Oleh karena itu, niat yang baik merupakan perkara yang harus, baik dalam mempelajari akidah ataupun ilmu agama yang lain secara umum. Jika seseorang mempelajari ilmu akidah hendaknya dia tidak mempelajarinya sekadar menambah telaah dan memperbanyak wawasan, tetapi hendaknya karena akidah merupakan bagian dari agama Allah yang diperintahkan Allah kepada para
hamba-Nya, serta menyeru mereka kepada-Nya dan menciptakan mereka
karena akidah dan dalam rangka merealisasikannya. Maka hendaknya ia berijtihad (berusaha keras) untuk memahami dalil-dalilnya dan ber- taqarrub kepada Allah dengan mengimaninya dan menanamkannya dalam hatinya. Jika dia mempelajari akidah dengan niat seperti ini maka akan memberikan buah yang sangat besar, dan akan memengaruhinya dalam perbaikan sikap, amal, dan akhlak dalam seluruh kehidupannya. Jika seseorang mempelajari akidah hanya untuk jidal dan perdebatan, dengan tanpa memerhatikan sisi penyucian jiwa dengan keimanan, keyakinan, serta rasa tenang dengan akidah tersebut, maka tidak akan membuahkan hasil apa-apa. Di antara contoh tentang perkara ini -- yang berkaitan dengan iman kepada melihat Allah di akhirat kelak -- sabda Nabi saw: ْﻢُﻜَّﻧِﺇ َﻥْﻭَﺮَﺘَﺳ ْﻢُﻜَّﺑَﺭ َﻡْﻮَﻳ ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟﺍ ﺎَﻤَﻛ َﻥْﻭَﺮَﺗ َﺮَﻤَﻘْﻟﺍ ، َﻻ َﻥﻮُﻣﺎَﻀُﺗ ـ ﻲﻓﻭ ﺔﻳﺍﻭﺭ : ” ﻻ ﻥﻭُّﺭﺎﻀُﺗ ،” ﻲﻓﻭ ﺔﻳﺍﻭﺭ : ” ﻻ ﻥﻮُّﻣﺎَﻀُﺗ ـ” ﻲﻓ ﻪﺘﻳﺅﺭ ، ِﻥِﺈَﻓ ْﻢُﺘْﻌَﻄَﺘْﺳﺍ َّﻻَﺃ ﺍْﻮُﺒَﻠْﻐُﺗ ﻰَﻠَﻋ ٍﺓَﻼَﺻ َﻞْﺒَﻗ ِﻉْﻮُﻠُﻃ ِﺲْﻤَّﺸﻟﺍ َﻞْﺒَﻗّﻭ ﺎَﻬِﺑْﻭُﺮُﻏ ﺍﻮُﻠَﻌْﻓﺎَﻓ ، َّﻢُﺛ َﺃَﺮَﻗ : ِﺲْﻤَّﺸﻟﺍ ِﻉﻮُﻠُﻃ َﻞْﺒَﻗ َﻚِّﺑَﺭ ِﺪْﻤَﺤِﺑ ْﺢِّﺒَﺳَﻭ ِﺏﻭُﺮُﻐْﻟﺍ َﻞْﺒَﻗَﻭ Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian pada hari kiamat sebagaimana kalian melihat bulan. Kalian tidak akan tertutupi oleh awan, (dalam riwayat yang lain: kalian tidak akan saling mencelakakan; dalam riwayat yang lain: kalian tidak akan saling berdesak-desakan), maka jika kalian mampu melaksanakan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam matahari maka lakukanlah. ” Kemudian Nabi membaca firman Allah: ْﺢِّﺒَﺳَﻭ ِﺪْﻤَﺤِﺑ َﻚِّﺑَﺭ َﻞْﺒَﻗ ِﻉﻮُﻠُﻃ ِﺲْﻤَّﺸﻟﺍ َﻞْﺒَﻗَﻭ ِﺏﻭُﺮُﻐْﻟﺍ Dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya). (Q.S. Qaf: 39 ) Maksud Nabi adalah shalat Shubuh dan shalat Asar. Perhatikanlah keterkaitan antara akidah dan amal. Nabi menyebutkan kepada para sahabat perkara akidah, yaitu beriman kepada melihat Allah. Lalu Nabi menyebutkan kepada mereka tentang amal yang merupakan buah dari akidah yang benar, maka Nabi berkata kepada mereka: “Jika kalian mampu untuk tidak terluputkan….” Jika ada seseorang mempelajari hadits-hadits tentang iman kepada melihat Allah, lantas meneliti jalan hadits serta sanad-sanadnya, lalu dia mendebat para ahlul kalam dan membantah syubhat-syubhat seputar hal ini, kemudian ternyata dia begadang dan akhirnya meninggalkan shalat Shubuh, bisa jadi shalat Shubuh tersebut tidak ada nilainya di sisi-Nya. Sang muadzin telah mengumandangkan adzan untuk shalat, “As-Shalatu khairun minan naum,” (Shalat itu lebih baik dari pada tidur) namun kondisinya menunjukkan seakan-akan dia berkata, “Tidur lebih baik daripada shalat.” Maka, mana pengaruh akidah pada sikapnya? Kita mohon kepada Allah keselamatan. Orang seperti ini perlu memperbaiki niat dan tujuannya dalam mempelajari akidah agar bisa membuahkan hasil yang diharapkan, maka terwujudkanlah pengaruh yang baik yang barakah baginya. Seorang muslim semestinya mempelajari akidah karena itu adalah akidah dan agamanya yang Allah telah memerintahkan dia untuk mengamalkannya. Dan hendaknya dia
bersungguh-sungguh agar ilmu akidahnya tersebut bisa memberi pengaruh pada diri, ibadah, dan taqarrub-nya kepada Allah.” (Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Akidah, Al-Hafizh Abdul Ghaniy Al- Maqdisi; hal 21-22) Marilah kita bercermin dan menginstropeksi diri kita, apakah dengan semakin bertambahnya ilmu kita demikian juga bertambah amalan kita? Ataukah bertambahnya ilmu justru membuat kita semakin malas dalam beramal? Bukankah kita masih ingat, di awal-awal mengenal pengajian, semangat kita begitu besar dalam menjalankan sunah-sunah Nabi, akan tetapi kenapa ada sebagian dari kita dengan semakin bertambahnya ilmu justru semakin sedikit beramal? Bahkan, ada pula sebagian kita setelah mengetahui beberapa amalan hukumnya sunah (mustahab) dan tidak wajib, malah terdorong untuk meninggalkan amalan tersebut. Bertambahnya ilmu justru mengantarkannya untuk meninggalkan amalan. Bukankah bisa jadi karena terbiasa meninggalkan amalan-amalan sunah akhirnya perkara-perkara yang wajib pun bisa ditinggalkan? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah berkata: ﺍَﺫِﺇَﻭ َّﺮَﺻَﺃ ﻰَﻠَﻋ ِﻙْﺮَﺗ ﺎَﻣ َﺮِﻣُﺃ ِﻪِﺑ ْﻦِﻣ ِﺔَّﻨُّﺴﻟﺍ ِﻞْﻌِﻓَﻭ ﺎَﻣ َﻲِﻬُﻧ ُﻪْﻨَﻋ ْﺪَﻘَﻓ ُﺐَﻗﺎَﻌُﻳ ِﺐْﻠَﺴِﺑ ِﻞْﻌِﻓ ِﺕﺎَﺒِﺟﺍَﻮْﻟﺍ ﻰَّﺘَﺣ ْﺪَﻗ ُﺮﻴِﺼَﻳ ﺎًﻘِﺳﺎَﻓ ْﻭَﺃ ﺎًﻴِﻋﺍَﺩ ﻰَﻟﺇ ٍﺔَﻋْﺪِﺑ “Seseorang jika terus meninggalkan sunah yang diperintahkan dan melakukan perkara yang terlarang maka bisa jadi dia dihukum (oleh Allah) dengan meninggalkan hal-hal yang wajib, hingga akhirnya bisa jadi ia menjadi orang fasik atau orang yang menyeru kepada bid’ah.” (Majmu’ Al-Fatawa 22/306) Marilah kita cek hati dan ketakwaan kita, apakah dengan bertambah ilmu setelah sekian tahun ikut pengajian, maka ketakwaan dan keimanan kita semakin berkobar, ataukah malah semakin kendor? Jika ternyata kita semakin malas beramal dan semakin lemah iman kita maka ingatlah nasihat Syaikh Abdurrozzaq tadi bahwasanya niat kita selama ini ternyata terkontaminasi dan ternodai dengan penyakit-penyakit hati; baik riya, ujub,
atau tujuan-tujuan duniawi lainnya. Allahul musta’an. Ilmu adalah Pohon, dan Amal adalah Buahnya Para pembaca yang budiman, tahukah
Anda bahwa ilmu bukanlah ibadah yang independen? Ilmu hanya disebut
ibadah dan terpuji apabila ilmu tersebut membuahkan amalan. Jika ilmu tidak membuahkan amal maka jadilah tercela dan akan menyerang pemiliknya. Hal ini dijelaskan dengan tegas oleh Al-Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya yang luar biasa Al- Muwafaqat. Beliau berkata: َّﻥَﺃ َّﻞُﻛ ٍﻢْﻠِﻋ ﻻ ﺪﻴﻔُﻳ ؛ًﻼَﻤَﻋ َﺲْﻴَﻠَﻓ ﻲِﻓ ِﻉﺮَّﺸﻟﺍ ﻪِﻧﺎَﺴﺤِﺘﺳﺍ ﻰَﻠَﻋ ُّﻝُﺪَﻳ ﺎَﻣ “Semua ilmu yang tidak membuahkan amal maka tidak dalam syariat satu dalil pun yang menunjukkan akan baiknya ilmu tersebut.” (Al-Muwafaqat 1/74) Oleh karena itu, semua dalil yang berkaitan dengan keutamaan ilmu dan penuntut ilmu semuanya harus dibawakan kepada ilmu yang disertai dengan amal. Firman Allah: ْﻞُﻗ ْﻞَﻫ ﻱِﻮَﺘْﺴَﻳ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َﻥﻮُﻤَﻠْﻌَﻳ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍَﻭ ﻻ ِﺏﺎَﺒْﻟﻷﺍ ﻮُﻟﻭُﺃ ُﺮَّﻛَﺬَﺘَﻳ ﺎَﻤَّﻧِﺇ َﻥﻮُﻤَﻠْﻌَﻳ ) ٩ ) “Katakanlah: ‘Adakah sama orang- orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal- lah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az-Zumar: 9) َﺪِﻬَﺷ ُﻪَّﻠﻟﺍ ُﻪَّﻧَﺃ ﻻ َﻪَﻟِﺇ ﻻِﺇ َﻮُﻫ ُﺔَﻜِﺋﻼَﻤْﻟﺍَﻭ ﻮُﻟﻭُﺃَﻭ ِﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ﺎًﻤِﺋﺎَﻗ ِﻂْﺴِﻘْﻟﺎِﺑ ﻻ َﻪَﻟِﺇ ﻻِﺇ َﻮُﻫ ُﺰﻳِﺰَﻌْﻟﺍ ُﻢﻴِﻜَﺤْﻟﺍ ) ١٨ ) Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang- orang yang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu), tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Q.S. Ali Imran: 18)ِﻊَﻓْﺮَﻳ ُﻪَّﻠﻟﺍ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ ْﻢُﻜْﻨِﻣ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍَﻭ ﺍﻮُﺗﻭُﺃ ٍﺕﺎَﺟَﺭَﺩ َﻢْﻠِﻌْﻟﺍ Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Q.S. Al-Mujadalah: 11) Demikian juga semisal hadits Nabi saw.: ِﻦْﻳِّﺪﻟﺍ ﻲِﻓ ُﻪْﻬِّﻘَﻔُﻳ ﺍًﺮﻴﺧ ﻪﺑ ُﻪﻠﻟﺍ ِﺩِﺮُﻳ ﻦﻣ Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan membuat dia faqih (paham) tentang ilmu agama. Maksudnya adalah orang yang dikendaki kebaikan oleh Allah adalah orang yang diberi ilmu dan mengamalkan ilmunya. Adapun orang
yang berilmu dan tidak mengamalkan ilmu maka tercela, karena jelas ilmunya akan menjadi bumerang baginya. Asy-Syathibi rahimahullah membawakan banyak dalil yang menunjukkan akan hal itu. Beliau berkata: “Sesungguhnya ruh ilmu adalah amal. Jika ada ilmu tanpa amal maka ilmu tersebut kosong dan tidak bermanfaat. Allah telah berfirman: ُﺀﺎَﻤَﻠُﻌْﻟﺍ ِﻩِﺩﺎَﺒِﻋ ْﻦِﻣ َﻪَّﻠﻟﺍ ﻰَﺸْﺨَﻳ ﺎَﻤَّﻧِﺇ Sesungguhnya yang takut kepada Allah adalah para ulama. (Q.S. Fathir: 28) Dan Allah juga berfirman: ُﻩﺎَﻨْﻤَّﻠَﻋ ﺎَﻤِﻟ ٍﻢْﻠِﻋ ﻭُﺬَﻟ ُﻪَّﻧِﺇَﻭ Dan Sesungguhnya Dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. (Q.S. Yusuf: 68) Qatadah berkata: “Maksudnya adalah ﻭُﺬَﻟ ٍﻞَﻤَﻋ ﺎَﻤِﺑ ﺎَﻨْﻤَّﻠَﻋ dia mengamalkan ilmu yang Kami ajarkan kepadanya…” (Al-Muwafaqat 1/75). Dan yang paling menunjukkan akan hal ini adalah hadits Nabi saw: َﻻ ُﻝْﻭُﺰَﺗ ﺎَﻣَﺪَﻗ ِﺪْﺒَﻌْﻟﺍ َﻡْﻮَﻳ ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟﺍ َّﻰﺘَﺣ َﻝَﺄﺴُﻳ ٍﻝﺎَﺼِﺧ ِﺲْﻤَﺧ ْﻦَﻋ”، “Tidak akan bergerak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ditanya tentang lima perkara.” Di antara lima perkara tersebut yang disebutkan oleh Nabi saw.: ْﻦَﻋﻭ ِﻪِﻤْﻠِﻋ , ﺍَﺫﺎَﻣ َﻞِﻤَﻋ ؟ِﻪﻴِﻓ “ Dia akan ditanyakan tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan dari ilmunya?” Pernah ada seseorang yang bertanya (masalah agama) kepada Abu Ad- Darda’, maka Abu Ad-Darda’ berkata kepadanya: “Apakah semua masalah agama yang kau tanyakan kau amalkan?” Orang itu menjawab: “Tidak.” Maka Abu Ad-Darda’ menimpalinya: “Apa yang engkau lakukan dengan menambah hujjah yang akan menjadi bumerang bagimu?” (Al-Muwaafaqaat 1/82 sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil-Bar dalam Al-Jami ’ no 1232). Oleh karena itu, sungguh indah kesimpulan yang disampaikan oleh Asy-Syathibi dalam perkataannya: “Dan dalil akan hal ini (bahwasanya ilmu hanyalah wasilah untuk amal dan bukan tujuan) terlalu banyak. Semuanya memperkuat bahwa ilmu merupakan sebuah wasilah (sarana) dan bukan tujuan langsung jika ditinjau dari kacamata syariat. Akan tetapi, ilmu hanyalah wasilah untuk beramal. Maka semua dalil yang menunjukkan akan keutamaan ilmu hanyalah berlaku bagi ilmu yang disertai dengan amalan. Dan kesimpulannya bahwasanya seluruh ilmu syar’i tidaklah dituntut (dalam syariat) kecuali dari sisi sebagai sarana
untuk mencapai sesuatu yaitu amal.” (Al-Muwafaqat 1/83-85) Sungguh indah wasiat Al-Khathib al- Baghdadi kepada para penuntut ilmu: ﻲِﻓ ِﺔَّﻴِّﻨﻟﺍ ِﺹﺎَﻠْﺧِﺈِﺑ ِﻢْﻠِﻌْﻟﺍ َﺐِﻟﺎَﻃ ﺎَﻳ َﻚﻴِﺻﻮُﻣ ﻲِّﻧِﺇ ِﻪِﺒَﻠَﻃ ، ِﺩﺎَﻬْﺟِﺇَﻭ ِﺲْﻔَّﻨﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ ِﻞَﻤَﻌْﻟﺍ ِﻪِﺒَﺟﻮُﻤِﺑ ، َّﻥِﺈَﻓ َﻢْﻠِﻌْﻟﺍ َﻞَﻤَﻌْﻟﺍَﻭ ٌﺓَﺮَﺠَﺷ ٌﺓَﺮَﻤَﺛ ، ُّﺪَﻌُﻳ َﺲْﻴَﻟَﻭ ﺎًﻤِﻟﺎَﻋ ْﻢَﻟ ْﻦَﻣ ِﻪِﻤْﻠِﻌِﺑ ْﻦُﻜَﻳ ﺎًﻠِﻣﺎَﻋ ، ... ٌﺀْﻲَﺷ ﺎَﻣَﻭ ُﻒَﻌْﺿَﺃ ْﻦِﻣ ٍﻢِﻟﺎَﻋ َﻙَﺮَﺗ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ ُﻪَﻤْﻠِﻋ ِﺩﺎَﺴَﻔِﻟ ِﻪِﺘَﻘﻳِﺮَﻃ ، ْﻢِﻫِﺮَﻈَﻨِﻟ ِﻪِﻠْﻬَﺠِﺑ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﺬَﺧَﺃ ٍﻞِﻫﺎَﺟَﻭ ِﻪِﺗَﺩﺎَﺒِﻋ ﻰَﻟِﺇ ... ُﻢْﻠِﻌْﻟﺍَﻭ ُﺩﺍَﺮُﻳ ِﻞَﻤَﻌْﻠِﻟ ﺎَﻤَﻛ ُﻞَﻤَﻌْﻟﺍ ُﺩﺍَﺮُﻳ ِﺓﺎَﺠَّﻨﻠِﻟ ، ِﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ِﻦَﻋ ﺍًﺮِﺻﺎَﻗ ُﻞَﻤَﻌْﻟﺍ َﻥﺎَﻛ ﺍَﺫِﺈَﻓ ، ُﻢْﻠِﻌْﻟﺍ َﻥﺎَﻛ ﺎًّﻠَﻛ ﻰَﻠَﻋ ِﻢِﻟﺎَﻌْﻟﺍ ، ُﺫﻮُﻌَﻧَﻭ ِﻪَّﻠﻟﺎِﺑ ْﻦِﻣ ٍﻢْﻠِﻋ َﺩﺎَﻋ ﺎًّﻠَﻛ ، َﺙَﺭْﻭَﺃَﻭ ﺎًّﻟُﺫ ، َﺭﺎَﺻَﻭ ﻲِﻓ ِﺔَﺒَﻗَﺭ ِﻪِﺒِﺣﺎَﺻ ﺎًّﻠَﻏ ، َﻝﺎَﻗ ُﺾْﻌَﺑ ِﺀﺎَﻤَﻜُﺤْﻟﺍ : ُﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ُﻡِﺩﺎَﺧ ِﻞَﻤَﻌْﻟﺍ ، ِﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ُﺔَﻳﺎَﻏ ُﻞَﻤَﻌْﻟﺍَﻭ Aku memberi wasiat kepadamu wahai penuntut ilmu untuk mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu dan berusaha keras untuk mengamalkan konsekuensi ilmu. Sesungguhnya ilmu
adalah pohon dan amal adalah buahnya. Seseorang tidak akan dianggap alim bila tidak mengamalkan ilmunya. Tidak ada yang lebih lemah dari kondisi seorang alim yang ditinggalkan ilmunya oleh masyarakat karena jalannya (yang kosong dari amal) dan seorang yang jahil yang diikuti kejahilannya oleh masyarakat karena melihat ibadahnya.” Tujuan ilmu adalah amal, sebagaimana
tujuan amal adalah keselamatan. Jika ilmu kosong dari amal maka ilmu itu akan menjadi beban (bumerang) bagi pemiliknya. Kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang menjadi beban (bumerang) dan mendatangkan kehinaan, dan akhirnya menjadi belenggu di leher pemiliknya. Sebagian ahli bijak berkata, “Ilmu adalah pembantu bagi amal, dan amal adalah puncak dari ilmu.” (Iqtidhaul Ilmi Al-’Amal 14-15) Semangat Beramal Mengalahkan Kelelahan dan Kelemahan Syaikh Abdurrozaq bercerita, “Suatu ketika aku pernah shalat Tarawih di Masjid Nabawi. Dulu, setiap malam bulan Ramadhan, para imam Masjid Nabawi membaca tiga juz dari Al- Quran dangan bacaan tartil. Berbeda dengan sekarang di mana para imam hanya membaca satu juz. Ketika itu, aku shalat dan ternyata di hadapanku ada seorang dari Indonesia yang juga ikut shalat malam. Yang menarik perhatianku, ternyata orang tersebut kakinya buntung satu. Tatkala berdiri dia hanya bertopang pada satu kakinya. Sungguh menakjubkan, kita yang memiliki dua kaki merasa kelelahan menunggu imam menyelesaikan bacaan tiga juz dalam sepuluh rakaat, sementara orang Indonesia ini meskipun hanya bertopang pada satu kaki tetapi semangatnya yang begitu luar biasa; sama sekali tidak bergeming selama shalat, tidak terjatuh atau tertatih-tatih.
Keimanan yang luar bisa yang menjadikannya kuat untuk bertahan berjam-jam melaksanakan shalat Tarawih.” Kisah yang luar biasa ini beberapa kali saya dengar dari Syaikh tatkala memotivasi murid-muridnya untuk semangat beramal. Timbul kebanggaan dalam diri saya mengetahui orang yang beliau contohkan itu berasal dari Indonesia, namun sekaligus timbul rasa malu dalam diri saya, mengapa saya tidak semangat beribadah seperti orang yang buntung tersebut? Manhaj Nabi??!! Suatu ketika saat Syaikh mengisi pengajian, ada orang yang bertanya kepada beliau, “Ya Syaikh, bagaimanakah manhaj Nabi?” Pertanyaan ini unik karena diajukan saat santer-santernya fitnah tahdzir- mentahdzir di Arab Saudi, dan orang tersebut tentunya berniat baik ingin mengetahui bagaimanakah manhaj yang benar sehingga ia bisa berada di atas manhaj yang lurus sehingga selamat di tengah badai tahdzir dan fitnah. Namun, apa jawaban Syaikh? Beliau berkata, “Manhaj Nabi sudah jelas dan diketahui. Nabi bangun tengah malam lantas shalat malam. Menjelang shubuh beliau bersahur, lalu beristighfar menunggu shubuh. Kemudian beliau shalat Shubuh berjamaah. Setelah itu beliau duduk di masjid, berdzikir hingga waktu syuruq, lalu shalat dua rakaat. Jika tiba
waktu dhuha beliau shalat Dhuha, dan
seterusnya. Beliau bersedekah, mengunjungi orang sakit, membantu orang yang kesusahan, menjamu tamu… dan seterusnya. Manhaj beliau ma’ruf.” Demikian kira-kira jawaban beliau. Jawaban yang mengingatkan sebagian kita yang menyukai tahdzir- mentahdzir agar jangan lupa beramal. Jangan sampai kita yang mengaku di atas manhaj yang benar dan memberikan porsi yang besar terhadap manhaj, lantas lalai dari beramal shalih. Jangan sampai kita yang semangat mentahdzir kesalahan orang lain, ternyata orang yang kita tahdzir tersebut lebih perhatian terhadap amal daripada kita. Saya teringat nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap orang yang suka mentahdzir
tapi kurang suka beramal, sementara orang yang ditahdzir justru lebih semangat dalam beramal. Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan banyak orang-orang yang mengingkari bid’ah-bid’ah ibadah dan adat, engkau dapati mereka muqashir (kurang) dalam mengerjakan sunah- sunah dari hal yang berkaitan dengan ibadah, atau dalam ber-amar makruf, menyeru manusia untuk mengerjakan sunah-sunah tersebut (yang berkaitan dengan ibadah). Dan, mungkin saja keadaan mereka, yang mengingkari bid’ah namun tidak mengerjakan banyak sunah Nabi, justru lebih buruk dari keadaan orang yang melakukan ibadah yang bercampur dengan suatu kemakruhan (Maksud ibnu Taimiyyah dengan kemakruhan di sini adalah kebid’ahan sebagaimana sangat jelas dalam penjelasan beliau sebelumnya- pen). Bahkan, agama itu adalah amar makruf dan nahi mungkar, dan tidak bisa tegak salah satu dari keduanya kecuali jika bersama dengan yang lainnya. Maka tidaklah dilarang suatu kemungkaran kecuali diperintahkan suatu kemakrufan.” (Iqtidho’ As- Shirootil Mustaqiim II/126.) Madinah, 19 04 1432 H / 24 03 2011 M Abu Abdilmuhsin Firanda www.firanda.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar