oleh: Dede Rahmat Al atsary
alhamdulillah. Akhirnya artikel mengenai jamah tabligh dapat ana terbitkan di blog ana. Artikel ini merupakan catatan yang di buat oleh seorang mantan tablighy yg skarang brmanhaj salaf. Insya Allah. Smoga artikel ini brmanfaat.
Jama'ah tabligh,sebuah firqoh yg tdk
asing lg ditengah2 mobilisasi ragam
gerakan dakwah yg ada pd zaman ini.
Jamaah yg dipelopori oleh si sufi tulen
sesat M.Ilyas,yg lahir dan berkembang
dari negri anak benua asia india yg semerbak dgn quburiyyun,
tasawuf,ahmadiyyah,dan seonggok
firqoh2 juhala lainnya atas dasar
wangsit alias mimpi jebakan syaitan,
unk menggiring manusia kpd methode
dakwah " al khuruj" mereka...ciri khas mereka adl mengadakan rihlah atau
khuruj versi mereka dlm batasan2
waktu mereka,dr satu masjid ke masjid
lain,dr satu negri ke negri
lainnya,lengkap dng
jenggot,gamis,syirwal,surban khas sufi yg dililit besar diatas kepala,dan
peralatan hdup mereka selama
khuruj.ketahuilah,saya yg telah
bersama dgn jama'ah ini selama
kurang lebih 3 tahun,menjadi nyata bg
ana akan kedunguan dan kesesatan yg mengkuadrat yg ada pd kelompok
sempalan ini.integrasi amalan mereka
dikotori oleh keyakinan dan tradisi
shufiyyah yg kental dgn borok2 yg
merupakan musibah atas umat
ini..mereka sangat ektrim dalam memvonis org diluar kelompok mrk
bahkan tampak pd mereka tabiat
taqiyyah yg digurui oleh
rafidhah.sudan banyak tulisan2 dr para
ulama dan alim ummat ini yg
menasihatkan mereka agar meninggalkan cra dakwah mereka dan
mencicipi nikmat sunnah dng masuk
kpd keharibaan manhaj salafi,namun
itu hanya angin lalu bg
mereka.beginilah sikap mereka thdp
ulama diluar mereka.jama'ah tabligh,mereka adl pendusta dan
penipu dlm setiap perkataan
mereka.mereka menyatakan bhwa"
barangsiapa yg mencoba menanya
nanyai dalil dakwah ini,maka mereka
adl Kafir!!",perkataan kufur yg sngt keji lg jahat yg muncrat dr lisan petinggi
mereka...
Mereka adl juhala kuadrat yg berjalan
diatas muka bumi yg mengangkut
kitab2 pujaan mereka fadhail
amal,fadha'il sedekah,hayatus shahabah,dan referensi2 sesat lainnya
layaknya keledai dungu xg tak punya
malu, kitab2 mereka ini dilumuri oleh
penyembelihan terhadap kesucian
sunnah dimana didalamnya menyebar
merata prinsip2 sufi, dan hadits2 dhaif nan palsu,serta tafsir2 yg nyeleneh
banget..didalamnya diperkaya dgn
ujaran khurafat dan dongeng2
aneh,serta tips ritual sesat diantaranya
menghdupkan yasinan,dzikir
jama'i,menggunakan tasbih,dan aneka accesories ibadah yg tdk ada hujjahnya
dlm ajaran Muhammad ibn Abdillah
sholallahu'alaihi wassalam..mereka
memiliki watak yg kotor dan ambisi
serta arogansi yg mengerikan
sehingga ana pernah mendgr mereka mengatakan bhw" barangsiapa yg tdk
nishab bulanan[yakni keluar 3 hari dlm
sebulan] maka sama dng ia menzinahi
ibunya",na'udzubillah..sungguh
ancaman2 mereka sangat terlalu dan
ini biasa ada pada watak mereka.mereka yg bodoh,dan
menjauhi majelis ilmu,membenci
ulama2 sunnah,membenci kitab2
sunnah,dan sangat ghuluw dalam
beribadah..orang2 mereka adl aneka
latar belakang dr preman hingga ulama ba'iat mereka..mereka berubah sesuai
tmpt mereka berada,mereka berwarna
dng ragam corak,dan mereka
menuhankan ulama2 mereka dng
sangat terlalu.mereka membenci
dakwah salafiyyah bhkan mereka memberi akronim dr salafi sbg"salah
fikir" dan menunjukkan permusuhan
yg dalam terhadap dakwah
salafiyyah.mereka mengajak tdk diatas
ilmu melainkan diats fanatisme yg
berbhya.mereka dipenuhi dng keyakinan2 yg sesat,yg extrim,yg
mengerikan.mereka mencela syaikhul
islam ibn Taymiyyah dam ulama2
muwahidun salafiyyun..mereka
menganggap dri sbg org yg paling
nyunnah,dan sok alim.mereka jahat dan luar biasa dalam kesesatan
mereka.bg antum semua,jauhilah
jama,ah ini,ajaklah mereka kpd islam
yg benar,debat lah mereka dng sunnah
shohihah sbb mereka amat sngt
mengandalkan ekspresi logika yg bathil,ra'yu2 yg ajaib,ibarat2 yg
rancu,serta qiyas2 gaya iblis.kata
syaikh al albani, mereka adl sufi gaya
modern alias SGM.mereka
juhala,juhala,juhala,pendusta,dan
pengkhianat thd rosulullah.mereka jauh dr sunnah yg benar.mereka
mencomot ilmu dari lisan karkun ke
karkun sehingga ilmu mereka tidak
berasal dari al qur'an was sunnah
melainkan transfer dari mulut mulut
aktivis nya yang juhala sedungu keledai.....wallohu 'alam
menebar dakwah sunnah salafiyah. dengan berpegang teguh kepada alqur'an dan as-sunnah diatas pemahaman sahabat dan ummat yang setia mengikuti mereka.
Kamis, 30 Juni 2011
Senin, 13 Juni 2011
hukum Sutroh
Pertanyaan : Ustadz apakah benar bahwasanya para ulama telah berijmak bahwa sutroh hukumnya sunnah dan tidak wajib? Mohon penjelasannya.
Jawab :
Alhamdulillah, semoga salawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah dan para sahabatnya.
Telah terjadi dialog yang cukup hangat dan menarik antara dua saudara dan sahabat saya yang mulia tentang permasalahan ini –semoga Allah menambah ilmu mereka dan memberi taufiq kepada mereka berdua- (lihat http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/10/apa-hukum-sutrah-dalam-shalat.html). Inilah yang mendorong saya untuk menulis tentang permasalahan ini. Semoga bisa menjadi masukan bagi kedua saudara saya tersebut, dan semoga mereka berdua juga bisa memberi masukan bagi saya baarokallahu fiihimaa.
Para pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui bersama bahwa ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam, bahkan pendalilan dengan ijmak lebih didahulukan (yiatu tentu jika ijmak tersebut bersandar kepada dalil kitab atau sunnah) daripada pendalilan hanya dengan sekedar Al-Qur'an dan As-Sunnah. Karena jika telah terbukti adanya suatu ijmak maka akan memutuskan perdebatan dan perselisihan.
Ibnu Hazm berkata,
إِذَا صَحَّ الإِجْمَاعُ فَقَدْ بَطَلَ الخِلاَفُ، ولا يَبْطُلُ ذلك الإجماعُ أبداً
"Jika telah sah suatu ijmak maka telah batal khilaf (perselisihan), dan tidak terbatalkan ijmak tersebut selamanya (dengan muncul khilaf setelah itu -pent)" (Marootibul Ijmaa' hal 27)
Beliau juga berkata,
ومن شرط الإجماع الصحيح أن يكفَّر من خالفه بلا خلاف بين أحد من المسلمين في ذلك
"Dan diantara syarat Ijmak yang sah adalah dikafirkannya orang yang menyelisihi ijmak tersebut, tidak ada khilaf di antara kaum muslimin dalam hal ini" (Marootibul Ijmak 27)
Ibnu Taimiyyah berkata
ولهذا يجب عليهم تقديم الإجماع على ما يظنونه من معانى الكتاب والسنة
Oleh karenya wajib bagi mereka untuk mendahulukan ijmak dari pada apa yang mereka persangkakan berupa makna-makna dari Al-Kitab dan As-Sunnah (Majmuu' Al-Fataawa 22/368)
Oleh karenanya sebagian Ahlul Bid'ah berusaha untuk menolak Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan ijmak yang batil, sebagaimana dilakukan oleh Bisyr Al-Mirrisiy salah seorang gembong Jahmiyyah.
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah, "Dan tatkala tumbuh metode seperti ini maka lahirlah darinya penolakan nash-nash (dalil-dalil) dengan ijmak yang majhul, dan terbukalah pintu untuk mendakwahkan adanya ijmak. Maka jadilah orang dari kalangan para tukang taqlid yang tidak mengetahui adanya khilaf jika didebat dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah maka ia akan berkata, "Ini bertentangan dengan Ijmak".
Hal inilah (penolakan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan dalil ijmak yang majhul-pent) yang telah diingkari oleh para imam Islam, dan mereka mencela dari segala sisi terhadap orang yang melakukannya. Mereka mendustakan orang yang mendakwahkan ijmak yang majhul ini. Imam Ahmad berkata –sebagaimana diriwayatkan oleh putranya Abdullah bin Ahmad-,
من ادَّعَى الْإِجْمَاعَ فَهُوَ كَاذِبٌ لَعَلَّ الناس اخْتَلَفُوا هذه دَعْوَى بِشْرٍ الْمَرِيسِيِّ وَالْأَصَمِّ وَلَكِنْ يقول لَا نَعْلَمُ الناس اخْتَلَفُوا أو لم يَبْلُغْنَا
Barangsiapa yang menyatakan ijmak maka dia adalah pendusta, mungkin saja orang-orang berselisih. Ini adalah metode Bisyr Al-Marrisiy dan Al-Asom, akan tetapi (hendaknya) berkata : "Kami tidak tahu kalau ada perselisihan diantara manusia", atau : "Tidak sampai kepada kami adanya perselisihan dalam permasalahan ini" (I'laamul Muwaqqi'iin 3/558-559)
Ibnu Taimiyyah berkata,
قال الإمام أحمد: "من ادعى الإجماع فهو كاذب. فإنما هذه دعوى بشر وابن علية يريدون أن يبطلوا السنن بذلك". يعني الإمام أحمد أن المتكلمين في الفقه من أهل الكلام إذا ناظرتهم بالسنن والآثار، قالوا: "هذا خلاف الإجماع"
"Imam Ahmad berakta, Barangsiapa yang menyerukan ijmak maka ia adalah pendusta, ini hanyalah merupakan metodenya Bisyr Al-Mirriisiy dan Ibnu 'Ulaiyyah, mereka ingin membatalkan sunnah dengan dakwah ijmak tersebut. Maksud Imam Ahmad adalah para pembicara dalam permasalahan fiqh dari kalangan ahli filsafat jika engkau mendebat mereka dengan dalil sunnah dan atsar maka mereka akan berkata, "Ini menyelisihi ijmak" (Al-Fataawa Al-Kubroo 3/370)
Oleh karenanya seseorang hendaknya berhati-hati dalam menukil permasalahan ijmak. Bahkan jika ia menemukan ada seorang yang alim mendakwahkan ijmak maka hendaknya ia tetap berusaha mengecek akan kebenaran ijmak tersebut, kecuali jika yang menyerukan ijmak adalah banyak dari kalangan para ulama, dan mereka menyerukan ijmak dengan lafal yang shorih (lafal yang tegas).
Karena sebagian ulama tasaahul (mudah) dalam mengutarakan ijmak sebagaimana diingatkan oleh para ulama.
Apakah benar merupakan ijmak para ulama bahwa hukum sutroh bagi orang yang sholat adalah sunnah dan tidak wajib?
Sebagian orang memandang bahwa permasalahan sunnahnya sutroh merupkan permasalahan yang telah ijmak dikalangan para ulama. Mereka berdalil dengan penukilan ijmak dari dua ulama besar
Yang pertama : Perkataan Ibnu Rusyd Al-Hafiid dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, dimana ia berkata :
وَاتَّفَقَ العُلَمَاءُ بِأَجْمَعِهِمْ عَلَى اسْتِحْبَابِ السُّتْرَةِ بَيْنَ الْمُصَلِّي وَالْقِبْلَةِ إِذَا صَلَّى مُنْفَرِدًا كَانَ أَوْ إِمَامًا
"Dan para ulama –seluruhnya- telah berijmak akan istihbabnya (sunnahnya) sutroh untuk diletakan antara orang yang sholat dengan kiblat, baik jika sedang sholat sendirian atau tatkala menjadi imam" (Bidaayatul Mujtahid 1/82).
Demikian juga Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni berkata,
وَلاَ نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلاَفًا
"Dan kami tidak tahu ada khilaf (diantara ulama) tentang istihbabnya sutroh" (Al-Mughni 2/36)
Komentar terhadap Ijmak Ibnu Rusyd rahimahullah :
Adapun Ibnu Rusyd maka beliau –rahimahullah- dikenal termasuk para ulama yang tasaahul (mudah) dalam mendakwahkan ijmak. Diantara para ulama yang mudah mengutarakan ijmak adalah :
- Ibnu Jarir At-Tobari (lihat penjelasan as-Syinqiithy dalam Mudzakkiroh Ushuul Fiqh hal 274)
- Ibnu Abdil Barr, beliau sering mengutarakan ijmak namun ternyata banyak yang tidak benar, bahkan khilaf yang terjadi sangat masyhuur (lihat kitab Ijmaa'aat Ibni Abdil Barr fil 'Ibaadaat, karya Abdullah bin Mubaarok Al-Buushi). Padalah Ibnu Abdil Barr sangat dikenal memiliki pengetahuan yang luas. Mudahnya beliau menukilkan ijmak karena beliau menganggap bahwa penyelisihan satu atau dua orang tidak merusak ijmak.
- Ibnu Rusyd (Al-Jad) sebagaimana hal ini diingatkan oleh para ulama Maliikyah
- Ibnu Rusyd Al-Hafiid (lihat risaalah 'ilmiyaah Magister dengan judul Ijmaa'aat Ibni Rusyd Al-Hafiid qismil 'Ibaadaat min khilaal kitaabihi Bidaayatul Mujtahid, karya Ibnu Faaizah Az-Zubair), dan diantara kesimpulan yang diambil oleh penulis bahwasanya penyelisihan satu atau dua orang 'alim tidak merusak ijmak (lihat hal 108)
Para ulama memandang ketiga ulama ini (yaitu Ibnu Jarir At-Thobari, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Rusyd) sebagai orang-orang yang tasahul (mudah) dalam menukil ijmak karena ketiga ulama ini memiliki madzhab yang sama dalam masalah ijmak. Yaitu mereka menganggap bahwa penyelisihan satu atau dua orang 'alim tidak mempengaruhi terjadinya ijmaak. Dan madzhab ini adalah madzhab sebagian ulama Malikiah. Adapun madzhab jumhur ulama maka ijmak yang seperti ini bukanlah ijma'.
Dari sini kita pahami bahwa ijmak yang diserukan oleh Ibnu Rusyd tidak bisa dijadikan hujjah karena madzhab beliau tentang masalah ijmak bukan madzhab jumhur ulama.
Komentar terhadap ijmak Ibnu Qudaamah rahimahullah
Komentar mengenai pernyataan Ibnu Qudamah dari beberapa sisi :
Pertama : Lafal yang digunakan oleh Ibnu Qudamah dalam masalah sutroh adalah lafal yang menunjukan nafyul khilaaf. Beliau berkata
وَلاَ نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلاَفًا
"Dan kami tidak tahu ada khilaf (diantara ulama) tentang istihbabnya sutroh" (Al-Mughni 2/36)
Para ulama telah menjelaskan bahwasanya lafal seperti ini merupakan lafal yang tidak shorih (tidak jelas dan tidak tegas) dalam penyebutan ijmak. Lafal seperti ini masih lebih lemah dari pada lafal أَجْمَعُوا (para ulama telah berijmak) dan juga lebih lemah dari perkataan اتَّفَقُوْا (para ulama telah bersepakat). Bahkan sebagian ulama seperti As-Soyrofi dan Ibnu hazm tidak menganggap lafal seperti ini merupakan ijmak.
Kedua : Perkataan Ibnu Qudamah mengandung dua kemungkinan:
- Kemungkinan pertama maksud beliau –rahimahullah- adalah kesepakatan para ulama bahwa hukumnya sunnah (tidak wajib)
- Kemungkinan kedua adalah maksud beliau –rahimahullah- adalah para ulama telah sepakat akan disyari'atkannya perkara tersebut, terlepas apakah perkara tersebut hukumnya wajib atau sunnah
Ada beberapa contoh yang berkaitan dengan kemungkinan ke dua :
Contoh pertama :
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni
مسألة قال ( ولو استأذن البكر البالغة والدها كان حسنا )
لا نعلم خلافا في استحباب استئذانها فإن النبي صلى الله عليه وسلم قد أمر به ونهى عن النكاح بدونه وَأَقَلُّ أحوال ذلك الاستحباب ولأن فيه تطييب قلبها وخُرُوْجًا مِنَ الْخِلاَفِ
Permasalahan : Berkata (Al-Khiroqi) : "Kalau seandainya sang ayah meminta izin putrinya yang telah baligh (untuk dinikahi oleh pelamar -pent) maka hal itu lebih baik"
(Berkata Ibnu Qudamah) : Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya meminta idzin kepada putri yang telah baligh, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamtelah memerintahkannya dan melarang pernikahan tanpa izin sang putri baligh. Dan paling ringan hukumnya adalah istihbab dan pada hal itu menyenangkan hati sang putri dan agar keluar dari khilaf" (Al-Mughni 7/33)
Perhatikan : perkataan Ibnu Qudaamah "Dan paling ringan hukumnya adalah istihbab" memberi isyarat akan adanya hukum yang lebih tinggi dari istihbab yaitu wajib. Dan perkataan beliau "agar keluar dari khilaf" menunjukan ada khilaf di kalangan para ulama tentang permasalahan ini.
Dan kenyataannya memang permasalahan ini bukanlah permasalahan yang disepakati oleh para ulama bahkan mashyur adanya khilaf diantara para ulama, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa meminta idzin kepada putri yang telah baligh (dewasa) untuk menikahkannya adalah wajib hukumnya. Bahkan pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang merupakan salah satu ulama madzhab Hanabilah sebagaiman Ibnu Qudaamah.
Ibnu Taimiyyah berkata :
الْمَرْأَةُ الْبَالِغُ لَا يُزَوِّجُهَا غَيْرُ الْأَبِ وَالْجَدِّ بِغَيْرِ إذْنِهَا بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ، بَلْ وَكَذَلِكَ لَا يُزَوِّجُهَا الْأَبُ إلَّا بِإِذْنِهَا فِي أَحَدِ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ، بَلْ فِي أَصَحِّهِمَا، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ، وَأَحْمَدَ فِي أَحَدِ الرِّوَايَتَيْنِ، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
Wanita yang baligh (dewasa) maka selain ayahnya dan selain kakeknya tidak boleh menikahkannya tanpa idzin sang wanita, hal ini dengan kesepakatan para imam. Bahkan demikian juga sang ayah tidak boleh menikahkannya kecuali dengan idzin sang wanita menurut salah satu dari dua pendapat para ulama, bahkan ini menurut pendapat yang terbenar diantara kedua pendapat, dan ini merupakan madzhab Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : Tidaklah dinikahkan wanita perawan sampai dimintai idzin…"(Al-Fataawaa Al-Kubroo 3/82)
Contoh kedua :
Ibnu Qudaamah berkata dalam Al-Mughni
مسألة قال ( ويقول عند الذبح بسم الله والله أكبر وإن نسي فلا يضره ) ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا ذبح قال بسم الله والله وأكبر وفي حديث أنس وسمى وكبر
وكذلك كان يقول ابن عمر وبه يقول أصحاب الرأي ولا نعلم في استحباب هذا خلافا
Permasalahan : Berkata (Al-Khiroqi) : (Dan dia tatakala menyembelih mengucapkan Bismillah wallahu Akbar, dan jika dia lupa maka tidak mengapa).
(Ibnu Qudamah berkata) : Telah sah bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika menyembelih maka beliau berkata : Bismillah wallahu Akbar. Pada hadits Anas (bin Malik) : Nabi menyebut nama Allah dan bertakbir.
Demikian juga Ibnu Umar ia mengucapkan demikian, dan ini merupakan pendapat Ashaab Ar-Ro'y, dan kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya hal ini..." (Al-Mughni 9/361)
Tentunya tidak diragukan lagi bahwa menyebut nama Allah tatkala menyembelih hukumnya adalah wajib dan bukan mustahab menurut jumhur ulama (diantaranya madzhab Hanabilah). Ibnu Taimiyyah berkata
وَالتَّسْمِيَةُ عَلَى الذَّبِيحَةِ مَشْرُوعَةٌ، لَكِنْ قِيلَ: هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ، كَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَقِيلَ: وَاجِبَةٌ مَعَ الْعَمْدِ، وَتَسْقُطُ مَعَ السَّهْوِ، كَقَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ
"Dan menyebut nama Allah tatkala menyembelih disyari'atkan, akan tetapi dikatakan hukumnya adalah mustahab sebagaimana perkataan As-Syafi'i, dan dikatakn (juga) hukumnya adalah wajib jika ingat dan jika lupa maka tidak wajib sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad" (Al-Fataawaa Al-Kubroo 5/69)
Contoh ketiga :
Ibnu Qudaamah berkata dalam Al-Mughni
ولا يجب أن يحضر الإمام ولا الشهود وبهذا قال الشافعي وابن المنذر وقال أبو حنيفة إن ثبت الحد ببينة فعليها الحضور والبداءة بالرجم وإن ثبت باعتراف وجب على الإمام الحضور والبداءة بالرجم ...ولأنه إذا لم تحضر البينة ولا الإمام كان ذلك شبهة والحد يسقط بالشبهات
قال أحمد سنة الاعتراف أن يرجم الإمام ثم الناس، ولا نعلم خلافا في استحباب ذلك
"Dan tidak wajib bagi imam maupun para saksi untuk menghadiri (hukum had) dan ini merupakan pendapat As-Syafi'i dan Ibnul Mundzir. Abu hanifah berkata, "Jika hukum had ditegakkan karena ada bukti (para saksi) maka wajib bagi para saksi untuk hadir dan mereka yang wajib memulai pelemparan rajam, dan jika hukum had tegak karena pengakuan maka wajib bagi imam untuk hadir dan dialah yang memulai pelemparan rajam… karena jika para saksi tidak hadir demikian juga imam tidak hadir maka hal ini merupakan syubhat dan hukum had menjadi gugur dengan adanya syubhat…
Imam Ahmad berkata : "Sunnahnya pengakuan adalah imam yang merajam kemudian diikuti oleh orang-orang". Dan kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya hal ini" (Al-Mughni 9/47)
Perhatikanlah para pembaca yang budiman, Ibnu Qudamah menyampaikan bahwasanya beliau tidak tahu adanya khilaf tentang istihbabnya hadirnya imam jika hukum had tegak karena adanya pengakuan. Padahal sebelumnya Ibnu Qudamah telah menukil pendapat Imam Abu Hanifah bahwasanya beliau mewajibkan imam untuk hadir (dan bukan sunnah) jika hukum had tegak karena adanya pengakuan. Dengan demikian maka maksud dari perkataan Ibnu Qudaamah "istihbaab" adalah "disyari'atkannya".
Dari tiga contoh diatas sangatlah jelas bahwasanyan perkataan Ibnu Qudaamah "Kami tidak mengetahui adanya khilaf akan istihbabnya hal ini" maksudnya adalah "Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang disyari'atkannya hal ini", bisa jadi hukumnya mustahab dan bisa jadi wajib sebagaimana pada tiga contoh diatas. Jika ternyada ada ihtimal (kemungkinan) yang kedua ini maka gugurlah pemahaman bahwa Ibnu Qudaamah mendakwahkan ijmak ulama bahwa sutroh hukmnya mustahab dan tidak wajib. Wallahu A'lam bis Showaab.
Ketiga : Buku-buku yang khusus mengumpulkan ijmak-ijmak para ulama seperti kitab Al-Ijmaa' karya Ibnul Mundziir dan juga Marootib Al-Ijmaa' karya Ibnu Hazm tidak menyebutkan adanya ijmak akan mustahabnya sutroh dan tidak wajib. Demikian halnya mayoritas ulama mu'aashirin (zaman sekarang) seperti Syaikh Al-'Utsaimiin, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al-Albani, Syaikh Al-Fauzaan, Al-Lajnah Ad-Daaimah tidak menukil ijmak tentang permasalahan ini. Hal ini menunjukan bahwa ijmak dalam masalah ini tidak valid dan tidak sah, paling banter ijmaknya tidak qoth'i tapi hanyalah dzhonniy
Berkata Muhammad Al-Amiin As-Syinqiithi,
واعلم أن بعض الأصوليين يقولون بتقديم الاجماع على النص ، لأن النص يحتمل النسخ والاجماع لا يحتمله ، ...ومرادهم بالاجماع الذي يقدم على النص خصوص الاجماع القطعي دون الاجماع الظني ، وضابط الاجماع القطعي هو الاجماع القولي ، لا السكوتي
"Ketahuilah bahwasanya sebagian ahli ushul berpendapat didahulukannya ijmak di atas nash karena nash ada kemungkinan telah mansuukh adapun ijmak tidak mungkin mansuukh…dan maksud mereka dengan ijmak yang didahulukan di atas nash adalah khusus ijmak qoth'iy bukan ijmak yang dzonniy. Dan definisi ijmak qoth'iy adalah ijmak qouliy (berupa pernyataan/perkataan-pent) dan bukan ijmak sukuutiy" (mudzakkiroh Ushuulil Fiqh hal 445)
Beliau juga berkata,
واعلم إن الإجماع الذي يذكر الأصوليون تقديمه على النص هو الاجماع القطعي خاصة وهو الاجماع القولي المشاهد أو المنقول بعدد التواتر ، أما غير القطعي من الاجماعات كالسكوتي والمنقول بالآحاد فلا يقدم على النص
"Ketahuilah bahwasanya ijmak yang disebutkan ohel para ahli ushuul didepankan dari pada nas adalah khusus ijmak qot'iy, yaitu ijmak qouliy yang dilihat atau dinukil dengan jumlah mutawatir, adapun ijmak-ijmak yang tidak qot'iy seperti ijmak sukuutiy atau ijmak yang dinukil dengan ahad maka tidak didahulukan di atas nash" (Mudzakkiroh Ushuul Fiqh hal 535)
Kesimpulan :
Permasalahan hukum sutroh bukanlah permasalahan yang ada ijmaknya, oleh karenanya ini merupakan permasalahn khilafiyah ijtihadiyah. Karenanya pentarjihan dalam masalah ini kembali pada pembahasan tentang permasalahan dalil. Maka pihak yang dalil dan hujjahnya lebih kuat maka itulah pendapat yang lebih rajih. Wallahu a'lamu bisshowaab.
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 07 Dzul Qo'dah 1431 H / 15 Oktober 2010 M
oleh:Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Jawab :
Alhamdulillah, semoga salawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah dan para sahabatnya.
Telah terjadi dialog yang cukup hangat dan menarik antara dua saudara dan sahabat saya yang mulia tentang permasalahan ini –semoga Allah menambah ilmu mereka dan memberi taufiq kepada mereka berdua- (lihat http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/10/apa-hukum-sutrah-dalam-shalat.html). Inilah yang mendorong saya untuk menulis tentang permasalahan ini. Semoga bisa menjadi masukan bagi kedua saudara saya tersebut, dan semoga mereka berdua juga bisa memberi masukan bagi saya baarokallahu fiihimaa.
Para pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui bersama bahwa ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam, bahkan pendalilan dengan ijmak lebih didahulukan (yiatu tentu jika ijmak tersebut bersandar kepada dalil kitab atau sunnah) daripada pendalilan hanya dengan sekedar Al-Qur'an dan As-Sunnah. Karena jika telah terbukti adanya suatu ijmak maka akan memutuskan perdebatan dan perselisihan.
Ibnu Hazm berkata,
إِذَا صَحَّ الإِجْمَاعُ فَقَدْ بَطَلَ الخِلاَفُ، ولا يَبْطُلُ ذلك الإجماعُ أبداً
"Jika telah sah suatu ijmak maka telah batal khilaf (perselisihan), dan tidak terbatalkan ijmak tersebut selamanya (dengan muncul khilaf setelah itu -pent)" (Marootibul Ijmaa' hal 27)
Beliau juga berkata,
ومن شرط الإجماع الصحيح أن يكفَّر من خالفه بلا خلاف بين أحد من المسلمين في ذلك
"Dan diantara syarat Ijmak yang sah adalah dikafirkannya orang yang menyelisihi ijmak tersebut, tidak ada khilaf di antara kaum muslimin dalam hal ini" (Marootibul Ijmak 27)
Ibnu Taimiyyah berkata
ولهذا يجب عليهم تقديم الإجماع على ما يظنونه من معانى الكتاب والسنة
Oleh karenya wajib bagi mereka untuk mendahulukan ijmak dari pada apa yang mereka persangkakan berupa makna-makna dari Al-Kitab dan As-Sunnah (Majmuu' Al-Fataawa 22/368)
Oleh karenanya sebagian Ahlul Bid'ah berusaha untuk menolak Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan ijmak yang batil, sebagaimana dilakukan oleh Bisyr Al-Mirrisiy salah seorang gembong Jahmiyyah.
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah, "Dan tatkala tumbuh metode seperti ini maka lahirlah darinya penolakan nash-nash (dalil-dalil) dengan ijmak yang majhul, dan terbukalah pintu untuk mendakwahkan adanya ijmak. Maka jadilah orang dari kalangan para tukang taqlid yang tidak mengetahui adanya khilaf jika didebat dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah maka ia akan berkata, "Ini bertentangan dengan Ijmak".
Hal inilah (penolakan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan dalil ijmak yang majhul-pent) yang telah diingkari oleh para imam Islam, dan mereka mencela dari segala sisi terhadap orang yang melakukannya. Mereka mendustakan orang yang mendakwahkan ijmak yang majhul ini. Imam Ahmad berkata –sebagaimana diriwayatkan oleh putranya Abdullah bin Ahmad-,
من ادَّعَى الْإِجْمَاعَ فَهُوَ كَاذِبٌ لَعَلَّ الناس اخْتَلَفُوا هذه دَعْوَى بِشْرٍ الْمَرِيسِيِّ وَالْأَصَمِّ وَلَكِنْ يقول لَا نَعْلَمُ الناس اخْتَلَفُوا أو لم يَبْلُغْنَا
Barangsiapa yang menyatakan ijmak maka dia adalah pendusta, mungkin saja orang-orang berselisih. Ini adalah metode Bisyr Al-Marrisiy dan Al-Asom, akan tetapi (hendaknya) berkata : "Kami tidak tahu kalau ada perselisihan diantara manusia", atau : "Tidak sampai kepada kami adanya perselisihan dalam permasalahan ini" (I'laamul Muwaqqi'iin 3/558-559)
Ibnu Taimiyyah berkata,
قال الإمام أحمد: "من ادعى الإجماع فهو كاذب. فإنما هذه دعوى بشر وابن علية يريدون أن يبطلوا السنن بذلك". يعني الإمام أحمد أن المتكلمين في الفقه من أهل الكلام إذا ناظرتهم بالسنن والآثار، قالوا: "هذا خلاف الإجماع"
"Imam Ahmad berakta, Barangsiapa yang menyerukan ijmak maka ia adalah pendusta, ini hanyalah merupakan metodenya Bisyr Al-Mirriisiy dan Ibnu 'Ulaiyyah, mereka ingin membatalkan sunnah dengan dakwah ijmak tersebut. Maksud Imam Ahmad adalah para pembicara dalam permasalahan fiqh dari kalangan ahli filsafat jika engkau mendebat mereka dengan dalil sunnah dan atsar maka mereka akan berkata, "Ini menyelisihi ijmak" (Al-Fataawa Al-Kubroo 3/370)
Oleh karenanya seseorang hendaknya berhati-hati dalam menukil permasalahan ijmak. Bahkan jika ia menemukan ada seorang yang alim mendakwahkan ijmak maka hendaknya ia tetap berusaha mengecek akan kebenaran ijmak tersebut, kecuali jika yang menyerukan ijmak adalah banyak dari kalangan para ulama, dan mereka menyerukan ijmak dengan lafal yang shorih (lafal yang tegas).
Karena sebagian ulama tasaahul (mudah) dalam mengutarakan ijmak sebagaimana diingatkan oleh para ulama.
Apakah benar merupakan ijmak para ulama bahwa hukum sutroh bagi orang yang sholat adalah sunnah dan tidak wajib?
Sebagian orang memandang bahwa permasalahan sunnahnya sutroh merupkan permasalahan yang telah ijmak dikalangan para ulama. Mereka berdalil dengan penukilan ijmak dari dua ulama besar
Yang pertama : Perkataan Ibnu Rusyd Al-Hafiid dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, dimana ia berkata :
وَاتَّفَقَ العُلَمَاءُ بِأَجْمَعِهِمْ عَلَى اسْتِحْبَابِ السُّتْرَةِ بَيْنَ الْمُصَلِّي وَالْقِبْلَةِ إِذَا صَلَّى مُنْفَرِدًا كَانَ أَوْ إِمَامًا
"Dan para ulama –seluruhnya- telah berijmak akan istihbabnya (sunnahnya) sutroh untuk diletakan antara orang yang sholat dengan kiblat, baik jika sedang sholat sendirian atau tatkala menjadi imam" (Bidaayatul Mujtahid 1/82).
Demikian juga Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni berkata,
وَلاَ نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلاَفًا
"Dan kami tidak tahu ada khilaf (diantara ulama) tentang istihbabnya sutroh" (Al-Mughni 2/36)
Komentar terhadap Ijmak Ibnu Rusyd rahimahullah :
Adapun Ibnu Rusyd maka beliau –rahimahullah- dikenal termasuk para ulama yang tasaahul (mudah) dalam mendakwahkan ijmak. Diantara para ulama yang mudah mengutarakan ijmak adalah :
- Ibnu Jarir At-Tobari (lihat penjelasan as-Syinqiithy dalam Mudzakkiroh Ushuul Fiqh hal 274)
- Ibnu Abdil Barr, beliau sering mengutarakan ijmak namun ternyata banyak yang tidak benar, bahkan khilaf yang terjadi sangat masyhuur (lihat kitab Ijmaa'aat Ibni Abdil Barr fil 'Ibaadaat, karya Abdullah bin Mubaarok Al-Buushi). Padalah Ibnu Abdil Barr sangat dikenal memiliki pengetahuan yang luas. Mudahnya beliau menukilkan ijmak karena beliau menganggap bahwa penyelisihan satu atau dua orang tidak merusak ijmak.
- Ibnu Rusyd (Al-Jad) sebagaimana hal ini diingatkan oleh para ulama Maliikyah
- Ibnu Rusyd Al-Hafiid (lihat risaalah 'ilmiyaah Magister dengan judul Ijmaa'aat Ibni Rusyd Al-Hafiid qismil 'Ibaadaat min khilaal kitaabihi Bidaayatul Mujtahid, karya Ibnu Faaizah Az-Zubair), dan diantara kesimpulan yang diambil oleh penulis bahwasanya penyelisihan satu atau dua orang 'alim tidak merusak ijmak (lihat hal 108)
Para ulama memandang ketiga ulama ini (yaitu Ibnu Jarir At-Thobari, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Rusyd) sebagai orang-orang yang tasahul (mudah) dalam menukil ijmak karena ketiga ulama ini memiliki madzhab yang sama dalam masalah ijmak. Yaitu mereka menganggap bahwa penyelisihan satu atau dua orang 'alim tidak mempengaruhi terjadinya ijmaak. Dan madzhab ini adalah madzhab sebagian ulama Malikiah. Adapun madzhab jumhur ulama maka ijmak yang seperti ini bukanlah ijma'.
Dari sini kita pahami bahwa ijmak yang diserukan oleh Ibnu Rusyd tidak bisa dijadikan hujjah karena madzhab beliau tentang masalah ijmak bukan madzhab jumhur ulama.
Komentar terhadap ijmak Ibnu Qudaamah rahimahullah
Komentar mengenai pernyataan Ibnu Qudamah dari beberapa sisi :
Pertama : Lafal yang digunakan oleh Ibnu Qudamah dalam masalah sutroh adalah lafal yang menunjukan nafyul khilaaf. Beliau berkata
وَلاَ نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلاَفًا
"Dan kami tidak tahu ada khilaf (diantara ulama) tentang istihbabnya sutroh" (Al-Mughni 2/36)
Para ulama telah menjelaskan bahwasanya lafal seperti ini merupakan lafal yang tidak shorih (tidak jelas dan tidak tegas) dalam penyebutan ijmak. Lafal seperti ini masih lebih lemah dari pada lafal أَجْمَعُوا (para ulama telah berijmak) dan juga lebih lemah dari perkataan اتَّفَقُوْا (para ulama telah bersepakat). Bahkan sebagian ulama seperti As-Soyrofi dan Ibnu hazm tidak menganggap lafal seperti ini merupakan ijmak.
Kedua : Perkataan Ibnu Qudamah mengandung dua kemungkinan:
- Kemungkinan pertama maksud beliau –rahimahullah- adalah kesepakatan para ulama bahwa hukumnya sunnah (tidak wajib)
- Kemungkinan kedua adalah maksud beliau –rahimahullah- adalah para ulama telah sepakat akan disyari'atkannya perkara tersebut, terlepas apakah perkara tersebut hukumnya wajib atau sunnah
Ada beberapa contoh yang berkaitan dengan kemungkinan ke dua :
Contoh pertama :
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni
مسألة قال ( ولو استأذن البكر البالغة والدها كان حسنا )
لا نعلم خلافا في استحباب استئذانها فإن النبي صلى الله عليه وسلم قد أمر به ونهى عن النكاح بدونه وَأَقَلُّ أحوال ذلك الاستحباب ولأن فيه تطييب قلبها وخُرُوْجًا مِنَ الْخِلاَفِ
Permasalahan : Berkata (Al-Khiroqi) : "Kalau seandainya sang ayah meminta izin putrinya yang telah baligh (untuk dinikahi oleh pelamar -pent) maka hal itu lebih baik"
(Berkata Ibnu Qudamah) : Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya meminta idzin kepada putri yang telah baligh, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamtelah memerintahkannya dan melarang pernikahan tanpa izin sang putri baligh. Dan paling ringan hukumnya adalah istihbab dan pada hal itu menyenangkan hati sang putri dan agar keluar dari khilaf" (Al-Mughni 7/33)
Perhatikan : perkataan Ibnu Qudaamah "Dan paling ringan hukumnya adalah istihbab" memberi isyarat akan adanya hukum yang lebih tinggi dari istihbab yaitu wajib. Dan perkataan beliau "agar keluar dari khilaf" menunjukan ada khilaf di kalangan para ulama tentang permasalahan ini.
Dan kenyataannya memang permasalahan ini bukanlah permasalahan yang disepakati oleh para ulama bahkan mashyur adanya khilaf diantara para ulama, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa meminta idzin kepada putri yang telah baligh (dewasa) untuk menikahkannya adalah wajib hukumnya. Bahkan pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang merupakan salah satu ulama madzhab Hanabilah sebagaiman Ibnu Qudaamah.
Ibnu Taimiyyah berkata :
الْمَرْأَةُ الْبَالِغُ لَا يُزَوِّجُهَا غَيْرُ الْأَبِ وَالْجَدِّ بِغَيْرِ إذْنِهَا بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ، بَلْ وَكَذَلِكَ لَا يُزَوِّجُهَا الْأَبُ إلَّا بِإِذْنِهَا فِي أَحَدِ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ، بَلْ فِي أَصَحِّهِمَا، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ، وَأَحْمَدَ فِي أَحَدِ الرِّوَايَتَيْنِ، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
Wanita yang baligh (dewasa) maka selain ayahnya dan selain kakeknya tidak boleh menikahkannya tanpa idzin sang wanita, hal ini dengan kesepakatan para imam. Bahkan demikian juga sang ayah tidak boleh menikahkannya kecuali dengan idzin sang wanita menurut salah satu dari dua pendapat para ulama, bahkan ini menurut pendapat yang terbenar diantara kedua pendapat, dan ini merupakan madzhab Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : Tidaklah dinikahkan wanita perawan sampai dimintai idzin…"(Al-Fataawaa Al-Kubroo 3/82)
Contoh kedua :
Ibnu Qudaamah berkata dalam Al-Mughni
مسألة قال ( ويقول عند الذبح بسم الله والله أكبر وإن نسي فلا يضره ) ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا ذبح قال بسم الله والله وأكبر وفي حديث أنس وسمى وكبر
وكذلك كان يقول ابن عمر وبه يقول أصحاب الرأي ولا نعلم في استحباب هذا خلافا
Permasalahan : Berkata (Al-Khiroqi) : (Dan dia tatakala menyembelih mengucapkan Bismillah wallahu Akbar, dan jika dia lupa maka tidak mengapa).
(Ibnu Qudamah berkata) : Telah sah bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika menyembelih maka beliau berkata : Bismillah wallahu Akbar. Pada hadits Anas (bin Malik) : Nabi menyebut nama Allah dan bertakbir.
Demikian juga Ibnu Umar ia mengucapkan demikian, dan ini merupakan pendapat Ashaab Ar-Ro'y, dan kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya hal ini..." (Al-Mughni 9/361)
Tentunya tidak diragukan lagi bahwa menyebut nama Allah tatkala menyembelih hukumnya adalah wajib dan bukan mustahab menurut jumhur ulama (diantaranya madzhab Hanabilah). Ibnu Taimiyyah berkata
وَالتَّسْمِيَةُ عَلَى الذَّبِيحَةِ مَشْرُوعَةٌ، لَكِنْ قِيلَ: هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ، كَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَقِيلَ: وَاجِبَةٌ مَعَ الْعَمْدِ، وَتَسْقُطُ مَعَ السَّهْوِ، كَقَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ
"Dan menyebut nama Allah tatkala menyembelih disyari'atkan, akan tetapi dikatakan hukumnya adalah mustahab sebagaimana perkataan As-Syafi'i, dan dikatakn (juga) hukumnya adalah wajib jika ingat dan jika lupa maka tidak wajib sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad" (Al-Fataawaa Al-Kubroo 5/69)
Contoh ketiga :
Ibnu Qudaamah berkata dalam Al-Mughni
ولا يجب أن يحضر الإمام ولا الشهود وبهذا قال الشافعي وابن المنذر وقال أبو حنيفة إن ثبت الحد ببينة فعليها الحضور والبداءة بالرجم وإن ثبت باعتراف وجب على الإمام الحضور والبداءة بالرجم ...ولأنه إذا لم تحضر البينة ولا الإمام كان ذلك شبهة والحد يسقط بالشبهات
قال أحمد سنة الاعتراف أن يرجم الإمام ثم الناس، ولا نعلم خلافا في استحباب ذلك
"Dan tidak wajib bagi imam maupun para saksi untuk menghadiri (hukum had) dan ini merupakan pendapat As-Syafi'i dan Ibnul Mundzir. Abu hanifah berkata, "Jika hukum had ditegakkan karena ada bukti (para saksi) maka wajib bagi para saksi untuk hadir dan mereka yang wajib memulai pelemparan rajam, dan jika hukum had tegak karena pengakuan maka wajib bagi imam untuk hadir dan dialah yang memulai pelemparan rajam… karena jika para saksi tidak hadir demikian juga imam tidak hadir maka hal ini merupakan syubhat dan hukum had menjadi gugur dengan adanya syubhat…
Imam Ahmad berkata : "Sunnahnya pengakuan adalah imam yang merajam kemudian diikuti oleh orang-orang". Dan kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya hal ini" (Al-Mughni 9/47)
Perhatikanlah para pembaca yang budiman, Ibnu Qudamah menyampaikan bahwasanya beliau tidak tahu adanya khilaf tentang istihbabnya hadirnya imam jika hukum had tegak karena adanya pengakuan. Padahal sebelumnya Ibnu Qudamah telah menukil pendapat Imam Abu Hanifah bahwasanya beliau mewajibkan imam untuk hadir (dan bukan sunnah) jika hukum had tegak karena adanya pengakuan. Dengan demikian maka maksud dari perkataan Ibnu Qudaamah "istihbaab" adalah "disyari'atkannya".
Dari tiga contoh diatas sangatlah jelas bahwasanyan perkataan Ibnu Qudaamah "Kami tidak mengetahui adanya khilaf akan istihbabnya hal ini" maksudnya adalah "Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang disyari'atkannya hal ini", bisa jadi hukumnya mustahab dan bisa jadi wajib sebagaimana pada tiga contoh diatas. Jika ternyada ada ihtimal (kemungkinan) yang kedua ini maka gugurlah pemahaman bahwa Ibnu Qudaamah mendakwahkan ijmak ulama bahwa sutroh hukmnya mustahab dan tidak wajib. Wallahu A'lam bis Showaab.
Ketiga : Buku-buku yang khusus mengumpulkan ijmak-ijmak para ulama seperti kitab Al-Ijmaa' karya Ibnul Mundziir dan juga Marootib Al-Ijmaa' karya Ibnu Hazm tidak menyebutkan adanya ijmak akan mustahabnya sutroh dan tidak wajib. Demikian halnya mayoritas ulama mu'aashirin (zaman sekarang) seperti Syaikh Al-'Utsaimiin, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al-Albani, Syaikh Al-Fauzaan, Al-Lajnah Ad-Daaimah tidak menukil ijmak tentang permasalahan ini. Hal ini menunjukan bahwa ijmak dalam masalah ini tidak valid dan tidak sah, paling banter ijmaknya tidak qoth'i tapi hanyalah dzhonniy
Berkata Muhammad Al-Amiin As-Syinqiithi,
واعلم أن بعض الأصوليين يقولون بتقديم الاجماع على النص ، لأن النص يحتمل النسخ والاجماع لا يحتمله ، ...ومرادهم بالاجماع الذي يقدم على النص خصوص الاجماع القطعي دون الاجماع الظني ، وضابط الاجماع القطعي هو الاجماع القولي ، لا السكوتي
"Ketahuilah bahwasanya sebagian ahli ushul berpendapat didahulukannya ijmak di atas nash karena nash ada kemungkinan telah mansuukh adapun ijmak tidak mungkin mansuukh…dan maksud mereka dengan ijmak yang didahulukan di atas nash adalah khusus ijmak qoth'iy bukan ijmak yang dzonniy. Dan definisi ijmak qoth'iy adalah ijmak qouliy (berupa pernyataan/perkataan-pent) dan bukan ijmak sukuutiy" (mudzakkiroh Ushuulil Fiqh hal 445)
Beliau juga berkata,
واعلم إن الإجماع الذي يذكر الأصوليون تقديمه على النص هو الاجماع القطعي خاصة وهو الاجماع القولي المشاهد أو المنقول بعدد التواتر ، أما غير القطعي من الاجماعات كالسكوتي والمنقول بالآحاد فلا يقدم على النص
"Ketahuilah bahwasanya ijmak yang disebutkan ohel para ahli ushuul didepankan dari pada nas adalah khusus ijmak qot'iy, yaitu ijmak qouliy yang dilihat atau dinukil dengan jumlah mutawatir, adapun ijmak-ijmak yang tidak qot'iy seperti ijmak sukuutiy atau ijmak yang dinukil dengan ahad maka tidak didahulukan di atas nash" (Mudzakkiroh Ushuul Fiqh hal 535)
Kesimpulan :
Permasalahan hukum sutroh bukanlah permasalahan yang ada ijmaknya, oleh karenanya ini merupakan permasalahn khilafiyah ijtihadiyah. Karenanya pentarjihan dalam masalah ini kembali pada pembahasan tentang permasalahan dalil. Maka pihak yang dalil dan hujjahnya lebih kuat maka itulah pendapat yang lebih rajih. Wallahu a'lamu bisshowaab.
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 07 Dzul Qo'dah 1431 H / 15 Oktober 2010 M
oleh:Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Kamis, 09 Juni 2011
Imam As-Suyuthi Ulama serba bisa
“Ilmuku (luasnya) bagaikan lautan yang bergelombang karena deburan ombak.”
Allah selalu menjaga keutuhan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui keberadaan para huffazh hadits yang menghafal hadis-hadis Nabi. Kalbu-kalbu mereka menjadi wadah penyimpan ilmunya.
Usaha yang mereka lakukan tidaklah mudah, membutuhkan ketelitian, ketekunan, kecerdasan, dan daya ingat yang kuat. Kesibukan mereka untuk menepis dusta atas nama Nabi melalui penyeleksian antara hadis yang sahih dan hadis yang bermasalah (lemah, palsu, dan lain-lain), menyebarkan hadis yang benar-benar dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan umat dari hadis-hadis lemah dan palsu agar diwaspadai dan disingkirkan dari umat.
Di antara tokoh terkemuka yang dianggap sebagai pakar hadis pada masanya, yaitu Imam Al-‘Allamah Al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi.
Ulama ini, pada zamannya, dikenal sebagai seorang yang alim dalam bidang hadis dan cabang-cabangnya, baik yang berkaitan dengan ilmu rijal, sanad, matan, maupun kemampuan dalam mengambil istimbat hukum dari hadis.
Beliau lahir setelah waktu magrib, malam Ahad, pada permulaan tahun 849 H di daerah Al-Asyuth, atau juga dikenal dengan “As-Suyuth”. Secara lengkap, ia bernama Abdur Rahman bin Kamaluddidn Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiquddin Abu Bakar bin Fakhruddin Utsman bin Nashiruddin Muhammad bin Saifuddin Khidr bin Najmuddin Abu Ash-Shalah Ayyub bin Nashiruddin Muhammad bin Syekh Hammamuddin Al-Hammam bin Al-Kamal bin Nashiruddin Al-Mishri Al-Khudhairi Al-Asyuthi Ath-Thalani Asy-Syafi’i.
Nasab keluarganya bersambung kepada keluarga Persia, yang pindah ke Mesir di distrik Khudairiyah, sebelah timur Baghdad, dan kemudian bermukim di daerah Al-Asyuth, sebelum kelahirannya. Namun, ada keterangan lain yang menyebutkan bahwa ayahnya berdarah Arab.
Allah menganugerahkan kepadanya kemudahan untuk meraih ilmu sejak kecil, kecerdasan di atas rata-rata, dengan lingkungan yang kondusif. Dia hidup di lingkungan keluarga yang kental nuansa ilmiahnya.
Sewaktu kecil, ayahnya pernah membawanya ke majelis Syekh Muhamamd Al-Majdzub dan memperoleh doa keberkahan darinya. Dia juga sempat diajak ke majelis Al-Hafizh Ibnu hajar dan mendapatkan ijazah (rekomendasi periwayatan umum) darinya.
Pada umur lima tahun, sang Ayah meninggal dunia, sehingga ia tumbuh dalam keadaan yatim. Setelah itu, ia berada di bawah pengasuhan beberapa ulama besar pada masa itu. Di antaranya, Kamaluddin bin Al-Hammad. Di tangan ulama ini, As-Suyuthi kecil menghafal Alquran saat berusia delapan tahun. Demikian pula, kitab Al-Umdah, Minhajul Fiqh wal Ushul, dan Alfiyah Ibnu Malik menjadi kitab-kitab berikutnya yang ia hafal di luar kepala.
Menjadi bagian kenikmatan yang diraih oleh As-Suyuthi, ia hidup pada masa ulama besar yang sangat mendalami bidang-bidang ilmu yang beragam. Hal ini membekaskan pengaruh yang dalam pada diri ulama besar ini dalam aspek luasnya wawasan dan penguasaan ilmiahnya.
As-Suyuthi memulai kesibukannya mencari ilmu dalam usia empat belas tahun. Dia mengaku, “Aku mulai menyibukkan diri dengan pendalaman ilmu agama sejak permulaan tahun 864 H. Aku pelajari fikih dan nahwu dari sejumlah guru. Aku mengkaji ilmu faraidh (ilmu pembagian warisan) dari Allamah Syihabuddin Asy-Syamashai. Dengan Syekh ini, aku mempelajari kitab Al-Majmu. Pada tahun 866 H, aku sudah mendapat rekomendasi untuk mengajar Bahasa Arab dan sempat menulis kitab pertamaku yang berjudul Syarah Al-Isti’adzah wal Basmalah.”
Adapun untuk ilmu fikih, ia pelajari dari Sirajuddin Al-Bulqini. Tafsir, ia reguk dari Asy-Syaraf Al-Manawi. Ilmu Bahasa Arab, ia pelajari dari Taqiyyuddin Asy-Syumani dan Muhyiddin Ar-Rumi.
Berkaitan dengan ilmu hadis, ia menjumpai ulama-ulama senior dalam bidang itu, sehingga ia dapat mempelajari kitab ummahatu kutubil hadits (buku-buku induk hadis) dan mushthalah kepada ulama-ulama yang kompeten dalam bidang tersebut, misalnya: Taqiyyuddin Asy-Syibii, Qasim bin Qathlu Bugha, dan Taqiyyuddin bin Fahd. Ia mempelajari kitab Shahih Muslim dari Syamsuddin As-Sakrafi. Ia mengkaji kitab Nakhbatul Fikr di hadapan At-Taqiyyi Asy-Syumani.
Para guru As-Suyuthi juga tidak terbatas kaum lelaki saja. Dia juga sempat belajar dari beberapa guru wanita yang ahli dalam bidang hadis maupun fikih pada masa itu. Di antaranya: Ummu Hana Al-Mishriyyah, Aisyah bin Abdil Hadi, Sarah binti As-Siraj bin Jama’ah, Zainab binti Al-Hafizh Al-Iraqi, dan Ummu Fadhal binti Muhammad Al-Maqdisi.
Guna menimba ilmu, dia tak segan-segan berkeliling kota di banyak negeri, untuk menjumpai ulama-ulama lainnya yang ahli di bidangnya. Kota-kota di Syam, Hijaz, India, Maroko, Sudan pernah ia jelajahi.
Tatkala sampai di Mekkah, pada Rabiul Awwal 869 H, untuk menunaikan ibadah haji, ia meneguk air zamzam seraya memanjatkan doa agar mencapai derajat ilmiah dalam fikih sekelas Sirajuddin Al-Bulqini dan dalam bidang hadis sekelas Al Hafizh Ibnu Hajar.
Dalam perjalanannya menuntut ilmu agama, ia mempunyai prinsip dalam mencari ilmu, yaitu menerapkan dua manhaj talaqqi ilmu (metode mencari ilmu). Pertama, memilih satu guru dan bermulazamah kepada guru tersebut dalam waktu yang cukup atau sampai sang Guru meninggal. Kedua, dalam mencari ilmu, ia tidak membatasi diri pada syekh-syekh tertentu saja. Walaupun ia seseorang yang bermazhab Syafi’i dalam bidang fikih, ternyata itu tidak menghalanginya untuk mendalami fikih dari Izzudin Al-Hanafi.
Berkat ketekunan dan ketelatenannya dalam memperdalam ilmu, akhirnya, As-Suyuthi mampu menguasai ilmu agama. Tidak hanya dalam satu disiplin ilmiah ia menjadi kampiun, tetapi lebih dari satu disiplin ilmiah.
Dia pernah berkata, “Aku dikaruniai kedalaman ilmu dalam tujuh bidang, yaitu: tafsir, hadis, fikih, nahwu, al-ma’ani, al-bayan, dan al-badi.”
Dalam kesempatan lain, ia berkata tentang dirinya, “Kalau aku mau, aku akan menulis sebuah karya tulis dalam setiap permasalahan, lengkap dengan keterangan para ulama dan dalil-dalilnya yang naqli atau pun qiyasi serta komparasi (perbandingan) antar-mazhab, namun itu semua dengan pertolongan dari Allah, bukan lantaran kemampuan atau kekuatanku.”
Pertama kali ia mengeluarkan fatwa terjadi pada tahun 871 H. Ketika itu, kemampuan ilmiahnya sudah banyak, sehingga banyak pertanyaan yang diarahkan kepadanya dari banyak tempat. Dari sini, ia mulai berfatwa dan menjawab permasalahan agama. Fatwa-fatwa ulama ini bisa dijumpai melalui kitabnya yang berjudul Al-Hawi.
Beliau masih memberikan fatwa sampai beliau meninggalkan gelanggang ini dan memilih hidup menyendiri di kediamannya di Raudhah.
Ada beberapa jabatan yang ia pegang pada masa hidupnya. Semuanya tidak lepas dari dunia keilmuan. Pertama kali, ia mengajar Bahasa Arab dengan rekomendasi gurunya yang bernama Taqiyyuddin Asy-Syumani. Kemudian, kesibukannya mengajar mulai bertambah di Jami’ Asy-Syaukani, Jami’ Thalani, dan secara khusus mengajar hadis di Syaikhuniyah.
Hubungannya dengan para Khalifah Abbasiyah terjalin dengan baik, tumbuh berdasarkan rasa kasih sayang. Sikap saling menasihati dan memberi pengertian menghiasai persahabatan mereka. Dia menjalin hubungan yang baik ini lantaran meyakini harusnya kakhilafahan berada di tangan orang-orang keturunan Suku Quraisy. Adapun hubungan dengan para penguasa Daulah Mamalik yang menguasai Mesir, ia sangat menjaga diri.
Dia sempat menjumpai lima belas penguasa Daulah Mamalik dan berhubungan juga dengan mereka, tetapi dengan penuh kewaspadaan diri dan menjaga ‘izzah (harga diri, ed.). Hingga kemudian ia tidak pernah lagi menjalin hubungan dengan mereka. Dalam hal ini, dia menulis kitab Ma Rawhu As-Salathin fi Adami Al-Maji ila As-Salathin.
Salah seorang penguasa Daulah Mamalik sering memintanya untuk datang ke istana, tetapi ia tidak pernah menyambut permintaan itu. Sampai ada yang berkomentar kepadanya, “Sesungguhnya, sebagian orang alim kerap datang kepada penguasa dan raja untuk menyelesaikan persoalan masyarakat.” As-Suyuthi menjawab, “Petunjuk salaf yang menganjurkan untuk tidak sering-sering mengunjungi mereka. Itu adalah lebih baik.”
Meski begitu, ternyata tokoh-tokoh negara tetap mengunjungi ulama ini. Demikian juga orang-orang kaya. Sering, dalam kunjungan itu, mereka menawarkan harta benda, namun As-Suyuthi menolaknya dan mengembalikannya kepada sang pemilik.
Pada usia empat puluh tahun, ia mengundurkan diri dari kegiatan mengajar, untuk menyendiri. Permohonan diri ini ia tulis dalam bukunya, At-Tanfis. Setelah itu, kesibukannya lebih banyak untuk ibadah, mengkaji ulang tulisan-tulisannya, dan menjauhi serba-serbi dunia.
Pada akhir usianya, ia ditimpa penyakit yang ganas, bengkak pada lengan kirinya. As-Suyuthi meninggal karena pengaruh penyakitnya ini. Beliau menutup usianya pada malam Jumat, 19 Jumadil Ula 911 H, di kediamannya di Raudhah, dekat dengan sungai Nil, dalam usia 61 tahun dan 10 bulan. Pemakamannya dihadiri oleh banyak orang.
Sumber: Majalah As-Sunnah, edisi 5, tahun IX, 1426 H/2005 M. Dengan penyuntingan bahasa oleh redaksi www.KisahMuslim.com
Artikel www.KisahMuslim.com
Allah selalu menjaga keutuhan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui keberadaan para huffazh hadits yang menghafal hadis-hadis Nabi. Kalbu-kalbu mereka menjadi wadah penyimpan ilmunya.
Usaha yang mereka lakukan tidaklah mudah, membutuhkan ketelitian, ketekunan, kecerdasan, dan daya ingat yang kuat. Kesibukan mereka untuk menepis dusta atas nama Nabi melalui penyeleksian antara hadis yang sahih dan hadis yang bermasalah (lemah, palsu, dan lain-lain), menyebarkan hadis yang benar-benar dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan umat dari hadis-hadis lemah dan palsu agar diwaspadai dan disingkirkan dari umat.
Di antara tokoh terkemuka yang dianggap sebagai pakar hadis pada masanya, yaitu Imam Al-‘Allamah Al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi.
Ulama ini, pada zamannya, dikenal sebagai seorang yang alim dalam bidang hadis dan cabang-cabangnya, baik yang berkaitan dengan ilmu rijal, sanad, matan, maupun kemampuan dalam mengambil istimbat hukum dari hadis.
Beliau lahir setelah waktu magrib, malam Ahad, pada permulaan tahun 849 H di daerah Al-Asyuth, atau juga dikenal dengan “As-Suyuth”. Secara lengkap, ia bernama Abdur Rahman bin Kamaluddidn Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiquddin Abu Bakar bin Fakhruddin Utsman bin Nashiruddin Muhammad bin Saifuddin Khidr bin Najmuddin Abu Ash-Shalah Ayyub bin Nashiruddin Muhammad bin Syekh Hammamuddin Al-Hammam bin Al-Kamal bin Nashiruddin Al-Mishri Al-Khudhairi Al-Asyuthi Ath-Thalani Asy-Syafi’i.
Nasab keluarganya bersambung kepada keluarga Persia, yang pindah ke Mesir di distrik Khudairiyah, sebelah timur Baghdad, dan kemudian bermukim di daerah Al-Asyuth, sebelum kelahirannya. Namun, ada keterangan lain yang menyebutkan bahwa ayahnya berdarah Arab.
Allah menganugerahkan kepadanya kemudahan untuk meraih ilmu sejak kecil, kecerdasan di atas rata-rata, dengan lingkungan yang kondusif. Dia hidup di lingkungan keluarga yang kental nuansa ilmiahnya.
Sewaktu kecil, ayahnya pernah membawanya ke majelis Syekh Muhamamd Al-Majdzub dan memperoleh doa keberkahan darinya. Dia juga sempat diajak ke majelis Al-Hafizh Ibnu hajar dan mendapatkan ijazah (rekomendasi periwayatan umum) darinya.
Pada umur lima tahun, sang Ayah meninggal dunia, sehingga ia tumbuh dalam keadaan yatim. Setelah itu, ia berada di bawah pengasuhan beberapa ulama besar pada masa itu. Di antaranya, Kamaluddin bin Al-Hammad. Di tangan ulama ini, As-Suyuthi kecil menghafal Alquran saat berusia delapan tahun. Demikian pula, kitab Al-Umdah, Minhajul Fiqh wal Ushul, dan Alfiyah Ibnu Malik menjadi kitab-kitab berikutnya yang ia hafal di luar kepala.
Menjadi bagian kenikmatan yang diraih oleh As-Suyuthi, ia hidup pada masa ulama besar yang sangat mendalami bidang-bidang ilmu yang beragam. Hal ini membekaskan pengaruh yang dalam pada diri ulama besar ini dalam aspek luasnya wawasan dan penguasaan ilmiahnya.
As-Suyuthi memulai kesibukannya mencari ilmu dalam usia empat belas tahun. Dia mengaku, “Aku mulai menyibukkan diri dengan pendalaman ilmu agama sejak permulaan tahun 864 H. Aku pelajari fikih dan nahwu dari sejumlah guru. Aku mengkaji ilmu faraidh (ilmu pembagian warisan) dari Allamah Syihabuddin Asy-Syamashai. Dengan Syekh ini, aku mempelajari kitab Al-Majmu. Pada tahun 866 H, aku sudah mendapat rekomendasi untuk mengajar Bahasa Arab dan sempat menulis kitab pertamaku yang berjudul Syarah Al-Isti’adzah wal Basmalah.”
Adapun untuk ilmu fikih, ia pelajari dari Sirajuddin Al-Bulqini. Tafsir, ia reguk dari Asy-Syaraf Al-Manawi. Ilmu Bahasa Arab, ia pelajari dari Taqiyyuddin Asy-Syumani dan Muhyiddin Ar-Rumi.
Berkaitan dengan ilmu hadis, ia menjumpai ulama-ulama senior dalam bidang itu, sehingga ia dapat mempelajari kitab ummahatu kutubil hadits (buku-buku induk hadis) dan mushthalah kepada ulama-ulama yang kompeten dalam bidang tersebut, misalnya: Taqiyyuddin Asy-Syibii, Qasim bin Qathlu Bugha, dan Taqiyyuddin bin Fahd. Ia mempelajari kitab Shahih Muslim dari Syamsuddin As-Sakrafi. Ia mengkaji kitab Nakhbatul Fikr di hadapan At-Taqiyyi Asy-Syumani.
Para guru As-Suyuthi juga tidak terbatas kaum lelaki saja. Dia juga sempat belajar dari beberapa guru wanita yang ahli dalam bidang hadis maupun fikih pada masa itu. Di antaranya: Ummu Hana Al-Mishriyyah, Aisyah bin Abdil Hadi, Sarah binti As-Siraj bin Jama’ah, Zainab binti Al-Hafizh Al-Iraqi, dan Ummu Fadhal binti Muhammad Al-Maqdisi.
Guna menimba ilmu, dia tak segan-segan berkeliling kota di banyak negeri, untuk menjumpai ulama-ulama lainnya yang ahli di bidangnya. Kota-kota di Syam, Hijaz, India, Maroko, Sudan pernah ia jelajahi.
Tatkala sampai di Mekkah, pada Rabiul Awwal 869 H, untuk menunaikan ibadah haji, ia meneguk air zamzam seraya memanjatkan doa agar mencapai derajat ilmiah dalam fikih sekelas Sirajuddin Al-Bulqini dan dalam bidang hadis sekelas Al Hafizh Ibnu Hajar.
Dalam perjalanannya menuntut ilmu agama, ia mempunyai prinsip dalam mencari ilmu, yaitu menerapkan dua manhaj talaqqi ilmu (metode mencari ilmu). Pertama, memilih satu guru dan bermulazamah kepada guru tersebut dalam waktu yang cukup atau sampai sang Guru meninggal. Kedua, dalam mencari ilmu, ia tidak membatasi diri pada syekh-syekh tertentu saja. Walaupun ia seseorang yang bermazhab Syafi’i dalam bidang fikih, ternyata itu tidak menghalanginya untuk mendalami fikih dari Izzudin Al-Hanafi.
Berkat ketekunan dan ketelatenannya dalam memperdalam ilmu, akhirnya, As-Suyuthi mampu menguasai ilmu agama. Tidak hanya dalam satu disiplin ilmiah ia menjadi kampiun, tetapi lebih dari satu disiplin ilmiah.
Dia pernah berkata, “Aku dikaruniai kedalaman ilmu dalam tujuh bidang, yaitu: tafsir, hadis, fikih, nahwu, al-ma’ani, al-bayan, dan al-badi.”
Dalam kesempatan lain, ia berkata tentang dirinya, “Kalau aku mau, aku akan menulis sebuah karya tulis dalam setiap permasalahan, lengkap dengan keterangan para ulama dan dalil-dalilnya yang naqli atau pun qiyasi serta komparasi (perbandingan) antar-mazhab, namun itu semua dengan pertolongan dari Allah, bukan lantaran kemampuan atau kekuatanku.”
Pertama kali ia mengeluarkan fatwa terjadi pada tahun 871 H. Ketika itu, kemampuan ilmiahnya sudah banyak, sehingga banyak pertanyaan yang diarahkan kepadanya dari banyak tempat. Dari sini, ia mulai berfatwa dan menjawab permasalahan agama. Fatwa-fatwa ulama ini bisa dijumpai melalui kitabnya yang berjudul Al-Hawi.
Beliau masih memberikan fatwa sampai beliau meninggalkan gelanggang ini dan memilih hidup menyendiri di kediamannya di Raudhah.
Ada beberapa jabatan yang ia pegang pada masa hidupnya. Semuanya tidak lepas dari dunia keilmuan. Pertama kali, ia mengajar Bahasa Arab dengan rekomendasi gurunya yang bernama Taqiyyuddin Asy-Syumani. Kemudian, kesibukannya mengajar mulai bertambah di Jami’ Asy-Syaukani, Jami’ Thalani, dan secara khusus mengajar hadis di Syaikhuniyah.
Hubungannya dengan para Khalifah Abbasiyah terjalin dengan baik, tumbuh berdasarkan rasa kasih sayang. Sikap saling menasihati dan memberi pengertian menghiasai persahabatan mereka. Dia menjalin hubungan yang baik ini lantaran meyakini harusnya kakhilafahan berada di tangan orang-orang keturunan Suku Quraisy. Adapun hubungan dengan para penguasa Daulah Mamalik yang menguasai Mesir, ia sangat menjaga diri.
Dia sempat menjumpai lima belas penguasa Daulah Mamalik dan berhubungan juga dengan mereka, tetapi dengan penuh kewaspadaan diri dan menjaga ‘izzah (harga diri, ed.). Hingga kemudian ia tidak pernah lagi menjalin hubungan dengan mereka. Dalam hal ini, dia menulis kitab Ma Rawhu As-Salathin fi Adami Al-Maji ila As-Salathin.
Salah seorang penguasa Daulah Mamalik sering memintanya untuk datang ke istana, tetapi ia tidak pernah menyambut permintaan itu. Sampai ada yang berkomentar kepadanya, “Sesungguhnya, sebagian orang alim kerap datang kepada penguasa dan raja untuk menyelesaikan persoalan masyarakat.” As-Suyuthi menjawab, “Petunjuk salaf yang menganjurkan untuk tidak sering-sering mengunjungi mereka. Itu adalah lebih baik.”
Meski begitu, ternyata tokoh-tokoh negara tetap mengunjungi ulama ini. Demikian juga orang-orang kaya. Sering, dalam kunjungan itu, mereka menawarkan harta benda, namun As-Suyuthi menolaknya dan mengembalikannya kepada sang pemilik.
Pada usia empat puluh tahun, ia mengundurkan diri dari kegiatan mengajar, untuk menyendiri. Permohonan diri ini ia tulis dalam bukunya, At-Tanfis. Setelah itu, kesibukannya lebih banyak untuk ibadah, mengkaji ulang tulisan-tulisannya, dan menjauhi serba-serbi dunia.
Pada akhir usianya, ia ditimpa penyakit yang ganas, bengkak pada lengan kirinya. As-Suyuthi meninggal karena pengaruh penyakitnya ini. Beliau menutup usianya pada malam Jumat, 19 Jumadil Ula 911 H, di kediamannya di Raudhah, dekat dengan sungai Nil, dalam usia 61 tahun dan 10 bulan. Pemakamannya dihadiri oleh banyak orang.
Sumber: Majalah As-Sunnah, edisi 5, tahun IX, 1426 H/2005 M. Dengan penyuntingan bahasa oleh redaksi www.KisahMuslim.com
Artikel www.KisahMuslim.com
Rabu, 08 Juni 2011
Amalan di Bulan Rajab
Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.
Rajab di Antara Bulan Haram
Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.
Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.
Di Balik Bulan Haram
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)
Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?
Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).
Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab
Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)
Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ
“Tidak ada lagi faro’ dan ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.
‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)
Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.
Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab
Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.
Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.
Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).
Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)
Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.
Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)
Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,
لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ
“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)
Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)
Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:
1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)
Perayaan Isro’ Mi’roj
Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan Rajab?
Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)
Ibnu Rajab mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”
Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)
Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’ Mi’roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro’ memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro’ tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)
Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro’ Mi’roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)
Ibnul Haaj mengatakan, “Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)
Catatan penting:
Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan, “Ketika tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan,
“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya’ban wa ballignaa Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]“.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk hadits dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.
Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan di bulan Rajab dan beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di Wisma MTI, 5 Rajab 1430 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Rajab di Antara Bulan Haram
Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.
Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.
Di Balik Bulan Haram
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)
Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?
Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).
Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab
Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)
Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ
“Tidak ada lagi faro’ dan ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.
‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)
Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.
Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab
Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.
Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.
Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).
Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)
Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.
Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)
Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,
لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ
“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)
Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)
Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:
1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)
Perayaan Isro’ Mi’roj
Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan Rajab?
Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)
Ibnu Rajab mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”
Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)
Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’ Mi’roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro’ memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro’ tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)
Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro’ Mi’roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)
Ibnul Haaj mengatakan, “Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)
Catatan penting:
Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan, “Ketika tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan,
“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya’ban wa ballignaa Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]“.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk hadits dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.
Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan di bulan Rajab dan beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di Wisma MTI, 5 Rajab 1430 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Adakah Puasa Di Bulan Rajab?
Ada faedah berharga dari Ibnu Taimiyah rahimahullah mengenai amalan di bulan Rajab termasuk berpuasa ketika itu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
أَمَّا تَخْصِيصُ رَجَبٍ وَشَعْبَانَ جَمِيعًا بِالصَّوْمِ أَوْ الِاعْتِكَافِ فَلَمْ يَرِدْ فِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْءٌ وَلَا عَنْ أَصْحَابِهِ . وَلَا أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ بَلْ قَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ . أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ إلَى شَعْبَانَ وَلَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنْ السَّنَةِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ مِنْ أَجْلِ شَهْرِ رَمَضَانَ . وَأَمَّا صَوْمُ رَجَبٍ بِخُصُوصِهِ فَأَحَادِيثُهُ كُلُّهَا ضَعِيفَةٌ بَلْ مَوْضُوعَةٌ لَا يَعْتَمِدُ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى شَيْءٍ مِنْهَا وَلَيْسَتْ مِنْ الضَّعِيفِ الَّذِي يُرْوَى فِي الْفَضَائِلِ بَلْ عَامَّتُهَا مِنْ الْمَوْضُوعَاتِ الْمَكْذُوبَاتِ
”Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.
Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Hadits-haditsnya bukanlah hadits yang memotivasi beramal (fadhilah amal), bahkan kebanyakannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)
So …. tidak ada yang istimewa dengan puasa di bulan Rajab kecuali jika berpuasanya karena bulan Rajab adalah di antara bulan-bulan haram, namun tidak ada keistimewaan bulan Rajab dari bulan haram lainnya. Yang tercela sekali adalah jika puasanya sebulan penuh di bulan Rajab sama halnya dengan bulan Ramadhan atau menganggap puasa bulan Rajab lebih istimewa dari bulan lainnya. Juga tidak ada pengkhususan berpuasa pada hari tertentu atau tanggal tertentu di bulan Rajab sebagaimana yang diyakini sebagian orang.
Jika memiliki kebiasaan puasa Senin-Kamis, puasa Daud, atau puasa ayyamul biid, maka tetap rutinkanlah di bulan Rajab. Bahkan bulan Ramadhan semakin dekat, maka segeralah qodho puasa Ramadhan yang ada jika memang masih ada utang puasa. Semoga Allah beri taufik untuk tetap beramal sholih.
Riyadh-KSA, 29 Jumadats Tsaniyyah 1432 H (01/06/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
أَمَّا تَخْصِيصُ رَجَبٍ وَشَعْبَانَ جَمِيعًا بِالصَّوْمِ أَوْ الِاعْتِكَافِ فَلَمْ يَرِدْ فِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْءٌ وَلَا عَنْ أَصْحَابِهِ . وَلَا أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ بَلْ قَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ . أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ إلَى شَعْبَانَ وَلَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنْ السَّنَةِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ مِنْ أَجْلِ شَهْرِ رَمَضَانَ . وَأَمَّا صَوْمُ رَجَبٍ بِخُصُوصِهِ فَأَحَادِيثُهُ كُلُّهَا ضَعِيفَةٌ بَلْ مَوْضُوعَةٌ لَا يَعْتَمِدُ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى شَيْءٍ مِنْهَا وَلَيْسَتْ مِنْ الضَّعِيفِ الَّذِي يُرْوَى فِي الْفَضَائِلِ بَلْ عَامَّتُهَا مِنْ الْمَوْضُوعَاتِ الْمَكْذُوبَاتِ
”Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.
Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Hadits-haditsnya bukanlah hadits yang memotivasi beramal (fadhilah amal), bahkan kebanyakannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)
So …. tidak ada yang istimewa dengan puasa di bulan Rajab kecuali jika berpuasanya karena bulan Rajab adalah di antara bulan-bulan haram, namun tidak ada keistimewaan bulan Rajab dari bulan haram lainnya. Yang tercela sekali adalah jika puasanya sebulan penuh di bulan Rajab sama halnya dengan bulan Ramadhan atau menganggap puasa bulan Rajab lebih istimewa dari bulan lainnya. Juga tidak ada pengkhususan berpuasa pada hari tertentu atau tanggal tertentu di bulan Rajab sebagaimana yang diyakini sebagian orang.
Jika memiliki kebiasaan puasa Senin-Kamis, puasa Daud, atau puasa ayyamul biid, maka tetap rutinkanlah di bulan Rajab. Bahkan bulan Ramadhan semakin dekat, maka segeralah qodho puasa Ramadhan yang ada jika memang masih ada utang puasa. Semoga Allah beri taufik untuk tetap beramal sholih.
Riyadh-KSA, 29 Jumadats Tsaniyyah 1432 H (01/06/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Senin, 06 Juni 2011
Menghembuskan nafas terakhir ketika Shalat berjamaah
Kisah Aamir bin Abdillah Az-Zubair
Mush’ab bin Abdillah bercerita tentang ‘Aamir bin Abdillah bin Zubair yang dalam keadaan sakit parah,
سمع عامر المؤذن وهو يجود بنفسه فقال: خذوا بيدي إلى المسجد، فقيل: إنك عليل فقال: أسمع داعي الله فلا أجيبه فأخذوا بيده فدخل مع الإمام في صلاة المغرب فركع مع الإمام ركعة ثم مات
‘Aaamir bin Abdillah mendengar muadzin mengumandangkan adzan untuk shalat Maghrib, padahal ia dalam kondisi sakaratul maut pada nafas-nafas terakhir, maka iapun berkata, “Pegang tanganku ke mesjid…!!” Merekapun berkata, “Engkau dalam kondisi sakit !” Diapun berkata,”Aku mendengar muadzin mengumandangkan adzan sedangkan aku tidak menjawab (panggilan)nya? Pegang tanganku…!” Maka merekapun memapahnya, lalu iapun shalat Maghrib bersama imam berjamaah, diapun shalat satu rakaat, kemudian meninggal dunia. (Lihat Taariikh Al-Islaam 8/142)
Inilah kondisi seorang alim yang senantiasa mengisi kehidupannya dengan beribadah sesegera mungkin… bahkan dalam kondisi sekarat tetap ingin segera bisa sholat berjama’ah…. Bandingkanlah dengan kondisi sebagian kita… yang tatkala dikumadangkan adzan maka hatinya berbisik : “Iqomat masih lama…., entar lagi aja baru ke mesjid…, biasanya juga imamnya telat ko’…, selesaikan dulu pekerjaanmu.. tanggung…”, dan bisikan-bisikan yang lain yang merupakan tiupan yang dihembuskan oleh Iblis dalam hatinya.
Penulis: Ustadz Firanda Andirja, Lc., M.A.
Artikel www.KisahMuslim.com
Mush’ab bin Abdillah bercerita tentang ‘Aamir bin Abdillah bin Zubair yang dalam keadaan sakit parah,
سمع عامر المؤذن وهو يجود بنفسه فقال: خذوا بيدي إلى المسجد، فقيل: إنك عليل فقال: أسمع داعي الله فلا أجيبه فأخذوا بيده فدخل مع الإمام في صلاة المغرب فركع مع الإمام ركعة ثم مات
‘Aaamir bin Abdillah mendengar muadzin mengumandangkan adzan untuk shalat Maghrib, padahal ia dalam kondisi sakaratul maut pada nafas-nafas terakhir, maka iapun berkata, “Pegang tanganku ke mesjid…!!” Merekapun berkata, “Engkau dalam kondisi sakit !” Diapun berkata,”Aku mendengar muadzin mengumandangkan adzan sedangkan aku tidak menjawab (panggilan)nya? Pegang tanganku…!” Maka merekapun memapahnya, lalu iapun shalat Maghrib bersama imam berjamaah, diapun shalat satu rakaat, kemudian meninggal dunia. (Lihat Taariikh Al-Islaam 8/142)
Inilah kondisi seorang alim yang senantiasa mengisi kehidupannya dengan beribadah sesegera mungkin… bahkan dalam kondisi sekarat tetap ingin segera bisa sholat berjama’ah…. Bandingkanlah dengan kondisi sebagian kita… yang tatkala dikumadangkan adzan maka hatinya berbisik : “Iqomat masih lama…., entar lagi aja baru ke mesjid…, biasanya juga imamnya telat ko’…, selesaikan dulu pekerjaanmu.. tanggung…”, dan bisikan-bisikan yang lain yang merupakan tiupan yang dihembuskan oleh Iblis dalam hatinya.
Penulis: Ustadz Firanda Andirja, Lc., M.A.
Artikel www.KisahMuslim.com
Tanggal Kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
anggal Kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperselisihkan secara tajam. Ada yang mengatakan bahwa beliau lahir tanggal 2 Rabiul Awal, 8 Rabiul Awal, 10 Rabiul Awal, 12 Rabiul Awal, 17 Rabiul Awal (Lihat al-Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir: 2/260 dan Latho’iful Ma’arif karya Ibnu Rojab hlm. 184-185). Semua pendapat ini tidak berdasarkan hadits yang shahih. Adapun hadits Jabir dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang menerangkan bahwa tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tanggal 12 Rabiul Awal tidak shahih. Kalaulah shahih, tentu akan menjadi hakim (pemutus perkara) dalam masalah ini. Akan tetapi, Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang hadits tersebut, “Sanadnya terputus.” (al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Rajab hlm. 184-185)
Berhubung penentuan hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada yang shahih, tidak mengapa kalau kita menukil pendapat ahli falak. Banyak ahli falak berpendapat bahwa hari kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Rabiul Awal, seperti al-Ustadz Mahmud Basya al-Falaki, al-Ustadz Muhammad Sulaiman al-Manshur Fauri (Sebagaimana dinukil oleh Shofiyurrohman al-Mubarokfuri dalam ar-Rahiqul Makhtum hlm. 62), dan al-Ustadz Abdullah bin Ibrahim bin muhammad as-Sulaim, beliau mengatakan,
“Dalam kitab-kitab sejarah dan siroh dikatakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam lahir pada hari Senin tanggal 10, atau 8, atau 12 dan ini yang dipilih oleh mayoritas ulama. Telah tetap tanpa keraguan bahwa kelahiran beliau adalah pada 20 April 571 M (tahun Gajah), sebagaimana telah tetap juga bahwa beliau wafat pada 13 Rabiul Awal 11 H yang bertepatan dengan 6 Juni 632 M. Selagi tanggal-tanggal ini telah diketahui, maka dengan mudah dapat diketahui hari kelahiran dan hari wafatnya dengan jitu, demikian juga usia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan mengubah tahun-tahun ini pada hitungan hari akan ketemu 22.330 hari dan bila diubah ke tahun qamariyyah akan ketemulah bahwa umur beliau 63 tahun lebih tiga hari. Dengan demikian, hari kelahiran beliau adalah hari Senin 9 Rabiul Awal tahun 53 sebelum hijriah, bertepatan dengan 20 April 571 M. (Taqwimul Azman hlm. 143, cet pertama 1404 H)
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Sebagian ahli falak belakangan telah meneliti tentang tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata jatuh pada tanggal 9 Rabiul Awal, bukan 12 Rabiul Awal.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab Tauhid: 1/491. Dinukil dari Ma Sya’a wa Lam Yatsbut fis Sirah Nabawiyyah hlm. 7-8 oleh Muhammad bin Abdullah al-Ausyan)
Dengan demikian, apa yang dirayakan oleh sebagian kaum muslimin pada tanggal 12 Rabiul Awal setiap tahunnya? (-ed muslim.or.id)
***
Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Dikutip oleh muslim.or.id dari artikel 8 Faedah Seputar Tarikh Majalah Al-Furqon Edisi 08 th. ke-8 1430 H/2009 M
Berhubung penentuan hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada yang shahih, tidak mengapa kalau kita menukil pendapat ahli falak. Banyak ahli falak berpendapat bahwa hari kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Rabiul Awal, seperti al-Ustadz Mahmud Basya al-Falaki, al-Ustadz Muhammad Sulaiman al-Manshur Fauri (Sebagaimana dinukil oleh Shofiyurrohman al-Mubarokfuri dalam ar-Rahiqul Makhtum hlm. 62), dan al-Ustadz Abdullah bin Ibrahim bin muhammad as-Sulaim, beliau mengatakan,
“Dalam kitab-kitab sejarah dan siroh dikatakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam lahir pada hari Senin tanggal 10, atau 8, atau 12 dan ini yang dipilih oleh mayoritas ulama. Telah tetap tanpa keraguan bahwa kelahiran beliau adalah pada 20 April 571 M (tahun Gajah), sebagaimana telah tetap juga bahwa beliau wafat pada 13 Rabiul Awal 11 H yang bertepatan dengan 6 Juni 632 M. Selagi tanggal-tanggal ini telah diketahui, maka dengan mudah dapat diketahui hari kelahiran dan hari wafatnya dengan jitu, demikian juga usia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan mengubah tahun-tahun ini pada hitungan hari akan ketemu 22.330 hari dan bila diubah ke tahun qamariyyah akan ketemulah bahwa umur beliau 63 tahun lebih tiga hari. Dengan demikian, hari kelahiran beliau adalah hari Senin 9 Rabiul Awal tahun 53 sebelum hijriah, bertepatan dengan 20 April 571 M. (Taqwimul Azman hlm. 143, cet pertama 1404 H)
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Sebagian ahli falak belakangan telah meneliti tentang tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata jatuh pada tanggal 9 Rabiul Awal, bukan 12 Rabiul Awal.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab Tauhid: 1/491. Dinukil dari Ma Sya’a wa Lam Yatsbut fis Sirah Nabawiyyah hlm. 7-8 oleh Muhammad bin Abdullah al-Ausyan)
Dengan demikian, apa yang dirayakan oleh sebagian kaum muslimin pada tanggal 12 Rabiul Awal setiap tahunnya? (-ed muslim.or.id)
***
Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Dikutip oleh muslim.or.id dari artikel 8 Faedah Seputar Tarikh Majalah Al-Furqon Edisi 08 th. ke-8 1430 H/2009 M
Tatkala Ajal menjemput Khalifah Abdul Malik Bin Marwan
Kisah Khalifah Abdul Malik bin Marwaan
Tatkala ajal menjemput Khalifah Abdul Malik bin Marwaan maka iapun memerintahkan untuk dibukakan pintu istana, tiba-tiba ada seorang penjaga istana yang sedang mengeringkan bajunya di atas batu, maka iapun berkata, “Siapa ini?”, maka mereka menjawab, “Seorang penjaga istana”. Maka iapun berkata, “Seandainya aku adalah seorang penjaga istana…”. Ia juga berkata, “Seandainya aku adalah budak milik seorang yang tinggal di pegunungan Tihaamah, lantas akupun menggembalakan kambing di pegunungan tersebut”.
Di antara perkataan terakhir yang diucapkannya adalah,
اللَّهُمَّ إِنْ تَغْفِرْ تَغْفِرْ جَمًّا، لَيْتَنِي كُنْتُ غَسَّالاً أَعِيْشُ بِمَا أَكْتَسِبُ يَوْماً بِيَوْمٍ
“Yaa Allah, jika engkau mengampuniku, maka berilah pengampunan-Mu yang luas, seandainya aku hanyalah seorang tukang cuci, aku hidup dari hasil penghasilanku sehari untuk kehidupan sehari”
Dan diriwayatkan bahwsanya tatkala Khalifah Abdul Malik bin Marwan sakit parah maka iapun berkata, “Keluarkanlah aku di beranda istana…”, kemudian ia melihat megahnya kekuasaannya lalu iapun berkata, يَا دُنْيَا مَا أَطْيَبَكِ أَنَّ طَوِيْلَكِ لَقَصِيْرٌ وَأَنَّ كَبِيْرَكِ لَحَقِيْرٌ وَأَنْ كُنَّا مِنْكِ لَفِي غُرُوْرٍ “Wahai dunia sungguh indah engkau…, ternyata lamanya waktumu sangatlah singkat, kebesaranmu sungguh merupakan kehinaan, dan kami ternyata telah terpedaya olehmu”. Lalu iapun mengucapkan dua bait berikut ini,
إِنْ تُنَاقِشْ يَكُنْ نِقَاشُكَ يَارَبَّ عَذَابًا لاَ طَوْقَ لِي بِالْعَذَابِ
Jika engkau menyidangku wahai Rabb-ku, maka persidangan-Mu itu merupakan sebuah adzab yang tidak mampu aku hadapi
أَوْ تَجَاوَزْتَ فَأَنْتَ رَبٌّ صَفُوْحٌ عَنْ مُسِيْءٍ ذُنُوْبَهُ كَالتُّرَابِ
Atau jika engkau memaafkan aku maka engkau adalah Tuhan Yang Maha Memaafkan dosa-dosa seorang hamba yang bersalah”
(Lihat Mukhtashor Taariikh Dimasyq 5/88-89 dan Al-Kaamil fi At-Taariikh 4/238-239)
Penulis: Ustadz Firanda Andirja, Lc., M.A.
Artikel www.KisahMuslim.com
Tatkala ajal menjemput Khalifah Abdul Malik bin Marwaan maka iapun memerintahkan untuk dibukakan pintu istana, tiba-tiba ada seorang penjaga istana yang sedang mengeringkan bajunya di atas batu, maka iapun berkata, “Siapa ini?”, maka mereka menjawab, “Seorang penjaga istana”. Maka iapun berkata, “Seandainya aku adalah seorang penjaga istana…”. Ia juga berkata, “Seandainya aku adalah budak milik seorang yang tinggal di pegunungan Tihaamah, lantas akupun menggembalakan kambing di pegunungan tersebut”.
Di antara perkataan terakhir yang diucapkannya adalah,
اللَّهُمَّ إِنْ تَغْفِرْ تَغْفِرْ جَمًّا، لَيْتَنِي كُنْتُ غَسَّالاً أَعِيْشُ بِمَا أَكْتَسِبُ يَوْماً بِيَوْمٍ
“Yaa Allah, jika engkau mengampuniku, maka berilah pengampunan-Mu yang luas, seandainya aku hanyalah seorang tukang cuci, aku hidup dari hasil penghasilanku sehari untuk kehidupan sehari”
Dan diriwayatkan bahwsanya tatkala Khalifah Abdul Malik bin Marwan sakit parah maka iapun berkata, “Keluarkanlah aku di beranda istana…”, kemudian ia melihat megahnya kekuasaannya lalu iapun berkata, يَا دُنْيَا مَا أَطْيَبَكِ أَنَّ طَوِيْلَكِ لَقَصِيْرٌ وَأَنَّ كَبِيْرَكِ لَحَقِيْرٌ وَأَنْ كُنَّا مِنْكِ لَفِي غُرُوْرٍ “Wahai dunia sungguh indah engkau…, ternyata lamanya waktumu sangatlah singkat, kebesaranmu sungguh merupakan kehinaan, dan kami ternyata telah terpedaya olehmu”. Lalu iapun mengucapkan dua bait berikut ini,
إِنْ تُنَاقِشْ يَكُنْ نِقَاشُكَ يَارَبَّ عَذَابًا لاَ طَوْقَ لِي بِالْعَذَابِ
Jika engkau menyidangku wahai Rabb-ku, maka persidangan-Mu itu merupakan sebuah adzab yang tidak mampu aku hadapi
أَوْ تَجَاوَزْتَ فَأَنْتَ رَبٌّ صَفُوْحٌ عَنْ مُسِيْءٍ ذُنُوْبَهُ كَالتُّرَابِ
Atau jika engkau memaafkan aku maka engkau adalah Tuhan Yang Maha Memaafkan dosa-dosa seorang hamba yang bersalah”
(Lihat Mukhtashor Taariikh Dimasyq 5/88-89 dan Al-Kaamil fi At-Taariikh 4/238-239)
Penulis: Ustadz Firanda Andirja, Lc., M.A.
Artikel www.KisahMuslim.com
Hukum Mengcopy Program atau Buku
Ada sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Fadlilatusy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin rahimahullah :
Tanya : Apakah diperbolehkan mengkopi program komputer yang bersamaan dengan itu, perusahaan dan sistem/peraturan tidak memperbolehkannya ? Apakah hal itu bisa diperhitungkan sebagai satu bentuk monopoli ? Mereka menjualnya dengan harga yang mahal, namun jika mereka menjual dalam bentuk kopian, maka mereka bisa menjualnya dengan harga yang lebih murah ?
Jawab : Apakah program itu adalah program Al-Qur’an ?
Tanya : Program komputer secara umum.
Jawab : Apakah program itu adalah program Al-Qur’an ?
Tanya : Program Al-Qur’an, hadits, dan banyak program lainnya.
Jawab : Apakah yang engkau maksud adalah isi dari program tersebut ?
Tanya : Ya, apa-apa yang termuat dalam CD-nya.
Jawab : Apabila negara melarangnya, maka tidak diperbolehkan mengkopinya, karena Allah telah memerintahkan kita untuk mentaati waliyyul-amri, kecuali dalam hal kemaksiatan kepada Allah. Dan pelarangan pengkopian bukan termasuk perbuatan maksiat kepada Allah. Adapun dari sisi perusahaan, maka aku berpendapat bahwa jika seseorang mengkopi hanya untuk dirinya sendiri, maka tidak mengapa. Namun jika ia mengkopinya untuk diperdagangkan, maka tidak boleh, karena itu akan merugikan bagi yang lain. Perbuatan itu menyerupai penjualan terhadap penjualan seorang muslim. Karena jika mereka menjualnya dengan harga seratus, kemudian engkau mengkopinya dan menjualnya dengan harga limapuluh, maka ini namanya penjualan terhadap penjualan saudaramu.
Tanya : Dan apakah diperbolehkan saya membelinya kopian dengan harga limapuluh dari pemilik toko ?
Jawab : Tidak diperbolehkan, kecuali jika engkau ketahui bahwa si penjual telah memperoleh idzin. Namun jika ia tidak punya bukti (bahwa ia telah diijinkan), maka ini termasuk anjuran untuk berbuat dosa dan permusuhan.Tanya : Apabila ia tidak mempunyai ijin – jazaakallaahu khairan ?Jawab : Seandainya engkau tidak mengetahuinya, kadang-kadang seseorang memang tidak mengetahuinya, dan ia melewati sebuah toko, lalu ia membeli sedangkan ia tidak tahu; maka tidak mengapa dengannya. Orang yang tidak tahu, maka tidak ada dosa baginya”.[Silsilah Liqaa’ Al-Baab Al-Maftuuh, juz 178]http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=348387
Di lain kesempatan beliau juga berkata :
…….يبقى عندي إشكال فيما إذا أراد الإنسان أن ينسخ لنفسه فقط دون أن يصيب هذه الشركة بأذى ، فهل يجوز أو لا يجوز ؟ الظاهر لي إن شاء الله أن هذا لا بأس به ما دُمت لا تريد بذلك الريع و إنما تريد أن تنتفع أنت وحدك فقط فأرجو أن لا يكون في هذا بأس على أن هذا ثقيلة علي ، لكن أرجو أن لا يكون فيها بأس إن شاء الله ……“
….. Tinggallah satu permasalahan bagiku atas orang yang ingin mengkopinya bagi dirinya sendiri saja tanpa menimbulkan kerugian bagi perusahaan yang bersangkutan. Apakah diperbolehkan atau tidak (jika ia mengkopinya tanpa ijin darinya) ? Yang nampak bagiku, insya Allah, bahwa hal ini tidaklah mengapa selama tidak ditujukan mengambil keuntungan. Engkau hanya ingin mengambil manfaat bagi dirimu saja, maka aku berharap hal itu tidak mengapa, walaupun itu berat bagiku. Akan tetapi, aku berharap bahwa hal itu tidak mengapa, insya Allahu ta’ala….. “ [lihat : http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=13646].Ada fatwa lain semisal dari Asy-Syaikh Dr. Sa’d bin ‘Abdillah Al-Humaid hafidhahullah :
Tanya : Apabila seseorang mengkopi kitab atau program dalam bentuk CD tanpa ada ijin dari si Penulis atau perusahaan/penerbit, bahkan jika si Penulis atau perusahaan/penerbit itu bukan dari kalangan muslim. Apakah hal itu diperbolehkan atau tidak ?
Jawab : Mengkopi kitab atau CD dengan tujuan untuk diperdagangkan atau merugikan si Penulis asli, maka tidak diperbolehkan. Adapun jika seseorang membuat satu kopian bagi dirinya sendiri, maka kami berharap hal itu tidak apa-apa. Namun meninggalkan perbuatan tersebut lebih utama dan lebih baik. [sumber : http://islamqa.com/ar/ref/21927].
Asy-Syaikh Dr. ‘Abdullah Al-Faqiih hafidhahullah menjelaskan bahwa sebagian ulama membolehkan untuk mengkopi untuk dirinya sendiri saja, khususnya bagi para penuntut ilmu yang terhalang untuk mendapatkan barang yang orisinal karena ketiadaan wujud barangnya (yang asli) di negerinya, atau karena harganya yang mahal (lihat : http://www.islamweb.net/ver2/Fatwa/ShowFatwa.php?lang=A&Id=13169&Option=FatwaId dan http://www.islamweb.net/ver2/Fatwa/ShowFatwa.php?lang=A&Id=3932&Option=FatwaId). Lihat pula fatwa Asy-Syaikh Firkuuz hafidhahullahu ta’ala yang ternukil dalam diskusi http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=349221 (komentar no. 26).
Penulis: Abu Al-Jauzaa’
Artikel www.abul-jauzaa.blogspot.com, dipublish ulang oleh www.muslim.or.id
Tanya : Apakah diperbolehkan mengkopi program komputer yang bersamaan dengan itu, perusahaan dan sistem/peraturan tidak memperbolehkannya ? Apakah hal itu bisa diperhitungkan sebagai satu bentuk monopoli ? Mereka menjualnya dengan harga yang mahal, namun jika mereka menjual dalam bentuk kopian, maka mereka bisa menjualnya dengan harga yang lebih murah ?
Jawab : Apakah program itu adalah program Al-Qur’an ?
Tanya : Program komputer secara umum.
Jawab : Apakah program itu adalah program Al-Qur’an ?
Tanya : Program Al-Qur’an, hadits, dan banyak program lainnya.
Jawab : Apakah yang engkau maksud adalah isi dari program tersebut ?
Tanya : Ya, apa-apa yang termuat dalam CD-nya.
Jawab : Apabila negara melarangnya, maka tidak diperbolehkan mengkopinya, karena Allah telah memerintahkan kita untuk mentaati waliyyul-amri, kecuali dalam hal kemaksiatan kepada Allah. Dan pelarangan pengkopian bukan termasuk perbuatan maksiat kepada Allah. Adapun dari sisi perusahaan, maka aku berpendapat bahwa jika seseorang mengkopi hanya untuk dirinya sendiri, maka tidak mengapa. Namun jika ia mengkopinya untuk diperdagangkan, maka tidak boleh, karena itu akan merugikan bagi yang lain. Perbuatan itu menyerupai penjualan terhadap penjualan seorang muslim. Karena jika mereka menjualnya dengan harga seratus, kemudian engkau mengkopinya dan menjualnya dengan harga limapuluh, maka ini namanya penjualan terhadap penjualan saudaramu.
Tanya : Dan apakah diperbolehkan saya membelinya kopian dengan harga limapuluh dari pemilik toko ?
Jawab : Tidak diperbolehkan, kecuali jika engkau ketahui bahwa si penjual telah memperoleh idzin. Namun jika ia tidak punya bukti (bahwa ia telah diijinkan), maka ini termasuk anjuran untuk berbuat dosa dan permusuhan.Tanya : Apabila ia tidak mempunyai ijin – jazaakallaahu khairan ?Jawab : Seandainya engkau tidak mengetahuinya, kadang-kadang seseorang memang tidak mengetahuinya, dan ia melewati sebuah toko, lalu ia membeli sedangkan ia tidak tahu; maka tidak mengapa dengannya. Orang yang tidak tahu, maka tidak ada dosa baginya”.[Silsilah Liqaa’ Al-Baab Al-Maftuuh, juz 178]http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=348387
Di lain kesempatan beliau juga berkata :
…….يبقى عندي إشكال فيما إذا أراد الإنسان أن ينسخ لنفسه فقط دون أن يصيب هذه الشركة بأذى ، فهل يجوز أو لا يجوز ؟ الظاهر لي إن شاء الله أن هذا لا بأس به ما دُمت لا تريد بذلك الريع و إنما تريد أن تنتفع أنت وحدك فقط فأرجو أن لا يكون في هذا بأس على أن هذا ثقيلة علي ، لكن أرجو أن لا يكون فيها بأس إن شاء الله ……“
….. Tinggallah satu permasalahan bagiku atas orang yang ingin mengkopinya bagi dirinya sendiri saja tanpa menimbulkan kerugian bagi perusahaan yang bersangkutan. Apakah diperbolehkan atau tidak (jika ia mengkopinya tanpa ijin darinya) ? Yang nampak bagiku, insya Allah, bahwa hal ini tidaklah mengapa selama tidak ditujukan mengambil keuntungan. Engkau hanya ingin mengambil manfaat bagi dirimu saja, maka aku berharap hal itu tidak mengapa, walaupun itu berat bagiku. Akan tetapi, aku berharap bahwa hal itu tidak mengapa, insya Allahu ta’ala….. “ [lihat : http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=13646].Ada fatwa lain semisal dari Asy-Syaikh Dr. Sa’d bin ‘Abdillah Al-Humaid hafidhahullah :
Tanya : Apabila seseorang mengkopi kitab atau program dalam bentuk CD tanpa ada ijin dari si Penulis atau perusahaan/penerbit, bahkan jika si Penulis atau perusahaan/penerbit itu bukan dari kalangan muslim. Apakah hal itu diperbolehkan atau tidak ?
Jawab : Mengkopi kitab atau CD dengan tujuan untuk diperdagangkan atau merugikan si Penulis asli, maka tidak diperbolehkan. Adapun jika seseorang membuat satu kopian bagi dirinya sendiri, maka kami berharap hal itu tidak apa-apa. Namun meninggalkan perbuatan tersebut lebih utama dan lebih baik. [sumber : http://islamqa.com/ar/ref/21927].
Asy-Syaikh Dr. ‘Abdullah Al-Faqiih hafidhahullah menjelaskan bahwa sebagian ulama membolehkan untuk mengkopi untuk dirinya sendiri saja, khususnya bagi para penuntut ilmu yang terhalang untuk mendapatkan barang yang orisinal karena ketiadaan wujud barangnya (yang asli) di negerinya, atau karena harganya yang mahal (lihat : http://www.islamweb.net/ver2/Fatwa/ShowFatwa.php?lang=A&Id=13169&Option=FatwaId dan http://www.islamweb.net/ver2/Fatwa/ShowFatwa.php?lang=A&Id=3932&Option=FatwaId). Lihat pula fatwa Asy-Syaikh Firkuuz hafidhahullahu ta’ala yang ternukil dalam diskusi http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=349221 (komentar no. 26).
Penulis: Abu Al-Jauzaa’
Artikel www.abul-jauzaa.blogspot.com, dipublish ulang oleh www.muslim.or.id
Mimpi Ketemu Nabi
Pertanyaan
Syaikh kami, saya telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpiku sebanyak tiga kali namun tidak berurutan. Apakah takwil dari mimpiku ini? Barakallahu fikum.
Jawaban
الجواب: الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد:
Ketahuilah, sesungguhnya mimpi seorang yang bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila sesuai dengan ciri-ciri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di dunia adalah mimpi yang benar karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
:« مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بي »
Barangsiapa melihatku dalam mimpi maka dia benar benar telah melihatku, karena syaithan tidak mampu menyerupaiku [1].
Dalam satu riwayat tercantum dengan lafadz
مَنْ رَآنِي فَقَدْ رَآى الحَقَّ
Barangsiapa melihatku dalam mimpi maka dia benar benar telah melihatku [2].
Hal itu dikarenakan melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam mimpi dapat dikatakan benar jika seorang melihat beliau dengan ciri-ciri fisik yang telah diketahui dalam syamail (sifat dan perangai) beliau. Jika tidak sesuai, maka hal itu hanyalah mimpi yang tidak benar dan merupakan permainan setan terhadap manusia, karena dia mengamuflasekan dirinya dengan suatu rupa yang dianggap oleh orang yang bermimpi bahwa rupa tersebut adalah rupa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, apabila seseorang menceritakan kepada Ibnu Sirin rahimahullah bahwa dirinya telah melihat nabi, maka Ibnu Sirin mengatakan,
صِفْ لي الذي رأيتَه،
Sebutkan kepadaku ciri-ciri fisik beliau yang telah engkau lihat.
Apabila orang itu menyebutkan ciri-ciri yang tidak diketahui olehnya, maka Ibnu Sirin mengatakan, “Engkau tidaklah melihat beliau” [3].
Dengan ketentuan inilah dapat diketahui siapasaja yang benar-benar telah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan siapa saja yang diperdaya oleh syaithan.
.
والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصلى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلّم تسليمًا
Aljazair 7 Muharam 1427 H.
[1] أخرجه البخاري في «العلم »: (110)، وفي «الأدب »: (6179)، ومسلم في «الرؤيا »: (6056)، وابن ماجه في «تعبير الرؤيا »: (4034)، وأحمد: (7367)، من حديث أبي هريرة رضي الله عنه.
[2]أخرجه البخاري في «التعبير »: (6996)، ومسلم في «الرؤيا »: (6058)، وأحمد: (22096)، والدارمي: (2195)، من حديث أبي قتادة رضي الله عنه.
[3] علّقه البخاري في صحيحه، «كتاب التعبير » (3/449)، قال الحافظ ابن حجر رحمه الله في «الفتح »: (12/465):« وقد رويناه موصولاً من طريق إسماعيل بن إسحاق القاضي وسنده صحيح »، وانظر:« السلسلة الصحيحة »: (6-1/517).
Dikutip dari http://ikhwanmuslim.com/akidah-dan-manhaj/mimpi-ketemu-nabi
Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
Syaikh kami, saya telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpiku sebanyak tiga kali namun tidak berurutan. Apakah takwil dari mimpiku ini? Barakallahu fikum.
Jawaban
الجواب: الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد:
Ketahuilah, sesungguhnya mimpi seorang yang bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila sesuai dengan ciri-ciri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di dunia adalah mimpi yang benar karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
:« مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بي »
Barangsiapa melihatku dalam mimpi maka dia benar benar telah melihatku, karena syaithan tidak mampu menyerupaiku [1].
Dalam satu riwayat tercantum dengan lafadz
مَنْ رَآنِي فَقَدْ رَآى الحَقَّ
Barangsiapa melihatku dalam mimpi maka dia benar benar telah melihatku [2].
Hal itu dikarenakan melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam mimpi dapat dikatakan benar jika seorang melihat beliau dengan ciri-ciri fisik yang telah diketahui dalam syamail (sifat dan perangai) beliau. Jika tidak sesuai, maka hal itu hanyalah mimpi yang tidak benar dan merupakan permainan setan terhadap manusia, karena dia mengamuflasekan dirinya dengan suatu rupa yang dianggap oleh orang yang bermimpi bahwa rupa tersebut adalah rupa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, apabila seseorang menceritakan kepada Ibnu Sirin rahimahullah bahwa dirinya telah melihat nabi, maka Ibnu Sirin mengatakan,
صِفْ لي الذي رأيتَه،
Sebutkan kepadaku ciri-ciri fisik beliau yang telah engkau lihat.
Apabila orang itu menyebutkan ciri-ciri yang tidak diketahui olehnya, maka Ibnu Sirin mengatakan, “Engkau tidaklah melihat beliau” [3].
Dengan ketentuan inilah dapat diketahui siapasaja yang benar-benar telah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan siapa saja yang diperdaya oleh syaithan.
.
والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصلى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلّم تسليمًا
Aljazair 7 Muharam 1427 H.
[1] أخرجه البخاري في «العلم »: (110)، وفي «الأدب »: (6179)، ومسلم في «الرؤيا »: (6056)، وابن ماجه في «تعبير الرؤيا »: (4034)، وأحمد: (7367)، من حديث أبي هريرة رضي الله عنه.
[2]أخرجه البخاري في «التعبير »: (6996)، ومسلم في «الرؤيا »: (6058)، وأحمد: (22096)، والدارمي: (2195)، من حديث أبي قتادة رضي الله عنه.
[3] علّقه البخاري في صحيحه، «كتاب التعبير » (3/449)، قال الحافظ ابن حجر رحمه الله في «الفتح »: (12/465):« وقد رويناه موصولاً من طريق إسماعيل بن إسحاق القاضي وسنده صحيح »، وانظر:« السلسلة الصحيحة »: (6-1/517).
Dikutip dari http://ikhwanmuslim.com/akidah-dan-manhaj/mimpi-ketemu-nabi
Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
Keutamaan Dakwah Ilallah
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu’anhu, suatu ketika dalam peperangan Khaibar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, aku akan memberikan bendera ini kepada seorang pria yang melalui kedua tangannya Allah akan memberikan kemenangan, dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Sahl berkata: Maka di malam harinya orang-orang pun membicarakan siapakah kira-kira di antara mereka yang akan diberikan bendera itu. Sahl berkata: Ketika pagi harinya, orang-orang hadir dalam majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing dari mereka sangat mengharapkan untuk menjadi orang yang diberikan bendera itu. Kemudian, Nabi bersabda, “Dimanakah Ali bin Abi Thalib?”. Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, dia sedang menderita sakit di kedua matanya.” Sahl berkata: Mereka pun diperintahkan untuk menjemputnya. Kemudian, dia pun didatangkan lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi kedua matanya dan mendoakan kesembuhan baginya maka sembuhlah ia. Sampai-sampai seolah-olah tidak menderita sakit sama sekali sebelumnya. Maka beliau pun memberikan bendera itu kepadanya. Ali berkata, “Wahai Rasulullah, apakah saya harus memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita?”. Beliau menjawab, “Berjalanlah dengan tenang, sampai kamu tiba di sekitar wilayah mereka. Lalu serulah mereka untuk masuk Islam dan kabarkan kepada mereka hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Demi Allah, apabila Allah menunjuki seorang saja melalui dakwahmu itu lebih baik bagimu daripada kamu memiliki onta-onta merah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tentang perawi hadits :
Sahl bin Sa’ad bin Malik bin Khalid Al Anshari Al Khadzraji As Sa’idi Abul ‘Abbas, beliau dan ayah beliau merupakan shahabat yang masyhur, banyak dikenal. Meninggal pada tahun 88 H, ada yang mengatakan setelah tahun tersebut, ada pula yang mengatakan pada tahun 100 H.
Penjelasan Hadits :
1. Keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, yaitu bahwasanya Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam mempersaksikannya sebagai seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Ahlus sunnah meyakini keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, juga para ahlul bait yang beriman dan beramal shalih, begitu pula dengan shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya dan istri-istri beliau, tanpa bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap mereka (juga tanpa bersikap meremehkan kedudukan mereka –pent).
2. Hadits tersebut mengandung dua pertanda nubuwwah bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu :
Pertama, kejadian yang menimpa ‘Ali bin Abi Thalib pada hari tersebut, yaitu sakitnya kedua mata beliau. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meludahi kedua matanya dan, dengan izin Allah, penyakit tersebut hilang seketika.
Kedua, berita dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Allah akan memenangkan mereka dengan kedua tangan-Nya, maka benar-benar kaum muslimin dimenangkan oleh Allah Ta’ala. Padahal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui hal ghaib, akan tetapi Allah-lah yang membukakan beberapa hal ghaib kepada beliau. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun kemudian memberitakan hal tersebut.
3. Jihad merupakan bagian dari syari’at Islam, dalam rangka menolong agama dan dakwah kepada Islam. Disyariatkan untuk berdakwah terlebih dahulu sebelum memulai jihad, apabila mereka kemudian pasrah dan masuk Islam, maka tujuan jihad telah tercapai. Namun apabila mereka enggan masuk Islam, diambillah jizyah. Apabila mereka masih juga enggan untuk membayar jizyah, maka kaum muslimin memohon pertolongan kepada Rabbnya dan memerangi mereka. Adapun jika dakwah Islam telah sampai namun mereka tidak konsisten menerimanya, bahkan mengumpulkan pasukan untuk memerangi kaum muslimin, maka mereka pun diperangi. Sebagaimana penyerbuan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas Bani Musthaliq.
4. Hadits ini menjelaskan keutamaan dakwah kepada Allah Ta’ala, yaitu bahwasanya menunjuki seseorang kepada Islam jauh lebih baik pahalanya daripada harta dan perbendaharaan dunia yang paling baik sekalipun, yang dalam hadits tersebut diungkapkan dengan unta merah. Hal ini dikarenakan kenikmatan dunia adalah fana, sedangkan apa yang ada di sisi Allah kekal dan tidak fana lagi habis.
5. Hidayah terbagi menjadi dua, yaitu hidayah mutsbitah, yaitu yang ditetapkan dan dapat diberikan oleh makhluq, dan hidayah manfiyyah, yang tidak bisa diberikan oleh makhluq.
Pertama, hidayah yang ditetapkan dapat diberikan oleh makhluq ialah hidayah irsyad wa ad-dalalah, bimbingan dan petunjuk. Penjelasan mengenai hal ini terdapat dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya engkau wahai Muhammad, benar-benar dapat menunjuki mereka menuju jalan yang lurus”, yaitu dalam hal menunjuki dan membimbing mereka. Hal ini mengikuti teladan dari Rasul, para pewarisnya dari kalangan ulama, yang mereka senantiasa membimbing dan menjelaskan pada manusia hukum-hukum agama dan mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Kedua, hidayah taufiq dan ilham, inilah yang hanya dimiliki oleh Allah Ta’ala, tidak ada seorang makhluqpun yang memilikinya. Sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya engkau wahai Muhammad, tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Ia kehendaki”.
6. Keutamaan dakwah ilallah amatlah banyak, tersebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, diantaranya :
a. Dakwah merupakan salah satu ciri yang hakiki bagi siapa saja yang mengaku mengikuti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. Yusuf : 108). Ibnul Qoyyim berkata, “Mengenai ayat, ‘Aku dan orang-orang yang mengikutiku berada di atas bashirah’, dijelaskan oleh para ulama bahwasanya “orang-orang yang mengikutiku” diathafkan (istilah nahwu yang bermakna menghubungkan dengan kata sambung “dan”, menunjukkan kesetaraan -pent) secara marfu’ dengan maksud, yaitu aku berdakwah mengajak kepada Allah di atas bashirah, begitu pula dengan orang-orang yang mengikutiku, mereka juga berdakwah mengajak kepada Allah di atas bashirah. Ayat ini juga menunjukkan bahwasanya orang-orang yang mengikuti beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ialah para da’i yang menyeru kepada Allah di atas bashirah. Maka barangsiapa yang tidak termasuk diantara mereka, ia bukanlah pengikut Nabi secara hakiki, melainkan hanya sebatas penyandaran dan pengakuan belaka.”
b. Allah Ta’ala memuji para da’i yang menyeru kepada kebaikan, dengan istilah tidak ada perkataan yang paling baik dari perkataan mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushilat : 33)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya mengenai ayat tersebut, “Maka para da’i tersebut memberi manfaat kepada dirinya dan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bukanlah termasuk golongan ini orang-orang yang menyeru kepada yang ma’ruf akan tetapi tidak mengerjakannya, atau mencegah dari yang munkar akan tetapi ia sendiri mengerjakannya. Akan tetapi mereka menyeru kepada kebaikan dan meninggalkan keburukan, menyeru al khalqu (makhluq) kepada al khaaliqu (penciptanya) tabaraka wa ta’ala. Seruan ini umum mencakup siapa saja yang menyeru kepada kebaikan, dan memberikan petunjuk kepada orang lain.
Beliau rahimahullah kembali menjelaskan, “Berkata Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Al Hasan Al Bashri, bahwa beliau membaca ayat tersebut kemudian berkata, “Inilah kekasih Allah, inilah wali Allah, inilah manusia pilihan Allah, inilah penduduk bumi yang paling Allah cintai, Allah telah menerima dakwah mereka, dan mereka pun menyeru manusia kepada hal-hal yang Allah ridhai, dan mereka beramal shalih, dan berkata ‘Sesungguhnya kami hanyalah termasuk dari golongan orang-orang muslimin’, inilah khalifah Allah”
c. Orang-orang yang berdakwah kepada Allah, mereka adalah golongan yang memperoleh kemenangan dan keberuntungan di hari ketika manusia berkumpul dalam keadaan ada yang bahagia dan ada yang sedih. Allah Ta’ala berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al Ashr :1-3).
Maka orang-orang yang beruntung ialah mereka yang beriman kepada Allah baik sebagai Rabb Pencipta alam semesta, maupun sebagai Ilah yang berhak diibadahi semata, dan beramal shalih yaitu amal yang dikerjakan ikhlas karena Allah semata, dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian bersegera dalam menyempurnakan dan memperbaiki orang lain dengan menyeru manusia kepada al haq, yaitu setiap yang disyariatkan oleh Allah, kemudian bersabar di atas al haq tersebut, baik bersabar ketika mengerjakan ketaatan, bersabar dalam menjauhi keburukan, dan bersabar ketika ditimpa musibah.
Kebalikan dari golongan yang beruntung adalah yang merugi, diantara mereka terdapat golongan yang merugi secara mutlaq, yaitu orang kafir, dan ada pula orang-orang yang tingkat kerugiannya berada di bawahnya yaitu orang-orang yang bertauhid namun bermaksiat. Mereka akan diadzab sesuai dengan kadar kemaksiatan yang mereka perbuat. Tidak ada khilaf dalam masalah ini selain golongan Khawarij, Mu’tazilah, dan Murji’ah. (mohon Ustadz tambahkan penjelasan tentang pandangan Khawarij, Mu’tazilah, dan Murji’ah dalam masalah ini)
d. Pahala dakwah ilallah akan memberi manfaat yang terus menerus, selama Allah berkehendak, dan tidak terputus dengan kematian sebagaimana dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, “Jika manusia mati terputuslah darinya amalnya kecuali tiga hal : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim). Maka ilmu yang disebarkan oleh seorang da’i dalam rangka menyeru kepada Allah, baik melalui majelis ta’lim, atau ketika bergaul dengan manusia, pahalanya akan senantiasa mengalir dan memberikan manfaat hingga hari kiamat kelak.
e. Allah Ta’ala menjadikan seluruh makhluq di langit dan bumi, semuanya memohonkan ampun bagi para da’i ilallah, sampai ikan-ikan di lautan sekalipun. Inilah ganjaran atas amalan mereka menyebarkan ilmu yang merupakan warisan para Nabi, sesuai dengan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang yang berilmu akan dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi, hingga ikan-ikan di lautan turut memohonkan ampun bagi mereka”
f. Allah Ta’ala menetapkan pahala bagi para da’i ilallah, pahala yang besarnya semisal dengan mereka yang meneladani para da’i tersebut dalam kebaikan, tanpa mengurangi pahala orang yang melakukannya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memelopori suatu kebaikan (yang telah ada contohnya dari Nabi -pent) dalam Islam, baginya pahala semisal dengan orang yang melakukannya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang diperoleh orang yang melakukan tersebut”. Dalam hadits lainnya, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan baginya pahala yang semisal dengan orang yang melakukan kebaikan tersebut”.
Diterjemahkan dari “Ta’liqat ‘ala Arba’ina Haditsan fi Manhajis Salaf” Syaikh Ali bin Yahya Al Haddadi (http://haddady.com/ra_page_views.php?id=297&page=24&main=7)
Penerjemah: Yhouga Ariesta
Artikel www.muslim.or.id
Tentang perawi hadits :
Sahl bin Sa’ad bin Malik bin Khalid Al Anshari Al Khadzraji As Sa’idi Abul ‘Abbas, beliau dan ayah beliau merupakan shahabat yang masyhur, banyak dikenal. Meninggal pada tahun 88 H, ada yang mengatakan setelah tahun tersebut, ada pula yang mengatakan pada tahun 100 H.
Penjelasan Hadits :
1. Keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, yaitu bahwasanya Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam mempersaksikannya sebagai seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Ahlus sunnah meyakini keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, juga para ahlul bait yang beriman dan beramal shalih, begitu pula dengan shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya dan istri-istri beliau, tanpa bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap mereka (juga tanpa bersikap meremehkan kedudukan mereka –pent).
2. Hadits tersebut mengandung dua pertanda nubuwwah bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu :
Pertama, kejadian yang menimpa ‘Ali bin Abi Thalib pada hari tersebut, yaitu sakitnya kedua mata beliau. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meludahi kedua matanya dan, dengan izin Allah, penyakit tersebut hilang seketika.
Kedua, berita dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Allah akan memenangkan mereka dengan kedua tangan-Nya, maka benar-benar kaum muslimin dimenangkan oleh Allah Ta’ala. Padahal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui hal ghaib, akan tetapi Allah-lah yang membukakan beberapa hal ghaib kepada beliau. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun kemudian memberitakan hal tersebut.
3. Jihad merupakan bagian dari syari’at Islam, dalam rangka menolong agama dan dakwah kepada Islam. Disyariatkan untuk berdakwah terlebih dahulu sebelum memulai jihad, apabila mereka kemudian pasrah dan masuk Islam, maka tujuan jihad telah tercapai. Namun apabila mereka enggan masuk Islam, diambillah jizyah. Apabila mereka masih juga enggan untuk membayar jizyah, maka kaum muslimin memohon pertolongan kepada Rabbnya dan memerangi mereka. Adapun jika dakwah Islam telah sampai namun mereka tidak konsisten menerimanya, bahkan mengumpulkan pasukan untuk memerangi kaum muslimin, maka mereka pun diperangi. Sebagaimana penyerbuan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas Bani Musthaliq.
4. Hadits ini menjelaskan keutamaan dakwah kepada Allah Ta’ala, yaitu bahwasanya menunjuki seseorang kepada Islam jauh lebih baik pahalanya daripada harta dan perbendaharaan dunia yang paling baik sekalipun, yang dalam hadits tersebut diungkapkan dengan unta merah. Hal ini dikarenakan kenikmatan dunia adalah fana, sedangkan apa yang ada di sisi Allah kekal dan tidak fana lagi habis.
5. Hidayah terbagi menjadi dua, yaitu hidayah mutsbitah, yaitu yang ditetapkan dan dapat diberikan oleh makhluq, dan hidayah manfiyyah, yang tidak bisa diberikan oleh makhluq.
Pertama, hidayah yang ditetapkan dapat diberikan oleh makhluq ialah hidayah irsyad wa ad-dalalah, bimbingan dan petunjuk. Penjelasan mengenai hal ini terdapat dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya engkau wahai Muhammad, benar-benar dapat menunjuki mereka menuju jalan yang lurus”, yaitu dalam hal menunjuki dan membimbing mereka. Hal ini mengikuti teladan dari Rasul, para pewarisnya dari kalangan ulama, yang mereka senantiasa membimbing dan menjelaskan pada manusia hukum-hukum agama dan mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Kedua, hidayah taufiq dan ilham, inilah yang hanya dimiliki oleh Allah Ta’ala, tidak ada seorang makhluqpun yang memilikinya. Sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya engkau wahai Muhammad, tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Ia kehendaki”.
6. Keutamaan dakwah ilallah amatlah banyak, tersebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, diantaranya :
a. Dakwah merupakan salah satu ciri yang hakiki bagi siapa saja yang mengaku mengikuti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. Yusuf : 108). Ibnul Qoyyim berkata, “Mengenai ayat, ‘Aku dan orang-orang yang mengikutiku berada di atas bashirah’, dijelaskan oleh para ulama bahwasanya “orang-orang yang mengikutiku” diathafkan (istilah nahwu yang bermakna menghubungkan dengan kata sambung “dan”, menunjukkan kesetaraan -pent) secara marfu’ dengan maksud, yaitu aku berdakwah mengajak kepada Allah di atas bashirah, begitu pula dengan orang-orang yang mengikutiku, mereka juga berdakwah mengajak kepada Allah di atas bashirah. Ayat ini juga menunjukkan bahwasanya orang-orang yang mengikuti beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ialah para da’i yang menyeru kepada Allah di atas bashirah. Maka barangsiapa yang tidak termasuk diantara mereka, ia bukanlah pengikut Nabi secara hakiki, melainkan hanya sebatas penyandaran dan pengakuan belaka.”
b. Allah Ta’ala memuji para da’i yang menyeru kepada kebaikan, dengan istilah tidak ada perkataan yang paling baik dari perkataan mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushilat : 33)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya mengenai ayat tersebut, “Maka para da’i tersebut memberi manfaat kepada dirinya dan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bukanlah termasuk golongan ini orang-orang yang menyeru kepada yang ma’ruf akan tetapi tidak mengerjakannya, atau mencegah dari yang munkar akan tetapi ia sendiri mengerjakannya. Akan tetapi mereka menyeru kepada kebaikan dan meninggalkan keburukan, menyeru al khalqu (makhluq) kepada al khaaliqu (penciptanya) tabaraka wa ta’ala. Seruan ini umum mencakup siapa saja yang menyeru kepada kebaikan, dan memberikan petunjuk kepada orang lain.
Beliau rahimahullah kembali menjelaskan, “Berkata Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Al Hasan Al Bashri, bahwa beliau membaca ayat tersebut kemudian berkata, “Inilah kekasih Allah, inilah wali Allah, inilah manusia pilihan Allah, inilah penduduk bumi yang paling Allah cintai, Allah telah menerima dakwah mereka, dan mereka pun menyeru manusia kepada hal-hal yang Allah ridhai, dan mereka beramal shalih, dan berkata ‘Sesungguhnya kami hanyalah termasuk dari golongan orang-orang muslimin’, inilah khalifah Allah”
c. Orang-orang yang berdakwah kepada Allah, mereka adalah golongan yang memperoleh kemenangan dan keberuntungan di hari ketika manusia berkumpul dalam keadaan ada yang bahagia dan ada yang sedih. Allah Ta’ala berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al Ashr :1-3).
Maka orang-orang yang beruntung ialah mereka yang beriman kepada Allah baik sebagai Rabb Pencipta alam semesta, maupun sebagai Ilah yang berhak diibadahi semata, dan beramal shalih yaitu amal yang dikerjakan ikhlas karena Allah semata, dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian bersegera dalam menyempurnakan dan memperbaiki orang lain dengan menyeru manusia kepada al haq, yaitu setiap yang disyariatkan oleh Allah, kemudian bersabar di atas al haq tersebut, baik bersabar ketika mengerjakan ketaatan, bersabar dalam menjauhi keburukan, dan bersabar ketika ditimpa musibah.
Kebalikan dari golongan yang beruntung adalah yang merugi, diantara mereka terdapat golongan yang merugi secara mutlaq, yaitu orang kafir, dan ada pula orang-orang yang tingkat kerugiannya berada di bawahnya yaitu orang-orang yang bertauhid namun bermaksiat. Mereka akan diadzab sesuai dengan kadar kemaksiatan yang mereka perbuat. Tidak ada khilaf dalam masalah ini selain golongan Khawarij, Mu’tazilah, dan Murji’ah. (mohon Ustadz tambahkan penjelasan tentang pandangan Khawarij, Mu’tazilah, dan Murji’ah dalam masalah ini)
d. Pahala dakwah ilallah akan memberi manfaat yang terus menerus, selama Allah berkehendak, dan tidak terputus dengan kematian sebagaimana dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, “Jika manusia mati terputuslah darinya amalnya kecuali tiga hal : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim). Maka ilmu yang disebarkan oleh seorang da’i dalam rangka menyeru kepada Allah, baik melalui majelis ta’lim, atau ketika bergaul dengan manusia, pahalanya akan senantiasa mengalir dan memberikan manfaat hingga hari kiamat kelak.
e. Allah Ta’ala menjadikan seluruh makhluq di langit dan bumi, semuanya memohonkan ampun bagi para da’i ilallah, sampai ikan-ikan di lautan sekalipun. Inilah ganjaran atas amalan mereka menyebarkan ilmu yang merupakan warisan para Nabi, sesuai dengan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang yang berilmu akan dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi, hingga ikan-ikan di lautan turut memohonkan ampun bagi mereka”
f. Allah Ta’ala menetapkan pahala bagi para da’i ilallah, pahala yang besarnya semisal dengan mereka yang meneladani para da’i tersebut dalam kebaikan, tanpa mengurangi pahala orang yang melakukannya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memelopori suatu kebaikan (yang telah ada contohnya dari Nabi -pent) dalam Islam, baginya pahala semisal dengan orang yang melakukannya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang diperoleh orang yang melakukan tersebut”. Dalam hadits lainnya, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan baginya pahala yang semisal dengan orang yang melakukan kebaikan tersebut”.
Diterjemahkan dari “Ta’liqat ‘ala Arba’ina Haditsan fi Manhajis Salaf” Syaikh Ali bin Yahya Al Haddadi (http://haddady.com/ra_page_views.php?id=297&page=24&main=7)
Penerjemah: Yhouga Ariesta
Artikel www.muslim.or.id
DEMONSTRASI BUKANLAH SOLUSI
Demonstrasi yaitu pengungkapan
kemauan secara beramai-ramai,
baik setuju atau tidak setuju akan
sesuatu, sambil berarak-arakan
dengan membawa spanduk atau
panji-panji, poster, dan lain
sebagainya, yang berisikan tulisan
menggambarkan tujuan
demonstrai tersebut (Kamus
Istilah Populer, hal. 62).
Tidak diragukan lagi, bagi
seseorang yang mau menimbang
suatu hukum berdasarkan cahaya
al-Qur’an dan as-Sunnah, bahwa
demonstrasi hukumnya tidak
boleh berdasarkan beberapa
argumen sebagai berikut:
1. Demonstrasi merupakan
perkara baru dalam agama
Cara atau metode dakwah ilallah
telah dicontohkan dan
dipraktikkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang mulia. Tidak
pernah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam beserta para
sahabatnya berdemonstrasi
dengan memasang sepanduk,
meneriakkan yel-yel, dan
sebagainya, ke rumah Abu Jahal
atau lainnya. Apalagi bersama
para wanita yang dianjurkan agar
tetap melazimi “istana
kerajaan” (rumah)-nya. Kalaulah
memang ada manfaat, maka hal
itu lebih kecil dibandingkan
kerusakan yang ditimbulkannya.
2. Demonstrasi termasuk
tasyabbuh terhadap orang-orang
kafir
Tidak diperselisihkan lagi oleh
siapa pun bahwa demonstrasi
adalah hasil produk orang-orang
kafir. Maka, sungguh
mengherankan sikap kaum
muslimin yang langsung menelan
produk barat ini. Mengapa kaum
muslimin menelan produk impor
barat ini?! Bukankah mereka
selalu mendengungkan ayat Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
ﻭﻟﻦ ﺗﺮﺿﻰ ﻋﻨﻚ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﻻ
ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺣﺘﻰ
ﺗﺘﺒﻊ ﻣﻠﺘﻬﻢ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani
tidak akan ridha kepada kamu,
sehingga kamu mengikuti agama
mereka…. “ (Qs. al-Baqarah: 120).
3. Kerusakan yang ditimbulkan
demonstrasi lebih banyak
Al-Hafizh Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata,“Apabila
seorang merasa kesulitan tentang
hukum suatu masalah, apakah
mubah ataukah haram, maka
hendaklah dia melihat kepada
mafsadah (kerusakan) dan hasil
yang ditimbulkan olehnya. Apabila
ternyata sesuatu tersebut
mengandung kerusakan yang
lebih besar, maka sangatlah
mustahil bila syariat Islam
memerintahkan atau
memperbolehkannya, bahkan
keharamannya merupakan
sesuatu yang pasti
Lebih-lebih apabila hal tersebut
menjurus kepada kemurkaan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
rasul-Nya, baik dari jarak dekat
maupun jauh, seseorang yang
cerdik tidak akan ragu akan
keharamannya.” (Madarijus
Salikin, 1/496).
Dengan bercermin kepada kaidah
yang berharga ini, marilah kita
bersama-sama melihat hukum
demonstrasi secara adil, apakah
yang kita dapati bersama?
Lihatlah betapa banyak nyawa
yang terbang karena fitnah ini.
Betapa banyak gedung-gedung
hancur akibat fitnah ini. Sehingga
keamanan dan ketentraman kini
terasa mahal harganya. Histeris
serta ketakutan selalu
membayangi kehidupan manusia.
Mengapa mereka tidak berpikir,
bila seorang polisi atau aparat
terbunuh dalam aksi demo
tersebut, yang merugi adalah kita
semua? Apabila gedung atau
bangunan pemerintah dirusak
akan lebih merugikan kita semua?
Mana yang lebih disenangi Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
terpeliharanya darah, harta, dan
kehormatan–meskipun barang
melambung tinggi—ataukah
terkoyaknya kehormatan dan
tumpahnya nyawa orang yang
belum tentu membuat harga
barang turun?
Ingatlah sabda Nabi
Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ﻟﺰﻭﺍﻝ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﻣﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﺃﻫﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ
ﻗﺘﻞ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺑﻐﻴﺮ ﺣﻖ
“Hilangnya dunia beserta isinya
sungguh lebih ringan di sisi Allah
daripada terbunuhnya seorang
muslim dengan tidak
benar.” (Hadits shahih,
diriwayatkan Ibnu Majah (2668),
Tirmidzi (1395), Nasai (3998)
dengan sanad shahih).
Wahai saudaraku, ingatlah bahwa
bencana yang menimpa bangsa
saat ini adalah disebabkan
perbuatan dosa mereka sendiri,
agar mereka segera menyadari
dan kembali kepada ajaran agama
yang suci. Bukankah Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah
berfirman,
ﻇﻬﺮ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺮ ﻭﺍﻟﺒﺤﺮ ﺑﻤﺎ ﻛﺴﺒﺖ
ﺃﻳﺪﻱ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻟﻴﺬﻳﻘﻬﻢ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﻤﻠﻮﺍ
ﻟﻌﻠﻬﻢ ﻳﺮﺟﻌﻮﻥ
“Telah nampak kerusakan di
daratan dan lautan disebabkan
ulah perbuatan manusia.” (Qs. ar-
Ruum: 41).
Jadi cara terbaik mengatasi segala
krisis dan bencana yang
menyelimuti bangsa ini adalah
dengan bertobat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
memperbaiki diri kita dan
keluarga dengan aqidah
shahihah, serta membersihkan
diri dari segala noda ksyirikan
dan kebid’ahan. Ada pun cara-
cara seperti kudeta, demonstrasi,
dan sejenisnya sekali pun
dimaksudkan untuk kebaikan,
maka sebagaimana kata penyair:
ﺭﺍﻡ ﻧﻔﻌﺎ ﻓﻀﺮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻗﺼﺪ
ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺒﺮ ﻣﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻘﻮﻗﺎ
Maksud hati ingin raih kebaikan,
namun tanpa sengaja justru
menumbulkan kerusakan.
Sesungguhnya di antara kebaikan
ada yang menjadi kedurhakaan
Sumber: Waspada Terhadap
Kisah-Kisah Tak Nyata, Abu
Ubaidah Yusuf As-Sidawi, Pustaka
Al-Furqon, 1429 H
Artikel www.kisahMuslim.com
dengan pengubahan tata bahasa
seperlunya.
kemauan secara beramai-ramai,
baik setuju atau tidak setuju akan
sesuatu, sambil berarak-arakan
dengan membawa spanduk atau
panji-panji, poster, dan lain
sebagainya, yang berisikan tulisan
menggambarkan tujuan
demonstrai tersebut (Kamus
Istilah Populer, hal. 62).
Tidak diragukan lagi, bagi
seseorang yang mau menimbang
suatu hukum berdasarkan cahaya
al-Qur’an dan as-Sunnah, bahwa
demonstrasi hukumnya tidak
boleh berdasarkan beberapa
argumen sebagai berikut:
1. Demonstrasi merupakan
perkara baru dalam agama
Cara atau metode dakwah ilallah
telah dicontohkan dan
dipraktikkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang mulia. Tidak
pernah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam beserta para
sahabatnya berdemonstrasi
dengan memasang sepanduk,
meneriakkan yel-yel, dan
sebagainya, ke rumah Abu Jahal
atau lainnya. Apalagi bersama
para wanita yang dianjurkan agar
tetap melazimi “istana
kerajaan” (rumah)-nya. Kalaulah
memang ada manfaat, maka hal
itu lebih kecil dibandingkan
kerusakan yang ditimbulkannya.
2. Demonstrasi termasuk
tasyabbuh terhadap orang-orang
kafir
Tidak diperselisihkan lagi oleh
siapa pun bahwa demonstrasi
adalah hasil produk orang-orang
kafir. Maka, sungguh
mengherankan sikap kaum
muslimin yang langsung menelan
produk barat ini. Mengapa kaum
muslimin menelan produk impor
barat ini?! Bukankah mereka
selalu mendengungkan ayat Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
ﻭﻟﻦ ﺗﺮﺿﻰ ﻋﻨﻚ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﻻ
ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺣﺘﻰ
ﺗﺘﺒﻊ ﻣﻠﺘﻬﻢ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani
tidak akan ridha kepada kamu,
sehingga kamu mengikuti agama
mereka…. “ (Qs. al-Baqarah: 120).
3. Kerusakan yang ditimbulkan
demonstrasi lebih banyak
Al-Hafizh Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata,“Apabila
seorang merasa kesulitan tentang
hukum suatu masalah, apakah
mubah ataukah haram, maka
hendaklah dia melihat kepada
mafsadah (kerusakan) dan hasil
yang ditimbulkan olehnya. Apabila
ternyata sesuatu tersebut
mengandung kerusakan yang
lebih besar, maka sangatlah
mustahil bila syariat Islam
memerintahkan atau
memperbolehkannya, bahkan
keharamannya merupakan
sesuatu yang pasti
Lebih-lebih apabila hal tersebut
menjurus kepada kemurkaan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
rasul-Nya, baik dari jarak dekat
maupun jauh, seseorang yang
cerdik tidak akan ragu akan
keharamannya.” (Madarijus
Salikin, 1/496).
Dengan bercermin kepada kaidah
yang berharga ini, marilah kita
bersama-sama melihat hukum
demonstrasi secara adil, apakah
yang kita dapati bersama?
Lihatlah betapa banyak nyawa
yang terbang karena fitnah ini.
Betapa banyak gedung-gedung
hancur akibat fitnah ini. Sehingga
keamanan dan ketentraman kini
terasa mahal harganya. Histeris
serta ketakutan selalu
membayangi kehidupan manusia.
Mengapa mereka tidak berpikir,
bila seorang polisi atau aparat
terbunuh dalam aksi demo
tersebut, yang merugi adalah kita
semua? Apabila gedung atau
bangunan pemerintah dirusak
akan lebih merugikan kita semua?
Mana yang lebih disenangi Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
terpeliharanya darah, harta, dan
kehormatan–meskipun barang
melambung tinggi—ataukah
terkoyaknya kehormatan dan
tumpahnya nyawa orang yang
belum tentu membuat harga
barang turun?
Ingatlah sabda Nabi
Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ﻟﺰﻭﺍﻝ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﻣﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﺃﻫﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ
ﻗﺘﻞ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺑﻐﻴﺮ ﺣﻖ
“Hilangnya dunia beserta isinya
sungguh lebih ringan di sisi Allah
daripada terbunuhnya seorang
muslim dengan tidak
benar.” (Hadits shahih,
diriwayatkan Ibnu Majah (2668),
Tirmidzi (1395), Nasai (3998)
dengan sanad shahih).
Wahai saudaraku, ingatlah bahwa
bencana yang menimpa bangsa
saat ini adalah disebabkan
perbuatan dosa mereka sendiri,
agar mereka segera menyadari
dan kembali kepada ajaran agama
yang suci. Bukankah Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah
berfirman,
ﻇﻬﺮ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺮ ﻭﺍﻟﺒﺤﺮ ﺑﻤﺎ ﻛﺴﺒﺖ
ﺃﻳﺪﻱ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻟﻴﺬﻳﻘﻬﻢ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﻤﻠﻮﺍ
ﻟﻌﻠﻬﻢ ﻳﺮﺟﻌﻮﻥ
“Telah nampak kerusakan di
daratan dan lautan disebabkan
ulah perbuatan manusia.” (Qs. ar-
Ruum: 41).
Jadi cara terbaik mengatasi segala
krisis dan bencana yang
menyelimuti bangsa ini adalah
dengan bertobat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
memperbaiki diri kita dan
keluarga dengan aqidah
shahihah, serta membersihkan
diri dari segala noda ksyirikan
dan kebid’ahan. Ada pun cara-
cara seperti kudeta, demonstrasi,
dan sejenisnya sekali pun
dimaksudkan untuk kebaikan,
maka sebagaimana kata penyair:
ﺭﺍﻡ ﻧﻔﻌﺎ ﻓﻀﺮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻗﺼﺪ
ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺒﺮ ﻣﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻘﻮﻗﺎ
Maksud hati ingin raih kebaikan,
namun tanpa sengaja justru
menumbulkan kerusakan.
Sesungguhnya di antara kebaikan
ada yang menjadi kedurhakaan
Sumber: Waspada Terhadap
Kisah-Kisah Tak Nyata, Abu
Ubaidah Yusuf As-Sidawi, Pustaka
Al-Furqon, 1429 H
Artikel www.kisahMuslim.com
dengan pengubahan tata bahasa
seperlunya.
Sabtu, 04 Juni 2011
Hamzah bin Abdul Muthalib, Sang “Asadullah” (Singa Allah)
Nama sebenarnya Hamzah
bin Abdul Muthalib bin
Hasyim, seorang paman Nabi
dan saudara
sepersusuannya. Dia
memeluk Islam pada tahun
kedua kenabian, Ia Ikut
Hijrah bersama Rasulullah
shallallahu alaihi wassalam
dan ikut dalam perang
Badar, dan meninggal pada
saat perang Uhud, Rasulullah
menjulukinya dengan
“Asadullah” (Singa Allah) dan
menamainya sebagai
“Sayidus Syuhada”.
Ibnu Atsir berkata dalam
kitab‘Usud al Ghabah”,
Dalam perang Uhud, Hamzah
berhasil membunuh 31
orang kafir Quraisy, sampai
pada suatu saat beliau
tergelincir sehingga ia
terjatuh kebelakang dan
tersingkaplah baju besinya,
dan pada saat itu ia
langsung ditombak dan
dirobek perutnya . lalu
hatinya dikeluarkan oleh
Hindun kemudian
dikunyahnya hati Hamzah
tetapi tidak tertelan dan
segera dimuntahkannya.
Ketika Rasulullah melihat
keadaan tubuh pamannya
Hamzah bin Abdul Muthalib,
Beliau sangat marah dan
Allah menurunkan
firmannya ,” Dan jika kamu
memberikan balasan, maka
balaslah dengan balasan
yang sama dengan siksaan
yang ditimpakan kepadamu.
Akan tetapi jika kamu
bersabar, sesungguhnya
itulah yang lebih baik bagi
orang-orang yang sabar.
(Qs; an Nahl 126)
Diriwayatkan oleh Ibnu
Ishaq didalam kitab,” Sirah
Ibnu Ishaq” dari
Abdurahman bin Auf bahwa
Ummayyah bin Khalaf
berkata kepadanya“
Siapakah salah seorang
pasukan kalian yang
dadanya dihias dengan bulu
bulu itu?”, aku menjawab
“Dia adalah Hamzah bin
Abdul Muthalib”. Lalu
Umayyah dberkata Dialah
yang membuat kekalahan
kepada kami”.
Abdurahman bin Auf
menyebutkan bahwa ketika
perang Badar, Hamzah
berperang disamping
Rasulullah dengan
memegang 2 bilah pedang.
Diriwayatkan dari Jabir
bahwa ketika Rasulullah
shallallahu alaihi wassalam
melihat Hamzah terbunuh,
maka beliau menagis.
Ia wafat pada tahun 3 H, dan
Rasulullah shallallahu alaihi
wasalam dengan“Sayidus
Syuhada”.
===
Disalin dari riwayat Hamzah
bin Abul Muthalib dalam
Usud al Ghabah Ibn Atsir,
Sirah Ibn Ishaq /ahlulhadist
Artikel
www.KisahMuslim.com
bin Abdul Muthalib bin
Hasyim, seorang paman Nabi
dan saudara
sepersusuannya. Dia
memeluk Islam pada tahun
kedua kenabian, Ia Ikut
Hijrah bersama Rasulullah
shallallahu alaihi wassalam
dan ikut dalam perang
Badar, dan meninggal pada
saat perang Uhud, Rasulullah
menjulukinya dengan
“Asadullah” (Singa Allah) dan
menamainya sebagai
“Sayidus Syuhada”.
Ibnu Atsir berkata dalam
kitab‘Usud al Ghabah”,
Dalam perang Uhud, Hamzah
berhasil membunuh 31
orang kafir Quraisy, sampai
pada suatu saat beliau
tergelincir sehingga ia
terjatuh kebelakang dan
tersingkaplah baju besinya,
dan pada saat itu ia
langsung ditombak dan
dirobek perutnya . lalu
hatinya dikeluarkan oleh
Hindun kemudian
dikunyahnya hati Hamzah
tetapi tidak tertelan dan
segera dimuntahkannya.
Ketika Rasulullah melihat
keadaan tubuh pamannya
Hamzah bin Abdul Muthalib,
Beliau sangat marah dan
Allah menurunkan
firmannya ,” Dan jika kamu
memberikan balasan, maka
balaslah dengan balasan
yang sama dengan siksaan
yang ditimpakan kepadamu.
Akan tetapi jika kamu
bersabar, sesungguhnya
itulah yang lebih baik bagi
orang-orang yang sabar.
(Qs; an Nahl 126)
Diriwayatkan oleh Ibnu
Ishaq didalam kitab,” Sirah
Ibnu Ishaq” dari
Abdurahman bin Auf bahwa
Ummayyah bin Khalaf
berkata kepadanya“
Siapakah salah seorang
pasukan kalian yang
dadanya dihias dengan bulu
bulu itu?”, aku menjawab
“Dia adalah Hamzah bin
Abdul Muthalib”. Lalu
Umayyah dberkata Dialah
yang membuat kekalahan
kepada kami”.
Abdurahman bin Auf
menyebutkan bahwa ketika
perang Badar, Hamzah
berperang disamping
Rasulullah dengan
memegang 2 bilah pedang.
Diriwayatkan dari Jabir
bahwa ketika Rasulullah
shallallahu alaihi wassalam
melihat Hamzah terbunuh,
maka beliau menagis.
Ia wafat pada tahun 3 H, dan
Rasulullah shallallahu alaihi
wasalam dengan“Sayidus
Syuhada”.
===
Disalin dari riwayat Hamzah
bin Abul Muthalib dalam
Usud al Ghabah Ibn Atsir,
Sirah Ibn Ishaq /ahlulhadist
Artikel
www.KisahMuslim.com
Langganan:
Postingan (Atom)