Liberalisme telah masuk ke dalam
semua kelompok masyarakat manusia. Tidak terkecuali kaum muslimin. Indonesia
sebagai Negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam pun demikian. Pengaruh
liberalisme telah merasuk ke dalam semua lini kehidupan banyak masyarakat kaum
muslimin di negeri ini.
Selain faktor internal kaum muslimin
yang lemah dari sisi komitmen mereka terhadap agamanya, terutama persoalan yang
berkaitan dengan akidah, tersebarnya aliran pemikiran liberalisme tidak lepas
dari peran Barat yang sangat giat menyebarkannya melalui kekuatan politik,
ekonomi dan teknologi informasi yang mereka miliki. Dan disinyalir, kaum
muslimin adalah sasaran utama dari invansi pemikiran ini. Karena, sebagaimana
yang dikatakan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul “Clash Of
Civilization” (Benturan Peradaban), setelah jatuhnya aliran Komunisme, maka
tantangan Barat selanjutnya adalah Islam. Menurutnya, “bahaya Islam” lebih
berat dari peradaban-peradaban yang lain seperti Cina, Jepang dan negeri-negeri
Asia Utara yang lain.
Selain itu, keyakinan Barat terhadap
konsep liberal di antaranya juga diinspirasi oleh tesis Francis Fukuyama dalam
“The End Of History” (Akhir Sejarah) yang menyebutkan bahwa demokrasi liberal
adalah titik akhir dari evolusi sosial budaya dan bentuk pemerintahan manusia.[1]
Sebagai umat Islam, tentu kita tidak
ingin peradaban Islam yang di bangun diatas akidah dan nilai-nilai agama Allah
ini dirusak oleh orang-orang kafir dengan pemikiran-pemikiran luar itu. Islam
adalah agama yang sempurna dengan ajaran yang bersumber dari wahyu Allah,
Pencipta yang Mahamengetahui segala kebutuhan makhluk-makhluk-Nya. Karenanya
Islam tidak membutuhkan isme-isme dan ideologi dari luar. Allah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
(QS. Al Maidah [5]: 3)
Sejarah Liberalisme
Sejarah kemunculan liberalisme
terbentang dari sejak abad ke-15, saat Eropa memulai era kebangkitan (Renaissance)
mereka sampai sekitar abad ke-18 masehi, setelah sebelumnya dari sejak abad
ke-5, orang-orang Eropa hidup dalam era kegelapan (Dark Ages).[2]
Dr. Abdurrahim Shamâyil mengatakan,
“Liberalisme secara teori politik, ekonomi dan sosial tidak terbentuk dalam
satu waktu dan oleh satu tokoh pemikir, akan tetapi ia dibentuk oleh sejumlah
pemikir. Liberalisme bukan pemikiran John Luke (w 1704), bukan pemikiran
Rousseau (1778), atau pemikiran John Stuart Mill (w 1873), akan tetapi setiap
dari mereka memberikan konstribusi yang sangat berarti untuk ideologi
liberalisme.”[3]
Sejarah liberalisme dimulai sebagai
reaksi atas hegemoni kaum feodal pada abad pertengahan di Eropa. Sebagaimana
diketahui, Kristen adalah agama yang telah mengalami perubahan dan penyimpangan
ajaran. Pada tahun 325 M, Imperium Romawi mulai memeluk agama Kristen yang
telah mengalami perubahan tersebut, yaitu setelah agama Kristen merubah
keyakinan tauhid menjadi trinitas dan penyimpangan-penyimpangan yang lainnya.
Pada saat yang sama, sistem politik
yang dianut oleh penguasa untuk memerintah rakyatnya ketika itu adalah
feodalisme; sistem otoriter yang zalim, menekan dan memasung kebebasan
masyarakat. Sistem feodal berada pada puncaknya di abad ke-9 Masehi ditandai
dengan munculnya kerajaan-kerajaan dan hilangnya pemerintahan pusat. Kaum
feodal terbagi menjadi tiga unsur ketika itu; (1) intitusi gereja, (2) kaum
bangsawan dan (3) para raja. Semuanya memperlakukan rakyat yang bermata
pencaharian sebagai petani dengan otoriter, zalim dan sewenang-wenang.[4]
Kehidupan beragama dibawah institusi
gereja juga sarat dengan penyimpangan. Tersebarnya peribadatan yang tidak
memiliki landasan dalam kitab suci dan merebaknya surat pengampunan dosa adalah
diantaranya. Paus Roma, ketika mereka membutuhkan dana untuk membiayai
aktifitas Gereja, mereka menerbitkan surat pengampunan dosa dan menghimbau
masyarakat untuk membelinya dengan iming-iming masuk surga. Pendapat-pendapat
tokoh agama pun bersifat absolut dan tidak boleh digugat. Alquran juga menyebutkan
di antara penyimpangan mereka:
“Mereka menjadikan orang-orang
alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka
mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah
Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
(QS. At Taubah [9]: 31)
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib
Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (QS. At Taubah [9]: 34)
Penyimpangan keyakinan, ditambah
dengan sistem politik otoriter inilah faktor utama yang kemudian melahirkan
pemikiran liberal. Saat masyarakat tertekan dan hidup dalam kezaliman,
muncullah reaksi yang bertujuan kepada kebebasan hidup. Hal yang telah menjadi
sunnatullah.[5]
Kesadaran masyarakat Eropa yang
ingin bebas dari segala bentuk tekanan itu mengharuskan mereka untuk melakukan
tranformasi pemikiran. Diantara proses transformasi pemikiran ini adalah
reformasi agama. Pada akhir abad ke-15, muncul seorang tokoh Gereja asal Jerman
bernama Martin Luther (w 1546), kemudian diikuti oleh John Calvin (w 1564),
lalu John Nouks (w 1572). Mereka melakukan perlawanan terhadap Gereja Katolik
yang kemudian mereka beri nama Protestan.[6]
Gerakan reformasi agama yang
dilakukan oleh Luther ini memiliki pengaruh besar dalam sejarah liberalisme
selanjutnya. Rumusan pemikiran Luther dapat disimpulkan menjadi beberapa poin
berikut:
- Otoritas agama satu-satunya adalah teks-teks Bible dan bukan pendapat tokoh-tokoh agama.
- Pengingkaran terhadap sistem kepausan gereja yang berposisi sebagai khalifah almasih.
- Menegasikan keyakinan pengampunan atau tidak diampuni (dari institusi geraja).
- Ajakan kepada liberalisasi pemikiran, keluar dari tirani tokoh agama dan monopoli mereka dalam memahami kitab suci, klaim rahasia suci serta pengabaian peran akal atas nama agama.[7]
Gerakan ini disebut sebagai gerakan
liberal karena ia bersandar kepada kebebasan berfikir dan rasionalisme dalam
menafsirkan teks-teks agama.[8]
Perlawanan terhadap gereja dan
feodalisme terus berlanjut di Eropa. Runtuhnya feodalisme menutup abad
pertengahan dan abad selanjutnya disebut dengan abad pencerahan (Enlightment).
Beberapa tokoh pemikiran muncul. Di Perancis, Jean Jacues Rousseau (w 1778) dan
Voltaire (w 1778) adalah diantara pemikir yang perannya sangat berpengaruh.
Karya-karya mereka berdua menjadi inspirasi gerakan politik Revolusi Perancis
pada tahun 1789, puncak dari perlawanan terhadap hegemoni feodal.
Namun, gerakan yang tadinya sebagai
reformasi agama, pada perkembangan selanjutnya perlawanan terhadap gereja
mengarah kepada atheisme. Para pemikir dan filusuf Perancis rata-rata adalah
para atheis yang tidak mengakui keberadaan agama. Sejarah panjang agama Kristen
dari sejak penyimpangan dan perubahan ajaran hingga perang agama yang meletus
akibat reformasi Luther memunculkan kejenuhan yang berakibat hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap agama. Kebebasan rasional (akal) secara mutlak akhirnya
menjadi ciri utama dari gerakan ini.[9]
Dr. Abdulaziz al Tharify mengatakan,
“Pengagungan terhadap akal semakin nampak pada waktu-waktu revolusi. Mereka
mengangkatnya dan mempertuhankannya. Sebagian mereka bahkan mengatakan bahwa
ini adalah penyembahan terhadap akal. Para tokoh revolusi mengajak orang-orang
untuk meninggalkan agama, terkhusus agama katolik, mereka memutuskan hubungan
Perancis dengan Vatikan. Dan pada tanggal 24 November 1793 M, mereka menutup
gereja-gereja di Paris, merubah sekitar 2400 fungsi gereja menjadi
markaz-markaz rasionalisme dan untuk pertama kalinya digagas soal kebebasan
kaum wanita.”[10]
Intinya, titik tolak liberalisme
berangkat dari perlawanan terhadap penguasa absolut raja dan institusi gereja
yang mengekang kebebasan masyarakat.[11]
Pengertian Liberalisme
Secara etimologi, Liberalisme (dalam
bahasa inggris Liberalism) adalah derivasi dari kata liberty (dalam bahasa
inggris) atau liberte (dalam bahasa Perancis) yang berarti “bebas”. Adapun
secara terminologi, para peneliti mengemukakan bahwa Liberalisme adalah terminologi
yang cukup sulit untuk didefinisikan. Hal itu karena konsep liberalisme yang
terbentuk tidak hanya dalam satu generasi, dengan tokoh pemikiran yang
bermacam-macam dan orientasi yang berbeda-beda.
Dalam al Mawsû’ah al ‘Arabiyyah
al Âlamiyyah dikatakan, “Liberalisme termasuk terminologi yang samar,
karena makna dan penegasannya senantiasa berubah-ubah dalam bentuk yang berbeda
dalam sepanjang sejarahnya.”[12]
Namun demikian, liberalisme memiliki
esensi yang disepakati oleh seluruh pemikir liberal pada setiap zaman, dengan
perbedaan-perbedaan trend pemikiran dan penerapannya, sebagai cara untuk
melakukan reformasi dan menciptakan produktifitas. Esensi ini adalah, bahwa
liberalisme meyakini kebebasan sebagai prinsip dan orientasi, motivasi dan
tujuan, pokok dan hasil dalam kehidupan manusia. Ia adalah satu-satunya sistem
pemikiran yang hanya menghendaki untuk mensifati kegiatan manusia yang bebas,
menjelaskan dan mengomentarinya.[13]
Dr. Sulaiman al Khurasyi mengatakan,
“Liberalisme adalah aliran pemikiran yang berorientasi kepada kebebasan
individu, berpandangan wajibnya menghormati kemerdekaan setiap orang, meyakini
bahwa tugas pokok negara adalah melindungi kebebasan warganya seperti kebebasan
berfikir dan berekspresi, kepemilikan swasta dan yang lainnya. Aliran pemikiran
ini membatasi peran penguasa dan menjauhkan pemerintah dari kegiatan pasar.
Aliran ini juga dibangun diatas prinsip sekuler yang mengagungkan kemanusiaan
dan berpandangan bahwa manusia dapat dengan sendirinya mengetahui segala
kebutuhan hidupnya.
Dalam Acodemik American Ensiclopedia
dikatakan, “Sistem liberal yang baru (yang termanifestasi dalam pemikiran abad
pencerahan) memposisikan manusia sebagai tuhan dalam segala hal. Ia memandang
bahwa manusia dengan seluruh akalnya mampu memahami segala sesuatu. Mereka
dapat mengembangkan diri dan masyarakatnya melalui kegiatan rasional dan
bebas.”[14]
Karakteristik Liberalisme
Walaupun liberalisme bukan terdiri
dari satu trend pemikiran, namun kita dapat mengenali aliran ini dengan
karakteristik khusus. Karakter paling kuat yang ada dalam aliran ini adalah:
-
Kebebasan Individu
Setiap orang bebas berbuat apa saja
tanpa campur tangan siapa pun, termasuk negara. Fungsi negara adalah melindungi
dan menjamin kebebasan tersebut dari siapapun yang mencoba untuk merusaknya.
Oleh karena itu, liberalisme sangat mementingkan kebebasan dengan semua
jenisnya. Kekebasan berkreasi, berpendapat, menyampaikan gagasan, berbuat dan
bertindak, bahkan kebebasan berkeyakinan adalah tema yang mereka ingin wujudkan
dalam kehidupan ini.
Kebebasan dalam pandangan mereka
tidak berbatas, selama tidak merugikan dan bertabrakan dengan kebebasan orang
lain. Kaidah kebebasan mereka berbunyi, “Kebebasan Anda berakhir pada permulaan
kebebasaan orang lain.”[15]
-
Rasionalisme
Penganut liberalisme meyakini bahwa
akal manusia mampu mencapai segala kemaslahatan hidup yang dikehendaki. Standar
kebenaran adalah akal atau rasio. Karakter ini sangat kentara dalam pemikiran
liberal. Rasionalisme diantaranya nampak pada:
Pertama, keyakinan bahwa hak setiap orang bersandar kepada hukum
alam. Sementara hukum alam tidak dapat diketahui kecuali dengan akal melalui
media indera/materi atau eksperimen. Dari sini kita mengenal aliran filsafat
materialisme (aliran filsafat yang mengukur setiap kebenaran melalui materi)
dan empirisme (aliran filsafat yang menguji setiap kebenaran melalui
eksperimen).
Kedua, negara harus bersikap netral terhadap semua agama. Karena
tidak ada kebenaran yang bersifat yakin atau absolut, yang ada adalah kebenaran
yang bersifat relatif. Ini yang dikenal dengan “relatifisme kebenaran”.
Ketiga, perundang-undangan yang mengatur kebebasan ini semata-mata
hasil dari pemikiran manusia, bukan syariat agama.[16]
Perspektif Islam
Dari latar belakang sejarah
liberalisme yang telah dipaparkan di atas, kita dapat menilai bahwa liberalisme
jelas sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam. Sejarah kemunculannya yang
sangat dipengaruhi oleh situasi sosial-politik dan problem teologi Kristen
ketika itu dapat kita jadikan alasan bahwa Islam tidak perlu, dan tidak akan
perlu menerima liberalisme. Karena sepanjang sejarahnya, Islam tidak pernah
mengalami problem sebagaimana yang dialami oleh agama Kristen. Oleh karena itu,
tidak ada alasan mendasar bagi Islam untuk menerima konsep liberalisme dengan
semua bentuknya.
Apalagi jika ditilik dari konsep
pokoknya, pemikiran liberalisme sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Kebebasan mutlak ala liberalisme adalah kebebasan yang mencederai akidah Islam,
ajaran paling pokok dalam agama ini. Liberalisme mengajarkan kebebasan menuruti
semua keinginan manusia, sementara Islam mengajarkan untuk menahannya agar
tidak keluar dari ketundukan kepada Allah. Hakikat kebebasan dalam ajaran Islam
adalah, bahwa Islam membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk,
kepada penghambaan kepada Rabb makhluk.
Begitu pun dengan otoritas akal
sebagai sumber nilai dan kebenaran dalam ‘ajaran’ liberalisme. Sumber kebenaran
dalam Islam adalah wahyu, bukan akal manusia yang terbatas dalam mengetahui
kebenaran. Dengan demikian, menerima liberalisme berarti menolak Islam, dan
tunduk kepada Islam berkonsekwensi menanggalkan faham liberal.
Wallâhu ‘alam wa shallallâhu ‘ala
nabiyyinâ Muhammad.
Riyâdh, KSA 11 Rajab 1433 H/2 Juni
2012 M
—
Penulis: Ustadz Abu Khalid Resa
Gunarsa, Lc
Artikel sumber: muslim.or.id
Artikel sumber: muslim.or.id